Jan Engelbert Tatengkeng
Tatengkeng adalah tokoh sastrawan, pendidik dan negarawan. Bernama lengkap Jan Engelbert Tatengkeng, ia lahir pada 19 Oktober 1907 di Kolongan, Sangihe, Sulawesi Utara. Ayahnya ialah seorang kepala sekolah zending merangkap guru Injil. Karena itu, ia besar dan tumbuh di tengah keluarga nasrani yang taat. Tidak heran jika kebanyakan pendidikan formalnya ditempuh di sekolah-sekolah kristen. Pada usia delapan tahun, ia mengawali pendidikannya di Zending Volkschool (1915-1918). Setelah tamat, ia melanjutkan sekolahnya di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Manganitu (1918-1925). Minimnya sekolah kristen lanjutan di kampung halaman dan harapan ayahnya yang menginginkan sang anak tetap bersekolah kristen menyebabkan Tatengkeng harus hijrah ke Bandung pada usia 18 tahun. Di kota ini ia menempuh pendidikan lanjutan di Christelijke Middag Kweekschool dan kemudian pindah ke Christelijke Hoogere Kweek School (CHKS) Surakarta yang diselesaikan pada 1932 (Moeljono, 1986: 5–6).
Bakat penyair Tatengkeng sebenarnya telah nampak sejak bersekolah di Zending Volkschool, di mana ia termasuk siswa yang mahir membuat pantun. Di HIS Manganitu, ia juga memperoleh pelajaran berpidato dan mengarang sehingga bakatnya kian terasah. Begitupun perjumpaannya dengan kawan-kawan dari berbagai daerah, termasuk dengan Amir Hamzah, semasa bersekolah di Bandung dan Surakarta, membuat Tatengkeng menjadi pribadi yang terbuka. Di Surakarta, ia mulai akrab dengan kesusastraan Belanda dan gerakan Tachtigers Angkatan 80-an yang pada gilirannya banyak mempengaruhi karya-karyanya (Sugono, 2003: 145). Paling tidak sejak 1930 Tatengkeng juga telah aktif di dunia pers yang ditandai dengan kiprahnya sebagai redaktur majalah Rindoe Dendam di Surakarta (De Nederlander, 29 Maret 1930).
Dalam konteks sejarah kesusastraan Indonesia, Tatengkeng adalah sastrawan dari Angkatan Pujangga Baru. Istilah “Pujangga Baru” merujuk pada sekelompok penyair yang menerbitkan karangannya di sebuah majalah kebudayaan, yaitu Poejangga Baroe. Majalah ini dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane dan Amir Hamzah (sekelompok penyair asal Sumatra) dan mulai terbit sejak Juli 1933 hingga masuknya tentara pendudukan Jepang di Hindia Belanda pada 1942 (Sutherland, 1968: 106-7). Poejangga Baroe memuat berbagai jenis karangan sastra, seperti puisi, cerita pendek, roman, drama, esai, kritik sastra dan telaah seni dan kebudayaan umumnya.
Di Angkatan Pujangga Baru, Tatengkeng tergolong penyair yang produktif. Dari 59 puisinya yang dibuat dalam kurun waktu 25 tahun (1934-1959), 13 diantaranya dimuat di majalah Poejangga Baroe. Selain itu, puisi-puisinya juga diterbitkan dalam beberapa majalah lain, seperti majalah Boedaya, Pembangoenan, Zenith, Siasat, Indonesia dan Sulawesi. Warna kekristenan merupakan ciri khas karya-karya Tatengkeng. Meskipun demikian, bisa dikatakan sebagian besar puisinya memadukan alam dengan perasaan religius, seperti puisinya yang berjudul Kuncup. Selain puisi, Tatengkeng juga menghasilkan karya berupa prosa dan drama (Damono, 2003: 128; Sugono, 2003: 147). Hasil karangan Tatengkeng yang terkenal ialah buku kumpulan puisi berjudul Rindoe Dendam. Diterbitkan pertama kali oleh penerbit Chr. Drukkerij “Djawi” pada 1934, buku ini terdiri dari 32 puisi Tatengkeng yang kebanyakan dihasilkan saat ia tinggal di Sumba dan diterbitkan kembali oleh penerbit Pustaka Jaya dengan judul Rindu Dendam pada 1974 (Tatengkeng, 1974). Karena banyaknya karya sastra yang dihasilkan Tatengkeng, salah seorang kritikus sastra pernah berkomentar bahwa, “Jika pada zaman Pujangga Baru tidak ada Amir Hamzah sebagai raja penyair Pujangga Baru, maka Tatengkeng-lah yang dapat diorbitkan sebagai pengganti Amir Hamzah” (Sugono, 2003: 146).
Om Jan, sapaan para kerabat kepada Tatengkeng, tampaknya paham bagaimana sastrawan ikut andil memperjuangkan kemerdekaan di era pergerakan. Salah satunya ialah melalui bahasa sebagai wadah pemersatu bangsa. Ketika bahasa Indonesia diikrarkan sebagai bahasa persatuan dalam Kongres Sumpah Kedua pada Oktober 1928, tidak jarang respon negatif muncul dari kalangan bumiputra sendiri. Bahasa Indonesia dianggapnya sebagai bahasa buruk dan tidak asli serta hanya untuk diperuntukkan orang kasar bukan kaum priayi. Menanggapi hal itu, Tatengkeng terbiasa menciptakan karya bernafas pembelaan terhadap bahasa Indonesia. Pada Oktober 1935, umpamanya, ia menulis puisi berjudul “Bahasa Indonesia” (Moeljono, 1986: 46–48). Pada intinya, puisi itu bernada membela bahasa Indonesia sekaligus sindiran ke pihak yang tidak senang bahasa Indonesia dijunjung tinggi sebagai bahasa persatuan.
Satu hal penting bahwa kebanyakan karya Tatengkeng lahir di tengah rutinitasnya sebagai tenaga pendidik. Karirnya dimulai sejak 1932, yakni sebagai guru bahasa Melayu di HIS Tahuna. Seraya menjalani pekerjaan itu, ia pun memimpin surat kabar Sangihe bernama Tuwo Kona dan ikut membantu beberapa surat kabar, seperti Soeara Oemoem (Surabaya), Soeloeh Kaoem Moeda (Tomohon), dan Pemimpin Zaman (Tomohon). Menjadi tenaga pendidik juga merupakan alasan utama Tatengkeng memilih pindah ke Waingapu (Sumba) pada tahun yang sama. Di tempat ini ia bekerja sebagai guru bahasa Melayu merangkap kepala sekolah di Zending Standaardschool. Tatengkeng betul-betul memanfaatkan waktunya ketika bermukim di Sumba selama kurang lebih delapan tahun. Selain mengarang dan mengajar, ia juga terlibat aktif dalam organisasi keagamaan. Pada 1940, ia kembali ke Ulu Tiau dan menjadi kepala sekolah di Schakelschool. Setahun berikutnya, ia pindah lagi karena diangkat menjadi kepala sekolah di HIS Tahuna. Di masa pendudukan Jepang atau tepatnya pada 1943, ia sempat bekerja sebagai guru bahasa Jepang di sekolah menengah Ulu Tiau selama setahun sebelum akhirnya dijebloskan ke penjara Manado oleh pihak Jepang tanpa alasan yang jelas. Karirnya sebagai tenaga pengajar berlanjut hingga tahun awal pasca kemerdekaan. Ia ditunjuk sebagai Kepala Sekolah Dasar Tahuna (1946) dan Direktur Sekolah Menengah Tahuna (1947) (Moeljono, 1986: 6–7).
Selain sebagai sastrawan dan pendidik, Tatengkeng termasuk sosok negarawan. Hal ini tercermin dari aktivitas politiknya yang mulai intens sejak tahun awal pasca kemerdekaan. Ia adalah tokoh yang ikut mendirikan Barisan Nasional Indonesia. Ia juga bergabung dengan Partai Rakyat Sangir Talaud dan menduduki jabatan wakil ketua partai pada Januari 1948. Selaku wakil partai ini, Tatengkeng ikut hadir dalam dalam Konferensi Denpasar (7-24 Desember 1946) dan tergabung sebagai anggota parlemen dalam Kabinet Parlementer Sementara NIT. Pada Mei 1948, ia dipercaya menjadi wakil Menteri Pengajaran NIT. Pada 12 Januari 1949, ia lalu ditunjuk menjadi Menteri Pengajaran NIT. Puncak karir politiknya ialah ketika dirinya menjabat Perdana Menteri NIT merangkap Menteri Pengajaran pada 27 Desember 1949 (Moeljono, 1986: 7–8).
Produktivitas Tatengkeng menciptakan karya sastra sebenarnya mulai menurun sejak 1950-an. Hal ini tidak lepas dari kesibukannya di bidang kebudayaan. Salah satunya ialah jabatan Kepala Inspeksi Kebudayaan Republik Indonesia di Makassar yang diemban pada awal 1950-an. Pada 1955, ia ditugaskan sebagai anggota panitia kerja yang dibentuk oleh Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Diketuai oleh Usman Effendi, saat itu ia bekerja dengan tokoh budayawan lainnya, seperti Bujung Saleh, St. Muhammad Sjah, S. Sumardja dan beberapa tokoh lainnya (De Nieuwsgier, 26 Maret 1955). Bukan hanya itu, cikal bakal terbentuknya Dewan Kesenian Makassar pada Juli 1969 juga tidak terlepas dari andil Tatengkeng yang kerap memprakarsai diskusi-diskusi yang membincangkan pembentukan dewan kesenian tersebut (Hatley, 2012).
Bidang pendidikan juga tetap menjadi bagian dari rutinitas Tatengkeng. Pada 1954, umpamanya, ia mengarang sebuah buku berjudul “Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia”. Dengan menguraikan garis besar sejarah kelahiran Bahasa Indonesia yang pada dasarnya berasal dari bahasa Melayu, buku karyanya itu dihasilkan dalam rangka kegiatan Pekan Bahasa Indonesia di Makassar yang berlangsung pada 22 Desember 1953-2 Januari 1954 (Moeljono, 1986). Selain ikut terlibat dalam pendirian Universitas Hasanuddin yang resmi berdiri pada 10 September 1956 (Indische courant voor Nederland, 19 September 1956), ia juga pernah tercatat sebagai mahasiswa dan dosen di Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin pada awal 1960-an.
Tatengkeng menikah dengan F. Tatengkeng pada usia 25 tahun. Perkawinannya dengan gadis yang dikenal sejak bersekolah di HIS ini dikaruniai enam orang anak. Tatengkeng wafat pada 6 Maret 1968 di Makassar. Atas berbagai kontribusi semasa hidupnya, pemerintah Indonesia telah memberi tanda kehormatan berupa Satya Lencana Kebudayaan.
Penulis: Syafaat Rahman Musyaqqat
Referensi
Damono, Sapardi Djoko. 2003. Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan: Sebuah Catatan Awal. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
De Nederlander, 29 Maret 1930.
De Nieuwsgier, 26 Maret 1955.
Hatley, Barbara. 2012. “Creating culture for the new nation South Sulawesi, 1950-1965.” In Heirs to World Culture: Being Indonesian 1950-1965, diedit oleh Jennifer Lindsay dan Maya H T Liem, 343–70. Leiden: KITLV Press.
Indische courant voor Nederland, 19 September 1956.
Moeljono. 1986. Drs. J.E. Tatengkeng: Karya dan Pengabdiannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sugono, Dendy, ed. 2003. Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Sutherland, Heather. 1968. “Pudjangga Baru: Aspects of Indonesian Intellectual Life in the 1930s.” Indonesia, no. 6: 106–27.
Tatengkeng, J E. 1974. Rindu Dendam. Bandung: Pustaka Jaya.