Gerakan Anti-Swapraja Surakarta 1945-1946

From Ensiklopedia

Gerakan Anti-swapraja di Surakarta adalah sebuah gerakan anti-monarki dan anti-feodal yang meletus di kota tersebut di akhir tahun 1945 hingga pertengahan tahun 1946. Gerakan ini dimotori oleh kelompok kiri radikal yang menuntut dihapuskannya bentuk-bentuk feodal, yang diwadahi konteks pergolakan politik Republik Indonesia yang masih muda. Selama peristiwa ini, terjadi tindakan penculikan atas beberapa tokoh, termasuk Perdana Menteri Sutan Syahrir. Akibatnya, Surakarta kehilangan status daerah istimewa.

Gerakan Anti-swapraja di Surakarta tahun 1945-1949 merupakan salah satu dari rentetan kejadian sosial-politik di Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Republik Indonesia yang saat itu belum lama diproklamasikan dan masih berumur sangat muda sedang dilanda pergolakan politik. Berbagai golongan politik dengan bermacam-macam ideologi berusaha mendapatkan pengaruh dari masyarakat. Pergolakan politik berskala nasional ini pada akhirnya berdampak pada keadaan sosial-politik di Surakarta.

Setelah proklamasi kemerdekaan RI dibacakan, Susuhunan Surakarta segera mengirim pernyataan dukungan kepada Presiden Sukarno. Surakarta yang mencakup wilayah Kasunanan dan Mangkunegaran menyatakan diri sebagai bagian dari Republik Indonesia. Atas pernyataan dukungan tersebut, Presiden Sukarno menganugerahkan status Daerah Istimewa Surakarta (DIS) pada tanggal 19 Agustus 1945. Pemberian status daerah istimewa kepada kedua kerajaan di Surakarta tersebut tidak begitu saja diterima oleh masyarakat. Ada beberapa pihak, di antaranya kaum intelektual, aktivis politik, militer, serta budayawan berhaluan kiri yang tidak setuju dengan pemberian status daerah istimewa. Hal itu dianggap melanggengkan kekuasaan feodal.

Di samping itu, pemberian status tersebut terbukti problematik. Dengan penetapan DIS oleh Presiden Sukarno, maka muncul pemerintahan ganda (double bestuur) di Surakarta. Di saat yang hampir bersamaan, sebagai konsekuensi dari terbentuknya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), terbentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta. Dari tumpang tindih tersebut maka muncullah persaingan atas hak memerintah. Pihak Kasunanan merasa berhak memerintah atas dasar piagam penetapan DIS, sedangkan pihak KNID Surakarta merasa berhak secara konstitusional. Selain itu, KNID Surakarta mendapat dukungan berbagai golongan rakyat, termasuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), Hizbullah dan Gerakan Rakyat Indonesia (GRI).

Untuk memecahkan permasalahan ini, maka dibentuklah direktorium yang dikepalai oleh Soeroso. Direktorium yang dibentuk ini adalah sebuah pemerintahan kolegial (collegiaal bestuur) yang melibatkan kedua raja Surakarta dan lima anggota KNID. Namun demikian, direktorium ini tetap gagal sebab kedua raja Surakarta menganggap direktorium terlalu mencampuri urusan kerajaan (Ibrahim 2014: 42-43). Soeroso kemudian berusaha lagi dengan membentuk panitia tata negara yang berhasil merancang peraturan mengenai DIS yang disetujui oleh pihak Kasunanan dan Mangkunegaran serta 27 organisasi yang mewakili rakyat Surakarta pada pertengahan Januari 1946. Di sisi lain, pihak oposisi juga semakin kencang mempolitisasi keadaan. Kekacauan berdarah ini sebenarnya sudah terjadi beberapa bulan sebelumnya dengan korban pepatih Dalem (Perdana Menteri) Kasunanan Surakarta, KRMH Sosrodiningrat, diculik dan dibunuh pada  17 Oktober 1945 oleh Gerakan Anti-swapraja (Ibrahim 2014: 43).

Sementara itu, oleh Gerakan Anti-swapraja, usaha Soeroso dengan membentuk panitia tata negara dianggap sebagai mengukuhkan pemerintahan kerajaan di Surakarta, sehingga gerakan protes semakin kencang. Maka pemerintah pusat turun tangan dan mengirim Menteri Dalam Negeri Soedarsono ke Surakarta untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Pemerintahan Syahrir sebenarnya memang mendukung keberlangsungan kerajaan, dengan maksud agar pihak oposisi tidak dapat menguasai harta kraton. Soedarsono kemudian mengusulkan pembentukan sebuah dewan eksekutif untuk seluruh Surakarta yang diketuai oleh Susuhunan.

Sebagai respons atas usulan ini, Gerakan Anti-swapraja mengadakan rapat raksasa yang menolak usulan Soedarsono tadi. Semakin lama keadaan tidak berangsur membaik, bupati-bupati di wilayah Surakarta yang dekat dengan Kasunanan maupun Mangkunegaran dicopot dan diganti dengan orang-orang yang mendukung gerakan Anti-swapraja yang kebanyakan berhaluan kiri. Pada bulan Januari 1946, Susuhunan Pakubuwono XII, ibunda Pakubuwono XII, serta Pangeran Soerjohamidjojo diculik oleh Barisan Banteng (Ricklefs 2008: 468). Ketiga orang tersebut baru dibebaskan setelah memberikan pernyataan penyesalan serta bersedia dipanggil “bung” agar setara dengan rakyat (Ibrahim 2014: 45) Dalam sebuah rapat umum di Pati, Susuhunan menyatakan bahwa ia lebih suka dipanggil “bung Paku Buwono” (Toer 2005: 25).  

Tidak berhenti di situ, KRMT Yudonagoro, Pepatih Dalem yang baru, juga menjadi korban. Ia diculik dan dibunuh pada Maret 1946. Pada bulan April 1946, sembilan orang pejabat Kepatihan mengalami nasib yang sama. Pada tanggal 19 April 1946, Barisan Banteng menerobos Keraton Kasunanan dengan tujuan memaksa Susuhunan untuk menyerahkan kekuasaannya kepada rakyat. Usaha ini tidak hanya sebagai tekanan kepada pihak kerajaan, namun juga sebagai balasan atas razia-razia yang dilakukan pemerintah pusat terhadap Persatuan Perjuangan (PP). Rapat-rapat terbuka kemudian juga dilaksanakan di berbagai tempat oleh Gerakan Anti-swapraja menuntut dihapuskannya DIS. Melihat kondisi yang semakin tersudutkan, pada tanggal 30 April Pakubuwono XII menyatakan bahwa ia menerima pembubaran DIS (Ibrahim 2014: 45).

Setelah bulan April 1946, praktis kekuasaan riil atas wilayah Surakarta telah jatuh ke tangan Barisan Banteng dan pihak oposisi (Ricklefs 2008: 468). Sementara itu, Pangeran Mangkunegara VIII masih berusaha bertahan di tengah gencarnya tekanan dari Gerakan Anti-swapraja dengan menerapkan UUD Kerajaan Mangkunegara pada tanggal 1 Mei 1946, yang menyatakan bahwa Kerajaan Mangkunegara adalah daerah istimewa yang berada langsung di bawah Presiden (Ibrahim 2014: 45). Keadaan terus bertambah parah, bahkan pada tanggal 23 Mei 1946 empat kabupaten di DIS memutuskan hubungan dengan Kasunanan (Ibrahim 2014: 46).

Situasi menjadi semakin panas dengan ditangkapnya dr. Moewardi, pimpinan Barisan Banteng beserta rekan-rekannya atas restu Soedarsono. Penangkapan tersebut memicu demonstrasi yang dilancarkan oleh Barisan Banteng pada 28 Mei 1946, menuntut pembebasan dr. Moewardi dan rekan-rekannya. Jenderal Soedirman yang bersimpati pada usaha Barisan Banteng membantu pembebasan dr. Moewardi dan tawanan lainnya. Hal ini semakin menyudutkan pemerintahan Soedarsono di Surakarta. Kemudian, atas desakan pihak oposisi, maka dibentuklah Pemerintahan Rakyat dan Tentara (PRDT) yang diprakarsai oleh Kol. Soetarto dengan Maklumat no. 1 tanggal 1 Juni 1946 (Ibrahim 2014: 46). Dalam keadaan yang serba kacau itulah, pada tanggal 1 Juni 1946 hak-hak istimewa raja-raja Surakarta di luar tembok istana dihapuskan (Ricklefs 2008: 468).

Menanggapi situasi genting tersebut, pada tanggal 6 Juni 1946 Hatta berangkat ke Surakarta untuk memberi tahu kepada pihak-pihak di Surakarta bahwa Presiden akan mengumumkan keadaan darurat untuk Surakarta. Kekisruhan mencapai puncaknya dengan diculiknya Syahrir pada 27 Juni 1946 oleh anggota PP. Presiden Sukarno bereaksi keras atas penculikan Syahrir dan mengecam aksi tersebut. Syahrir dibebaskan beberapa hari kemudian. PP terus berupaya melakukan serangkaian aksi nekat untuk memaksakan agendanya, antara lain percobaan penculikan terhadap Amir Syarifuddin dan Mohamad Hatta dan upaya perebutan kekuasaan terhadap Kabinet Syahrir II. Aksi-aksi tersebut gagal dan usaha perebutan kekuasaan oleh PP di kemudian hari akan dikenal dengan sebutan Peristiwa 3 Juli. Dengan berbagai kejadian yang semakin berbahaya atas keutuhan negara RI, pemerintah kemudian memenuhi tuntutan Gerakan Anti-swapraja. Pada Juli 1946 Daerah Istimewa Surakarta dibubarkan melalui Peraturan Presiden 15 Juli no. 16/SD/1946 (Ibrahim 2014: 47; Toer 2005: 225, 293).

Gerakan Anti-swapraja terdiri dari gabungan berbagai macam tokoh dan organisasi militer, politik, maupun sipil yang saling berkelindan. Gerakan ini merupakan gerakan oposisi pemerintahan yang dipimpin oleh Tan Malaka yang mendengungkan kemerdekaan 100% dan menolak usaha diplomasi Syahrir dalam menghadapi agresi Belanda. Barisan Banteng pimpinan dr. Moewardi adalah salah satu kelompok milisi yang berperan besar dalam kejadian ini. Sebagai gerakan oposisi, Gerakan Anti-swapraja juga dimotori oleh PP yang bertanggung jawab atas penculikan Syahrir dan agitasi untuk menolak usulan-usulan pemerintah. Para penguasa dan pejabat kerajaan di Surakarta juga menjadi korban, baik tindak penculikan maupun pembunuhan, dalam peristiwa ini, di antaranya: KRMH Sosrodiningrat, Susuhunan Pakubuwono XII, KRMT Yudonagoro, dan lain-lain.

Gerakan Anti-swapraja ini memiliki dampak yang besar dalam sejarah Indonesia. Peristiwa ini secara langsung berakibat pada hilangnya status Daerah Istimewa pada Surakarta dan hilangnya kekuatan politik dan kedaulatan Kasunanan Surakarta, serta meninggalnya beberapa bangsawan Kasunanan Surakarta. Pergolakan ini juga mendahului peristiwa 3 Juli 1946, yang merupakan usaha kudeta pertama dalam sejarah RI.

Penulis: Muhammad Asyrafi
Instansi: Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Sri Margana, M.Hum.


Referensi

Ibrahim, Julianto (2014) Dinamika Sosial dan Politik Masa Revolusi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ricklefs, M. C. (2008) Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.

Toer, Pramoedya (2005) Kronik Revolusi Indonesia Jilid II. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.