Mas Tirtodharmo Haryono
Letnan Jenderal Mas Tirtodharmo Haryono adalah perwira militer dan pahlawan revolusi. Sebelum menjadi seorang militer, ia menempuh pendidikan kedokteran di Ika Daigaku Jakarta, sekolah kedokteran yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang (Bachtiar, 1988: 125). Tak hanya Haryono, terhitung banyak alumni Ika Daigaku yang berubah profesi menjadi tentara, diplomat, dan pegawai pemerintahan lainnya (https://fk.ui.ac.id/sejarah.html ).
Sebagai seorang pahlawan revolusi, mayoritas tulisan mengenai M.T. Haryono menekankan pada kemangkatannya yang tragis. Namun, hanya sedikit tulisan yang mengapresiasi kehidupannya yang cemerlang. Salah satu kecemerlangan perwira angkatan darat kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924 itu ditopang oleh kemampuannya untuk berkomunikasi dengan baik dan penguasaannya atas berbagai bahasa asing (Disjarah, 1982: 47).
Kemampuan komunikasi ini membawa Haryono pada jabatan sebagai kepala biro penerangan dan juru bicara staf Angkatan Perang RI pada Desember 1948. Kombinasi dari sikap komunikatif dan statusnya sebagai poliglot memberikannya kesempatan untuk menjadi perwira yang diperbantukan pada delegasi Konferensi Meja Bundar pada November 1949 di Den Haag. Di meja perundingan itulah, Mayor Haryono mempraktikan kefasihannya dalam setidaknya tiga bahasa asing: Inggris, Belanda, dan Jerman. Kala itu, Mayor Haryono adalah perwira termuda di delegasi KMB yang bertolak ke Belanda dan bertugas sebagai sekretaris atas pemimpin-pemimpin tentara seperti Kolonel T.B. Simatupang, Kolonel Subijakto (AL), Kolonel Suryadarma (AU), dan Letnan Kolonel Daan Jahja (Dina Sejarah Militer, 1968: 235).
Selepas penyerahan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda, Mayor Haryono diangkat sebagai atase pertahanan di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Belanda. Pengangkatan sebagai salah satu utusan militer pertama Indonesia di Eropa ini terjadi tepat 22 hari setelah pernikahannya pada 2 Juli 1950 dengan Muriatni, seorang perempuan yang berasal dari Tegal (Disjarah, 1982: 48) .
Ketika bertugas di Belanda, Mayor Haryono menghadapi setidaknya dua masalah. Pertama, pemerintah Belanda memergoki dua kapal bernama “Blitar” dan “Talisse” yang memuat senjata “selundupan” dan akan bertolak dari Jakarta menuju Papua Barat. Kala itu, Indonesia dan Belanda terikat dalam sebuah uni, dan tindakan tersebut, menurut hemat pemerintah Belanda, adalah sebuah pelanggaran atas “persahabatan” yang terjalin. Sebagai utusan militer Indonesia di Belanda, Mayor Haryono turut dimintai keterangan oleh pemerintah Belanda yang berkedudukan di Den Haag (Het Parool, 2-1-1952).
Kedua, Mayor Haryono pernah menjadi sasaran rencana pembunuhan oleh sekelompok veteran perang Belanda. Rencana pembunuhan ini gagal dan para pelakunya diburu oleh kepolisian setempat. Setelah diringkus, salah satu pelaku, Meine Pot, mengaku sebagai mantan anak buah Raymond Westerling, perwira Belanda yang bertanggungjawab atas pembantaian di Sulawesi Selatan dan gerakan APRA (De Waarheid, 26-5-1952)
Sepulangnya ke Indonesia, M.T. Haryono menduduki beberapa jabatan di bidang inspektorat dan sebagai staf bagi pimpinan tentara. Namun, di akhir tahun 1959, Kolonel M.T. Haryono dipercaya untuk memimpin organisasi intelijen Angkatan Darat (Disjarah, 1982: 53). Di dalam kapasitas inilah, beliau, bersama dengan dua pahlawan revolusi lainnya, Sutoyo Siswomihardjo dan Siswondo Parman, menginvestigasi suatu skandal bisnis tentara yang melibatkan Kolonel Suharto, panglima divisi Diponegoro di Jawa Tengah kala itu (Subandrio, 2000: 78).
Kurang lebih satu tahun sebelum mangkat, M.T. Haryono dinaikkan pangkatnya menjadi mayor jenderal dan menduduki jabatan sebagai Deputi III Menteri Panglima Angkatan Darat. Ketika mengemban jabatan ini pula, ia dijemput paksa oleh Cakrabirawa yang beroperasi di bawah komando Sersan Bungkus pada dini hari, 1 Oktober 1965. Karena melawan, Mayjen Haryono ditembak di tempat dan dilempar ke truk oleh pasukan yang menculiknya.
Sejatinya, penculikan ini berusaha dihentikan oleh tetangganya yang merupakan keluarga dari Mayor Jenderal Soehario “Hario Kecik” Padmodiwirio, Panglima Daerah Militer Mulawarman. Di pagi hari, keluarga Hario Kecik pula yang mengantar Nyonya Haryono untuk mencari keberadaan suaminya (Pradmodiwiryo, 2001: 79-83). Tentu, seperti diketahui, Mayor Jenderal Haryono ditemukan tidak bernyawa di daerah Lubang Buaya bersama dengan enam perwira lainnya. Untuk menghormati jasa-jasanya, pangkatnya dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal Anumerta pada 5 Oktober 1965.
Penulis: Satrio Dwicahyo
Instansi: Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Bachtiar, Harsja W. Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Jakarta: Penerbit Djambatan, 1988.
De Waarheid, 26-5-1952
Dinas Sejarah Militer Kodam Diponegoro. Sedjarah TNI-AD Kodam VII/Diponegoro. Semarang: Jajasan Penerbit Diponegoro, 1968.
Dinas Sejarah TNI AD. Biografi 9 Pahlawan Revolusi Indonesia. Bandung: 1982, Dinas Sejarah TNI AD.
Het Parool, 2-1-1952
https://fk.ui.ac.id/sejarah.html
Padmodiwiryo, Suhario. Memoar Hario Kecik II, 2001.
Subandrio. Kesaksianku Tentang G-30-S. Jakarta: Forum Pendukung Reformasi Total, 2000.