Marthin Indey
Soroway Indey lahir di Doromena, Teluk Tanah Merah di kaki pegunungan Cycloop, Jayapura pada 16 Maret 1912. Indey adalah nama keluarganya. Seorang misionaris, Johannes Bremer, datang dari Kampung Calalar, Ambon ke Doromena. Bremer adalah seorang guru yang dikirim oleh Zending Belanda untuk mengajarkan agama Kristen di Doromena, kampung keluarga Indey. Keluarga ini menjadi keluarga pertama yang dibaptis oleh Bremer. Habel adalah nama baptis untuk ayah Soroway. Sedangkan, ‘Marthin’ adalah nama baptis Soroway, yang terus digunakan sampai akhir hayatnya (Lumintang dkk, 1997: 14). Sebagai bukti adanya jemaat Kristen di Doromena, didirikan sebuah gereja sederhana di atas tanah marga Ofide.
Bremer adalah tokoh yang berperan penting dalam kehidupan Marthin. Setelah misi penginjilannya selesai di Doromena, Bremer dan istrinya memutuskan untuk kembali ke Calalar. Selama di Doromena, mereka mengasuh banyak anak didik. Bremer memutuskan untuk membawa beberapa anak didiknya ke Doromena, termasuk Marthin. Dia memutuskan untuk turut serta ke Ambon karena merasa dia dapat bertumbuh lebih baik dan mendapatkan banyak pengalaman.
Tidak ada keterangan pasti, pada usia berapa Marthin pindah dari Doromena ke Calalar. Nampaknya dia masih kecil karena Marthin bersekolah di Sekolah Distrik atau Volkschool setelah pindah ke Ambon. Kegiatan belajar di dalam kelas bukan sesuatu yang dia sukai. Marthin lebih banyak bolos daripada duduk diam di kelas. Untuk mengisi waktu luangnya karena bolos sekolah, Marthin bekerja sebagai tukang di Dinas Pekerjaan Umum (Burgerlyk Openbaar Werken) di Ambon. Setelah tamat Sekolah Distrik, dia masih masih bekerja sebagai tukang. Dia berhasil tamat Vervolgschool pada 1926 (Lumintang dkk, 1997: 16). Pekerjaannya sebagai tukang adalah membangun rumah dan perkantoran, mulai dari Ambon, Saumlaki, Banda Neira dan Fak-fak (Irian Barat) yang merupakan wilayah pemerintahan Residen Ambon.
Pekerjaan yang dilakukannya selama lebih dari enam tahun, mengantarkan Marthin ke Sekolah Pelaut Pribumi atau Kweekschool voor Inlandsche Schepelingen di Makassar pada 1932 (Lumintang dkk, 1997: 16). Pendidikan tersebut dilalui selama dua tahun dan para lulusannya menjadi seorang marinir (Mollema: 1934). Marthin kembali melakukan pelayaran, kali ini adalah bagian dari pendidikannya, yaitu praktik pelayaran. De Zeven Provinein, kapal yang digunakan untuk pelayaran tersebut, bersandar di Surabaya.
Pekerjaannya di De Zeven Provinein adalah sebagai awak kapal selama Januari hingga Maret 1933. Namun pada 5 Februari 1933, terjadi perlawanan para awak kapal De Zeven Provinein di pantai lepas Sumatra. Para awak kapal mengadakan protes kenaikan gaji dan mogok kerja pada Februari 1933. Para awak kapal mengambil alih kemudi kapal karena upah mereka dipotong sebesar 17 persen (Prinada, 2021). Pemotongan 17 persen diberikan bagi awak kapal bumiputera sedangkan para awak kapal Belanda menerima potongan sebesar 14 persen. Pemberitaan mengenai pemberontakan tersebut tercatat dalam Medan Ra’jat dengan judul artikel ‘Pemberontakan pada Marine’. Ternyata pemberontakan tersebut diprakarsai para anggota marinir bumiputra. Beberapa di antaranya adalah Paradja, Romambi, Gosal dan Kawilarang.
Setelah berhasil dikuasai Kawilarang dan tim, De Zeven Provinein melanjutkan pelayaran ke Selat Sunda. De Zeven Provineien mendapat serangan dari kapal pemburu pemerintah kolonial yaitu, Piet Hein dan Kortemaar. Kapal De Zeven tersebut telah dikepung oleh beberapa pesawat tempur dan kapal selam pada 10 Februari 1933. Kawilarang dan tim tidak menghiraukan peringatan yang diberikan pemerintah kolonial sehingga terpaksa dilakukan tembakan. Salah satu pesawat mengeluarkan bom tepat ke De Zeven. Ada 21 orang tewas akibat serangan bom tersebut. Mayatnya dibuang di Pulau Onrust (Lumintang dkk, 1997: 19). Beberapa juga ditangkap dan dibawa ke Surabaya. Marthin, salah satu awak kapal yang selamat dan ditangkap. Marthin dianggap tidak melakukan perbuatan yang memberatkan hukumannya karena tidak termasuk tim yang memprakarsai pemogokan awak kapal De Zeven Provinein. Kawilarang sendiri di penjara selama 18 tahun.
Dua tahun mengikuti pelayaran dan bertemu banyak orang, Marthin tertarik untuk menjadi seorang polisi. Pada 1934, dia nekat pergi dari Ambon dan berlayar ke Pulau Jawa. Dia mendaftarkan diri di Sekolah Polisi Sukabumi, Jawa Barat dan berhasil diterima. Marthin memilih bidang pengkhususan yaitu spionase. Pada Desember 1935, Marthin menyelesaikan pendidikan polisinya dengan pangkat Agen Polisi Klas II. Tugas pertamanya adalah di Residen Ambon yang wilayah kerjanya meliputi Mimika, Irian Barat sebelah selatan dan Banda Neira. Marthin ditugaskan untuk menaklukkan Suku Ayam yang juga bagian dari Suku Asmat. Para polisi dilaporkan selalu kalah saat menghadapi penyerangan dari Suku Ayam. Marthin mencari cara untuk diterima oleh Suku Ayam sehingga dapat menghentikan penyerangan tersebut. Cara yang ditempuh Marthin adalah cara bijak dan terbukti jitu. Dia memutuskan masuk ke wilayah Suku Ayam tanpa menggunakan busana apapun. Ini menunjukkan niat baik Marthin untuk berbaur dengan mereka dan memulai pembicaraan. Tindakannya membuahkan hasil. Suku Ayam bersedia menerima tawaran Marthin untuk menghentikan serangan di Kakanao (Mimika) dan menerima keberadaan para polisi dan warga lainnya (Lumintang dkk, 1997: 19).
Selama 1938 hingga 1940, Marthin disibukkan dengan aktivitas “memotong leher burung”, yaitu ekspedisi dari pantai utara di Napan (dekat Nabire, ibukota kabupaten Paniai sekarang) ke pantai selatan di Mimika. Marthin memimpin tiga ekspedisi di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Tujuan dari ekspedisi ini adalah untuk membuka jalan baru dari pantai ke pegunungan di daerah pedalaman Paniai, yang dihuni suku Ekagi. Ekspedisi pertama pada 1938, yaitu mengawal Komisaris Polisi J.P.K. van Feehoud selama 8 bulan, melintasi Pegunungan Tengah. Atas jasanya, pada Oktober 1939, Marthin menerima penghargaan Trouw en Verdienste dari Pemerintah (Lumintang dkk, 1997: 21).
Ekspedisi kedua pada 1939 yaitu mengawal Komisaris Polisi Van Krieken dan Inspektur Kepala CA. Harzen, melintasi pedalaman Paniai. Ekspedisi ketiga dilaksanakan pada 1940. Marthin ditugaskan untuk mengawal seorang insinyur Belanda dari Makassar. Perjalanan ini terkait studi kelayakan pembangunan jalan dari Sungai Seruwo ke Wisselmer. Marthin dan tim berangkat dari Ambon menuju Uta dengan kapal motor Reger. Dari Uta, mereka naik kapal selama dua hari. Perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki sampai Bivak Oraya hingga ke Enarotali (Paniai). Perjalanan pulang ke Ambon diawali dengan berjalan kaki dari Paniai, menyusuri Kali Seruwo hingga keluar di Napan Wainame. Dari sana, mereka naik kapal ke Ambon.
Marthin menerima penugasan baru sejak Juli 1940 hingga Januari 1941 di Dinas Rahasia Belanda di Manokwari. Dia bertugas mengamati pergerakan orang-orang Jepang yang bekerja di perkebunan kapas Jepang Nanyo Kohatsu Kabushiki Kaisha di Ransiki, Manokwari, Nabire dan Semenanjung Wandamen. Begitu pula dengan orang-orang Jepang yang berprofesi sebagai nelayan di Pulau Roon, Meoswar dan Rumberpon. Hasil penyelidikan Marthin adalah Jepang telah mempersiapkan Manokwari sebagai basis perang Asia Timur Raya (Biografi, 1977: 21). Pada bagian tengah perkebunan, telah berdiri landasan pesawat terbang tempur. Mereka juga melakukan upacara penguburan pada malam hari. Ternyata yang dikubur adalah amunisi, granat, meriam kecil, senapan mesin, dan peluru berbagai jenis. Marthin dan tim berhasil melakukan penggalian dan menyita barang tersebut.
Untuk kesekian kalinya, Marthin dipindah tugaskan ke Ambon pada Maret 1941 hingga pecahnya Perang Dunia II. Pemindahan tersebut dimasukkan untuk memfokuskan pasukan menghadapi Jepang dan mengalihkan penjagaan para tahanan politik di Tanah Merah (beberapa di antaranya telah menjalin komunikasi dengan Marthin yaitu Sugoro yang pernah menjadi anggota Angkatan Laut, Sugoro Atmoprasodjo yang pernah menjadi guru di Taman Siswa Yogyakarta dan Hamid Siregar) kepada polisi lapangan (Vedpolitie) (Lumintang dkk, 1997:28). Selama menjalankan tugasnya sebagai spionase di daerah perbatasan, pemerintah Belanda mengangkat Marthin Indey menjadi kepala distrik sekaligus tiga distrik yaitu Arso, Yamasy dan Waris dimana dia sekaligus juga harus mengepalai pasukan tentara dan polisi.
Untuk memperkuat kekuatan Sekutu di wilayah Asia Pasifik termasuk di Hindia Belanda, Van der Plas yang pernah menjadi Gubernur Jawa Timur mengirim polisi dan tentara Hindia Belanda ke Australia pada Juli 1943. Marthin Indey menjadi salah satu anggota rombongan tersebut. Para rombongan diberangkatkan dari Tanah Merah ke Brisbane. Di sana, mereka mengikuti pelatihan terjun payung.
Pertempuran antara Sekutu dan Jepang di Irian Barat tidak dapat dielakkan. Pada 20 April 1944, Marthin masih ditugaskan ke Kotabaru. Sedangkan pada 22-23 April, Sekutu sudah mendarat serentak di Teluk Humboldt dan Teluk Tanah Merah untuk menjepit pertahanan tentara Jepang di Lapangan Sentani. Lokasinya tepat di sebelah selatan Pegunungan Dafonsoro (Cyclops), Jayapura. Kehadiran Sekutu tersebut sejalan dengan penyerangan secara gerilya yang dilakukan rakyat Irian Barat terhadap Jepang. Marthin turut serta dalam pasukan tersebut. Bersama dengan tentara Sekutu lainnya, mereka melakukan perjalanan darat untuk merebut wilayah dari tentara Jepang. Mulai dari Wakde dekat Sarmi, Biar, Numfor, Sansufor, Morotai (Halmahera Utara), lalu menyebrang ke Leyle di Filipina (Lumintang dkk, 1997: 30).
Aksi perlawanan Marthin Indey terus berlangsung bahkan setelah Jepang angkat kaki dari Irian. Bersama beberapa rekannya melakukan aksi bawah tanah. Mereka mengedarkan surat kabar Penyuluh kepada siswa, guru dan pendukung kemerdekaan Indonesia di Nica dan sekitarnya. Bersama dengan Corinus Cret, Frans Kaisiepo, Rumkorem, Silas Papare, dibentuklah Dewan Perwakilan Siswa. Mereka merencanakan aksi terbuka pada malam pergantian tahun dari 1945 ke 1946. Namun aksi tersebut berhasil digagalkan Kapten JPK van Eechoud yang pro Belanda.
Eechoud menyebarkan berita bahwa pada 25 Desember 1945 akan diadakan pembantaian umat Kristen oleh umat Islam. Para tentara KNIL yang berada di Kloofkamp, Hollandia, yang beragama Kristen segara mengadakan pembersihan di Kota Nica. Pembersihan tersebut menyasar para warga dari Jawa dan Sumatra. Operasi itu berhasil menewaskan delapan orang dari luar wilayah Irian. Tidak hanya itu, satu orang anak buah Marthin juga tewas.Rekannya seperti Corinus Crey, Hamid Siregar dan Sugoro juga ditangkap Belanda. Akibat peristiwa tersebut, Marthin menyusun rencana baru untuk melawan Belanda.
Sehubungan dengan usaha Belanda memisahkan Irian Barat dan Indonesia pada Konferensi Denpasar, 20-24 Desember 1946, para pejuang Irian Barat meminta Eechoud untuk mengikutsertakan mereka pada kegiatan tersebut. Namun permintaan tersebut ditolak. Marthin mengirimkan telegram pada Van Mook pada 12 Desember yang berisikan Irian Barat tidak dipisahkan dari Republik Indonesia. Dia juga menentang Negara Indonesia Timur. Karena tidak didengar, dia datang ke Ambon untuk melakukan pertemuan dengan para tokoh yang pro Indonesia. Mereka berhasil membentuk Partai Irian Dalam Republik Indonesia Serikat. Namun belum sempat melakukan aksi, Marthin dan kawan-kawan ditangkap pada 23 Maret 1947 (Bondan dkk, 1989: 72-75). Mereka dibebaskan pada 1 Mei 1950 (Bondan dkk, 1989: 110).
Setelah keluar dari penjara, Marthin mengetahui bahwa Konferensi Meja Bundar tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Poin ketiga dari hasil KMB yaitu “Kekuasaan terkait daerah Irian Barat akan diperbincangkan lagi satu tahun setelah KMB” (Ahmad, 2016:280), belum diselesaikan bahkan saat Marthin keluar dari penjara pada 1950.
Lama berselang, Marthin menyusun kekuatan lagi, bersama rekannya R.J. Teppy. Pada Januari 1962 di Irian Barat sambil menunggu Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) atau sekarang disebut Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD). Kehadiran RPKAD dalam hal ini Komando Mandala yang dipimpin Mayor Jenderal Soeharto sebagai panglima, sesuai dengan keputusan Presiden Sukarno (Yuda, 2021). Ini sebagai tindak lanjut dari seruan TRIKORA oleh Presiden Sukarno di Yogyakarta (Mangil, 1993:322). Tugas kesatuan ini adalah untuk merencanakan, mempersiapkan dan menggelar operasi militer untuk menyatukan Irian Barat dengan Indonesia, sesuai dengan isi TRIKORA.
Dalam aksi tersebut, Marthin berhasil membebaskan sembilan pasukan RPKAD yang ditahan oleh pasukan Belanda di Tanah Merah. Lalu mereka berlindung di hutan Sabron Dosai. Karena belum mencapai kesepakatan, sembilan orang tersebut masih disembunyikan oleh Marthin dan kelompoknya. Pertempuran antara pasukan Belanda dan RPKAD berlangsung sengit. Marthin Indey telah menampung sekitar 400 orang di Dosai dengan penjagaan ketat. Para pasukan didatangkan dari Kotabaru dan Sentani.
Sesuai dengan isi Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962, bahwa Belanda harus menyerahkan Irian Barat selambat-lambatnya pada 1 Mei 1963 (Richard, 2005: 30). Sambil menunggu hal tersebut terwujud, pemerintahan di Irian Barat akan berlangsung di bawah United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA) yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Selama hal itu belum terwujud, pasukan Indonesia di wilayah Irian Barat berada di bawah pengawasan UNTEA. Sedangkan pasukan Belanda secara bertahap ditarik keluar dari wilayah Irian Barat.
Menteri Luar Negeri Dr Soebandrio menugaskan Marthin Indey dan E. Y. Bonay untuk berangkat ke New York pada Desember 1962. Tujuannya adalah untuk memperpendek periode UNTEA di Irian Barat dan segera menggabungkan Irian Barat dengan Republik Indonesia. Selain Marthin dan Bonay, berangkat pula Ely Ujo, Kaleb Hamad, Daniel Heumasse dan Kelion Kriapan. Mereka kembali dari New York dan tiba di Jakarta pada 27 Desember 1962. Pada 31 Desember 1962, bendera Belanda resmi diturunkan dan digantikan dengan bendera Merah Putih sebagai tanda bukti sah dimulainya Irian Barat menjadi bagian dari Republik Indonesia di bawah pengawasan PBB.
Marthin Indey dan kawan-kawan masih terus memperjuangkan kedaulatan pemerintahan Republik Indonesia di Irian Barat. Untuk itu, bersama dengan rekannya Herman. Wayoi, mereka datang ke Jakarta untuk menyampaikan Piagam Kotabaru. Seperti yang tertulis pada piagam tersebut bahwa (1986: 291):
- “... ini adalah merupakan landasan dasar pengertian, persatu-paduan dan kerja-sama para pemuka yang mewakili seluruh suku, aliran keyakinan dan golongan terpenting yang hidup di Irian Barat, dalam menyusun kesatuan fikiran dan kekuatan selaku sumbangsih kami untuk turut serta menyelesaikan Revolusi Indonesia sebagai tanggungjawab kami kehadapan mahkamah sejarah mendatang”
Piagam Kotabaru berisikan 7 poin. Poin ketiga menyatakan bahwa putra-putri Irian Barat akan mengemban tanggung jawab atas keamanan dan ketertiban wilayahnya sebagai modal utama perjuangan penggabungan Irian Barat ke dalam Republik Indonesia. Poin keenama menyatakan bahwa putra-putri Irian Barat membuka pintunya untuk saudara-saudara sebangsa dan setanah air dari wilayah Indonesia lainnya untuk tinggal dan menetap di Irian Barat. Poin ketujuh menyatakan bahwa setelah Irian Barat berada di bawah kedaulatan pemerintah Republik Indonesia, “menganggap komando dan ayunan cangkul pertama P.J.M. Presiden/pemimpin Besar Revolusi Bapak Dr.Ir.H. Sukarno untuk memulai pembangunan semesta berencana Indonesia” (1986:293). Piagam tersebut disepakati bersama pada 3 Februari 1963. Beberapa orang yang terlibat dalam piagam tersebut adalah A. Kroomat dari golongan karya angkatan 45, Herman Wayoi dari golongan karya politik, M. Rumainum dari golongan karya wartawan dan politik, C. Saraij dari golongan karya wakil suku dan Dr. F.J.S. Rumainum dari golongan karya alim ulama/agama (1986: 294).
Marthin Indey terus berperan aktif setelah Irian Barat menjadi bagian dari Republik Indonesia. Dia diangkat menjadi anggota MPRS mewakili daerah Provinsi Irian Barat pada Mei 1963. Kemudian Marthin menjabat sebagai Kontroleur dan diperbantukan pada pembantu Residen Kotabaru sejak 1 Agustus 1963 sampai Agustus 1965, sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur KDP Propinsi Irian Barat, tertanggal 10 Agustus 1963 No. 06/1/1/TJP/63. Marthin Indey diangkat sebagai Mayor Tituler TNI-AD Kodam XVII Cenderawasih di Kota Baru pada 1965. Ini sebagai penghargaan atas jasa-jasanya sebagai pejuang putra daerah Irian Barat.
Pada 1965, Marthin mengikuti Sidang Umum MPRS ke-3 di Bandung dan peringatan Dasawarsa Konferensi Asia Afrika di Jakarta. Dia menjadi anggota MPRS gingga 1968. Lalu, dia mencalonkan diri sebagai anggota MPR dan berhasil lolos pada pemilihan umum ke-2. Marthin Indey menghembuskan nafas terakhirnya pada 17 Juli 1986 di Rumah Sakit Umum Jayapura karena sakit dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Waena, Jayapura pada Sabtu, 19 Juli 1986.
Penulis: Ega Rezeki Margaretha Barus
Referensi
Bondan Soedharto dkk. 1989. Badan Pembina Pahlawan Daerah Tingkat I Irian Jaya: Sejarah Perjuangan Rakyat Irian Jaya. Hasil Kerjasama Universitas Cenderawasih dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat I Irian Jaya. Jayapura.
Chauvel, Richard. 2005. Constructing Papuan Nationalism. East-West Center Washington.
Mangil Martowidjojo. 1999. Kesaksian Tentang Buku Karno. Jakarta: Grasindo.
Mollema, J.C. 1934. Random de Muiterij op De Zeven Provincien. Haaarlem: H.D. Tjeenk Willink.
Naskah Usul Calon Pahlawan Nasional dari Kabupaten Jayapura a/n Mayor Tituler Marthen Indey. Pemerintah Daerah Tinggat II Jayapura, 23 Februari 1993.
Naskah Biodata Marthin Indey. Kantor Wilayah Departemen Sosial, Provinsi Irian Barat, Jayapura, 6 Februari 1993.
Omnie Lumintang, dkk. 1997. Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tanpa pengarang. 1986. Api Perjuangan Pembebasan Irian Barat. Jakarta: Yayasan Badan Kontak Keluarga Besar Perintis Irian Barat.
Tanpa pengarang. 1993. Riwayat Singkat Perjuangan Marthin Indey. Jakarta: Depsos.
Petrik Matanasi. 24 Oktober 2016. Sekolah-sekolah di Zaman Belanda. https://tirto.id/sekolah-sekolah-di-zaman-belanda-bXbV diakeses pada 11 Oktober 2021.
Yuda Prinada. 5 Februari 2021. Sejarah Hari Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi 5 Februari 1933. https://tirto.id/sejarah-hari-peristiwa-kapal-tujuh-provinsi-5-februari-1933-f91e diakses pada 11 Oktober 2021.
___________. 17 Desember 2021. Sejarah Operasi Trikora: Latar Belakang, Isi, Tujuan dan Tokoh. https://tirto.id/sejarah-operasi-trikora-latar-belakang-isi-tujuan-dan-tokoh-gaV7 diakses pada 11 Oktober 2021.