Bahder Djohan

From Ensiklopedia

Prof. Dr. Bahder Djohan merupakan seorang tokoh asal Sumatera Barat yang turut dalam kongres pemuda dan pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia ke-7. Bahder Djohan lahir di Padang Sumatera Barat pada 30 Juli 1902. Bahder Djohan merupakan anak dari seorang jaksa bernama Mhd. Rapal St. Burhanuddin yang bertugas di beberapa kota di Sumatera Barat seperti Payakumbuh dan Pariaman dan sering berpindah-pindah. Lahir dari keluarga yang cukup berada membuat seorang Bahder Djohan memiliki kesempatan untuk bisa mengenyam pendidikan sejak usia 6 tahun pada sekolah dasar “Sekolah Melayu” di Padang. Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Bahder Djohan terus melanjutkan pendidikannya ke Hollandsch Inlandsch School dan Meer Uitgerbreid Lagere Onderwijs (MULO). Pada tahun 1919 Bahder Djohan meninggalkan kampung halamannya menuju Batavia untuk melanjutkan pendidikan di STOVIA Jakarta. Tahun 1927, beliau berhasil menyelesaikan pendidikannya sebagai seorang dokter. Sebelum masuk ke STOVIA, Bahder Djohan sebenarnya sudah aktif dalam organisasi pemuda seperti Jong Sumatranen Bond cabang Padang sebagai sekretaris dan hal ini berlanjut sampai ia di Jakarta dimana ia ditunjuk sebagai sekretaris PD Jong Sumatranen Bond di Jakarta (Safwan, 1985: 5-12). Dari sinilah Bahder Djohan banyak terlibat dalam pergerakan kaum pemuda-pemuda intelektual pada masa itu.

Bahder Djohan yang sudah aktif di Jong Sumatranen Bond  juga terlibat dalam pergerakan perjuangan pemuda dalam upaya pembebasan bangsa dari Belanda. Organisasi-organisasi pemuda yang ada seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes dan lainnya berinisiatif untuk bisa membuat satu kongres antar kelompok pemuda. Pada 30 April sampai 2 Mei 1926 diadakan rapat besar antar kelompok pemuda yang membahas tentang paham persatuan kebangsaan dan mempererat semua kelompok pemuda bangsa dimana dari kongres pertama, menghasilkan konsep persatuan dengan menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia atau bahasa persatuan bangsa (Sari, Rizqi, 2017: 207). Pada kongres pemuda pertama, Bander Djohan turut memberikan pidatonya yang berjudul De Positie Van De Vrouw In De lndonesiche Samneving “Kedudukan Wanita Dalam Masyarakat Indonesia” yang dilarang untuk disebarluaskan oleh pemerintah Kolonial Belanda waktu itu. Dalam pidatonya Bahder Djohan menyampaikan bahwa memecahkan persoalan wanita di negeri ini sama pentingnya dengan hal politik dan ekonomi. Maka dari itu setiap kaum nasionalis wajib mengeluarkan pendapatnya untuk masalah itu dan bagi Djohan, wanita Indonesia mestilah berdiri di samping pria bagi bangsa serta tanah airnya (Safwan, 1985: 5-12).

Bahder Djohan adalah seorang yang sangat peduli terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan hal ini membuatnya tergerak untuk bisa mendirikan satu organisasi swadaya masyarakat Indonesia yang berfokus kepada pemberian bantuan atau sekedar menolong penderitaan sesama manusia. Maka dari itu ia berencana mendirikan Perhimpunan Palang Merah Indonesia (PMI) bersama dengan rekannya sesama dokter yaitu Dokter Senduk pada tahun 1938. Namun niat mulia Bahder Djohan dan Dokter Senduk tidak mendapatkan izin dari Pemerintah Kolonial Belanda karena anggapan bahwa masyarakat pribumi tidak mengerti apa itu konsep dari keprimanusiaan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1994: 73-74). Kegagalan mendirikan PMI pada masa kolonial bisa ditebus setelah Indonesia merdeka. Sebulan setelah proklamasi kemerdekaan yaitu di tanggal 17 September 1945, PMI terbentuk. Beberapa orang ditunjuk untuk bisa menjadi pengurus PMI dan salah satunya adalah Dokter Bahder Djohan yang ditunjuk sebagai Salah satu sekretaris dan Wakil Presiden Mohd. Hatta sebagai ketuanya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1994: 76).

Dalam kancah politik nasional, Bahder Djohan pernah menjabat sebagai menteri pada masa pemerintah Kabinet Natsir dan Kabinet Wilopo. Posisi menteri yang ia jabat adalah menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (PPK). Awal Bahder Djohan dilantik sebagai menteri terjadi pada masa kabinet Natsir pada kurun waktu 6 September 1950 s.d. 27 April 1951 (Hp, Safwan, Latucosisa, Samurizal, 1986: 86). Masa jabatan Bahder Djohan sebagai menteri pada kabinet Natsir terbilang cukup singkat yang berlangsung selama kurang lebih enam bulan saja. Pada periode ini Bahder memfokuskan pada usaha-usaha peningkatan mutu pendidikan dan mencerdaskan masyarakat. Pada masa Kabinet Wilopo, Bahder Djohan menjabat pada kurun waktu 3 April 1952 s.d. 30 Juli 1953. Selama lebih dari satu tahun masa jabatanya ia juga melakukan hal yang kurang lebih sama seperti pada periode sebelumnya dengan menambah usaha-usaha dalam perbaikan dan pembaruan pendidikan dan pengajaran di Indonesia  (Hp, Safwan, Latucosisa, Samurizal, 1986: 48).

Posisi Bahder Djohan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bukanlah tanpa sebab, mengingat ketertarikan Bahder Djohan terhadap bidang kebudayaan cukup besar dan kebudayaan merupakan hal yang sudah ia senangi sejak bergabung dan memimpin Jong Sumatranen Bond (Safwan, 1985: 79). Pada tahun 1948 ketika Kongres Kebudayaan pertama diselenggarakan di Magelang, Bahder Djohan turut hadir. Keadaan yang negara yang belum kondusif pada masa itu tentu menjadi tantangan untuk menyelenggarakan kongres tersebut. Atas keberanian para cendekiawan budaya yang hadir pada saat itu Bahder Djohan sangat mengapresiasi dan mengatakan bahwa semua yang dilakukan dalam kongres tersebut adalah sebuah "keberanian dan ketulusan pendekar-pendekar kita yang sangat membanggakan" (Supardi, 2013: 75). Hal penting yang dihasilkan setelah selesainya Kongres Kebudayaan pertama adalah terbentuknya Lembaga Kebudayaan Indonesia atau LKI. Bahder Djohan ditunjuk sebagai Ketua yang secara resmi memimpin LKI sejak 1 Januari 1949 meskipun begitu LKI baru resmi berdiri pada 9 Maret 1950 (Supardi, 2013: 86). Dalam Kongres Kebudayaan II pada Oktober 1951 di Bandung, Bahder Djohan, sebagai Ketua LKI memberikan pandangannya tentang kebudayaan sebagai berikut:

Kebudayaan adalah masalah perhubungan manusia dan alam, antara adab dan kodrat, antara kultur dan natur, antara akal dan budi. Dalam masyarakat manusia peradaban adalah penjelmaan dari kebudayaan. Di dalam kebudayaan Indonesia masa lampau, banyak tempat yang kelihatan kabur, tetapi ada pula puncak yang disinari cahaya gemilang yang menyebabkan getaran jiwa kita sendiri.

Akhirnya Bahder Djohan mengatakan bahwa bangsa Indonesia “benar-benar tengah menyongsong zaman jaya” (Safwan 1985 : 80). Setelah tidak lagi menjabat sebagai seorang menteri, Bahder Johan kembali ke profesinya sebagai dokter. Ia sempat ditunjuk sebagai direktur Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) pada tahun 1953. Jabatannya sebagai direktur RSUP tidak lama karena pada tahun 1954 ia diangkat sebagai Rektor Universitas Indonesia dan sebelumnya ia juga sudah diangkat sebagai guru besar oleh Universitas Indonesia (Safwan, 1985: 80). Pada tahun 1958, Bahder Djohan mengundurkan diri sebagai rektor UI dan pensiun sebagai pegawai negeri. Meskipun begitu kepedulian Bahder Djohan terhadap pendidikan tidak hilang begitu saja ia kembali menjadi rektor di Universitas Ibnu Khaldun pada tahun 1971 (Safwan, 1985 : 85).

Penulis: Suprayitno
Instansi: Universitas Sumatera Utara
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum


Referensi

Safwan, Mardanas (1985) PROF.DR. Bahder Djohan Karya dan Pengabdiannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan (1994) Museum dan Sejarah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.

Nunus, Supardi (2013) Bianglala Budaya Rekam Jejak 95 Tahun Kongres Kebudayaan 1918-2013. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Hp, Suriadi., Safwan, Mardanas., Latucosina, Djuariah., Samsurizal (1986) Sejarah Pemikiran Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.

Sari, Puspita Endah., Rizqi, Yoga Fernando (2019) Smits Nationalism  Perspektive in The  Indonesian History Textbooks On The Youth Oath 1928 Narrative. Surakarta: Historika Journal Of History Education Research Vol. 22 No 2.