Omar Dani

From Ensiklopedia
Omar Dani. Sumber: ANRI. Katalog Daftar Arsip Foto Personal, No. P06-0230


Marsekal Madya Omar Dani, sering disapa “Daned”, adalah Menteri/Panglima Angkatan Udara (Menpangau) Indonesia periode 1962-1965. Beliau lahir di Surakarta, Jawa Tengah, pada 23 Januari 1924 dari keluarga priyayi. Ayahnya, Kanjeng Raden Tumenggung Reksonegoro, adalah bupati Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Omar Dani telah menempuh jenjang pendidikan yang lengkap pada masa itu, dari Hollandsch Javaansche School (Sekolah Jawa) di Klaten, kemudian Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Kristen di Surakarta (Solo), hingga Algemeene Middlebare School (AMS) Jurusan Ilmu Pasti di Yogyakarta  (Pusat Data dan Analisa Tempo, 2019: 45).

Pada saat mengenyam pendidikan di bangku AMS, Omar Dani “mengenal” sosok Sukarno melalui buku pidato pembelaannya di depan Sidang Landraad, Bandung, pada 1930. Buku berjudul “Indonesia Menggugat”, yang ditulis dalam bahasa Melayu dan Belanda, telah membuat ia terkagum dengan tokoh yang kelas menjadi Presiden Indonesia pertama. Sehingga, ia akan dikenal sebagai seorang “Soekarnois” atau pengagum ajaran Sukarno. Sayangnya, ia tidak sempat menyelesaikan pendidikannya di AMS Yogyakarta disebabkan kedatangan pasukan Jepang pada 1942, yang kemudian menutup sekolah tersebut. Omar Dani lalu memutuskan untuk bekerja di Perkebunan Rosella milik Belanda, dan kemudian bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Salatiga dan Klaten saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada 1945.

Setelah itu, kehidupan Omar Dani diwarnai dengan berganti-ganti pekerjaan sembari berpindah lokasi dari satu kota ke kota lain. Pada 1946, ia bekerja sebagai penerjemah dan pembaca siaran berita dalam bahasa Inggris di Radio Republik Indonesia Tawangmangu dan Jakarta, kemudian menjadi informan bagi Markas Besar Tentara (MBT), hingga sebagai pegawai pada Javasche Bank (Bank Indonesia) pada 1948. Pekerjaan nonformal pun juga pernah dilakukan oleh Omar Dani, seperti juru gambar denah kantor, tukang obat keliling, dan tukang reparasi listrik (Pusat Data dan Analisa Tempo, 2020: 19-22).

Pada Juli 1950, saat usianya menginjak ke-26 tahun, Angkatan Udara mengeluarkan pengumuman mengenai pembukaan pendaftaran bagi para pemuda Indonesia untuk mengikuti pendidikan penerbangan. Kesempatan tersebut kemudian dimanfaatkan oleh Omar Dani untuk mendaftar dan berhasil lulus. Sehingga pada November 1950, ia bersama dengan 59 pemuda Indonesia lainnya berangkat ke Amerika Serikat sebagai kadet penerbang di Sekolah Penerbang Sipil Trans Ocean Air Lines Oakland Airport (TALOA) di California. Ia berhasil menyelesaikan pendidikannya pada November 1951 dan kembali ke Indonesia pada 1952. Sekembalinya ke Tanah Air, Omar Dani kemudian diberi tugas sebagai Kopilot Pesawat Dakota, Skuadron 2 di Pangkalan Udara Cililitan (sekarang Bandar Udara Internasional Halim Perdanakusuma, Jakarta). Setahun kemudian, dia menjadi Kapten Pilot dan juga dikirim oleh Angkatan Udara untuk mengikuti Pendidikan Staf Komando di Royal Air Force Staff College di Andover, Inggris, selama setahun.

Sepulang dari Inggris, Omar Dani diangkat sebagai Asisten Perwira Staf Udara Bidang Operasi, Latihan, dan Pangkalan Udara. Ia kemudian terlibat dalam operasi udara untuk menumpas Pemberontakan PRRI di Sumatra dan Pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara. Kariernya dalam Angkatan Udara semakin meningkat, ketika pada 19 Januari 1962, saat usianya belum genap mencapai 38 tahun, ia dilantik menjadi Menteri/Panglima Angkatan Udara (Menpangau) menggantikan Laksamana Udara Soerjadi Soerjadarma. Pangkatnya pun naik menjadi Laksamana Madya Udara (Marsekal Madya), membuatnya menjadi panglima termuda pada saat itu.

Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di bawah kepemimpinan Omar Dani berkembang menjadi salah satu Angkatan Udara yang diperhitungkan di Kawasan Asia Tenggara pada awal 1960-an. Bersama dengan itu, kedekatan antara Angkatan Udara dengan Presiden Sukarno juga semakin akrab. Kekaguman Omar Dani kepada Sukarno mengalami perubahan menjadi sebuah loyalitas. Omar Dani dikenal juga sebagai tokoh yang mendukung Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) yang merupakan ajaran Sukarno, dengan ungkapannya bahwa “Nasakom waktu itu untuk merekatkan seluruh masyarakat di Indonesia yang terdiri dari berbagai golongan Nasionalis, Agama, dan Komunis, bukan untuk mengkomuniskan masyarakat”. Salah satu bentuk loyalitas Omar Dani kepada Sukarno terlihat sewaktu Operasi Pembebasan Irian Barat, dimana ia meminta anak buahnya bekerja secara penuh dan semua pesawat yang dimiliki oleh Angkatan Udara dipersiapkan (Pusat Data dan Analisa Tempo, 2020: 24).

Akibatnya, karier Omar Dani dalam Angkatan Udara dan masa kejayaan Angkatan Udara Republik Indonesia juga memudar setelah terjadinya Peristiwa G30S pada 1965. Ketidakharmonisan hubungan Omar Dani dengan Mayjen Soeharto dari Angkatan Darat terkait Gerakan “Ganyang Malaysia” menambah intensitas persoalan. Bahkan, hal itu mengubah hidup Omar Dani. Keputusannya yang spontan dalam mengeluarkan pernyataan perintah harian pada 1 Oktober 1965 terkait G30S sebelum kedatangan Presiden Sukarno ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, dianggap oleh pihak Soeharto sebagai bukti keterlibatan Omar Dani dalam mendukung G30S. Omar Dani lalu mengajukan surat pengunduran diri kepada Presiden Sukarno, namun ditolak. Ia malah diberi tugas pada 14 Oktober 1965 untuk melawat ke sejumlah negara Asia dan Eropa, dimana ia berangkat bersama istri dan anak-anaknya selama ± 6 bulan dan kembali ke Jakarta (Surodjo, Soeparno, 2001).

Sekembalinya ke Indonesia pada 20 April 1966, Omar Dani sekeluarga langsung dibawa ke Cibogo dan menjalani status tahanan rumah. Omar Dani sendiri setelah diberhentikan dari jabatannya kemudian menjadi tahanan politik yang berpindah-pindah penjara. Berdasarkan keputusan dalam Sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada 24 Desember 1966, tepat di bulan Ramadhan, dia divonis hukuman mati. Ia dituduh terlibat Peristiwa G30S sebab membiarkan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma menjadi tempat pelatihan Pemuda Rakjat, sayap dari PKI, dan juga yang dituduh sebagai PKI. Pada 14 Desember 1982, dia mendapatkan grasi, dimana hukumannya berubah menjadi penjara seumur hidup. Akhirnya pada 15 Agustus 1995, dia dibebaskan. Beliau kemudian menikahi Sri Setiani, janda Komodor Udara Soesanto, setelah istri pertamanya, Sri Wuryanti wafat pada 1998. Omar Dani meninggal pada 24 Juli 2009 di Jakarta, disebabkan karena beberapa penyakit di usianya yang lanjut (Sitompul 2019).

Penulis: Ilham Daeng Makkelo
Instansi: Universitas Hasanuddin
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum


Referensi

Pusat Data dan Analisa Tempo. 2019. Omar Dani tentang G30S-CIA Terlibat, Soeharto Dipakai. Jakarta: Tempo Publishing.

Benedicta A. Surodjo, J.M.V. Soeparno, 2001. Tuhan, pergunakanlah hati, pikiran dan tanganku : pledoi Omar Dani. Jakarta: Media Lintas Inti Nusantara.

Pusat Data dan Analisa Tempo. 2020. Omar Dani: Panglima Termuda, Lalu Terpidana. Jakarta: Tempo Publishing.

Martin Sitompul. 2019. “Omar Dani, Panglima yang Dinista”. https://historia.id/politik/articles/omar-dani-panglima-yang-dinista-P4eA5/page/1.