Gedung Indonesische Club
Indonesische Clubhuis atau Indonesische Clubgebouw adalah sebuah gedung di Jalan Kramat nomor 106. Pada tahun 1927, gedung tersebut digunakan sebagai pusat pergerakan organisasi pemuda. Gedung ini merupakan sekretariat bagi Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), sekaligus kantor majalah Indonesia Raja yang dipublikasikan oleh PPPI. Sebelumnya, gedung ini bernama Commensalen Huis, sebuah gedung milik Sie Kong Lian yang disewa oleh para pelajar School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) dan Rechtsschool (RS) untuk tempat tinggal dan belajar bersama. Sejumlah pelajar STOVIA dan RS pernah tinggal di Commensalen Huis, antara lain Muhammad Yamin, Amir Syarifuddin, Suryadi (Surabaya), Suryadi (Jakarta), Assaat, Abu Hanifah, Abas, Hidayat, Ferdinand Lumban Tobing, Sunarko, Kuncoro Purbopranoto, Mohammad Amir, Rusmali, Mohammad Tamzil, Sumanang, Sambujo Arif, Mokoginta, Hassan, dan Kacasungkana (Museum Sumpah Pemuda n.d.).
Gedung yang menjadi pusat pergerakan pemuda ini juga sering mendapat kunjungan dari organisasi pemuda di luar Jakarta, yaitu dari kelompok Algemeene Studie Club Bandung untuk berdiskusi tentang pemikiran-pemikiran mereka dalam perjuangan. Hingga akhirnya, pertukaran pemikiran tentang perjuangan mencapai kemerdekaan itu sampai pada pelaksanaan Kongres Pemuda Kedua pada 28 Oktober 1928. Sugondo Joyopuspito, Ketua PPPI pada saat itu, dipilih sebagai Ketua Kongres pada persiapan tanggal 15 Agustus 1928. Kongres tersebut menghasilkan sebuah janji antara para pemuda yang mengikutinya, yaitu Sumpah Pemuda, sehingga nama gedung berganti menjadi Gedung Sumpah Pemuda (Koesno 2021).
Gedung ini menjadi bagian dari peristiwa bersejarah bagi perkembangan intelektual dan kematangan nasionalisme organisasi pemuda Indonesia pada masa pergerakan. Sumpah Pemuda merupakan puncak dari keteguhan sikap dan keinginan besar para pemuda untuk mempersatukan perbedaan latar belakang budaya, agama, etnis, dan suku, yang pada akhirnya menyadarkan cita-cita yang sama-sama mereka miliki, yaitu kemerdekaan di masa yang akan datang. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” bersumber dari janji yang diucapkan para pemuda: bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa persatuan yang satu, yaitu Indonesia. Hasil dari kongres ini menjadi dasar bagi hubungan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang kaya akan perbedaan (Setiawan & Aman 2018; Indonesia Circle Newsletter 1978; Yayasan Sumpah Pemuda 1984).
Sejumlah peserta kongres menyampaikan gagasannya dengan menggunakan bahasa Melayu/Indonesia, berbeda dengan kongres pertama yang diadakan pada tahun 1926 yang masih sepenuhnya menggunakan bahasa Belanda, sebagai bahasa yang sehari-hari mereka gunakan ketika bersekolah. Penggunaan bahasa Melayu/Indonesia ini menimbulkan resistensi tertentu dari para pemuda terhadap pihak Belanda yang turut hadir untuk mengawasi jalannya kongres (Foulcher 2007).
Setelah kongres berakhir, dan para pemuda yang sebelumnya menyewa gedung ini untuk tempat tinggal dan belajar bersama, lulus sepenuhnya pada tahun 1934, maka gedung ini disewakan kepada pihak lain, yaitu Pang Tjem Jam yang menggunakan tempat ini sebagai rumah tinggal hingga 1937. Selanjutnya, gedung disewakan kepada Loh Jing Tjoe dan menjadi toko bunga hingga tahun 1948. Gedung ini sempat menjadi Hotel Hersia antara tahun 1948 sampai 1951, sebelum dijadikan sebagai gedung kantor dan mess pegawai Inspektorat Bea dan Cukai Republik Indonesia (Koesno 2021). Akhirnya di tahun 1973, Pemerintah Daerah DKI Jakarta di bawah pimpinan Gubernur Ali Sadikin memugar Gedung Kramat 106. Pekerjaan pemugaran dimulai pada 3 April 1973 dan berakhir pada 20 Mei 1973. Gedung Kramat 106 beralih fungsi menjadi Gedung Sumpah Pemuda, yang diperuntukkan sebagai museum yang mengenang peristiwa Kongres Pemuda Kedua 1928 (Safwan 1973).
Penulis: Linda Sunarti
Instansi: Institut Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum
Referensi
Safwan, Mardanas (1973). Peranan Gedung Kramat 106 dalam melahirkan Sumpah Pemuda. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta.
Foulcher, Keith (2000). “Sumpah Pemuda: the making and meaning of a symbol of Indonesian nationhood”, Asian Studies Review 24(3): 377-410. DOI: 10.1080/10357820008713281.
Indonesia Circle Newsletter (1978). “Sumpah Pemuda”, School of Oriental & African Studies, 6(17): 43. DOI: 10.1080/03062847808723721.
Koesno, Dhita (2021). “Sejarah Museum Sumpah Pemuda: Berawal dari Rumah Tinggal”, Tirto, 27 Oktober 2021. https://tirto.id/sejarah-museum-sumpah-pemuda-berawal-dari-rumah-tinggal-f6mP.
Museum Sumpah Pemuda (n.d.). “Sejarah Gedung”, https://museumsumpahpemuda.kemdikbud.go.id/sejarah-gedung/.
Setiawan, Johan & Aman (2018). “Character Education Values in the Youth Pledge History Learning Materials”, Advances in Social Science, Education, and Humanities Research 323: 266-271.
Yayasan Sumpah Pemuda (1984). Pemuda Indonesia dalam Dimensi Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta: Kurnia Esa.