Negara Soviet Madiun
Negara Soviet Madiun atau yang dikenal juga sebagai Soviet Republik Indonesia merupakan puncak pemberontakan PKI Madiun 1948. Negara Soviet Madiun diproklamasikan di Madiun oleh kaum komunis pada 18 September 1948. Tokoh utamanya, yaitu Muso dan Amir Syariffudin justru tidak ada di Madiun. Hal itu dilakukan untuk menimbulkan kesan bahwa mereka tidak terlibat dalam proklamasi Negara Soviet Madiun. Berdirinya Negara Soviet Madiun merupakan puncak provokasi dan permusuhan kelompok sayap kiri terhadap Kabinet Hatta. Konflik itu sesungguhnya berawal dari tuntutan kelompok sayap kiri, terutama PKI, Partai Buruh dan Pesindo agar mereka mendapat empat kementerian penting dengan Amir Syarifuddin meneruskan jabatannya sebagai Menteri Pertahanan dalam Kabinet Hatta (Kahin 1995: 326). Akan tetapi, tuntutan itu ditolak sehingga mereka menjadi kelompok oposisi dalam Kabinet Hatta.
Kelompok sayap kiri yang terdiri dari PKI, Partai Buruh, Pesindo, Federasi Serikat Buruh, dan Partai Sosialis (tanpa Kelompok Syahrir) dalam rapat umum di Surakarta 26 Februari 1948 melakukan reorganisasi dengan muncul sebagai Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dipimpin Amir Syarifuddin. FDR dalam Program politiknya menolak Persetujuan Renville, tidak mengadakan perundingan dengan Belanda sebelum mereka mengundurkan diri dari Indonesia, nasionalisasi harta kekayaan Belanda dan orang asing lainnya tanpa ganti rugi. FDR juga menolak Program Re-Ra (Rekonstruksi dan Rasionalisasi) Kabinet Hatta. FDR mengisukan bahwa pertahanan rakyat sudah dilemahkan dan Republik Indonesia akan diserahkan kepada Belanda.
FDR pada pertengahan Juli 1948 menyusun program untuk menentang Kabinet Hatta. Program itu disebut “Menginjak Tingkat Perjuangan Militer Baru”. Dalam program itu dicantumkan dua cara perjuangan, yaitu parlementer dan non-parlementer (dengan kekuatan militer). Kekuatan FDR semakin bertambah dengan kedatangan Muso pada Agustus 1948. Muso adalah seorang tokoh PKI yang bermukim di Moskow sejak tahun 1926. Kedatangan Muso membawa perubahan besar dalam gerakan Komunis. Partai yang berhaluan komunis, Partai Sosialis dan Partai Buruh pada akhir Agustus 1948 berfusi dengan PKI. Menurut Amir Syariffudin fusi dilakukan karena perubahan keadaan politik internasional sesudah Perang Dunia II. Dengan demikian, terjadi perubahan dalam struktur polit biro PKI. Muso duduk dalam Sekretariat Umum sedangkan Amir Syariffudin menjabat Sekretaris Pertahanan (Poesponegoro & Notosusanto 1992: 154). Sejak itu kelompok kiri yang tergabung dalam FDR semakin giat melakukan oposisi terhadap pemerintah. Mereka juga melakukan persiapan yang rapi sebelum pemberontakan. Mereka menyiapkan tokoh-tokoh yang akan menggantikan para pejabat RI di Madiun. Abdul Mutholib dipersiapkan menjadi residen dan Supardi sebagai walikota Madiun. Beberapa tokoh juga disiapkan untuk menjadi bupati di beberapa kabupaten. PKI antara 10-18 September 1948 kemudian melakukan agitasi dengan menculik dan membunuh 11 pejabat pemerintah dan tujuh orang tokoh partai dan organisasi massa. Pembunuhan terhadap bupati, penilik sekolah, guru, perwira TNI dan Polri terjadi di Magetan (Anonim 2000: 258).
Pemberontakan dimulai pada 18 September 1948 dengan beberapa kali tembakan pistol di beberapa tempat sebagai isyarat. Pasukan PKI segera menguasai beberapa tempat penting, seperti Kantor karesidenan, Markas CPM, dan Markas Kompi Brigade Mobil Polisi. Bersamaan dengan itu, Sumarsono, Supardi dan kawan-kawannya memproklamasikan berdirinya “Soviet Republik Indonesia” dan pembentukan Pemerintahan Front Nasional di halaman Karesidenan Madiun. Hal itu menandai terjadinya pemberontakan PKI di Madiun. Kaum pemberontak mengangkat Kolonel Djokosuyono sebagai Gubernur Militer di Madiun dan Letnan Kolonel Dahlan sebagai Komandan Pertempuran. Kolonel Djokosuyono dalam pidato radionya menunduh TNI melakukan kampanye terhadap kelompok “pasukan revolusioner” di Solo. Keesokan harinya, Muso tiba di Madiun untuk mengambilalih pimpinan Pemerintahan Front Nasional. Muso melalui pidato radio menyerang Pemerintah RI.
Pemerintah kemudian bertindak cepat, Provinsi Jawa Timur dijadikan daerah istimewa, Kolonel Sungkono diangkat sebagai Gubernur Militer. Pimpinan operasi militer diserahkan kepada Kolonel A.H. Nasution, Panglima Markas Besar Komando Djawa (MBKD). Hal itu dilakukan karena Panglima Besar Jendral Soedirman sedang sakit (Kartasasmita & Kesowo 1995: 175). Pelaksanaan operasi militer diserahkan kepada Gubernur Militer II Jawa Tengah Kolonel Gatot Subroto. Operasi dilakukan Kesatuan Reserve Umum (KRU)-Z dari Pasukan Siliwangi.
Penulis: Haryono Rinardi
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A
Referensi
Anonim, 2000. Sejarah TNI Jilid I. Jakarta: Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi TNI.
Kartasasmita, Ginanjar, A. Prabowo & Bambang Kesowo, 1995. 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Sekretariat Negara.
Kahin, George McTurnan, 1995. Nasionalisme & Revolusi Kemerdekaan di Indonesia Surakarta: UNS Press & Pustaka Sinar Harapan.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto, 1992. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka.