Van Hinloopen Labberton
Dirk van Hinloopen Labberton disebut dalam Elson (2008) sebagai ahli kimia dalam bidang gula, tokoh teosofi terkemuka, asosianis, dan politikus. Ia pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Perkumpulan Teosofi di Hindia Belanda. Van Hinloopen menjadi sosok yang sering berinteraksi dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional, antara lain Tjiptomangunkoesoemo dan Satrowijono. Selain itu, tercatat beberapa tokoh pergerakan yang bergabung dalam gerakan teosofi tersebut, antara lain H. Agoes Salim, Ahmad Soebardjo, Soetomo, dan Abdul Moeis. Pemikiran mereka dalam organisasi teosofi itu mampu mengusung isu lokal dan membawa pendidikan serta budaya barat untuk memajukan budaya lokal. Labberton merupakan penggemar kebudayaan Jawa, khususnya wayang kulit. Ia juga dijuluki Kiai Santri akibat pengetahuan yang sangat luas mengenai kebudayaan Jawa. Ia menganggap bahwa wayang merupakan bagian dari tradisi yang kuat dan superior. Wayang sebagai media wahana kontak masyarakat Jawa kuno dengan pengetahuan yang lebih tinggi. Menurutnya, dalam kaitan dengan politik nasional, wayang merepresentasikan cita-cita kebangsaan masyarakat Jawa (Legene dkk., 2015, 162). Selain wayang, Labberton juga memiliki ketertarikan pada bidang bahasa dan etnologi Jawa, Melayu, serta bahasa serapan Sansekerta. Pada akhir 1904 ia ditunjuk menjadi pengajar bahasa Jawa dan Melayu di Gymnasium William III di Weltevreden, Batavia, hingga 1914 (Teguh, 2018).
Dalam kehidupan politik, van Hinloopen merupakan seorang aktivis yang menyuarakan gerakan Pertahanan Hindia (Indie Weerbaar). Ia pernah terlibat perselisihan sengit dengan perwira Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL), W.V. Rhemrev, seorang konservatif dan pemimpin Nederlandsch-Indische Fascisten Organisatie. Di depan publik, van Hinloopen dan anggota delegasi dari Indonesia dihina sebagai orang bodoh dan tidak perlu dikabulkan konsesi politik yang diajukannya. Bersama Abdul Moeis dan Dwidjosewojo, Van Hinloopen menyuarakan gagasan tentang kemandirian Hindia Belanda beserta cara yang harus dipercepat dan merumuskan strategi bertahan dengan memperkuat bidang militer, intelektual, dan ekonomi (Poeze, 2008: 109). Salah satu contoh rumusan strategi bertahan dalam bidang ekonomi adalah dengan membentuk komite khusus bidang industri manufaktur pada September 1915. Namun ternyata dalam perjalanannya, komite itu dianggap tidak mampu membawa kesejahteraan ekonomi karena tokoh-tokoh yang terlibat di dalam komite itu kurang kompeten di bidangnya, seharusnya anggota komite manufaktur memiliki rekam jejak yang baik dalam bidang industri manufaktur (Van Dijk, 2013: 427).
Dalam kaitan dengan ketahanan bidang ekonomi itu, Van Hinloopen menganggap bahwa pemerintah Belanda perlu meninjau ulang pengembangan industri gula. Ia mendefinisikan industri gula sebagai pengaruh kolonial yang progresif dan eksploitatif. Argumentasi itu dibangun berdasar hasil riset yang ia lakukan pada 1908 (Bosma et al., 2007, 135-136). Menurutnya, pemerintah kolonial Belanda perlu mempertimbangkan aspek pendidikan dan modernisasi kehidupan ekonomi yang lambat laun akan diperoleh masyarakat Hindia Belanda. Perlu ada dorongan untuk memperbaiki metode pertanian, mengapresiasi adanya kesepakatan upah buruh, dan memberikan pelatihan untuk membuat rencana strategis pengembangan. Namun, usulan itu diperdebatkan oleh golongan reformis liberal.
Van Hinloopen memiliki hubungan baik dengan beberapa bangsawan muda Jawa yang mendirikan organisasi pertama untuk kemajuan pribumi. Dia adalah presiden pertama dari Associatie van Oost en West yang didirikan pada 1912 untuk mendukung pengembangan lembaga pendidikan modern di Hindia Belanda. Pada 1918, ia dan tiga teosof Indonesia menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat Hindia). Ia juga menjadi anggota Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Pendidikan Bumiputra dan Bacaan Rakyat) yang didirikan pada 1908 guna memberi masukan kepada pemerintah kolonial berkaitan dengan penyediaan bahan bacaan untuk sekolah rakyat. Van Hinloopen adalah pendukung Politik Etis. Pada Januari 1917, ia bersama delegasi lain berdiskusi di depan Ratu, Menteri Daerah Jajahan, dan Parlemen Belanda mengenai isu pertahanan Hindia Belanda (Poeze, 2008, 110). Pada 1918, Van Hinloopen dan Budi Utomo diketahui telah mensponsori Kongres Pengembangan Kebudayaan Jawa (Mark, 2006).
Gagasan Van Hinloopen dalam memopulerkan dan menguatkan nama Indonesia menjadi isu yang menarik dikemukakan. Menurutnya nama Indonesia merujuk pada penduduk pribumi Hindia Belanda. Kemudian pada April 1921, ia bersama tiga orang Belanda mengajukan amandemen konstitusi Hindia Belanda untuk mengganti kata Hindia Belanda menjadi Indonesia. Ia secara eksplisit menyampaikan bahwa orang-orang dan suku-suku yang hidup di bumi Hindia Belanda saat ini akan mengembangkan diri menjadi bangsa Indonesia tanpa memandang ras dan warna kulit, serta secara otonom dapat menjadi mitra dengan Belanda. Van Hinloopen menegaskan bahwa mereka bukanlah kumpulan ras yang beragam, mereka dapat dianggap satu bangsa yang berasal dari leluhur yang sama. Bagi Van Hinloopen, kekuatan Indonesia akan datang dari kesadaran bangsa Indonesia bahwa mereka semua bersaudara. Namun, gagasan tersebut gagal karena kurang dukungan suara di parlemen. Mosi itu hanya didukung oleh lima suara, sementara delapan belas suara memilih untuk menolak. Dari lima suara tersebut, dua diantaranya merupakan orang Indonesia, yaitu Djajadiningrat dan Sutan Tumenggong (Elson, 2008, 43-46).
Ketika situasi di Hindia Belanda sudah tidak memberi ruang lagi baginya, Van Hinloopen memilih untuk meninggalkan Hindia Belanda dan menetap di Jepang selama dua tahun (1923-1925) sebelum akhirnya kembali ke Belanda untuk memperdalam studi tentang bahasa di Jurusan Indologi Universitas Amsterdam. Pada tahun 1936 ia pindah dan kota Ojai, Los Angeles dan menghabiskan hari tuanya di sana hingga meninggal dunia pada tahun 1961.
Penulis: Noor Naelil Masruroh
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A
Referensi
Bosma,U., Giusti-Cordero, J.,Knight, R. (Ed.). (2007). Sugarlandia Revisited: Sugar and Colonialism in Asia and the Americas, 1800 to 1940. New York & Oxford: Berghahn Books.
Elson, R. E. (2008). The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan (terjemahan). Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Legene, Susan, Purawanto, B., Nordholt, H. S. (2015). Sites, Bodies, and Stories: Imagining Indonesian History. Singapore: National University of Singapore.
Mark, E. (2006). “Asia’s” Transwar Lineage: Nationalism, Marxism, and “Greater Asia” in an Indonesian Inflection. The Journal of Asian Studies, 65(3), 461–493. http://www.jstor.org/stable/25076078
Poeze, Harry A. (2008). Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. Jakarta: Kepustakan Penerbit Gramedia.
Teguh, I. 2018. "Teosofi dan Pergerakan Nasional", https://tirto.id/cL8i.
Van Dijk, K. (2013). Hindia Belanda dan Perang Dunia I, 1914-1918. Jakarta: Banana dan KITLV-Jakarta.