Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Semesta Alam (PRRI/PERMESTA)
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA), sering disebut dengan PRRI/PERMESTA, adalah gerakan menuntut otonomi dan desentralisasi, yang berpusat di Sumatra Tengah, khususnya Sumatra Barat, dan Sulawesi Utara, terutama Minahasa. Pada mulanya tidak dimaksudkan sebagai sebuah gerakan militer menantang Jakarta, ia lebih berupa gerakan perjuangan agar pola kebijakan politik dan ekonomi pemerintah pusat di Jakarta memperhatikan aspirasi atau kepentingan daerah luar Jawa (Harvey 1989: 69).
Para promotor gerakan melihat, bahwa penguasa di pusat tidak adil terhadap daerah, padahal daerah luar Jawa adalah sumber devisa utama bagi negara. Begitu juga realitas politik terpolarisasi antara Jawa dan luar Jawa, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunias Indonesia (PKI) berpusat di Jawa, sedangkan luar Jawa diwakili Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Faktor kekecewaan lainnya adalah terdapatnya persaingan di lingkungan militer antara daerah dengan pusat, serta tidak jelasnya batas-batas wewenang sipil dan militer turut mempercepat pemberontakan (Alisjahbana 1957: 16-17; Asnan 2003: 231; Cribb dan Kahin 2004: 381).
Pada tanggal 20 Desember 1956, Ahmad Husein mengambil alih kekuasaan pemerintah Sumatra Tengah dari Gubernur Roeslan Muljohardjo. Tindakan ini menjadi titik awal gerakan menuntut otonomi luas bagi daerah. Dewan Banteng (lahir Nopember 1956) dijadikan wadah perjuangan mewujudkan perbaikan progresif dalam segala bidang, yang diikuti oleh Dewan Gajah (25 Desember 1956) di Sumatra Utara dipimpin Kolonel Simbolon, Dewan Garuda (25 Januari 1957) di Sumatra Selatan oleh Letnan Kolonel Berlian, dan PERMESTA (2 Maret 1957) di Sulawesi di bawah pimpinan Letnan Kolonel H.N.Vence Sumual (Nopriyasman 1988: 35-36). Pada bulan Maret 1957, Pemerintah mengumumkan keadaan darurat atau Staat van oorlog en beleg (SOB) bagi seluruh wilayah Indonesia.
Pada tanggal 7-8 September 1957 tiga tokoh daerah bertemu di Palembang, yaitu Letnan Kolonel Ahmad Husein, Letnan Kolonel H.N. Vence Sumual, dan Letnan Kolonel Berlian, yang melahirkan Piagam Palembang. Piagam mencakup enam pasal tuntutan utama, yaitu: 1). Mengembalikan Dwitunggal Sukarno-Hatta; 2). Penggantian pimpinan TNI; 3). Melaksanakan desentralisasi pemerintahan nasional dengan memberikan otonomi luas kepada daerah-daerah; 4). Membentuk senat; 5). Meremajakan dan menyederhanakan aparatur negara; dan 6). Larangan terhadap komunisme (Harvey 1984: 106; Kahin 2008: 307).
Kabinet Djuanda Kartawidjaja berupaya melakukan kompromi dengan pucuk pimpinan daerah melalui Munas (Musyawarah Nasional) 10-12 September 1957 dan Munap (Musyawarah Nasional Pembangunan) 25 Nopember 1957. Upaya itu tidak mencapai hasil yang diharapkan karena adanya peristiwa Cikini (30 Nopember 1957), yaitu upaya pembunuhan terhadap Presiden Sukarno. Kolonel Zulkifli Lubis dituduh sebagai dalang, walau ia menolak tuduhan itu dan menyingkir ke Sumatra. Menjelang akhir 1957 dan awal 1958, bergabung tokoh Masyumi di Sumatera, seperti Burhanuddin Harahap, Sjafruddin Prawiranegara, dan Muhammad Natsir, kemudian dikuti Sumitro Djojohadikusumo dan Assaat dari Partai Sosialis Indonesia (PSI). Para pemimpin sipil-militer hadir dalam pertemuan di Sungai Daerah (9 Januari 1958), yaitu Vence Sumual, Berlian, Ahmad Husein, Dahlan Djambek, Simbolon, Zulkifli Lubis, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, M. Natsir, dan Sumitro Djojohadikusumo (Harvey 1984: 117)
Pada tanggal 10 Februari 1958, Simbolon dan Ahmad Husein mengeluarkan ultimatum yang dituangkan dalam “Piagam Perjuangan untuk Menyelamatkan Negara”, yaitu: 1). Supaya dalam lima hari Kabinet Djuanda mengembalikan mandatnya kepada Presiden/Pejabat Presiden; 2). Bahwa Hatta dan Hamengkubuwono diangkat sebagai formatur dari kabinet yang baru; (3). Bahwa Hatta dan Hamengkubuwono menerima permintaan ini; 4). Bahwa parlemen mengizinkan Hatta dan Hamengkubuwono membentuk kabinet baru; dan 5). Bahwa Sukarno supaya bersedia kembali kepada kedudukannya menurut UUDS 1950 dan memberi kesempatan dan bantuannya kepada nasional zaken kabinet yang dibentuk itu (Nopriyasman 1988:52-53; Harvey: 118).
Pemerintah Djuanda menolak ultimatum tersebut. Seterusnya, A.H. Nasution membekukan Komando Sumatra Tengah, dan menetapkan semua kesatuan hanya menerima perintah langsung dari Kepala Staf Angkatan Darar (KASAD). Pada tanggal 12 Februari 1958, Nasution memerintahkan menangkap Ahmad Husein, Zulkifli Lubis, Dahlan Djambek, dan Simbolon, dan memecat mereka dengan tidak hormat. Pada tanggal 15 Februari 1958, Ahmad Husein selaku Ketua Dewan Perjuangan mengumumkan berdirinya PRRI dengan Perdana Menteri/Menteri Keuangan adalah Syafruddin Prawiranegara; Menteri Luar Negeri: Maluddin Simbolon; Menteri Dalam Negeri: Dahlan Djambek (kemudian digantikan Mr. Assaat); Menteri Pertahanan/ Kehakiman: Burhanuddin Harahap; Menteri Pendidikan/Kesehatan: Mohammad Sjafei; Menteri Perhubungan/ Perdagangan: Sumitro Djojohadikusumo; Menteri Pembangunan (Industri dan Pekerjaan Umum): J.F. Warrow; Menteri Pertanian/Perburuhan: Saladin Sarumpaet; Menteri Penerangan: Saleh Lahade; Menteri Agama: Mochtar Lintang; dan Menteri Sosial: Abdul Gani Usman. Jabatan panglima Angkatan Darat ditempati Letnan Kolonel Vence Sumual (Nopriyasman 1988: 53; Asnan 2003: 232; Kahin 2008: 328).
Pemerintah bertindak tegas dan keras kepada PRRI. A.H. Nasution membekukan kegiatan Dewan Banteng, Masyumi, PSI, dan menyiapkan operasi gabungan darat, laut, dan udara bersandi “Operasi 17 Agustus” di Sumatra Barat. Operasi militer dimulai sejak bulan Februari, yang dalam tiga bulan berhasil menguasai pusat-pusat perlawanan di Sumatera (Kahin 2008: 338). Kota-kota strategis di Sulawesi pun dikuasai, sehingga basis kekuatan PRRI/PERMESTA terbatas hanya di daerah pedalaman Minangkabau dan daerah Minahasa di Sulawesi Utara.
Kekalahan pihak PRRI menjadi bukti bahwa perjuangan mereka tidak terorganisir dengan baik, sehingga pihak Asing (Amerika) yang sempat memberi sinyal dukungan, mengubah kebijakannya. PRRI pun tidak satu suara terkait ultimatum dan proklamasi PRRI, sebab ada pihak yang tidak setuju dengan tindakan tersebut. Kelompok ini diwakili oleh Mayor Nurmantias dan Kaharuddin Dt. Rangkayo Basa dan mereka bekerjasama dengan tentara pusat. Tidak adanya dukungan Hatta dan Hamengkubuwono terhadap ultimatum dan proklamasi PRRI juga turut melemahkan gerakan (Nopriyasman 1988: 59; Kahin 2008: 338)
Tindakan terakhir tokoh-tokoh PRRI adalah memproklamasikan RPI (Republik Persatuan Indonesia) yang berbentuk federal pada bulan Februari 1960. Tindakan ini justru menambah ketidakkompakan dan perpecahan, karena berarti melenceng dari tujuan semula yang menginginkan agar gerakan tetap dalam koridor negara kesatuan. PRRI berakhir 17 Agustus 1961 ditandai keluarnya Kepres No. 449/1961 tentang amnesti dan abolisi kepada semua orang yang terlibat PRRI/PERMESTA. Untuk suatu masa, PRRI/PERMESTA memberi dampak bagi daerah, melahirkan “traumatis” dan psikologis bagi masyarakat, dan bagi tokoh puncak pemberontak terkena karantina politik dan tahanan militer hingga berkuasanya Orde Baru (Kahin 2008: 359).
Penulis: Nopriyasman
Instansi: Universitas Andalas
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan
Referensi
Asnan, Gusti. 2003. Kamus Sejarah Minangkabau. Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM).
Cribb, Robert & Kahin, Audrey. 2012. Kamus Sejarah Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
Havey, Barbara Sillars. 1989. PERMESTA Pemberontakan Setengah Hati. Jakarta: Grafitipers.
Kahin, Audrey. 2008. Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Jakarta: Yayasan obor Indonesia.
Nopriyasman, 1988. “Gaduh di Ranah Minang: Suatu Studi Tentang Pemberontakan PRRI di Sumatera Barat (1958-1961)”, Skripsi S1. Padang: Fakultas Sastra Universitas Andalas.