Manifesto GAPI (20 September 1939)

From Ensiklopedia

GAPI (Gabungan Politik Indonesia) adalah satu kekuatan gabungan dari partai politik untuk memperkuat perjuangan memperoleh keadaulatan Indonesia. Melalui Manifestonya pada September 1939, GAPI menghendaki dibentuknya parlemen penuh bagi Indonesia berdasarkan sendi-sendi demokrasi. Sehingga, dalam konferensi yang pertama pada 4 Juli 1939 di Batavia, GAPI berhasil merumuskan tuntutannya yang dikenal dengan “Indonesia Berparlemen”. GAPI mendorong agar rakyat harus menuntut pembentukan parlemen yang anggotanya terdiri dari wakil rakyat yang jumlahnya sesuai dengan perbandingan jumlah rakyat yang diwakili. Hal ini disebabkan oleh pendapat GAPI yang menilai bahwa hanya dengan melalui parlemen, suara dan harapan rakyat dapat diperjuangkan (Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto 1984; Sutjianingsih 1983).

Pada 21 Mei 1939, sebuah pertemuan diadakan di Batavia oleh sejumlah perwakilan dari organisasi-organisasi nasionalis. Dalam pertemuan tersebut terbentuk suatu badan konsentrasi nasional yang dikenal sebagai GAPI. Pembentukan GAPI bertujuan untuk mengadakan kerjasama antara partai-partai politik nasional serta untuk menyelenggarakan kongres Indonesia (Muljana 1986: 65). Pimpinan pertama GAPI dipegang oleh Mohammad Husni Thamrin dari Parindra, Amir Sjarifoeddin Harahap dari Gerindo, dan R.M. Abikoesno Tjokrosoejoso dari PSII.

Meletusnya Perang Dunia II pada 1 September 1939 membuat kaum nasionalis semakin gencar mengajukan tuntutannya kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, yaitu pembentukan parlemen. Pada 20 September 1939, GAPI mengeluarkan manifesto mengenai pembentukan parlemen yang kemudian dikenal “Manifesto GAPI”. Hal tersebut berdasarkan pada keadaan politik saat itu, di mana Perang Dunia II (1939-1945) sedang berkecamuk di kawasan Eropa, sehingga perlu adanya hubungan yang loyal dan saling menguntungkan dengan Belanda. GAPI mengajak rakyat Indonesia dan rakyat Belanda untuk bekerjasama dalam menghadapi bahaya fasisme. Dan, kerjasama akan lebih berhasil apabila rakyat Indonesia diberikan hak-hak baru dalam urusan pemerintahan.

Dalam hal ini, GAPI menekan Belanda agar segera memberikan otonomi sehingga dapat dibentuk tindakan bersama dalam melawan fasisme (Ricklefs 2007: 399). Dengan dikeluarkannya manifesto tersebut, muncul berbagai macam tanggapan dari berbagai pihak. Salah satunya dari golongan progresif Belanda (Kritiek en Opbouw) yang menilai bahwa manifesto yang dikeluarkan oleh GAPI tersebut harus ditanggapi dengan positif oleh Pemerintah Kerajaan Belanda (Kartodirdjo 1990: 188). Meskipun begitu, ada pula yang menanggapi negatif manifesto tersebut yang dinilai terlalu memanfaatkan kesempatan ketika Belanda sedang mengalami kesulitan.

Pada 1 Oktober 1939, GAPI mengadakan rapat umum di Batavia yang mendapatkan banyak sambutan baik dari berbagai pihak terhadap manifesto yang diajukannya, salah satunya juga dari Persatuan Arab Indonesia (PAI). Hal tersebut juga didukung oleh Konferensi PVPN (Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri) pada 23 Oktober 1939 di Surakarta, yang mendukung aksi “Indonesia Berparlemen” GAPI. Guna menyebarluaskan manifesto-nya ke seluruh wilayah Hindia Belanda, pada 23 November 1939 GAPI kembali mengadakan rapat yang membahas tentang pembentukan Komite Parlemen Indonesia di daerah-daerah. Dalam hal ini, hanya PNI-Baru yang tidak mendukung tindakan GAPI ketika hampir semua organisasi dan partai politik pergerakan lainnya menyetujui. Mereka menilai tindakan GAPI tidak jauh beda dengan mengemis kepada pihak Belanda.

Selanjutnya, pada 23-25 Desember 1939 di Batavia, GAPI menyelenggarakan Kongres Rakyat Indonesia yang dihadiri oleh perwakilan dari berbagai organisasi nasional. Sebagai bentuk perwujudan aksi “Indonesia Berparlemen”, maka harus segera dibentuk parlemen. Kongres tersebut juga menghasilkan beberapa keputusan penting, seperti: 1) menetapkan Kongres Rakyat Indonesia menjadi badan tetap, 2) penerapan Bendera Merah Putih dan Lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu persatuan Indonesia, serta 3) peningkatan pemakaian bahasa Indonesia bagi rakyat Indonesia sebagai bahasa persatuan (Sudiyo dkk. 1997: 87). Meskipun berbagai upaya telah diadakan oleh GAPI untuk “Indonesia Berparlemen”, namun hal tersebut tidak membawa hasil yang banyak. Karena situasi politik dunia yang makin gawat akibat Perang Dunia II, Belanda mengeluarkan keputusan penolakan terhadap keputusan GAPI pada 10 Februari 1940.

Penulis: Ilham Daeng Makkelo
Instansi: Universitas Hasanuddin
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum


Referensi

Kartodirdjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: PT. Gramedia.

Mulyana, Slamet. 1986. Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan. Jakarta: Inti Idayu Press.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.

Ricklefs, M.C. 2007. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.

Sudiyo. et.all. 1997. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, Dari Budi Utomo sampai dengan Pengakuan Kedaulatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Museum Kebangkitan Nasional. 

Sutjianingsih, Sri. 1983. Oto Iskandar Dinata. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.