Prawoto Mangkusasmito

From Ensiklopedia

Prawoto seorang tokoh yang berperan besar dalam perjuangan bangsa. Ia mengawali karir dari seorang pendidik di Kebumen hingga menjadi ketua partai Islam terbesar di jamannya, Masyumi.  Dia membawa Masyumi  menjadi partai yang memperoleh suara terbesar kedua pada masa pemilihan umum 1955.

Prawoto Mangkusasmito lahir di desa Tirto, Grabag, Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 4 Januari 1910. Prawoto merupakan putra pertama dari pasangan Supardjo Mangkusasmito dan Suendah. Ayah Prawoto dari keluarga santri yang taat beragama dan seorang mantri candu. Sejak kecil Prawoto sudah belajar mengaji di pesantren dan surau. Pemahaman agama yang diperolehnya dipraktikannya dalam kehidupan kesehariannya (Hakim 2017: 99). Kondisi tersebut membuat Prawoto biasa hidup mandiri. Sejak usia 17 tahun Prawoto sudah membiayai kehidupannya sendiri lepas dari orang tua dan membiayai sekolahnya sendiri (Pawoto 1971:18).

Prawoto menikah menikah pada usia 22 tahun dengan Rabingah, Putri pasangan Sudjiman Hardjotaruno dan Rubinem, dari keluarga kraton Pakualaman, pada tanggal 20 Oktober 1932. Pernikahan Prawoto dengan Rabingah dikarunia  empat orang anak, yaitu Sri Sjamsiar (1943), Arif Budiman (1946), Nuruddin Ahmad (1949), dan Ahmad Basuki (1952).

A.R. Baswedan menyebutnya sebagai pejuang ideologis yang teguh dan mempunyai kepribadian khas. Prawoto tidak akan membiarkan begitu saja kalau akidahnya disinggung orang. Sebagai seorang pemikir politik Masyumi, Prawoto sangat teliti dan cermat dalam mengambil tindakan dan keputusan. I.J. Kasimo, menyebut Prawoto sebagai pemimpin yang memiliki sifat kejujuran, sederhana, tawakal, dan gigih dalam mempertahankan prinsip kebenaran. Mochtar Lubis menyebut Prawoto sosok pemimpin atau tokoh bangsa yang berkelas. Prawoto berkarakter kuat dalam membela keyakinan yang dianutnya, tidak pragmatis, mudah senyum, sopan, dan sangat pandai menahan perasaan. Menurut Muhajir Effendy, jejak Prawoto dilandasi dengan keyakinan dan pemahaman agama yang utuh.

Pendidikan formal Prawoto diawali pada 1917, ketika ia memasuki pendidikan dasar di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Temanggung. Setamat HIS, Prawoto melanjutkan pendidikannya Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang diselesaikannya pada bulan Mei tahun 1928. Pada saat belajar di MULO, Prawoto berkenalan dengan Yusuf Wibisono, Wilopo dan Mohammad Sardjan.

Setelah menamatkan pendidikan di MULO, Prawoto melanjutkan pendidikan di Middelbare School (AMS) bagian B di Yogyakarta yang diselesaikannya pada tahun 1931. Setamat dari AMS, Prawoto tidak melanjutkan pendidikannya namun, mengajar di sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs Netral di Kebumen hingga tahun 1935. Setelah mengajar selama empat tahun, Prawoto melanjutkan pendidikannya di Jakarta pada Rechts Hoogeschool dari  tahun 1935 hingga 1942. Untuk membiayai pendidikannya di RHS, Prawoto mengajar di sekolah Muhammadiyah Jakarta. Biaya Pendidikan Prawoto juga disokong oleh Rabingah yang bekerja di Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel dengan gaji cukup tinggi (Hakim 2017: 100). Prawoto tidak dapat memperoleh gelar  Meester in de Rechten (Mr) karena pada saat menjelang ujian ia jatuh sakit dan Jepang masuk menjajah Indonesia (Putra 2018: 25).

Aktivitas kegiatan Prawoto diawali sejak usia muda  ketika masih di bangku AMS dengan menjadi anggota Jong Java. Kemudian ia menjadi pengurus Jong Islamieten Bond bersama Kasman Singodimedjo pada 1934. Prawoto juga dipercaya sebagai pengelola perpustakaan Studenten Islam Studie-Club sekaligus redaktur majalah Moeslemse Revielle. Berkat keaktifannya, Prawoto dipilih menjadi ketua dari Studenten Islam Studie-Club (Saidi 1984: 40). 

Aktivitasnya di Jong Islamieten Bond dan Studenten Islam Studie-Club  memberikan pengaruh pada cara berpikir dari Prawoto, sehingga dikenal sebagai politikus yang ahli dalam mengupas permasalahan secara mendalam dan terperinci. Perkenalannya dengan Dr. Soekiman Wirjosandjojo membawa Prawoto terlibat aktif Partai Islam Indonesia di tahun 1940. Karir politiknya makin melejit ketika Prawoto terpilih menjadi komisaris untuk wilayah Jawa Barat dan berkedudukan di Jakarta dalam kongres pertama Partai Islam Indonesia.

Pada masa pendudukan Jepang, Prawoto bekerja sebagai pegawai kantor Kadaster di Jakarta. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Prawoto menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP). Ketika Mr. Asaat sebagai ketua BP KNIP diangkat sebagai pejabat Presiden RI, Prawoto  terpilih menjadi Ketua BP KNIP dari 1949-1950.

Pada saat agresi militer Belanda II, Prawoto ikut bergerilya di luar kota bersama R. Pandji Suroso, I.J. Kasimo, Zainul Arifin, dan Kasman Singodimedjo.  Ketika Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibawah pimpinan Syafrudin Prawiranegara terbentuk, Prawoto menjadi anggota Komisariat Pemerintah Pusat Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Jawa.

Peran Prawoto lainnya yang cukup menonjol di tahun 1950-an antara lain sebagai penasihat delegasi Indonesia yang pertama di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), anggota Panitia Negara Peninjauan Kedudukan Kepolisian, sebagai Wakil Ketua Panitia Negara Peninjauan Kembali Hasil-Hasil Konferensi Meja Bundar  dan  menjadi Wakil Ketua Panitia Pemilu untuk pemilihan umum yang pertama di Indonesia pada tahun 1955. Prawoto tercatat sebagai anggota Dewan Kurator Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri yang kemudian berkembang menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan Universitas Islam Negeri (UIN) pada saat ini.

Pada 1945, kongres umat Islam Indonesia yang digelar di gedung Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, memutuskan untuk mendirikan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai satu-satunya partai politik.  Inisiatif pembentukan Masyumi berasal dari tokoh-tokoh politik dan gerakan sosial keagamaan, seperti: H. Agus Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Abdul Wahid Hasyim, Dr. Sukiman Wirjosandjojo, Ki Bagus Hadikusumo, Mohammad Mawardi, Dr. Abu Hanifah dan Prawoto Mangkusasmito. Prawoto aktif dalam kepengurusan Masyumi.

Aktivitas politiknya di Masyumi dimulai dengan menjadi Sekretaris II  pada awal terbentuk dan menjadi Ketua Masyumi menjelang dibubarkannya. Pada saat Prawoto Mangkusasmito menjadi Ketua Pemimpin Pusat partai Masyumi, ia pernah mengatakan bahwa perjuangan dalam partai Masyumi merupakan Jihad Asghar. Yang dimaksud Prawoto Mangkusasmito dengan Jihad Asghar adalah jihad yang lebih banyak meminta kekuatan pikiran, kekuatan akal, dan kekuatan akhlak. Oleh karena itu, menurut Prawoto Mangkusasmito, ada sembilan hal yang perlu diperhatikan yakni:

  1. Perlu adanya kebulatan tekad umat untuk memadukan tenaga-tenaga dalam lapangan politik yang sebelumnya besar.
  2. Mengikhtiarkan untuk mencapai harmoni dengan kepentingan-kepentingan di luar umat Islam agar terhindar dari pertentangan-pertentangan.
  3. Masyumi hendaknya melakukan perjuangan yang berjalan paralel dengan kehidupan bernegara dengan ikut bertanggung jawab atas persoalan- persoalan.
  4. Dalam menghadapi persoalan-persoalan hendaknya partai menggalang kembali kekuatan pikiran, kekuatan akal, dan kekuatan akhlak.
  5. Adanya penekanan perluasan lapangan usaha dalam bidang ekonomi.
  6. Memandang semua perjuangan partai politik dengan dasar kaidah-kaidah agama.
  7. Mengakomodasi pertentangan pendapat antar partai atau golongan sebagai indikasi adanya persatuan yang mengarah pada demokrasi.
  8. Menentukan suatu kepantasan berpolitik dengan adanya norma-norma, sehingga kehidupan politik dapat dijadikan seni tersendiri. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara mengoreksi diri terhadap potensi politik yang dimiliki.
  9. Hendaknya Masyumi tetap pada khittah perjuangan dalam menempuh jalan yang masih panjang.

            

Pada masa penyusunan dasar negara, terdapat perubahan kalimat pada poin satu Pancasila yang semula merupakan Ketuhanan, Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam bagi Pemeluknya diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini mengejutkan beberapa tokoh politikus muslim yang turun berunding sebelumnya. Menanggapi hal tersebut, Prawoto Mangkusasmito pernah membuat pernyataan sebagai berikut: ”Kepada penganut agama-agama lain di luar Islam, kami menyatakan bahwa kami tidak menaruh keberatan sedikit pun jika saudara-saudara di dalam rumusan-rumusan itu menginginkan pula jaminan untuk menunaikan syari’at agama golongan saudara”.

Selain itu, Prawoto Mangkusasmito merupakan sosok negarawan yang memiliki jasa besar terhadap proses penataan demokrasi yang berideologi Pancasila di Indonesia. Prawoto Mangkusasmito juga seorang politisi santun yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika, moralitas, mengedepankan nurani dan memiliki kepekaan sosial. Patriot sejati yang berjuang keras menegakkan supremasi hukum dan konstitusi untuk melawan hegemoni kekuasaan dalam berbangsa dan negara.

Pada saat Masyumi dibubarkan, Prawoto memilih jalur hukum untuk menuntut kepemimpinan Presiden Sukarno dengan Mr. Mohamad Roem sebagai kuasa hukumnya. Tuntutan ini diajukan pada 9 September 1960 kepada ketua pengadilan negeri istimewa Jakarta, empat hari sebelum Partai Masyumi  menyatakan bubar. Prawoto Mangkusasmito beserta Mohammad Roem menempuh semua proses yuridis untuk mengembalikan identitas Masyumi dari partai Islam yang mendukung Pancasila sebagai ideologi Indonesia.

Pada tahun 1952, Prawoto diberikan mandat oleh presiden untuk membentuk sebuah kabinet baru bersama dengan Sidik Djojosukarto dari PNI. Sayangnya, keduanya gagal mencapai kesepakatan dan mengembalikan mandatnya kembali di tahun yang sama. Presiden kembali memberi mandat kepada Prawoto mewakili Masyumi dan Wilopo dari PNI untuk membentuk kabinet baru. Keduanya berhasil Menyusun kabinet Wilopo-Prawoto pada resmi diumumkan pada 1 April 1952 dengan Wilopo sebagai Perdana Menteri dan Prawoto sebagai wakilnya. Prawoto yang duduk di kursi Wakil Perdana Menteri menjadi pengalaman menarik baginya dalam perpolitikan nasional.

Pada Pemilu 1955 empat partai yang mendapat suara tertinggi adalah PNI, Masyumi, NU dan PKI. Prawoto ditunjuk oleh Masyumi untuk menjadi anggota parlemen sekaligus menjadi anggota konstituante.  Prawoto kemudian menduduki pimpinan Konstituante Bersama Wilopo. Ketika memimpin sidang konstituante, Prawoto bersikap tegas dan ketat terhadap aturan. Ia juga menghapuskan budaya jam karet setiap kali ia memimpin sidang dan selalu dimulai tepat waktu.

Pada 21 Februari 1957, Sukarno mencetuskan gagasan Demokrasi terpimpin melalui Konsepsi Presidennya. Konsep tersebut ditanggapi Prawoto dengan sebuah tulisan “Jiwa dan Semangat 45 Masyumi Menolak Suatu Machsstaat”. Prawoto mengungkapkan bahwa Demokrasi Terpimpin akan memunculkan seorang “maha pemimpin” dan “pemimpin dari suatu kekuasaan yang menempatkan dirinya di atas hukum, permulaan dan pertumbuhan ke arah suatu negara kekuasaan (maachts-staat) tidak dapat diterima. Status “maha pemimpin” sangat berbahaya  karena kecenderungan bertindak di luar sistem dan berpotensi mengangkangi hukum (Historia, 27 Januari 2014).

Penunjukan Djuanda sebagai Perdana Menteri menggantikan kabinet Ali Sastro II menimbulkan kekecewaan dari tokoh-tokoh politik di Indonesia. Mereka mengeluarkan ultimatum agar Kabinet Djuanda membubarkan diri dan memberikan mandatnya pada Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX.  Namun hal ini tidak ditanggapi dan dibalas dengan ancaman. Hal ini mengakibatkan diproklamirkannya PRRI. Munculnya PRRI membuat kehebohan di berbagai kalangan masyarakat termasuk Masyumi. Hal ini menimbulkan konflik di dalam tubuh Masyumi dimana beberapa tokohnya terlibat dalam PRRI. Menurut Prawoto, keterlibatan anggotanya dalam PRRI adalah murni atas keinginan pribadi. Partai sendiri tidak ada yang menyetujui keberadaan PRRI. 

Meskipun masa jabatannya sebagai ketua tidak berlangsung lama, Prawoto memastikan Masyumi tidak menjadi partai terlarang yang dapat membahayakan anggotanya. Selain menghindari konflik pemikiran yang dimiliki, Prawoto menunjukkan bahwa ia merupakan orang yang memiliki pikiran secara yuridis formal. Pemilihan strategi politiknya dapat menyelamatkan partai Masyumi dari pembubaran baik dengan cara tunduk kepada kebijakan Sukarno. Melalui kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Prawoto, terlihat bahwa ia bukan orang yang ingin mendapatkan kesenangan di atas penderitaan orang lain.

Selain politik, Prawoto juga berperan besar dalam pembentukan Yayasan Asrama Pelajar Islam (YAPI) dan Yayasan Pembangunan Ummat (YPU). Ketika pengakuan kedaulatan diperoleh, banyak pelajar bekas laskar-laskar pejuang yang datang ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya. Hal ini mendorong Natsir, selaku Perdana Menteri pada saat itu, dan Prawoto untuk membangun asrama pelajar. Prawoto menggandeng tokoh Masyumi lainnya untuk membantu proses pengurusan dan pengelolaan yayasan yang dibentuk (Hakim, 2017: 104).

Berkat dukungan dari Prawoto, para pelajar Islam akhirnya berhasil mendirikan Yayasan Asrama Pelajar Islam (YAPI) dengan Akta No. 63 tanggal 26 Mei 1952. Setelah terbentuknya yayasan tersebut kemudian dibangun asrama mahasiswa Sunan Gunung Jati di Jalan Bunga, yang kemudian dikenal sebagai Asrama YAPI jalan Bunga. Setelah pembangunan di Jalan Bunga, asrama YAPI berikutnya di bangun di Jalan Sunan Giri, Rawamangun. Kedua asrama tersebut sampai saat ini masih ada (Hakim 2017: 1004).

Kondisi politik Indonesia semakin bergejolak di awal tahun 1960-an, mendorong Prawoto berpikir untuk menyelamatkan aset-aset Masyumi yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam rangka itu, Prawoto kemudian membangun Yayasan Pembangunan Ummat (YPU) yang bermarkas di Masjid Al Furqon, Jalan Kramat Raya No. 45 Jakarta, yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi Kantor Pusat Dewan Dakwah Islamiyah dan aset Gedung YPU dialihkan menjadi aset Dewan Dakwah.

Jatuhnya Masyumi dengan dibubarkannya pada tahun 1960, pada awalnya mendorong tokohnya untuk menempuh jalur hukum walaupun kecil peluangnya. Namun akhirnya tokoh-tokoh Masyumi dijebloskan ke penjara pada 16 Januari 1962, salah satu diantaranya Prawoto Mangunsasmito. Tokoh-tokoh Masyumi baru dibebaskan pada 17 Mei 1966 pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto. Suasana pergantian penguasa mendorong tokoh-tokoh mantan Masyumi untuk melakukan rehabilitasi Partai Masyumi, namun menemui kegagalan. Prawoto masih berjuang agar Partai Muslimin Indonesia yang diizinkan berdiri oleh Presiden Soeharto menjadi rehabilitasi Masyumi secara de facto, namun  usaha ini pun gagal. Prawoto mengingatkan agar tindakan apapun yang akan diambil jangan sampai mengakibatkan perpecahan di kalangan umat Islam.

Kegagalan merehabilitasi eksistensi Masyumi, baik secara de facto maupun secara de jure, tidak membuat Prawoto dan tokoh-tokoh seperjuangannya berputus asa. Prawoto dan tokoh-tokoh seperjuangannya akhirnya mendirikan organisasi yang bergerak di bidang dakwah, dengan nama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dengan singkatan Dewan Dakwah dengan pengorganisasian dalam bentuk yayasan, karena situasi politik yang belum bisa mendukung (Hakim 2017: 105-106).

Perjuangannya tidak berhenti hingga wafatnya pada  pada tanggal 24 Juli 1970 di Banyuwangi Jawa Timur, Jenazahnya dikebumikan di pemakaman umum Blok P, Kebayoran Baru dan kemudian dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Utama Kalibata.

Penulis: Abdurrakhman


Referensi

Ahmad, Zaini Muslim. Sikap Soekarno Terhadap Partai Masyumi 1957-1960. Skripsi. Semarang: UNES, 2013.

Bajasut, SU. Alam Fikiran dan Djedjak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito, Surabaya: Dokumenta, 1972.

Fadhil Prilana, Fitra. Sikap Prawoto Mangkusasmito Terhadap kebijkan Politik Soekarno 1957-1962. Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2018.

Hakim, Lukman. Pendiri dan Pemimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Jakarta: DDII, 2017)

Noer, Deliar. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Grafiti Pers, 2000.

Ramlan, Yunadi. Perjuangan Politik Prawoto Mangkusasmito Dalam Menegakkan Demokrasi, 1955-1970. Skripsi, Jakarta: Universitas Indonesia, 1998.

Majalah Historia, 27 Januari 2014