Ahmad Husein
Kolonel Ahmad Husein adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia yang kemudian menjadi salah seorang pemimpin militer Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia yang memberontak kepada pemerintah pusat di Jakarta. Ahmad Husein lahir di Padang pada 1 April 1925 dan meninggal dunia di Jakarta pada 28 November 1998. Ia merupakan anak ketiga dan lelaki pertama dari sebelas orang bersaudara. Ayahnya bernama Abdul Kahar, seorang apoteker di rumah sakit militer dan aktivis Muhammadiyah di Padang. Adapun, ibunya bernama Sa’adiyah, seorang ibu rumah tangga. Keluarga mereka memiliki kultur keagamaan yang kuat dan semangat perjuangan (Zed & Chaniago, 2001: 11).
Di antara saudara-saudarinya, Husein dikenal sebagai anak yang disiplin, taat, dan rajin. Dalam kehidupan sehari-hari, ia juga dikenal sebagai anak yang sangat rapi saat berpakaian. Kebiasaan ini terus terbawa hingga dewasa. Pendidikan dasar Ahmad Husein dijalani di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Taman Siswa Padang selama tujuh tahun (1931-1938). Setelah selesai, ia dikirim oleh orang tuanya untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat menengah di Taman Dewasa Bukittinggi (Yusra & Al, 1998: 15).
Tidak cukup dengan ilmu yang hanya didapat di sekolah saja, Husein juga mempelajari keterampilan lainnya seperti mengetik. Ia belajar dua kali seminggu di lokasi yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Setelah tamat dari Taman Dewasa pada 1941, ia menjadi pengajar di sekolah mengetik di Taman Kemajuan yang berafiliasi dengan Taman Siswa. Namun, saat Perang Asia Timur Raya mulai berkecamuk, ia harus mengakhiri sekolahnya di Bukittinggi dan kemudian menetap di Padang. Pada saat itu Jepang sudah melancarkan serangan dan propaganda ke Padang. Hal ini kemudian menjadi penanda awal kariernya di bidang militer yang membuatnya terkenal dan memiliki nama besar (Matanasi, 2020).
Pada pertengahan tahun 1943, Ahmad Husein dan para pemuda yang pernah mengenyam pendidikan di masa sebelumnya tidak memiliki pilihan lain selain mendaftar sebagai Gyugun. Setelah mengikuti tes kesehatan dan wawancara, dia diterima untuk pendidikan bintara. Meskipun berijazah MULO, usianya yang masih 18 tahun belum mencukupi batasan umur calon perwira.
Pada masa pendidikan militer tersebut Ahmad Husein mendapat perhatian istimewa karena bakat militernya. Saat diadakan uji-coba kemampuan menembak beregu, ia keluar sebagai juara pertama. Tidak hanya karena kehebatannya dalam menembak langsung, ia juga ahli dalam teknik tembakan melengkung. Atas prestasinya, ia dinaikkan pangkat dari gunsho (sersan) menjadi shoi (letnan dua) dengan usia 19 tahun. Dengan pangkatnya yang baru menjadikan ia sebagai perwira gyugun termuda (Zed & Chaniago, 2001: 23, 31).
Pasca proklamasi kemerdekaan, pasukan gyugun dan heiho di Padang melebur menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada tanggal 10 Oktober 1945. Husein sendiri menjabat sebagai Kepala Kompi II yang bermarkas di Kampung Jati (± 15 km dari Padang). Saat pembentukan TKR ini bersamaan dengan pendaratan tentara Sekutu di Padang. Tentara sekutu ingin menguasai senjata-senjata yang ditinggalkan oleh tentara Jepang, sementara para gerilyawan juga melakukan hal yang sama. Merasa terganggu dengan gerakan tersebut, tentara Sekutu melakukan penggeledahan dan menangkapi para pemuda yang dicurigai sebagai pejuang. Masifnya gerakan yang dilakukan tentara Sekutu, membuat Ahmad Husein memindahkan markasnya ke Kampung Kuranji (Husein, 1992: 43).
Setelah pindah ke wilayah Kuranji, pasukan yang dipimpinnya kembali melebur ke dalam Divisi III/Banteng Sumatera Barat-Riau di bawah pimpinan Dahlan Djambek. Wilayah ini dikenal dalam istilah pihak Sekutu sebagai daerah “Padang Area”, sehingga Ahmad Husein yang diangkat sebagai pimpinan di wilayah tersebut ditetapkan sebagai Komandan Pertempuran Padang Area (Husein, 1992).
Berbagai pertempuran terus mewarnai kehidupan Ahmad Husein pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Bersama pasukannya, ia berhasil menjaga keamanan ibukota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi yang berada di bawah pimpinan Sjafruddin Prawiranegara pada 22 Desember 1948–13 Juli 1949. Hal itu membuat eksistensi Republik Indonesia terus terjaga, sampai mandat tersebut dikembalikan kepada Sukarno dan Hatta yang kemudian mengembalikan ibukota negara ke Jakarta pada 14 Juli 1949 (Kahin, 1979: 60).
Setelah berbagai pergolakan politik dan ekonomi yang mengguncang Indonesia pasca revolusi kemerdekaan, Ahmad Husein dengan kelompok Dewan Banteng beberapa kali mencoba melakukan perundingan dengan pemerintah pusat terkait dengan kebijakan mereka yang merugikan daerah. Namun, karena tidak kunjung menemui kata sepakat, pada 20 Desember 1956 Ahmad Husein mengambil alih pemerintahan Sumatera Tengah dari tangan Gubernur Roeslan Moelhardjo. Langkah yang dilakukan oleh Ahmad Husein ini kemudian diikuti oleh beberapa pimpinan militer lainnya di Sumatera, seperti: Malaudin Simbolon di Sumatera Utara dan Barlian di Sumatera Selatan
Rekonsiliasi nasional coba dilakukan lewat jalan Musyawarah Nasional (Munas) pada 10-13 September 1957 di Jakarta, antara pemerintah pusat dan daerah-daerah yang bergejolak. Namun, dalam kegiatan tersebut juga tidak dicapai kata sepakat di antara pihak-pihak yang berseteru. Apalagi pasca peristiwa percobaan pembunuhan yang menyasar Presiden Sukarno (Peristiwa Cikini, 30 November 1957), segala perundingan dengan daerah yang bergejolak tersebut akhirnya dibekukan atas keputusan Presiden Sukarno dan menutup pintu perundingan selanjutnya (Zed & Chaniago, 2001).
Puncaknya pada 15 Februari 1958, lewat siaran RRI Bukittinggi, Ahmad Husein mengumumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Bukittinggi. Untuk pimpinan PRRI ini diangkatlah Syafrudin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri lengkap dengan susunan kabinetnya. Kehadiran PRRI ini sebagai tandingan dari pemerintah Republik Indonesia yang berpusat di Jakarta yang tidak bisa mengakomodir kekecewaan daerah. PRRI sendiri banyak dibantu unsur asing dalam perihal dana dan persenjataan, salah satunya Amerika Serikat lewat perantara CIA (Zed & Chaniago, 1999: 109).
Gejolak antara PRRI dengan Pemerintah RI terjadi selama kurang lebih tiga tahun, tanpa menunjukkan tanda-tanda akan selesai. Akhirnya pada 3 Maret 1961, Presiden Sukarno melalui Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) A.H. Nasution meminta seluruh anggota PRRI kembali ke pangkuan ibu pertiwi dengan jaminan amnesti dan abolisi (Ricklefs, 2008: 558–559). Alhasil, Ahmad Husein beserta seluruh pasukannya menyetujui hal tersebut pada tanggal 23 Juni 1961. Mereka disambut oleh Panglima Kodam III Kolonel Soerjosoempeno, Gubernur Sumatra Barat Kaharoeddin Dt. Rangkayo Basa, dan Deputi KSAD wilayah Sumatra, Mayjen Suprapto, di Lapangan Merdeka Kota Solok. Menurut A.H. Nasution, korban jiwa yang jatuh akibat perang saudara ini kurang lebih, dari pihak PRRI sebanyak 22.174 jiwa, pihak pemerintah RI sebanyak 10.150 jiwa, dan korban sipil sebanyak 5.592 jiwa (Zed & Chaniago, 2001).
Penulis: Ahmad Muhajir
Instansi: Universitas Islam Sumatera Utara
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A
Referensi
Husein, A. (1992). Sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia di Minangkabau/Riau 1945-1950. Jakarta: Badan Pemurnian Sejarah Indonesia-Minangkabau (BPSIM).
Kahin, A. (1979). Perjuangan Kemerdekaan Sumatra Barat dalam Revolusi Nasional Indonesia, 1945-1950. Jakarta: Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI).
Matanasi, P. (2020, November). Kisah Ahmad Husein “Anak” Sukarno yang Paling Nakal. Diakses dari https://tirto.id/kisah-ahmad-husein-anak-sukarno-yang-paling-nakal-f7bJ
Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Yusra, A., and Al, S. (1998). Otobiografi Seorang Pejuang dan Pengusaha Industri Kerajinan. Jakarta: Gramedia.
Zed, M., and Chaniago, H. (1999). PRRI dalam Perspektif Militer dan Politik Regional: Sebuah Reinterpretasi. Jurnal Studi Amerika, 4(1).
Zed, M., and Chaniago, H. (2001). Ahmad Husein: Perlawanan Seorang Pejuang. Jakarta: Sinar Harapan.