Misbach
Haji Misbach adalah aktivis pergerakan antikolnoial dan anggota Partai Komunis Indonesia. Ia lahir 1876 di Kauman Surakarta (Rangsang, 1924: 1–2). Ia besar di tengah keluarga pengusaha batik yang cukup tersohor (Kisah Almarhoem Hadji Misbach, 1926: 295–97). Sewaktu kecil, dirinya memiliki nama Achmad. Lalu setelah menikah namanya berubah menjadi Darmodiprono. Sepulang dari perjalanan haji, namanya berubah lagi menjadi Misbach yang kemudian lebih dikenal di masyarakat dengan sebutan Hadji Moehammad Misbach sampai akhir hayatnya. Misbach juga dikenal dengan julukan “Hadji Merah” lantaran gagasannya yang kontroversial dalam mengharmonisasi Islam dengan komunisme.
Di awal perjalanan hidupnya, sebelum berkecimpung dalam dunia pergerakan, Misbach sempat menggeluti usaha batik seperti orang tuanya. Usahanya cukup berkembang sehingga dirinya mampu membuka rumah batik. Misbach muda bahkan dikenal sebagai pengusaha batik terkaya di Surakarta setelah Samanhoedi (Amelz, 1952: 89).
Lahir dan besar di Kauman membuat Misbach tumbuh dalam tradisi kaum santri. Tentu saja hal ini membuat kemampuan bahasa Arab dan pemahaman ilmu agamanya berkembang dengan baik. Ia juga menuntut ilmu di sekolah bumiputra, Ongko Loro, selama delapan bulan di Batangan, Surakarta (Bakri, 2015: 101). Mengenyam pendidikan agama dan umum akhirnya memberikan Misbach perspektif yang luas atas lingkungan sosialnya di kemudian hari.
Bermodal pendidikan keagamaan yang kuat, Misbach memutuskan untuk bergerak dalam dunia dakwah. Pada 1914, dirinya dan R.H. Adnan aktif menjadi mentor dalam pengajaran keagamaan di sebuah majlis taklim yang diadakan di rumah M.Ng. Darsosasmito, seorang pengusaha batik di Kauman Surakarta yang menjadi pegawai di Kasunanan Surakarta (Bakri, 2015: 102). Sebelumnya Misbach juga sudah mendirikan pusat pengajian di Keprabon dan Kampung Sewu (Amir, t.t.: 1), serta mendirikan madrasah dan pusat perkumpulan untuk masyarakat.
Di tahun yang sama, sambil menjalankan bisnisnya (Iklan Batik, 1921), Misbach juga tergerak untuk terjun ke dunia pergerakan dengan bergabung menjadi anggota Inlandsche Journaliste Bond (IJB) bentukan Sarekat Islam (SI). Pemimpin IJB saat itu, Mas Marco Kartodikromo, bahkan kagum dengan Misbach. Dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Korban Pergerakan Ra’jat, H.M. Misbach” (Kartodikromo, 1924), Mas Marco menyebut Misbach sebagai orang yang dikenal merakyat dan sering berkumpul dengan kawula muda untuk mendengarkan klenengan, wayang orang, ataupun sekedar jalan-jalan (Kartodikromo, 1924). Mas Marco juga mengatakan bahwa Misbach, “Soeka beramah-ramahan kepada semoea oerang” (Kartodikromo, 1924).
Pertemuan Misbach dengan Mas Marco menjadi salah satu tangga awal dalam perjuangannya di dunia pergerakan. Pengalaman di IJB mengilhami Misbach untuk menerbitkan media massa yang bercorak Islam yang kritis terhadap kondisi sosial (Bakri, 2015: 103). Pada 1915, dirinya menerbitkan surat kabar bulanan yang diberi nama Medan Moeslimin (Soewarno dan Hardono, 1918: 189). Pada 1917, Misbach juga mendirikan Islam Bergerak (Bakri, 2015: 104). Misbach begitu totalitas di dunia jurnalistik dan ini ditunjukkannya dengan mendirikan lembaga penerbitan yang juga bernama Medan Moeslimin. Lembaga ini umumnya menerbitkan buku-buku keislaman seperti Hijatoel ‘Awam dan Noeroel ‘Alam (Islam Bergerak, 1919).
Misbach dan Medan Moeslimin mendapat apresiasi yang besar dari masyarakat. Surat kabar ini bukan saja menjadi media diskusi bagi para ulama dan masyarakat Islam pada umumnya, tetapi juga menjadi bacaan keagamaan yang diminati oleh pejabat keraton dan bangsawan Surakarta (Medan Moeslimin, 1916). Golongan guru juga banyak menjadi pelanggan Islam Bergerak (Tohir, 1918: 2). Perkembangan Medan Moeslimin yang semakin meluas mendapat tantangan dari kelompok Djawi Kondo, sebuah surat kabar yang yang diterbitkan oleh Boedi Oetomo (Misbach, 1917: 1). Tantangan ini muncul karena Misbach berani menyuarakan sikap kritis atas kondisi sosial politik yang terjadi, sementara Boedi Oetomo memiliki kedekatan dengan penguasa kolonial. Selain itu, Misbach juga merasa terganggu dengan praktik Islam di Surakarta yang tidak memberikan solusi terhadap realitas sosial (Misbach, 1916: 50).
Memasuki tahun 1918, militansi keagamaan dan sikap revolusioner Misbach semakin menguat, salah satunya yakni menjaga harga diri agama dari berbagai serangan dan pelecehan (Islam Bergerak, 1918). Ia menjadi tokoh penting dalam pembelaan terhadap Islam akibat terbitnya artikel di Djawi Hisworo yang dianggap melecehkan Islam (Bakri, 2015: 107). Peristiwa ini secara khusus memunculkan radikalisme keislaman di Surakarta. Tjokroaminoto sebagai ketua Centraal Sarekat Islam (CSI) membentuk Tentara Kandjeng Nabi Moehammad (TKNM) pada awal 1918 (Fachrodin, 1918: 1), yang memopulerkan nama Misbach sebagai propagandisnya. Pada tahun yang sama, Misbach dan Haroenrasjid juga membentuk perkumpulan mubalig reformis yang diberi nama Sidik Amanat Tableg Vatonah (SATV) (Oetomo, 1920: 2).
Pamor Misbach semakin melesat sejak dirinya memimpin Kongres Al-Islam yang diselenggarakan oleh SATV pada tanggal 13 April 1919 di Societeit Mangkunegaran Surakarta. Misbach juga aktif di Insulinde, sebuah organisasi yang ketenarannya mulai membayangi popularitas SI Surakarta. Misbach bahkan menjadi salah satu tokoh yang membuat Insulinde semakin tenar (Bakri, 2015: 109).
Namun dalam perjalanannya, pengalamannya menggerakkan rakyat tertindas di Insulinde yang dianggap terlalu Jawa dan kekecewaan terhadap SI pimpinan Tjokroaminoto telah membawa Misbach ke peneguhannya untuk bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada 1923, Misbach kemudian juga berpisah dengan sekutu lamanya, yaitu Dachlan dan Fachrodin dari Muhammadiyah yang menjadi salah satu perhimpunan pertama yang menolak ideologi komunisme (Suryanegara, 1998: 220). Namun demikian, Misbach tetap menghadiri Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada April 1923, sebulan setelah secara resmi Misbach menjadi propagandis PKI dan SI Merah pada Kongres PKI dan SI Merah di Bandung dan Sukabumi pada 3-6 Maret 1923 (Islam Bergerak, 1923b: 2).
Selain sudah tidak sejalan dengan SI Tjokroaminoto dan Insulinde, alasan lain mengapa Misbach memutuskan untuk bergabung dengan PKI adalah karena tingginya komitmen partai ini dalam membela kepentingan rakyat, anti kapitalisme, dan menjadikan kolonialisme sebagai musuh (Islam Bergerak, 1923a: 1). Pilihan Misbach terhadap PKI dan SI Merah merupakan penggalan penting dalam tumbuh kembangnya gerakan komunisme Islam, terutama di Surakarta.
Untuk diketahui bahwa Misbach dikenal sebagai haji merah karena militansinya dalam dunia pergerakan Islam dan komunisme (Kwantes 1975, 521). Ide komunisme yang diperoleh dari Manifesto karya Karl Marx dan Frederick Engel, ditambah pemikiran Sneevliet dan Semaoen telah mengubah paradigmanya tentang Islam dan komunisme. Misbach menentang kapitalisme karena sifat ideologi tersebut menindas kaum lemah. Islam, tentu saja menjadikan komunisme sebagai wadah perjuangan (Pringgodigdo, 1964: 42). Dalam sebuah surat kabar bernama Soeara Moeslimin, Misbach bahkan menulis bahwa, “komunisme mengajarkannya untuk menentang kapitalisme, itu tercakup di dalam Islam. Saya menerangkan hal itu sebagai (seorang) muslim dan komunis” (Misbach, 1926: 146). Baginya, memadukan Islam dengan komunisme sama halnya dengan meneruskan usaha profetik para Nabi yang menolong rakyat dari ketertindasan.
Pandangannya yang lantang tentang komunisme dan Islam, yang dimana secara bersamaan kedua ideologi ini juga menjadi musuh utama dari kolonialisme, membuat dirinya harus dinasihati oleh pihak pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sudah dua kali dirinya diperingatkan agar tidak terjun lagi di dunia pergerakan. Selain itu, Rumah Misbach, kantor Medan Moeslimin, dan Islam Bergerak berada dalam pengawasan kepolisian. Ia juga dituding berperan dalam menyembunyikan buruh-buruh kereta api yang terhimpun dalam VTSP (Medan Moeslimin, 1923). Hal ini membuat ruang gerak Misbach semakin sempit. Salah satu cara agar dia tetap bisa berjuang adalah dengan menuangkan pikiran-pikirannya dalam Medan Moeslimin dan Islam Bergerak.
Kekhawatiran pemerintah kolonial terhadap Misbach karena wacana yang dipikirkannya kerap direalisasikan ke tengah masyarakat. Ia bahkan mendirikan PKI Afdeeling Surakarta dan Informatie Kantoor Bale Tanjo (IKBT) pada bulan Juni 1923. Di saat yang sama, di Surakarta juga sedang maraknya terjadi aksi-aksi teror, sabotase, dan perusakan terhadap fasilitas milik pemerintah. Atas dasar ini, Misbach kemudian ditangkap pada 20 Oktober 1923 bersama Moetakalimoen. Ia dijatuhi hukuman pembuangan ke Manokwari (Misbach, 1924a: 331–32).
Di masa tahanan sebelum pembuangan, Misbach tetap meneruskan perjuangan. Ia misalnya menulis surat kepada Haroenrasjid yang berisi pesan agar kaum muslimin memerangi kapitalisme (Haroenrasjid, 1924: 214). Misbach sempat menulis surat perpisahan kepada umat Islam dan kaum pergerakan yang berisi sebagai berikut (Misbach, 1924b: 209):
“Sesoedah saja datang di Manokwari nanti adres saja akan saja oemoemkan dalam Medan Moeslimin sini. Dan saja djandjikan nanti saja akan mengarang hal "Islamisme" dan "Communisme" sampai sedjelas-djelasnja, agar mendjadi penerangan toean-toean kaoem Moeslimin dan pehak Communist, dan karangan itoe mestinja nanti termoeat dalam madjalah kita "Medan Moeslimin". Moedah-moedahan dikaboelkan olih Toehan Rohmanurohim. Saja harap oean-toean mendoakan kepada Toehan ghofoeroerohim agar saja diberi selamat perdjalanan saja”..
Setelah sampai di Manokwari, pada tanggal 7 Agustus 1924, Misbach tetap berusaha untuk berjuang di dunia pergerakan. Dibayang-bayangi gertakan polisi, Misbach mengawali pergerakan dengan mendirikan Sarekat Ra’jat (SR) Manokwari dengan anggota tidak lebih dari 20 orang (Misbach, 1925b, 1925a). Selama di pembuangan, antara tahun 1924-1926, Misbach aktif menulis artikel di Medan Moeslimin, khususnya tentang hubungan antara Islam dengan komunisme.
Pada tahun 1925, Misbach meminta izin pergi ke negeri Belanda dengan alasan kesehatan. Pada waktu itu, di Manokwari sedang terjadi wabah penyakit TBC sehingga ia dan keluarganya terserang TBC. Pada saat yang bersamaan, Partai Komunis Belanda bermaksud melamarnya untuk menjadi kandidat Tweedekamer. Pada 10 Juli 1925, istri Misbach meninggal dunia. Pada September 1925, Misbach diizinkan ke luar negeri dengan biaya sendiri. Medan Moeslimin dan Hoofdbestuur PKI mengampanyekan pengumpulan dana untuk Misbach. Uang yang dikirim via Medan Moeslimin jauh dari cukup, sedangkan Hoofdbestuur PKI tidak mengirimkan uang. Misbach mengurungkan niatnya ke luar negeri, dan tetap melakukan pergerakan di Manokwari. Misbach terserang malaria dan meninggal pada 24 Mei 1926 (Medan Moeslimin, 1926: 292).
Oleh sekelompok SR Manokwari, Misbach dikuburkan di samping kuburan istrinya. Sementara anak-anaknya yang ikut ke pembuangan kembali ke Surakarta ditemani Sakimin, aktivis SR Manokwari yang loyal kepada Misbach (Shiraishi, 1990: 411). Salah satu tokoh pergerakan lainnya, Tan Malaka mengatakan bahwa informasi meninggalnya pemimpin karismatik ini berasal dari perwakilan pemerintah di Manokwari. Mereka menyebutkan bahwa Misbach meninggal karena serangan malaria, namun tidak ada yang tahu persis apa yang sebetulnya terjadi (Malaka, 2016: 58). Akhir hidup dari Misbach tidak menjadi akhir bagi gerakan komunisme Islam. Beberapa kaum santri pendukungnya melanjutkan perjuangan dalam bingkai yang sama (Bakri, 2015: 127).
Penulis: Endi Aulia Garadian
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Amelz. 1952. H.O.S. Tjokroaminoto. Jakarta: Bulan Bintang.
Amir, Muhammad. Riwayat Berdirinya Muhammadiyah di Surakarta. Surakarta: Sekretariat PDM.
Bakri, Syamsul. 2015. Gerakan komunisme Islam Surakarta, 1914-1942. Yogyakarta: LKiS.
Fachrodin. 1918. “Mengadep Comite Tentara Kandjeng Nabi Moehamad.” Islam Bergerak: 1.
Haroenrasjid. 1924. “H.M. Misbach Diboeang.” Medan Moeslimin: 214.
“Iklan Batik.” 1921. Islam Bergerak: 2.
Islam Bergerak. 1918. Islam Bergerak: 2.
———. 1919. Islam Bergerak: 1.
———. 1923a. “Pemandangan.” Islam Bergerak: 1.
———. 1923b. Islam Bergerak: 2.
Kartodikromo, Marco. 1924. “Korban Pergerakan Ra’jat, H.M. Misbach.” Hidoep: 1–2.
“Kisah Almarhoem Hadji Misbach.” 1926. Medan Moeslimin: 295–97.
Kwantes, R.C. 1975. De Ontwikkeling van den Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indie. Groningen: H.D. Tjeenk Willink.
Malaka, Tan. 2016. Aksi Massa. Yogyakarta: Narasi.
Medan Moeslimin. 1916. Medan Moeslimin: 153.
———. 1923. “Boekan Ditangkap Tjoema Dipanggil.” Medan Moeslimin: 158.
———. 1926. “Almarhoem H.M. Misbach dan Familienja.” Medan Moeslimin: 292.
Misbach. 1916. “Berkata Sebenarnja (Hikam).” Medan Moeslimin: 50.
———. 1917. Islam Bergerak: 1.
———. 1924a. “Djawa-Manokwari Baik Diketahoei.” Medan Moeslimin: 331–32.
———. 1924b. “Pamitan Saja.” Medan Moeslimin: 209.
———. 1925a. “Foja-Foja Sikapnja Wakil Pemerintah Manokwari.” Medan Moeslimin: 271.
———. 1925b. “Manokwari Bergontjang.” Medan Moeslimin.
———. 1926. “Nasihat.” Medan Moeslimin: 146.
Oetomo, Sastro. 1920. “Verslag Vergadering Sidik Amanat Tablegh Vatonah (S.A.T.V) Oeteran Madioen.” : 2.
Pringgodigdo, H. A. K. 1964. Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia. Djakarta: Pustaka Rakjat.
Rangsang. 1924. “Tjatetan Singkat Tentang Kawan Misbach.” Sinar Hindia: 1–2.
Shiraishi, Takashi. 1990. An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926. 1st edition. Ithaca: Cornell University Press.
Soewarno, dan Tri Hardono. 1918. “Medan Moeslimin.” Medan Moeslimin: 189.
Suryanegara, Ahmad Mansur. 1998. Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
Tohir, Imam. 1918. “Mandjoeroeng.” Islam Bergerak: 2.