Johanes Abraham Dimara
J.A. Dimara adalah seorang putra Irian Barat yang mengabdikan dirinya untuk perjuangan Pembebasan Irian Barat. Dia pernah masuk ke Irian Barat pada 1952 bersama rombongan Kalalo dan Talahatu. Mereka ditangkap dan dipenjarakan, sedangkan anak buahnya dipulangkan lebih dulu yang dipimpin oleh Talahuta pada 1968 (Tanpa Pengarang, 1971: 108).
Sesuai dengan sikap keputusan-keputusan KAA Bandung tentang penghapusan penjajahan dalam bentuk apapuan, pemerintah Indonesia didesak untuk mempercepat pembentukan Provinsi Irian Jaya yang untuk sementara berkedudukan di derah Maluku (Cholil, 1971:90). Pemerintah juga didesak untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan belanda dan membatalkan perjanjian Konferensi Meja Bundar secara unilateral sekaligus menyita semua modal belanda yang ada di Indonesia.
Pada 1956 saat Pemerintahan Kabinet Ali II, seluruh persetujuan KMB dibatalkan, termasuk segala segi politis, finansial-ekonomis dan lainnya. KMB seolah-olah tidak ada sama sekali. Sehingga Indonesia menjadi lebih bebas leluasa dalam bertindak di segala hal sesuai dengan Proklamasi Republik Indonesia 1945. Atas keputusan presiden Republik Indonesia dibentuklah provinsi otonom Irian Barat dengan ibukota sementara di Tidore. Tindakan pemerintah ini disambut hangat dan semangat oleh rakyat Irian Jaya khususnya dan daerah lainnya. Rakyat Irian juga tidak tinggal diam. Berbagai pemberontakan timbul dimana-mana. pada 1956 terjadi perlawanan di Enarotali Dan Obana. Lalu Belanda melakukan penindasan dengan mengirimkan tentara dan polisi dengan pesawat KLM dari Biak menuju Enarotali. Hampir seribu orang rakyat tewas dalam peristiwa penindasan itu. Kemudian Rakyat Asmat mengadakan pemberontakan pula. Belanda melakukan penindasan lagi dan hampir 700 orang tewas pada peristiwa tersebut (Cholil, 1971: 91).
Ketika Menteri Belanda Holders mengunjungi Sorong pada 1956, para kepala suku mendesaknya untuk mengadakan perundingan dengan Republik Indonesia dan menyerahkan Irian Jaya kembali. Belanda makin nekat untuk mempertahankan Irian Jaya dari kekuasaannya, maka dikirimkanlah kapal induk Karel Doorman.
Sejak Desember 1957, Dewan Keamanan diaktifkan yang diketuai oleh perdana menteri/menteri pertahanan dan diputuskan juga untuk menguasai perusahaan Belanda seperti KPM dan lain-lain. Kemudian Menteri Kehakiman memerintahkan semua orang Belanda yang tidak mempunyai pekerjaan supaya meninggalkan Indonesia, dan meminta kepada perwakilan diplomatik Belanda supaya menutup kantornya di seluruh Indonesia.
Kemudian presiden segera memerintahkan penyusunan rencana operasi gabungan Irian. Gerakan Rakyat Irian Barat yang terkenal dengan sebutan Grib menunjukkan sikap menentang penjajah Belanda. Mereka sering melakukan unjuk rasa, seperti ketika Menteri Belanda, Bost, mengunjungi Fak-Fak pada 1962. GRIB menuntut agar Irian Jaya dikembalikan kepada RI. Juga pada 14 Februari 1962, GRIB telah mengirimkan resolusi kepada Sekjen PBB dan menuntut agar Irian Jaya segera dikembalikan kepada RI (Tanpa Pengarang, 1986: 92).
Dalam bidang politik, setelah Indonesia membatalkan secara sepihak persetujuan KMB, maka tepat pada ultah ke 11 RI pada tahun 1956, diresmikan pembentukan Provinsi Irian Barat dengan ibukota Soasiu. Wilayahnya meliputi Irian Jaya yang diduduki Belanda, daerah Tidore, Oba, Weda Patani, serta Wasile di Maluku Utara. Sultan Tidore, Zainal Abidin Syah menjadi gubernur pertama provinsi tersebut pada september 1956. Untuk menggalang kekuatan nasional guna mempersiapkan diri dan menunjang politik konfrontasi telah dibentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat, sebagai suatu wadah penyaluran kehendak rakyat indonesia untuk menghindarkan tindakan sendiri (Cholil, 1971: 94-95).
Operasi Perintis Irian Barat sesuai dengan SK Front Nasional Pembebasan Irian Barat No.409/KPTS/FN/A5/58 tanggal 6 September 1958, merupakan salah satu komponen yang tidak terpisahkan dari Front Pembebasan Irian Barat dan ikut berjuang mempercepat kembalinya Irian Jaya ke pangkuan Indonesia. Organisasi Perintis Irian Barat merupakan satu-satunya organisasi yang menampung anggota bekas barisan-barisan rakyat yang pernah tergabung dalam pusat gabungan barisan pembebasan Irian Barat (Cholil, 1971: 95). Berdasarkan SK No.0101/KPTS/AAI/FN/1959 FNPIB 31 Mei 1959, beberapa orang tokoh perintis Irian Barat menjadi anggota Dewan Harian FNPIB yaitu R.E. Hadiwinoto dan Suyatno Hadinoto, termasuk J.A. Dimara.
Pada apel besar Perintis Irian Barat pada 29 April 1959 di Stadion Ikada membuktikan keberhasilan Perintis Irian Barat dalam mendukung pemerintah kembali ke UUD 45. Atas permintaan Sekjen FNPIB, PIB, bersama-sama anggota fungsional lainnya mengadakan apel di depan Istana Merdeka, mendesak didekritkan kembali ke UUD 45 pada 29 Juni 1959. Atas tuntutan tersebut, pada 5 Juli 1959, presiden mendekritkan kembali UUD 45. Dalam apel besar PIB, Brigjen dr. Mustopo selaku Sekjen Front Nasional Pembebasan Irian Barat sempat melakukan inspeksi barisan (Cholil, 1971: 96).
Suatu konferensi putra-putri Irian Jaya telah berlangsung di Cibogo-Bogor pada 13-14 April 1961. Suyatno Hadinoto dari PIB dan staf telah diberi kepercayaan untuk menyelenggarakan konferensi tersebut. Hadir dalam konferensi yaitu Silas Papare, Suwages, Marani, Rumagesang dan Sugoro. Adapun presidium Konferensi diketuai Silas Papare. Konferensi ini telah berhasil membentuk satu-satunya wadah organisasi putra-putri Irian Jaya bernama Gerakan Rakyat Irian Barat atau GRIB. Supaya makin terarah langkahnya, GRIB menjadi anggota fungsional dalam Badan Pembina Potensi Karya SUAD V (Tanpa Pengarang, 1986: 105).
Pasukan Khusus Badan Pembina Potensi Karya SUAD V dipimpin oleh Mayor Lang Lang Buana, menerima laporan tentang kesiapan Batalion Bantuan Tempur Perintis Irian Barat Pusat. Upacara tersebut berlangsung di halaman ex kantor Front Nasional Pembebasan Irian Barat di Merdeka Timur 6, Jakarta. Lang Lang Buana menyatakan bahwa pejuang adalah orang yang berjuang tanpa pamrih, tanpa mengharapkan pujian, tanpa mengharapkan bintang jasa, tetapi ia tahu akan tujuan perjuangannya, yaitu keutuhan wilayah RI dari Sabang sampai Merauke, bebas dari cengkraman kolonialisme dan imperialisme (Tanpa Pengarang, 1986: 107).
Pada 19 Desember 1961, Bung Karno selaku Presiden Republik Indonesia dan Panglima Tertinggi ABRI telah mengambil keputusan tegas untuk meningkatkan usaha pembebasan wilayah Irian Jaya melalui konfrontasi fisik yang dikenal sebagai Tri Komando Rakyat. Soetopo Wonoboyo adalah komandan Brigadir Tempur PIB saat konfrontasi TRIKORA berkecamuk. Dia bertemu dengan Panglima Kodam XV Pattimura, Kolonel Boesyiri, yang menjanjikan kapal di Ambon. Berulang kali dia bertemu dengan Boesyiri namun memang butuh waktu cukup lama. Pertemuan terakhirnya sebelum kapal tiba di Pelabuhan Ambon, Soetopo didampingi oleh istrinya, N.L. Soewages dan J.A. Dimara, juga Soegoro anggota MPRS ex. Digulis (Tanpa Pengarang, 1986: 119).
Sukarno menyatakan bahwa J.A Dimara mendukung adanya persatuan dan kesatuan Irian Jaya ke NKRI.
- “Kita adalah satu bangsa, kata Pak Dimara tadi malam. Kita hanya mengenal satu negara, yaitu Negara Republik Indonesia di wilayah Indonesia ini. Kita hanya mengenal satu bendera. Sang merah putih di wilayah republik ini. Kita hanya mengenal satu lagu nasional Indonesia Raya di wilayah republik ini.” (Tanpa Pengarang, 1986: 136-137).
Hal itu disampaikannya ketika membacakan TRIKORA di Yogyakarta pada 19 Desember 1961.
Pada kesempatan tersebut, Sukarno menyampaikan komando rakyat yang atau TRIKORA yang berisikan: 1. Gagalkanlah pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda-kolonial, 2. Kibarkanlah sang merah putih di Irian Barat tanah air Indonesia, 3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa (Tanpa pengarang, 198: 141).
Atas jasanya pada penggabungan Irian Barat dan Republik Indonesia, J. A. Dimara, berdasarkan SK Presiden sebagai Panglima Tertinggi, telah diangkat menjadi Mayor. Wakasad Letjen Gatot Subroto menyematkan tanda pangkat kepadanya. Mayor J.A. Dimara juga menjadi 1 dari 16 orang pembuat pernyataan untuk mendukung NKRI. Dimara adalah angkatan bersenjata Jakarta. Pernyataan tersebut dibuat di Jakarta pada 27 Februari 1963, atas nama rakyat wilayah Irian Barat. Adapun isi dari pernyataan tersebut adalah (Tanpa Pengarang, 1986: 295):
- “1. Sesuai dengan keinginan-keinginan dari kehendak Rakyat yang kami wakili telah menggunakan “hak pilih” untuk menggabung pada Republik Indonesia yang berjiwa Pancasila dan tidak menghendaki adanya plebisit tahun 1969.
- 2. Berdasar keinginan-keinginan tersebut diatas dengan menginsyafi tugas sebagai Pemimpin bersumpah bersatu-padu untuk melenyapkan sukuisme dan provinsialisme yang sentimentil untuk menghadapi pembangunan Irian Barat sesuai dengan keinginan rakyat dan Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.”
Namun peristiwa PEPERA tidak dapat terhindarkan meskipun sudah ada pernyataan tersebut. Pelaksanaan penentuan pendapat rakyat di Irian Barat terjadi di tiap kabupaten, termasuk. Kabupaten Merauke, tempat kelahiran Dimara. Beberapa waktu sebelumnya para pemuka Irian Jaya mengunjungi ibukota RI untuk meyakinkan bahwa hasil PEPERA pastilah rakyat Irian Barat memilih memelihara keutuhan wilayah Republik Indonesia, Dimara mengatakan” Rakyat Irian Barat tidak pernah berbuat sesuatu yang dianggapnya salah. Kami adalah sebagian dari pada Rakyat Indonesia yang bertanah air dari Sabang-Merauke dan Irian Barat tidak mau dipisahkan dari Indonesia” (Tanpa Pengarang, 1986: 315-316).
Penulis: Ega Rezeki Margaretha Barus
Referensi:
Tanpa Pengarang. 1986. Api Perjuangan Pembebasan Irian Barat. Jakarta: Yayasan Badan Kontak Keluarga Besar Perintis Irian Barat.
Drs. M. Cholil. 1971. Sedjarah Operasi2 Pembebasan Irian-Barat, Seri Text-Book Sedjarah ABRI. Departemen Pertahanan-Keamanan Pusat Sedjarah ABRI.