Bernard Wilhelm Lapian

From Ensiklopedia
Bernard Wilhelm Lapian. Sumber: ANRI. Katalog Daftar Arsip Foto Personal, No. P04-0210

Bernard Wilhelm Lapian acap dikenal sebagai tokoh tiga zaman yang berasal dari Sulawesi. Kontribusi Lapian dalam sejarah nasional Indonesia dimulai dari masa pendudukan Belanda, pendudukan Jepang, dan masa pasca kemerdekaan Indonesia.

B.W. Lapian lahir dia Kawangkoan, Sulawesi Utara, pada tanggal 30 Juni 1892. Ia dilahirkan dari ayah bernama Enos Lapian dan ibu bernama Petronella Mapaliey. Berkat ayahnya yang bekerja sebagai kepala sekolah rakyat di Kawangkoan, akhirnya B.W. Lapian bisa memulai pendidikan formal di Amurangse School, sebuah sekolah dasar berbahasa Belanda. Setelahnya, ia melanjutkan kursus setingkat pendidikan menengah di MULO.

Pada usia 17 tahun, Lapian mulai bekerja di Koninklijke Paketvaart Maatschappij, sebuah perusahaan pelayaran milik Belanda. Kemampuannya berbahasa Belanda membantu dirinya untuk bertahan bekerja di perusahaan selama sekitar 20 tahun. Bahkan, salah seorang anaknya mengisahkan bahwa B.W. Lapian sempat hampir ditembak oleh tentara Belanda, namun karena ia langsung berdoa dengan bahasa Belanda, akhirnya penembakan tersebut urung dilakukan (Flo, 2015).

Setelahnya ia bekerja di bidang pelayaran. B.W. Lapian memulai karirnya di bidang jurnalistik dengan mengirim berbagai tulisan mengenai sikap nasionalisme dan menentang kolonialisme di surat kabar Pangkal Kemadjoean. Pada tahun 1924 ia mendirikan surat kabar Fadjar Kemadjoean dengan mengusung semangat yang sama dengan tulisan-tulisan nya sebelumnya. Namun, surat kabar ini lebih mengarahkan fokus pada kesejahteraan masyarakat.

Kemudian pada tahun 1940, di usia akhir 40-an tahun, ia kembali mendirikan surat kabar Semangat Hidoep. Kali ini isinya mengobarkan semangat, terutama kepada rakyat Sulawesi Utara untuk menolak ajakan kesetiaan pada Belanda. Hal tersebut tidak terlepas dari isu bahwa Minahasa hendak dijadikan provinsi ke-12 bagi kerajaan Belanda (Rompis, 2020).

Di tengah kesibukannya berkecimpung di bidang jurnalistik, B.W. Lapian juga sempat menjabat pada posisi dewan Minahasa sebagai perwakilan rakyat Kawangkoan. Selain itu, pada tahun 1938 ia juga tergabung dalam Fraksi Nasional yang diketuai Mohammad Husni Thamrin sebagai dewan rakyat untuk Hindia Belanda.

Perjuangan B.W. Lapian tidak berhenti pada bidang jurnalistik dan politik. Ia juga dikenal sebagai tokoh perjuangan yang religius dan banyak berkontribusi bagi sejarah gereja, terutama di Minahasa. Pada tahun 1933, ia mendirikan Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) sebagai gereja independen yang dibangun oleh masyarakat lokal. Gereja ini memisahkan diri dari naungan Indische Kerk yang membawahi beberapa gereja di Minahasa pada waktu itu. Kedekatan Indische Kerk dengan pemerintah Hindia Belanda melegitimasi penjajahan di tanah Minahasa. Hal inilah yang ditolak oleh Lapian (Lapian et al., 2012).

Pada masa pasca kemerdekaan, nama B.W. Lapian tidak pernah dilepaskan dengan peristiwa yang dikenal dengan sebutan Sejarah Merah Putih di Manado pada tahun 1946. Pasca kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, para pejuang Indonesia bertanggung jawab untuk mempertahankan kemerdekaan dari serangan musuh. Termasuk musuh lama, yakni pihak Belanda.

Di Sulawesi Utara sendiri, kekuasaan di beberapa daerah masih perlu diperjuangkan. Pada bulan Januari 1946, Charlis Choesj Taulu yang merupakan sersan dari tentara kerajaan Hindia-Belanda (KNIL) berhasil meyakinkan para pemuda baik anggota KNIL maupun pemuda awam untuk merebut kekuasaan di Sulawesi Utara (Ponge, 2021).

B.W. Lapian dan Ch. Taulu sepakat, meski jumlah pasukan terbatas, namun mereka bisa menguasai tangsi Belanda di Teling yang sebelumnya dijaga lima sampai enam batalion tentara militer Belanda. Lapian menyetujui gerakan yang dirancang Ch. Taulu karena melihat semangat juang yang dimiliki para pemuda (Ponge, 2021). Akhirnya diputuskan gerakan penyergapan dapat dilakukan, namun harus dilakukan secara diam-diam dengan strategi yang matang.

Koordinasi yang baik antara B.W. Lapian sebagai Walikota Manado dan Ch. Taulu sebagai pemimpin militer Sulawesi Utara, menghasilkan keputusan untuk melakukan penyergapan pada tanggal 14 Februari 1946. Namun, rencana tersebut telah diketahui oleh pihak Belanda yang langsung menangkap Ch. Taulu sehari sebelum rencana penyergapan dilakukan. Meski begitu, berkat semangat dan kegigihan para pemuda, penyergapan tetap dilancarkan. Akhirnya tidak sampai satu hari, bendera merah putih telah berhasil dikibarkan di tangsi Belanda di Teling.

Peristiwa tersebut dikenal luas dengan sebutan sejarah merah putih di Manado. Bahkan BBC London dan surat kabar di Amerika Serikat mengumumkan keberhasilan rakyat Sulawesi Utara untuk menguasai wilayah mereka sendiri. Sebuah siaran radio di Australia bahkan menyiarkan pidato Presiden Sukarno yang berisi kobaran semangat dan ucapan selamat bagi rakyat Indonesia yang berhasil melakukan perjuangan perebutan kekuasaan di Sulawesi Utara.

Pada tanggal 16 Februari 1946, disebarkan selebaran yang berisi pernyataan bahwa rakyat Indonesia telah memegang kekuasaan penuh di Sulawesi Utara. Kemudian Ch .Taulu bersama dengan Raja kerajaan Bolaang Mongondow, Kepala daerah Gorontalo, pembesar militer sipil, serta pimpinan kepala desa (hukum tua) di Minahasa menunjuk B.W. Lapian sebagai kepala pemerintahan sipil Sulawesi Utara. Tidak menunggu lama, pada tanggal 21 Februari, B.W. Lapian langsung mengumumkan wilayah Sulawesi Utara dan Tengah menjadi bagian dari NKRI.

Meski begitu, sekutu tidak tinggal diam dan langsung menangkap serta memenjarakan B.W. Lapian di tangsi Teling pada bulan Maret 1946. Ia kemudian dipindah-pindah ke beberapa penjara, seperti ke Cipinang dan Sukamiskin. Pada tahun 1949, berkat keputusan KMB (Konferensi Meja bundar) akhirnya B.W. Lapian dibebaskan bersamaan dengan penyerahan kedaulatan Indonesia (Adryamarthanino, 2021).

Satu tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1950, Sukarno mengangkat B.W. Lapian sebagai pejabat Gubernur Sulawesi sampai pada pertengahan tahun 1951. Kontribusi yang dilakukan saat menjabat antara lain membangun jalan yang antara Molibago dan Kotamobagu, serta menciptakan daerah pemukiman dan pertanian di daerah Dumoga. Ia membentuk DPRD Sulawesi dan menginisiasi pemilu pertama yang diadakan di Minahasa pada tahun 1951.

Selain itu, ia juga bertugas untuk mencapai perdamaian dengan pemberontakan Abdul Kahar Muzakkar di tanah Sulawesi. Sebenarnya, B.W. Lapian menyebut Kahar Muzakar sebagai pelopor perjuangan kemerdekaan rakyat Sulawesi Selatan (Matanasi, 2020). Namun, karena gagal membantu para gerilyawan untuk menjadi tentara resmi, akhirnya ia memberontak. Lapian bahkan pernah menemui Kahar Muzakar di tempat persembunyiannya untuk bertemu selama 3 hari. Berbagai perundingan telah coba dilakukan, meski pada akhirnya Kahar Muzakar tetap menjalankan aksi gerilyanya sampai akhir hayat.

Atas berbagai perjuangan yang telah ia lakukan untuk negara Indonesia—baik dalam bidang jurnalistik, keagamaan, dan pemerintahan. Akhirnya pada tahun 1976, ia dianugerahi Bintang Mahaputra pratama. Lalu pada tahun 2015, bersama empat tokoh lainnya, B.W. Lapian dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo (Liputan 6, 2015). Plakat penganugerahan tersebut diserahkan pada keluarga dengan diwakili oleh anaknya, Louisa Magdalena Lapian.

Akhirnya pada tanggal 5 April 1977, BW Lapian meninggal dan dikuburkan di Taman Makam Pahlawan di Kalibata. Ia meninggalkan istri bernama Maria Adriana Pangkey dan keenam anak.

Penulis: Tyson Tirta


Referensi

Adryamarthanino, Verelladevanka (2021). Bernard Wilhelm Lapian: Masa muda, perjuangan, dan kiprahnya. Kompas.com

Flo (2015). Moncong senjata sudah mengarah, batal ditembak karena bisa berbahasa belanda. JPNN.com

Lapian, Andre; Mambu, Eddy; Mawikere F.R; Lapian, Gideon; Lumintang, Jimmy; Burdam, John & Manarisip, Joyce (2012). B.W. Lapian: Nasionalis Religius dari Timur 1892-1977. Jakarta: Komunitas Bambu

Matanasi, Petrik (2020). Legenda Kahar muzakar, terbunuh tapi dianggap masih hidup. Tirto.id

Ndy, Yus (2015). BW Lapian, tokoh Sulut kini jadi pahlawan nasional. Liputan6.com

Ponge, Aldi (2021). Sosok CH Taulu, sosok penting peristiwa kudeta merah putih 14 February 1946 di Manado. Tribun manado.co.id

Rompis, Arthur (2020). Mengenal BW Lapian, pahlawan nasional dari Sulut, jurnalis, dan pemimpin gereja. Manado tribunnews.com