Hamid II

From Ensiklopedia

Sultan Hamid II lahir pada 12 Juli 1913 dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie. Ia adalah putra sulung Sultan Pontianak ke-6, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Ia menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), Sekolah Dasar pada zaman kolonial Belanda dengan Bahasa pengantar Bahasa Belanda di Sukabumi. Syarif Abdul Hamid kemudian melanjutkan pendidikan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Bandung dan selanjutnya ke Technische Hoogeschool (THS) di Bandung. Akan tetapi, Syarif Abdul Hamid tidak menamatkan pendidikannya di THS dan memilih untuk melanjutkan pendidikan ke Koninklijke Militaire Academie (KMA) di Breda, Belanda. Syarif Abdul Hamid lulus dan mendapatkan pangkat kemiliterannya sebagai Letnan pada Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) (https://p2k.unkris.ac.id/id3/1-3065-2962/Mayjen-Knil-Sultan-Hamid-Ii-Sultan-Syarif-Hamid-Alkadrie_29904_p2k-unkris.html).

Karir Politik Sultan Hamid II berawal dari pengangkatannya sebagai Sultan Pontianak untuk menggantikan ayahnya pada 29 Oktober 1945 (http://p2k. unkris.ac.id/id3/1-3065-2962/Mayjen-Knil-Sultan-Hamid-II-Sultan Syarif-Hamid-Alkadrie_29904_p2k-unkris.html). Karir militernya dalam KNIL juga meningkat, pangkatnya  naik menjadi kolonel. Selain itu jabatannya meningkat dengan diangkat sebagai Ajudant in Buitengewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yaitu asisten Ratu Kerajaan Belanda (http://p2k.itbu.ac.id/id2/ 3053-2950/ Sultan-Hamid-li_29904_p2k-itbu.html).

Sebagai Sultan Pontianak, Sultan Hamid II ikut serta dalam Konferensi Malino, serta Konferensi Denpasar. Sultan Hamid II selanjutnya terlibat dalam konferensi yang dihadiri oleh negara-negara bagian (bentukan Belanda) di Bandung pada 7 Juli 1948. Konferensi itu diberi nama konferensi satuan-satuan kenegaraan atau konferensi kenegaraan (Staatkundige Enheden Conferentie). Konferensi kenegaraan itu kemudian lebih dikenal sebagai Majelis Permusyawaratan Federal  atau Bijeenkomst voor Federale Overleg  (BFO)  (Agung (I), 1985: 403). Dalam konferensi itu, Sultan Hamid II diangkat sebagai ketua dan wakilnya adalah Anak Agung Gde Agung. Berawal dari posisinya sebagai ketua BFO, Sultan Hamid II terlibat dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan politik ketatanegaraan Indonesia.

Pandangan politik Sultan Hamid II terkait hubungannya dengan Republik Indonesia sangat jelas. Sultan Hamid II merupakan pendukung terbentuknya negara federal. Oleh karena itu, dia sangat berseberangan dengan pihak Republik Indonesia yang mengusung paham negara kesatuan. Pandangan Sultan Hamid itu terlihat jelas dalam sikapnya terkait dengan pembentukan Pemerintahan Sementara Federal. Dalam rapat BFO tanggal 15 Februari 1949 delegasi Kalimantan Barat di bawah pimpinan Sultan Hamid bersama-sama dengan delegasi Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Bangka, Riau, Belitung, dan Dayak Besar berpendapat bahwa Pemerintah Federal Sementara akan terus berjalan sesuai rencana Beel meskipun tanpa kehadiran Republik Indonesia (RI) (Agung, 1985 : 238-239). Pandangan itu jelas bertentangan dengan kelompok negara bagian; Indonesia Timur, Pasundan, Banjar, Madura, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur yang menghendaki kehadiran RI dalam pembentukan Pemerintah Federal Sementara.

Pandangan Sultan Hamid itu dapat dipahami, karena posisinya sebagai ketua BFO yang memang oleh Belanda sengaja “dibenturkan” dengan RI. Hal itu masih ditambah dengan kedudukannya sebagai ajudan ratu Belanda, sekaligus posisinya dalam KNIL. Pada sisi lainnya, harus dipahami pula latar belakang dirinya sebagai seorang aristokrat di Kalimantan Barat yang selalu dekat dengan Belanda. Oleh karena itu, wajar jika Sultan Hamid II kurang menghendaki keberadaan RI di Yogyakarta dengan bentuk negara kesatuan. Sultan Hamid II lebih menghendaki bentuk negara federal (yang merupakan ide Belanda, melalui Van Mook).

Sebagai Ketua BFO, bersama dengan Ide Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid II melakukan kunjungan kepada tokoh-tokoh RI yang sedang ditahan Belanda di Bangka. Terkait dengan pertemuan itu, ketua delegasi Indonesia menyampaikan kepada United  Nations Comission for Indonesia (UNCI) bahwa pembicaraan antara pembesar Republik Indonesia dan delegasi BFO di Bangka sampai pada simpulan bahwa pemerintahan Republik perlu dipulihkan sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan (Agung, 1985: 251).

Terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) membuat Sultan Hamid II masuk dalam formatur kabinet RIS. Pada saat itu formatur kabinetnya adalah Moh. Hatta & Sultan Hamengkubuwono IX yang mewakili RI serta Anak Agung Gde Agung dan Sultan Hamid II dari BFO (Kahin, 1995: 568). Dengan demikian, jumlah formaturnya menjadi empat orang. Dua orang mewakili RI dan dua orang mewakili BFO. Sultan Hamid II kemudian diangkat sebagai menteri tanpa portofolio dalam Kabinet Hatta. Sultan Hamid II kemudian ditunjuk oleh Presiden RIS, Sukarno untuk merencanakan, merancang, dan merumuskan gambar lambang negara. Selanjutnya pada tanggal 10 Januari 1950 dibentuk panitia teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Portofolio Sultan Hamid II. Panitia tersebut bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.

Panitia itu kemudian memilih rancangan lambang negara usulan Sultan Hamid II sendiri sebagai calon lambang negara. Setelah melalui berbagai penyempurnaan, melalui berbagai diskusi yang melibatkan Sultan Hamid II, Sukarno, dan Mohammad Hatta, akhirnya disepakati rancangan final lambang negara pada tanggal 8 Februari 1950 untuk diajukan kepada Presiden Sukarno. Presiden Sukarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Mohammad Hatta sebagai perdana menteri. Rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Presiden Sukarno untuk pertama kalinya memperkenalkan lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul”. Atas masukan Presiden Sukarno bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan. Bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Sukarno pada 20 Maret 1950 (https://p2k.unkris.ac.id/id3/1-3065-2962/Mayjen-Knil-Sultan-Hamid-Ii-Sultan-Syarif-Hamid-Alkadrie_29904_p2k-unkris.html).

Salah satu noda dalam kehidupan politik Sultan Hamid II adalah keterlibatannya dalam rencana penyerangan Westerling terhadap kabinet RIS saat akan bersidang di Jakarta. Dalam rencananya, semua Menteri RIS akan diculik, Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Ali Budihardjo, S.H. dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang akan dibunuh (Kodam IV Siliwangi, 1968: 388). Rencana itu gagal karena sidang kabinet selesai lebih dahulu, sehingga gerombolan Westerling hanya menemui Gedung kosong. Atas keterlibatannya tersebut, pada 5 April 1950 Sultan Hamid II ditangkap oleh Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX atas perintah Jaksa Agung RIS Tirtawinata.  Sultan Hamid II dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara potong masa tahanan selama tiga tahun pada 8 April 1950. Pada Maret 1962 Sultan Hamid II kembali ditangkap dan dijebloskan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun, Jawa Timur, karena dituduh makar dan membentuk organisasi ilegal bernama Vrijwillige Ondergrondsche Corps (VOC). Hal itu terjadi ketika Sultan Hamid II berada di Gianyar, Bali, untuk menghadiri upacara ngaben (pembakaran jenazah) ayah dari Ide Anak Agung Gde Agung (https://kabarkampus.com/2020/06/sultan-hamid-ii-orang-baik-bukan-penjahat-negara/).

Sultan Hamid II wafat di Jakarta pada 30 Maret 1978 ketika sedang menjalankan Sholat Maghrib Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang (https://historia.id/politik/articles/lima-fakta-tentang-sultan-hamid-ii-vXl3X/page/3).

Penulis: Haryono Rinardi
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A


Referensi

Agung, Ide Anak Agung Gde. 1985.  Renville. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kahin, George McTurnan 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kodam VI Siliwangi. 1968. Sejarah Singkat Kodam VI Siliwangi: Siliwangi Dari Masa Ke Masa. Jakarta: Fakta Mahjuma.

https://historia.id/politik/articles/lima-fakta-tentang-sultan-hamid-ii-vXl3X/page/3

https://kabarkampus.com/2020/06/sultan-hamid-ii-orang-baik-bukan-penjahat-negara/

http://p2k.unkris.ac.id/id3/1-3065-2962/Mayjen-Knil-Sultan-Hamid-Ii-Sultan-Syarif-Hamid-Alkadrie_29904_p2k-unkris.html

https://www.youtube.com/watch?v=cEIFy3sOIVo