Gabungan Politik Indonesia: Difference between revisions

From Ensiklopedia
No edit summary
m (Text replacement - "Penulis: Danang R" to "{{Penulis|Dhanang Respati Puguh|Universitas Diponegoro|Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.}}")
 
(2 intermediate revisions by the same user not shown)
Line 1: Line 1:
Gabungan Politik Indonesia (GAPI) adalah suatu organisasi yang merupakan kerja sama antara partai-partai politik dan organisasi-organisasi pada masa pergerakan nasional. Organisasi yang didirikan pada 21 Mei 1939 di Jakarta ini didorong penolakan Belanda atas [[Petisi Soetardjo]] pada 1936, kemunculan paham fasisme yang mengakibatkan kegentingan internasional, dan sikap pemerintah yang kurang memerhatikan kepentingan-kepentingan bangsa Indonesia (Kartodirdjo dkk. 1976: 235-236).  
Gabungan Politik Indonesia (GAPI) adalah suatu organisasi yang merupakan kerja sama antara partai-partai politik dan organisasi-organisasi pada masa pergerakan nasional. Organisasi yang didirikan pada 21 Mei 1939 di Jakarta ini didorong penolakan Belanda atas [[Petisi Soetardjo]] pada 1936, kemunculan paham fasisme yang mengakibatkan kegentingan internasional, dan sikap pemerintah yang kurang memerhatikan kepentingan-kepentingan bangsa Indonesia (Kartodirdjo dkk. 1976: 235-236).  


GAPI dipimpin oleh beberapa tokoh besar partai politik seperti [[Mohamad Husni Thamrin|Moh. Hoesni Thamrin]], [[Amir Sjarifuddin|Amir Syarifuddin]], dan [[Abikoesno Tjokrosoejoso|Abikusno Tjokrosuyoso]] (Widyarsono 2018: 5). Berdasar anggaran dasar organisasinya, GAPI bertujuan memperjuangkan hak menentukan nasib bangsa Indonesia sendiri, persatuan nasional yang berdasar kerakyatan, dan persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia (Kartodirdjo dkk. 1976: 236). Tujuan GAPI kurang lebih diimplementasikan dengan berpedoman pada Lima Pokok Perjuangan GAPI, meliputi: pelaksanaan The Right of Self-Determination; persatuan kebangsaan atas dasar demokrasi politik, sosial, dan ekonomi; pembentukan parlemen yang dipilih secara bebas dan umum, membentuk solidaritas Indonesia-Belanda untuk menghadapi kekuatan fasis, dan pengangkatan lebih banyak orang Indonesia dalam jabatan negara, termasuk Wakil Gubernur Jenderal, wakil direktur departemen, dan anggota Dewan Hindia (Aritonang 2004: 186).
GAPI dipimpin oleh beberapa tokoh besar partai politik seperti [[Mohamad Husni Thamrin|Moh. Hoesni Thamrin]], [[Amir Sjarifuddin|Amir Syarifuddin]], dan [[Abikoesno Tjokrosoejoso|Abikusno Tjokrosuyoso]] (Widyarsono 2018: 5). Berdasar anggaran dasar organisasinya, GAPI bertujuan memperjuangkan hak menentukan nasib bangsa Indonesia sendiri, persatuan nasional yang berdasar kerakyatan, dan persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia (Kartodirdjo dkk. 1976: 236). Tujuan GAPI kurang lebih diimplementasikan dengan berpedoman pada Lima Pokok Perjuangan GAPI, meliputi: pelaksanaan ''The Right of Self-Determination''; persatuan kebangsaan atas dasar demokrasi politik, sosial, dan ekonomi; pembentukan parlemen yang dipilih secara bebas dan umum, membentuk solidaritas Indonesia-Belanda untuk menghadapi kekuatan fasis, dan pengangkatan lebih banyak orang Indonesia dalam jabatan negara, termasuk Wakil Gubernur Jenderal, wakil direktur departemen, dan anggota Dewan Hindia (Aritonang 2004: 186).


Pada 4 Juli 1939 dalam Konferensi pertamanya, GAPI telah membicarakan aksinya dengan semboyan “Indonesia Berparlemen” dan menetapkan disiplin berorganisasi (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1978: 153). Seiring dengan penyerbuan Jerman terhadap Polandia yang mulai mengobarkan Perang Dunia II, pada 20 September 1939 GAPI mengeluarkan pernyataan yang kemudian dikenal dengan Manifes GAPI, yang isinya mengajak rakyat Indonesia dan Negeri Belanda untuk bekerja sama menghadapi bahaya fasisme. Kerja sama itu akan lebih berhasil apabila rakyat Indonesia diberi hak-hak baru dalam urusan pemerintahan dalam bentuk pemerintahan dengan parlemen yang dipilih dari dan oleh rakyat (Kartodirdjo dkk. 1976: 237; Ricklefs 1991: 291).
Pada 4 Juli 1939 dalam Konferensi pertamanya, GAPI telah membicarakan aksinya dengan semboyan “Indonesia Berparlemen” dan menetapkan disiplin berorganisasi (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1978: 153). Seiring dengan penyerbuan Jerman terhadap Polandia yang mulai mengobarkan Perang Dunia II, pada 20 September 1939 GAPI mengeluarkan pernyataan yang kemudian dikenal dengan Manifes GAPI, yang isinya mengajak rakyat Indonesia dan Negeri Belanda untuk bekerja sama menghadapi bahaya fasisme. Kerja sama itu akan lebih berhasil apabila rakyat Indonesia diberi hak-hak baru dalam urusan pemerintahan dalam bentuk pemerintahan dengan parlemen yang dipilih dari dan oleh rakyat (Kartodirdjo dkk. 1976: 237; Ricklefs 1991: 291).


Ketika Negeri Belanda telah dikuasai Jerman dan Indonesia dinyatakan dalam darurat perang pada Agustus 1940, GAPI kembali mengeluarkan resolusi yang menuntut perubahan ketatanegaraan di Indonesia dengan menggunakan hukum tata negara dalam masa genting. Resolusi tersebut dikirimkan kepada [[Gubernur Jenderal]], [[Volksraad (Dewan Rakyat)|Volksraad]], Ratu Wihelmina, dan kabinet Belanda di London (Kartodirdjo dkk. 1976: 238). Tuntutan GAPI kemudian direspons oleh pemerintah dengan membentuk [[Komisi Visman]] yang mendapatkan dukungan dari anggota-anggota Volksraad. GAPI memiliki sikap menolak keberadaan [[Komisi Visman]] berdasar pada pengalaman kalangan pergerakan nasional, bahwa komisi-komisi sejenis tidak berpengaruh terhadap perbaikan nasib rakyat Indonesia. Wakil-wakil GAPI memang akhirnya bersedia bertemu dengan [[Komisi Visman]] pada 14 Februari 1941 di [[Gedung Pejambon (Gedung Volksraad/Pancasila)|Gedung Raad van Indie]] untuk mengusulkan bentuk dan susunan ketatanegaraan Indonesia. Namun, pertemuan tersebut tidak menghasilkan hal-hal baru (Muljana 2008: 160).
Ketika Negeri Belanda telah dikuasai Jerman dan Indonesia dinyatakan dalam darurat perang pada Agustus 1940, GAPI kembali mengeluarkan resolusi yang menuntut perubahan ketatanegaraan di Indonesia dengan menggunakan hukum tata negara dalam masa genting. Resolusi tersebut dikirimkan kepada [[Gubernur Jenderal]], [[Volksraad (Dewan Rakyat)|''Volksraad'']], Ratu Wihelmina, dan kabinet Belanda di London (Kartodirdjo dkk. 1976: 238). Tuntutan GAPI kemudian direspons oleh pemerintah dengan membentuk [[Komisi Visman]] yang mendapatkan dukungan dari anggota-anggota ''Volksraad''. GAPI memiliki sikap menolak keberadaan [[Komisi Visman]] berdasar pada pengalaman kalangan pergerakan nasional, bahwa komisi-komisi sejenis tidak berpengaruh terhadap perbaikan nasib rakyat Indonesia. Wakil-wakil GAPI memang akhirnya bersedia bertemu dengan [[Komisi Visman]] pada 14 Februari 1941 di [[Gedung Pejambon (Gedung Volksraad/Pancasila)|Gedung ''Raad van Indie'']] untuk mengusulkan bentuk dan susunan ketatanegaraan Indonesia. Namun, pertemuan tersebut tidak menghasilkan hal-hal baru (Muljana 2008: 160).
 
{{Penulis|Dhanang Respati Puguh|Universitas Diponegoro|Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.}}


Penulis: Danang R




'''Referensi'''
'''Referensi'''


Aritonang, J.S., 2004. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Aritonang, J.S., 2004. ''Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia''. Jakarta: BPK Gunung Mulia.


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978. ''Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara''. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.


Kartodirdjo, Sartono, dkk., 1976. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kartodirdjo, Sartono, dkk., 1976. ''Sejarah Nasional Indonesia V''. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


Muljana, Slamet, 2008. Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan. Indonesia: LKiS.
Muljana, Slamet, 2008. ''Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan''. Indonesia: LKiS.


Ricklefs, M.C., 1991. Sejarah Indonesia Modern. Terjemahan Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ricklefs, M.C., 1991. ''Sejarah Indonesia Modern. Terjemahan Dharmono Hardjowidjono''. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


Widyarsono, Toto, 2018. Cahaya di Batavia: M.H. Thamrin dan Gerakan Nasionalis Kooperasi di Indonesia 1927-1941. Yogyakarta: Diandra Kreatif Anggota IKAPI.
Widyarsono, Toto, 2018. ''Cahaya di Batavia: M.H. Thamrin dan Gerakan Nasionalis Kooperasi di Indonesia 1927-194''1. Yogyakarta: Diandra Kreatif Anggota IKAPI.
{{Comment}}
[[Category:Organisasi]]
[[Category:Organisasi]]

Latest revision as of 14:48, 11 August 2023

Gabungan Politik Indonesia (GAPI) adalah suatu organisasi yang merupakan kerja sama antara partai-partai politik dan organisasi-organisasi pada masa pergerakan nasional. Organisasi yang didirikan pada 21 Mei 1939 di Jakarta ini didorong penolakan Belanda atas Petisi Soetardjo pada 1936, kemunculan paham fasisme yang mengakibatkan kegentingan internasional, dan sikap pemerintah yang kurang memerhatikan kepentingan-kepentingan bangsa Indonesia (Kartodirdjo dkk. 1976: 235-236).  

GAPI dipimpin oleh beberapa tokoh besar partai politik seperti Moh. Hoesni Thamrin, Amir Syarifuddin, dan Abikusno Tjokrosuyoso (Widyarsono 2018: 5). Berdasar anggaran dasar organisasinya, GAPI bertujuan memperjuangkan hak menentukan nasib bangsa Indonesia sendiri, persatuan nasional yang berdasar kerakyatan, dan persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia (Kartodirdjo dkk. 1976: 236). Tujuan GAPI kurang lebih diimplementasikan dengan berpedoman pada Lima Pokok Perjuangan GAPI, meliputi: pelaksanaan The Right of Self-Determination; persatuan kebangsaan atas dasar demokrasi politik, sosial, dan ekonomi; pembentukan parlemen yang dipilih secara bebas dan umum, membentuk solidaritas Indonesia-Belanda untuk menghadapi kekuatan fasis, dan pengangkatan lebih banyak orang Indonesia dalam jabatan negara, termasuk Wakil Gubernur Jenderal, wakil direktur departemen, dan anggota Dewan Hindia (Aritonang 2004: 186).

Pada 4 Juli 1939 dalam Konferensi pertamanya, GAPI telah membicarakan aksinya dengan semboyan “Indonesia Berparlemen” dan menetapkan disiplin berorganisasi (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1978: 153). Seiring dengan penyerbuan Jerman terhadap Polandia yang mulai mengobarkan Perang Dunia II, pada 20 September 1939 GAPI mengeluarkan pernyataan yang kemudian dikenal dengan Manifes GAPI, yang isinya mengajak rakyat Indonesia dan Negeri Belanda untuk bekerja sama menghadapi bahaya fasisme. Kerja sama itu akan lebih berhasil apabila rakyat Indonesia diberi hak-hak baru dalam urusan pemerintahan dalam bentuk pemerintahan dengan parlemen yang dipilih dari dan oleh rakyat (Kartodirdjo dkk. 1976: 237; Ricklefs 1991: 291).

Ketika Negeri Belanda telah dikuasai Jerman dan Indonesia dinyatakan dalam darurat perang pada Agustus 1940, GAPI kembali mengeluarkan resolusi yang menuntut perubahan ketatanegaraan di Indonesia dengan menggunakan hukum tata negara dalam masa genting. Resolusi tersebut dikirimkan kepada Gubernur Jenderal, Volksraad, Ratu Wihelmina, dan kabinet Belanda di London (Kartodirdjo dkk. 1976: 238). Tuntutan GAPI kemudian direspons oleh pemerintah dengan membentuk Komisi Visman yang mendapatkan dukungan dari anggota-anggota Volksraad. GAPI memiliki sikap menolak keberadaan Komisi Visman berdasar pada pengalaman kalangan pergerakan nasional, bahwa komisi-komisi sejenis tidak berpengaruh terhadap perbaikan nasib rakyat Indonesia. Wakil-wakil GAPI memang akhirnya bersedia bertemu dengan Komisi Visman pada 14 Februari 1941 di Gedung Raad van Indie untuk mengusulkan bentuk dan susunan ketatanegaraan Indonesia. Namun, pertemuan tersebut tidak menghasilkan hal-hal baru (Muljana 2008: 160).

Penulis: Dhanang Respati Puguh
Instansi: Universitas Diponegoro
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.


Referensi

Aritonang, J.S., 2004. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Kartodirdjo, Sartono, dkk., 1976. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Muljana, Slamet, 2008. Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan. Indonesia: LKiS.

Ricklefs, M.C., 1991. Sejarah Indonesia Modern. Terjemahan Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Widyarsono, Toto, 2018. Cahaya di Batavia: M.H. Thamrin dan Gerakan Nasionalis Kooperasi di Indonesia 1927-1941. Yogyakarta: Diandra Kreatif Anggota IKAPI.