Parada Harahap
Parada Harahap adalah seorang tokoh pers nasional yang juga dijuluki sebagai King of The Java Pers karena sepak terjangnya di dunia jurnalistik dan memimpin beberapa media pers sejak masa kolonial sampai dengan masa Republik. Selain itu, Parada Harahap adalah salah satu tokoh yang terlibat dalam upaya kemerdekaan bangsa Indonesia dengan keikutsertaannya dalam BPUPKI. Parada Harahap lahir di Pargarutan, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, 15 Desember 1899. Parada Harahap menempuh pendidikan pada Standaard School yang setara dengan Sekolah Dasar dan selesai pada tahun 1914 di usia 15 tahun dan di tahun 1919. Pada usia 19 tahun, untuk mengasah kemampuan akademiknya, Parada juga ikut dalam beberapa kursus seperti bahasa Belanda, kursus dagang sekaligus mengetik di Medan dan Toehoorder Recht Hoogeschool bagian sosiologi di Jakarta. (Manus, Ghazali, Zuhdi, dkk.1993: 68).
Sebelum menjadi seorang jurnalis handal, Parada terlebih dahulu menjadi seorang krani atau juru tulis di satu perkebunan milik Belanda di Sumatera Timur yang kemudian dari sini ia menerbitkan sebuah majalah yang berjudul De Krani. Parada Harahap semakin mendalami dan terjun di dunia jurnalistik dengan bergabung di beberapa surat kabar seperti Pewarta Deli di Medan dan Benih Merdeka di Sibolga (Manus, Ghazali, Zuhdi, dkk., 1993: 69). Dalam awal karir sebagai seorang jurnalis tidaklah mudah, tulisannya yang kerap mengkritik pihak Belanda membuatnya beberapa kali terlibat masalah dan membuatnya harus berhadapan dengan hukum yang membawanya beberapa kali harus ditahan pemerintah Belanda (T.W.H, 1996: 10).
Untuk mengembangkan karirnya, Parada Harahap pindah ke Jawa dengan bekerja sebagai reporter Sin Po, kemudian pindah ke harian Neratja dengan posisi sebagai redaktur pada tahun 1922 sampai 1923 (Manus, Ghazali, Zuhdi, dkk 1993: 69). Menjadi jurnalis bagi seorang Parada Harahap adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk dapat menyuarakan perjuangan kaum pribumi, maka dari itu Parada berkeinginan untuk mendirikan satu biro pers di Betawi. Untuk dapat mendirikan biro pers tersebut Parada berkeliling Jawa menemui para pimpinan surat kabar dan majalah yang ada di Jawa untuk bisa memberikan dukungan terhadap idenya tersebut. Ide tentang biro pers tersebut mendapat sambutan dari Wage Rudolf Supratman yang tertarik terhadap ide Parada Harahap dan satu hal yang membuat Wage Rudolf Supratman tertarik dengan ide tersebut karena biro pers ini semata-mata merupakan biro pers perjuangan yang nantinya diharapkan bisa memberi informasi kepada kelompok pergerakan. Karena tujuan itulah Parada Harahap berani mendirikan Biro Pers walau dengan modal yang kecil dan tidak mengharap keuntungan. Biro Pers yang didirikan Parada Harahap itu bernama Alpena, singkatan dari Algemene Pets Niews Agency. Karena dana yang minim hanya tiga orang saja yang mengelola Alpena yaitu Parada Harahap sebagai direktur dan pemilik, Mas Kadar sebagai sekretaris dan Wage Rudolf Supratman sebagai asisten Parada Harahap (Sularto, 2012: 70-73). Selain Alpena yang pada akhirnya harus tutup, Parada Harahap pada tahun 1926 membuat surat kabar Bintang Timoer yang terbit di Weltevreden dan surat kabar ini sangat dikenal pada masa itu (Gani, 1978: 52).
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, Parada Harahap dianggap memiliki kedekatan dengan Jepang. Parada menjadi pegawai kantor Gunseikanbu dan memimpin harian Sinar Baroe salah satu surat kabar yang boleh beredar pada masa pendudukan Jepang. Pada akhir pendudukan Jepang di Indonesia Parada ditunjuk untuk menjadi salah satu anggota dari BPUPKI (Oktorino 2013 : 37). Bersama dengan tokoh-tokoh lain Parada Harahap mengikuti sidang BPUPKI. Dalam rapat, 13 Juli 1945 Parada memberikan usulannya bahwa selain bendera negara, lambang negara juga perlu untuk ditentukan dan usulan ini diterima oleh semua anggota rapat. Usulan tentang lambang negara dari Parada Harahap yang sudah disetujui dalam rapat BPUPKI kemudian ditindaklanjuti oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dari sini dibentuklah Panitia Indonesia Raya pimpinan Ki Hadjar Dewantara yang bertugas mencari lambang yang pas untuk disandingkan dengan bendera Merah Putih berdasarkan sejarah peradaban bangsa Indonesia sendiri dan lahirlah lambang Garuda Pancasila (Hakiem, 2019: 199-200).
Dalam hal lambang negara yang ia usulkan, Parada Harahap melihat dengan tajam bahwa lambang negara adalah satu hal yang penting dengan keadaan masyarakat Indonesia yang heterogen dengan bermacam suku, agama, dan berpulau-pulau. Parada melihat adanya celah perpecahan. Maka dari itu lambang negara adalah hal penting sebagai pemersatu bangsa daripada hanya sekedar lambang belaka (Manus, Ghazali, Zuhdi, dkk., 1993: 71).
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, Parada Harahap masih setia dengan dunia jurnalistik, bersama dengan beberapa rekannya seperti M.T. Hutagalung dan Maridie Danukusumo, mereka mendirikan kembali surat kabar Bintang Timoer yang dulu dilarang pada masa pendudukan Jepang. Bintang Timoer yang baru kembali dengan perubahan nama menjadi Bintang Timur menghilangkan “oe”nya pada 16 Februari 1953. Pada Desember 1953 nama Parada Harahap, hilang dari surat kabar Bintang Timur karena ia memilih mundur dari posisi direktur dan pemilik modal Bintang Timur (Razeh, Dahlan, dkk., 2007: 287-288).
Dalam sejarah hubungan antara DPR dan pers, Parada Harahap adalah satu sosok penting yang mengupayakan terciptanya sinergitas antara dua elemen penting dalam dunia demokrasi yaitu antara parlemen dan pers sebagai pengawas kekuasaan. Pada tahun 1950 sejak terbentuknya Parlemen RIS, Kementerian Penerangan menunjuk Parada Harahap sebagai Pembina Pers di parlemen. Hal yang dilakukan oleh Parada Harahap adalah membentuk Press Room yang dikepalai olehnya sendiri dan mendapat dukungan dari Abdul Hamid II yang menjabat Menteri Negara RIS masa itu. Namun jabatan ini hanya satu tahun dipegang olehnya setelah digantikan pada tahun 1951 oleh Parlaungan Harahap (Sekretariat DPR-GR, 1970: 478).
Kecintaan seorang Parada Harahap terhadap dunia jurnalistik yang telah membesarkan namanya membuatnya merasa perlu untuk memberikan pengetahuan tentang dunia jurnalistik maka dari itu ia pun menulis beberapa buku tentang jurnalistik dan pers. Judul-judul buku seperti Kedudukan Pers Dalam Masyarakat (1951), Ilmu Jurnalistik (1952), Serba Sedikit Tentang Ilmu Pers (1952) adalah beberapa buku yang ia tulis tentang jurnalistik. Selain itu banyak buku yang telah ditulis oleh Parada Harahap bahkan sejak zaman kolonial Belanda. Parada Harahap juga pernah menjabat sebagai Dekan di Perguruan Tinggi Ilmu Kewartawanan dan Politik (PTIKP) yang berdiri pada pada tanggal 11 Juni 1956 dan menjabat sebagai dekan sampai dengan ia meninggal dunia pada Pada tanggal 11 Mei 1959 (Safwan, 1985: 85).
Penulis: Suprayitno
Instansi: Universitas Sumatera Utara
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum
Referensi
Gani (1978) Surat Kabar Indonesia Pada Tiga Zaman. Jakarta: Proyek Pusat Publikasi Pemerintah, Departemen Penerangan R.I
Hartanto, Agung Dwi., dkk (2007) Seabad Pers Kebangsaan, 1907-2007. Jakarta: I:Boekoe.
Hakiem, Lukman (2019) Biografi Mohammad Natsir Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Manus, MBP., Ghazali, Zulitkar., Zuhdi, Susanto., Sumardi., Wiwi, Kuswiah., Haryono, P. Suryo., Triana Wulandari, Triana., Said, Julinar (1993) Tokoh-Tokoh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
Oktorini, Nino (2013) Ensiklopedi pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Safwan, Mardanas (1985) Prof. Dr. Bahder Djohan Karya dan Pengabdiannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
Sekretariat DPR-GR (1970) Seperempat abad Dewan Perwakilan Rakjat Republik Indonesia. Jakarta: Sekretariat DPR-GR.
Sularto, Bambang (2012) Wage Rudolf Supratman. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya
T.W.H, Muhammad (1996) Perlawanan Pers Sumatera Utara Terhadap Gerakan PKI. Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI.