Mohammad Noor
PM Noor atau Pangeran Mohammad Noor adalah Gubernur Kalimantan yang pertama. Kata “Pangeran” di depan namanya merupakan gelar karena ia berasal dari keluarga bangsawan Banjar. Tetapi Noor kemudian lebih menyukai gelar “pangeran”-nya itu disingkat “P” saja sehingga namanya biasa ia tulis sebagai PM Noor (Sjamsuddin 2018: 1).
Keluarga dan lingkungan budaya Noor berasal dari Kalimantan Selatan. Noor lahir pada 24 Juni 1901 di Martapura. Ayah Noor bernama Pangeran Mohammad Ali dan ibunya Ratu lntan binti Pangeran Kesuma Giri. Bila dirunut ke atas, silsilah keluarga mereka masih berkerabat dengan Pangeran Antasari dan Sultan Hidayatullah (Zuhri [ed.] 1981: 21).
Noor menikah dengan Gusti Aminah binti Gusti Mohamad Abi pada awal tahun 1920-an. Dari pernikahan ini ia memiliki sebelas anak yang semuanya laki-laki. Akan tetapi, lima anaknya meninggal dunia, kebanyakan saat mereka masih kecil. Kelak di masa perang kemerdekaan, anak-anak Noor yang dewasa juga turut berjuang untuk republik (Zuhri [ed.] 1981: 30-31).
Noor mengawali pendidikannya di Volkschool (Sekolah Rakyat) di Amuntai tahun 1911. Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa daerah. Selain itu Noor juga mendapat pendidikan agama lslam sebagaimana umumnya anak-anak Banjar ketika itu. Noor kemudian melanjutkan ke Hollandsch-lnlandsche School (HIS) di Banjarmasin. Ia lulus dari HIS pada 1917, kemudian melanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Surabaya.
Lulus dari HBS, Noor kemudian melanjutkan studinya ke Technichse Hoogeschool (THS) di Bandung 1923. Sebagaimana semangat kalangan pemuda terpelajar kala itu, dan tentu saja melalui pergaulannya dengan Sukarno dan pemuda-pemuda pergerakan lainnya, Noor juga aktif dalam kegiatan politik. Ia menjadi anggota Jong Islamieten Bond (JlB) pada 1925. Noor akhirnya dapat menyelesaikan studinya sebagai insinyur tahun 1927. Ia menjadi sarjana teknik pertama asal Kalimantan (Zuhri [ed.] 1981: 24).
Pada masa pendudukan Jepang, Noor dipilih menjadi anggota BPUPKI dan anggota PPKI. Setelah Indonesia merdeka hingga masa Orde Baru, Noor dipercaya menduduki berbagai jabatan dalam pemerintahan. Selama masa panjang tersebut, Noor pernah menjadi Gubernur pertama Kalimantan, anggota Dewan Pertimbangan Agung, Wakil Menteri Perhubungan dan Pekerjaaan Umum, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara, menjadi Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga, serta anggota DPR/MPRRl (Zuhri [ed.] 1981: 32).
Noor merupakan sosok yang selalu berupaya meletakkan dasar-dasar persatuan dan kesatuan bangsanya. Ketika ia menjadi Gubernur Kalimantan, Noor berhasil menyatukan dan mengkoordinir keberagaman etnik Kalimantan dalam satu tujuan perjuangan. Penunjukan Tjilik Riwut untuk menangani berbagai tugas bahkan bisa dikatakan sebagai upaya PM Noor membangun prinsip-prinsip multikulturalisme dalam mencapai tujuan perjuangan tersebut. Tjilik Riwut adalah putra Dayak sedangkan Pangeran Mohammad Noor berasal dari Kesultanan Banjar. Padahal dalam sejarah, kedua etnik ini kerap memperlihatkan kontestasi dari waktu ke waktu (Wasito 2019: 56).
Noor menginisiasi para pegawai Kementerian Perhubungan dan Pekerjaan Umum (PU) yang berada di bawah kepemimpinannya mengangkat sumpah setia kepada Pemerintah Republik Indonesia. Rasa patriotisme di kalangan Gerakan Pemuda PU yang digugahnya, kemudian terimplementasi saat akhirnya pada 3 Desember 1945 pecah pertempuran antara pemuda-pemuda PU yang mempertahankan kantor mereka melawan tentara Belanda. Sejak itu, setiap tanggal 3 Desember peristiwa heroik tersebut diperingati sebagai Hari Kelahiran Pekerjaan Umum (Zuhri [ed.] 1981: 27 -28)
Sewaktu memimpin Kementerian Pekerjaan Umum (1956-1959), Noor mencanangkan sejumlah proyek, seperti Proyek Waduk Riam Kanan di Kalimantan Selatan dan Proyek Waduk Karangkates di Jawa Timur. Selain itu, ia juga menggagas Proyek Pasang Surut di Kalimantan dan Sumatera. Ia juga menggagas Proyek Pengembangan Wilayah Sungai Barito yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu PLTA Riam Kanan dan Pengerukan Muara Sungai Barito yang akhirnya baru dilaksanakan pada tahun 1970.
Setelah proklamasi kemerdekaan, wilayah Republik Indonesia secara administratif dibagi ke dalam delapan provinsi, Noor ditunjuk sebagai Gubernur Kalimantan. Awalnya, tokoh yang diminta adalah Anang Abdul Hamidhan. Namun, Hamidhan menolak karena tetap ingin berjuang melalui dunia pers. Noor pun kemudian ditunjuk sebagai gubernur pertama Provinsi Kalimantan dengan ibu kota Banjarmasin.
Semula kantor Gubernur Kalimantan berada di Jakarta, sebelum nantinya dipindahkan ke Banjarmasin. Hal ini terjadi mengingat kondisi Indonesia saat itu yang baru merdeka. Akan tetapi, sebagai bentuk tanggung jawab, Noor ingin agar ia bisa segera menempati pos-nya di Banjarmasin. Untuk merealisasikannya, Noor pernah mencoba berangkat dari Surabaya naik kapal laut bersama staf dan pemuda-pemuda Kalimantan. Namun keberangkatan mereka gagal karena kapal yang akan ditumpangi ditembak Sekutu. (Suseno 1996: 5-6; Basry 2003: 59; Zuhri [ed.] 1981 : 272).
Dari Jawa Noor menyusun strategi dan taktik perjuangan untuk mempertahankan Kalimantan sebagai bagian dari wilayah Republik lndonesia. Mulai dari pelatihan militer, intel para pemuda dan pelajar asal Kalimantan yang berada di Jawa; penyiapan akomodasi perang; hingga mengirimkan ekspedisi-ekspedisi militer ke Kalimantan melalui laut dan udara. Untuk itu, Noor bekerja sama dengan para panglima tentara untuk membentuk tentara payung ke Kalimantan, membentuk Angkatan Laut Divisi IV untuk Kalimantan, dan bekerjasama dalam taktik penyusupan ilegal atau infiltrasi bersenjata ke Kalimantan (Suseno 1996 : 2-3; Zuhri [ed.] 1981: 226-231 dan 271).
Intensnya upaya yang dilakukan oleh PM Noor pada akhirnya menginspirasi pemberian nama bagi pasukan yang bergerilya di Kalimantan, yaitu Pasukan MN 1001. Menurut Tjilik Riwut yang pernah menjadi komandan MN 1001, nama MN 1001 diabadikan menurut nama gubernur mereka, “M” dari kata “Mohammad” dan “N” dari kata “Noor”. Sedangkan angka “1001” bermakna ada seribu satu macam cara untuk merebut kembali Kalimantan dari pendudukan Belanda (Zuhri [ed.] 1981: 271-296).
Setelah perjanjian Linggajati ditandatangani, Noor juga ikut menyesuaikan diri. Karena berdasarkan perjanjian ini Belanda hanya mengakui kekuasaan de facto Republik lndonesia atas Sumatra, Jawa dan Madura saja, maka otomatis keberadaan Provinsi Kalimantan pun berakhir. PM Noor sendiri masih dipercaya untuk memegang beberapa jabatan lain.
Perjuangannya melawan Belanda, terus dilakukannya mengganti infiltrasi bersenjatanya dengan infiltrasi politik, melalui penerbitan mingguan “Mimbar Indonesia” bersama bersama dua founding fathers lain, Sukardjo Wirjopranoto dan Prof. Dr. Mr. Soepomo. Misi “Mimbar lndonesia” adalah mempersatukan kembali daerah federal Bijenkomst Federaal Overleg (BFO) dengan RI, atau dengan kata lain lain, memulihkan kembali Negara Kesatuan Republik lndonesia (Zuhri [ed.] 1981: 31-32).
Noor meninggal pada 1979 dalam usia 77 tahun. Ia dimakamkan di Jakarta, dan pada 2010 makam Noor dan istrinya dipindahkan ke komplek pemakaman Sultan Adam di Martapura. Atas semua jasa perjuangannya Noor Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Utama (III) dan diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Penulis: Abdurakhman
Instansi: Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum
Referensi
Basry, Hassan. Kisah Gerilya Kalimantan. Jilid 2. Banjarmasin : Yayasan Bhakti Banua. 2003.
Kutoyo, Sutrisno. dkk. Sejarah Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta : Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978.
Radar Banjarmasin, “Cerita Dibalik Anugerah Pahlawan Nasional Ir. H Pangeran Mohammad Noor”. 9 November 2018.
Sjamsuddin, Helius. “Kiprah Pangeran Mohamad Noor dalam Dinamika Politik Indonesia (1945-1967)”. Jurnal Historia, Vol. I, No. 2 (April 2018). Universitas Pendidikan Indonesia.
Suhartono. Apanage dan Bekel : Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta (1830–1920). Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya. 1991.
Suseno, N. Tjilik Riwut Berkisah: Sumpah Setia Masyarakat Dayak Pedalaman Kalimantan kepada Pemerintah Republik lndonesia . Yogyakarta : Penebit Andi. 1996.
Wasito. “Ir. Pangeran Muhammad Noor : Gubernur yang Rela Berhutang untuk Membiayai APBD”. Majalah ASN, edisi 1/2019. Biro Hukum, Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian PANRB.
Zuhri, Asikin, ed. lr. P.M. Noor: Teruskan Gawi Kita Balum Tuntung. (Kerja Kita Belum Selesai). Banjarmasin : Badan Penggerak Pembina Potensi Angkatan ‘45 Kalimantan Selatan. 1981.