Oto Iskandardinata
Oto Iskandardinata lahir pada 31 Maret 1897 di Bojongsoang, Kecamatan Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung. Oto adalah putra seorang bangsawan Sunda bernama Nataatmadja, dalam keluarga tersebut Oto merupakan anak ketiga dari sembilan orang saudara. Pendidikan Oto dimulai di sekolah Holland Inlandsche School (HIS), di Bandung. Selesai menamatkan HIS, Oto melanjutkan ke Kweekschool Onderbouw (Sekolah Guru Bagian Pertama) di Bandung. Sekolah ini biasa disebut sebagai Sakola Raja (Sekolah Raja) karena didirikan bertalian dengan lahirnya Ratu Wilhelmina. Setelah menyelesaikan Kweekscholl Onderbouw, Oto kemudian melanjutkan sekolahnya di Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas) di Purworejo, Jawa Tengah.
Setelah menyelesaikan sekolahnya Oto kemudian menjadi guru HIS di Banjarnegara dan menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi, karena ia sadar bahwa dengan pendidikanlah bangsanya dapat menjadi bangsa yang berilmu dan mengerti tugas serta tanggungjawab terhadap tanah air. Pada bulan Juli 1920 Oto kemudian dipindahkan ke Bandung. Di Bandung Oto mengajar di HIS bersubsidi dan perkumpulan Perguruan Rakyat. Di Bandung pula Oto mulai aktif dalam pergerakkan politik. Kariernya dalam bidang politik dimulai dengan menjabat wakil Ketua Budi Utomo cabang Bandung.
Pada Agustus 1924 Oto dipindahkan ke Pekalongan Jawa Tengah, di tempat ini pun Oto tetap berkarier dalam bidang politik. Oto menjabat sebagai Wakil Ketua Budi Utomo cabang Pekalongan merangkap sebagai Komisaris Hoofdbestuur Budi Utomo.
Berdirinya Paguyuban Pasundan merupakan suatu manifestasi dari kelahiran kembali pribadi pemuda-pemuda Sunda dan orang-orang Sunda pada umumnya. Tujuan semula organisasi ini untuk memajukan kehidupan orang-orang Sunda khususnya dan untuk masyarakat Indonesia pada umumnya. Oto masuk menjadi anggota Paguyuban Pasundan cabang Jakarta dan langsung menjadi Sekretaris Pengurus Besar organisasi tersebut pada tahun 1928, hal itu terjadi ketika Oto pindah ke Jakarta dan menjadi guru HIS Muhammadiyah. Pada Desember 1929 dalam suatu pemilihan pengurus pusat Paguyuban Pasundan di Bandung Oto terpilih menjadi Ketua Pengurus Besar Paguyuban Pasundan. Jabatan tersebut dipegangnya sampai tahun 1945.
Pada masa kepemimpinan Oto, Paguyuban Pasundan mengalami kemajuan pesat di bidang politik, ekonomi, sosial, pers, dan pendidikan. Bermula dari gerakan kebudayaan, Paguyuban Pasundan kemudian menyelami juga pergerakan politik. Paguyuban Pasundan berdiri di atas dasar keyakinan bahwa bangsa Indonesia pasti merdeka. Paguyuban Pasundan menitikberatkan perjuangannya di Volksraad (Dewan Rakyat). Pada tahun 1921-1924 Oto tercatat sebagai salah satu anggota Volksraad yang vokal.
Atas dasar keyakinan politik Oto, pada akhir tahun 1939 Paguyuban Pasundan masuk dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Dalam kongresnya yang ke-25, Paguyuban Pasundan menyatakan mengakui bendera merah putih dan lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu kebangsaan Indonesia, meminta kepada pemerintah mengadakan upah minimum, mendirikan komisi istimewa untuk menyelidiki kehidupan di tanah partikelir, dan menyokong aksi Indonesia Berparlemen.
Sejak 15 Juni 1931, Oto menjadi anggota Volksraad sebagai wakil dari Paguyuban Pasundan. Jabatan ini dipegangnya sampai tahun 1942, tahun ketika Jepang mulai berkuasa di Indonesia. Oto menjadi anggota Volksraad secara berturut-turut dalam tiga periode, yaitu periode kelima (1931-1934), periode keenam (1935-1938) dan periode ketujuh (1938-1942). Sebagai anggota Volksraad Oto bergabung dengan Fraksi Nasional yang didirikan atas gagasan Husni Thamrin. Suara Fraksi Nasional dalam Volksraad sangat radikal. Oto yang tergabung dalam Fraksi Nasional dikenal dengan sebutan Si Jalak Harupat, yang dalam perumpamaan bahasa Sunda mengandung arti lincah dan tajam lidahnya seperti burung jalak. Keberanian dan kejujuran selalu mewarnai ucapan-ucapan Oto.
Pada masa Jepang berkuasa kaum pergerakkan pada umumnya melanjutkan perjuangannya dalam bentuk lain, yaitu menempuh jalan bekerjasama dengan pihak Jepang dengan harapan akan menyelamatkan dan melanjutkan perjuangan mereka. Di pihak lain, Jepang pun merasa perlu bekerjasama dengan kaum pergerakkan karena menganggap pengaruh kaum pergerakkan sangat besar di kalangan rakyat. Jepang kemudian membentuk suatu birokrasi pemerintahan untuk memperkokoh kedudukannya di Indonesia. Beberapa tokoh bangsa Indonesia diberi kesempatan untuk menduduki jabatan tinggi. Mula-mula Oto diangkat sebagai pegawai Gunsei (Pemerintah Militer). Kemudian Oto diberi tugas untuk menjadi pemimpin surat kabar Cahaya di Bandung menggantikan Sipatahunan yang dilarang terbit oleh Jepang.
Ketika Jawa Hokokai (Perhimpunan Kebaktian Jawa) dibentuk, Oto ikut menjadi anggota organisasi ini. Pada 14 September 1944 dibentuk Barisan Pelopor (Suisyintai) yang merupakan anak cabang Jawa Hokokai atau Jawa Hokokai Bagian Pemuda. Pengurus Barisan Pelopor antara lain terdiri dari Ir Sukarno sebagai ketua, R.P. Suroso, R. Oto Iskandardinata, dan Dr. Buntaran Martoatmojo sebagai wakilnya. Organisasi ini sebenarnya merupakan pembinaan kader dan masa aksi. Tugas ketua dan wakil ketua Barisan Pelopor adalah memberikan ceramah-ceramah politik.
Sebelum Barisan Pelopor dibentuk, Jepang juga telah memberikan latihan militer pada pemuda-pemuda Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan Indonesia. Antara lain memberikan kesempatan pada pemuda Indonesia untuk menjadi Heiho (pembantu prajurit). Pada 3 Oktober 1943 dibentuk PETA (Pembela Tanah Air). Oto, bersama Gatot Mangkupraja, Iyos Diding, dan Ibnu Hasyim membentuk pasukan PETA Jawa Barat dengan tempat latihan di Bogor.
Ketika Jepang semakin terjepit, Perdana Menteri Koiso mengumumkan pendirian pemerintah Jepang bahwa Indonesia dijanjikan kemerdekaan di kemudian hari. Pemerintahan Jepang di Indonesia kemudian membentuk Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Jumbi Cosakai). Tugas badan tersebut mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang penting yang berhubungan dengan segi-segi politik, ekonomi, tata pemerintahan dan lain-lain yang diperlukan dalam usaha pembentukan negara Indonesia merdeka. Oto Iskandardinata adalah anggota dari Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan ini.
Pada 7 Agustus 1945 Jepang mengumumkan dibentuknya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Oto pun tergabung dalam badan ini. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, PPKI mengadakan sidang pertama. Pada sidang tersebut diputuskan beberapa hal penting menyangkut landasan politik bagi Indonesia yang merdeka dan ketatanegaraan. Sumbangan Oto dalam sidang PPKI tersebut adalah usulnya tentang pemilihan Presiden dan wakilnya, usul tersebut disetujui secara bulat oleh peserta sidang. Oto kemudian ditunjuk menjadi ketua panitia kecil untuk membuat rancangan tentang urusan rakyat, pemerintah daerah, kepolisian dan ketentaraan.
Pada masa awal kemerdekaan Oto Iskandardinata merupakan orang pertama yang menjabat sebagai Menteri Urusan Keamanan. Pada awal revolusi ini muncul badan-badan perjuangan seperti laskar-laskar yang ingin berjuang mempertahankan kemerdekaan, mereka menuntut diberikan persenjataan. Menanggapi hal tersebut, Oto kemudian mengadakan pembicaraan dengan pihak Jepang. Kedudukan Jepang pada saat itu dalam posisi sulit, apabila menyerahkan senjata maka pihak Jepang akan disalahkan sekutu. Sedangkan pada pihak lain Jepang melihat bahwa tuntutan rakyat dalam berjuang mempertahankan kemerdekaan juga mengancam Jepang. Pihak Indonesia tidak sanggup memaksa Jepang untuk menyerahkan senjatanya secara damai. Hasil pembicaraan pemerintah dan pihak Jepang tidak memuaskan kalangan pemuda. Mereka menuduh para pemimpin Indonesia yang terlibat dalam pembicaraan dengan pihak Jepang sebagai penyebab terjadinya penculikan terhadap beberapa pemimpin pemerintahan.
Oto Iskandardinata pun menjadi korban penculikan itu. Oto hilang penuh misteri pada Oktober 1945 dan baru pada Desember 1945 terdengar berita bahwa dia telah dibunuh di pantai Mauk, Banten Selatan. Jenazah Oto tidak berhasil ditemukan sampai sekarang, demikian pula penyebab kematiannya masih belum dapat diungkapkan secara pasti. Muncul beberapa pendapat mengenai kematian Oto Iskandardinata: pertama, peristiwa yang menimpa Oto terjadi pula terhadap beberapa pemimpin pemerintahan di Jawa Barat yang dianggap berpihak pada Jepang. Pendapat kedua, kemungkinan Oto dibunuh oleh seseorang atau golongan yang dendam karena langkah dan ucapan Oto yang tegas tanpa tedeng aling-aling.
Penulis: Linda Sunarti
Instansi: Institut Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum
Referensi
Notosutanto, Nugroho. Et al. 1977. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid V. Balai Pustaka.
Safwan, Mardanah. Et al. 1975. Riwayat Hidup dan Perjuangan R. Oto Iskandar di Nata. Lembaga Sejarah dan Antropologi.
Saleh, Iyan Tiarsah. 1975. Sekitar Lahir dan Perkembangan Pagoeyoeban Pasoendan (1914-1942). Skripsi, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Padjadjaran. Bandung