Nyono: Difference between revisions
(Created page with "Nyono atau lengkapnya Nyono Prawiro (Njono Prawiro) adalah aktivis buruh dan pemimpin organisasi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), organisasi sarekat buruh terbesar pada dekade 1960-an. Ia lahir di Cilacap, Jawa Tengah pada 28 Agustus 1925. Ayahnya, Sastrodiredjo adalah seorang pensiunan buruh Jawatan Kereta Api yang tinggal di Yogyakarta. Dalam keluarganya Nyono merupakan anak laki-laki pertama. Pada tahun 1931 ketika ia berusia sekitar 7 tahun, ia mas...") |
No edit summary |
||
Line 1: | Line 1: | ||
Nyono atau lengkapnya Nyono Prawiro (Njono Prawiro) adalah aktivis buruh dan pemimpin organisasi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), organisasi sarekat buruh terbesar pada dekade 1960-an. Ia lahir di Cilacap, Jawa Tengah pada 28 Agustus 1925. Ayahnya, Sastrodiredjo adalah seorang pensiunan buruh Jawatan Kereta Api yang tinggal di Yogyakarta. Dalam keluarganya Nyono merupakan anak laki-laki pertama. Pada tahun 1931 ketika ia berusia sekitar 7 tahun, ia masuk Sekolah Rakyat Taman Siswa (Taman Muda). Ia menyelesaikan sekolah dasar pada 1938 lalu meneruskan pendidikannya ke Taman Guru tetapi tidak selesai (Notosutanto ''et.al''. 1989). | Nyono atau lengkapnya Nyono Prawiro (Njono Prawiro) adalah aktivis buruh dan pemimpin organisasi [[Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI)]], organisasi sarekat buruh terbesar pada dekade 1960-an. Ia lahir di Cilacap, Jawa Tengah pada 28 Agustus 1925. Ayahnya, Sastrodiredjo adalah seorang pensiunan buruh Jawatan Kereta Api yang tinggal di Yogyakarta. Dalam keluarganya Nyono merupakan anak laki-laki pertama. Pada tahun 1931 ketika ia berusia sekitar 7 tahun, ia masuk Sekolah Rakyat [[Taman Siswa]] (Taman Muda). Ia menyelesaikan sekolah dasar pada 1938 lalu meneruskan pendidikannya ke Taman Guru tetapi tidak selesai (Notosutanto ''et.al''. 1989). | ||
Pada tahun 1941 Nyono bekerja di surat kabar ''Asia Raya'' sebagai seorang reporter muda. Selain menulis berita-berita sekitar kota, Nyono juga menulis artikel secara populer mengenai sosiologi yang dimuat dalam majalah terbitan Balai Pustaka. Setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 1945, ia meninggalkan pekerjaan sebagai jurnalis dan menjadi aktivis buruh. Pada bulan September 1945 dibentuk Barisan Buruh Indonesia (BBI) dengan ketua Koesnaeni yang kemudian digantikan oleh Nyono. Menurut Rosihan Anwar, Nyono merupakan pemimpin Serikat Buruh Trem di Kramat, Jakarta (Anwar 1983: 116-117). | Pada tahun 1941 Nyono bekerja di surat kabar ''Asia Raya'' sebagai seorang reporter muda. Selain menulis berita-berita sekitar kota, Nyono juga menulis artikel secara populer mengenai sosiologi yang dimuat dalam majalah terbitan Balai Pustaka. Setelah [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|Proklamasi Kemerdekaan]] pada 1945, ia meninggalkan pekerjaan sebagai jurnalis dan menjadi aktivis buruh. Pada bulan September 1945 dibentuk Barisan Buruh Indonesia (BBI) dengan ketua Koesnaeni yang kemudian digantikan oleh Nyono. Menurut [[Rosihan Anwar]], Nyono merupakan pemimpin Serikat Buruh Trem di Kramat, Jakarta (Anwar 1983: 116-117). | ||
Di bawah pimpinan Nyono, Barisan Buruh Indonesia Jakarta yang mengatasnamakan seluruh BBI mengeluarkan maklumat. Isinya menuntut kepada Komite Nasional Indonesia (KNI) untuk mengakui BBI sebagai satu-satunya organisasi yang menyuarakan dan menggerakkan kaum buruh. Pernyataan Nyono didukung oleh Menteri Sosial, Mr. Iwa Koesoemasoemantri yang menyarankan BBI menyatukan pendapat. Hal itu disambut oleh BBI Jakarta yang menyatakan akan mengadakan pertemuan BBI seluruh Indonesia. Kementerian Sosial bersedia membantu dan sebagai penyelenggara ditunjuk BBI Surabaya. Sebelumnya BBI Jakarta maupun BBI Surabaya bersikeras menjadi tuan rumah acara tersebut. Akhirnya diambil jalan tengah dengan menunjuk Surakarta sebagai tempat pertemuan yang berlangsung 7-9 November 1945. Oleh karena bersifat nasional, maka pertemuan diubah menjadi kongres. Kongres itu dihadiri oleh sekitar 3.000 peserta. | Di bawah pimpinan Nyono, Barisan Buruh Indonesia Jakarta yang mengatasnamakan seluruh BBI mengeluarkan maklumat. Isinya menuntut kepada [[Komite Nasional Indonesia (KNI)]] untuk mengakui BBI sebagai satu-satunya organisasi yang menyuarakan dan menggerakkan kaum buruh. Pernyataan Nyono didukung oleh Menteri Sosial, Mr. Iwa Koesoemasoemantri yang menyarankan BBI menyatukan pendapat. Hal itu disambut oleh BBI Jakarta yang menyatakan akan mengadakan pertemuan BBI seluruh Indonesia. Kementerian Sosial bersedia membantu dan sebagai penyelenggara ditunjuk BBI Surabaya. Sebelumnya BBI Jakarta maupun BBI Surabaya bersikeras menjadi tuan rumah acara tersebut. Akhirnya diambil jalan tengah dengan menunjuk Surakarta sebagai tempat pertemuan yang berlangsung 7-9 November 1945. Oleh karena bersifat nasional, maka pertemuan diubah menjadi kongres. Kongres itu dihadiri oleh sekitar 3.000 peserta. | ||
Dalam kongres di Surakarta, Nyono sebagai Ketua BBI Jakarta menjelaskan tujuan perjuangan buruh dan menyimpulkan bahwa landasan bagi pergerakan buruh Indonesia yaitu front persatuan menentang penjajahan, bantuan ekonomi bagi buruh serta pembentukan dewan-dewan buruh di setiap perusahaan jawatan. | Dalam kongres di Surakarta, Nyono sebagai Ketua BBI Jakarta menjelaskan tujuan perjuangan buruh dan menyimpulkan bahwa landasan bagi pergerakan buruh Indonesia yaitu front persatuan menentang penjajahan, bantuan ekonomi bagi buruh serta pembentukan dewan-dewan buruh di setiap perusahaan jawatan. | ||
Line 15: | Line 15: | ||
SOBSI memiliki dua jenis keanggotaan sebelum Peristiwa Madiun 1948, yaitu anggota non-komunis dan anggota komunis. Setelah peristiwa Madiun 1948 banyak anggota SOBSI yang non-komunis keluar dari SOBSI. Kedekatan SOBSI dengan PKI mengakibatkan anggota SOBSI dianggap terlibat dalam peristiwa 1948. Dalam peristiwa tersebut Harjono ditangkap dan dieksekusi pada bulan Januari 1949 karena dituduh mendukung gerakan sayap kiri di Madiun. Hal tersebut mengakibatkan SOBSI bersama PKI ikut menjadi organisasi terlarang. SOBSI muncul kembali pada 1949 dengan Ketua Asrarudin. Pada 1950, Nyono menggantikan Asrarudin menjadi Ketua. Pada 5 Januari hingga 19 November 1950 delegasi SOBSI dipimpin oleh Nyono pergi ke China. Tujuannya mempelajari gerakan para pekerja di sana. Di China Nyono mendapatkan pengetahuan tentang organisasi, terutama pergerakan buruh (Hindley 1964: 132). | SOBSI memiliki dua jenis keanggotaan sebelum Peristiwa Madiun 1948, yaitu anggota non-komunis dan anggota komunis. Setelah peristiwa Madiun 1948 banyak anggota SOBSI yang non-komunis keluar dari SOBSI. Kedekatan SOBSI dengan PKI mengakibatkan anggota SOBSI dianggap terlibat dalam peristiwa 1948. Dalam peristiwa tersebut Harjono ditangkap dan dieksekusi pada bulan Januari 1949 karena dituduh mendukung gerakan sayap kiri di Madiun. Hal tersebut mengakibatkan SOBSI bersama PKI ikut menjadi organisasi terlarang. SOBSI muncul kembali pada 1949 dengan Ketua Asrarudin. Pada 1950, Nyono menggantikan Asrarudin menjadi Ketua. Pada 5 Januari hingga 19 November 1950 delegasi SOBSI dipimpin oleh Nyono pergi ke China. Tujuannya mempelajari gerakan para pekerja di sana. Di China Nyono mendapatkan pengetahuan tentang organisasi, terutama pergerakan buruh (Hindley 1964: 132). | ||
Keterkaitan antara pengurus SOBSI dan PKI tampak pada surat tanggal 4 Desember 1954 yang dikirim oleh Njono, Sekretaris Jenderal SOBSI, kepada D.N. Aidit, Sekretaris Jenderal PKI. Surat tersebut berisi permintaan Nyono untuk menjadi anggota PKI setelah menjadi pemimpin puncak SOBSI serta sebagai simpatisan PKI selama bertahun-tahun (Tedjasukmana 2008: 168-169). | Keterkaitan antara pengurus SOBSI dan [[Partai Komunis Indonesia (1920-1966)|PKI]] tampak pada surat tanggal 4 Desember 1954 yang dikirim oleh Njono, Sekretaris Jenderal SOBSI, kepada [[Dipa Nusantara Aidit|D.N. Aidit]], Sekretaris Jenderal PKI. Surat tersebut berisi permintaan Nyono untuk menjadi anggota PKI setelah menjadi pemimpin puncak SOBSI serta sebagai simpatisan PKI selama bertahun-tahun (Tedjasukmana 2008: 168-169). | ||
Pada tanggal 9 sampai 20 Januari 1955 di Jakarta berlangsung Kongres Nasional II SOBSI. Kongres tersebut dihadiri oleh para wakil serikat buruh pusat dan daerah, utusan kaum buruh Belanda, utusan buruh sedunia. Selain itu juga dihadiri oleh wakil-wakil serikat buruh non ''vak sentral''. Berbagai persoalan dibahas dalam Kongres tersebut. Persoalan-persoalan tersebut disampaikan oleh Sekjen Sentral Biro SOBSI yaitu Nyono, seperti perbaikan upah, jaminan sosial, dan pelaksanaan hak-hak serikat buruh, perbaikan ekonomi, pengembangan kesatuan aksi buruh dan mempererat kerja sama dengan semua golongan rakyat serta konsolidasi organisasi. | Pada tanggal 9 sampai 20 Januari 1955 di Jakarta berlangsung Kongres Nasional II SOBSI. Kongres tersebut dihadiri oleh para wakil serikat buruh pusat dan daerah, utusan kaum buruh Belanda, utusan buruh sedunia. Selain itu juga dihadiri oleh wakil-wakil serikat buruh non ''vak sentral''. Berbagai persoalan dibahas dalam Kongres tersebut. Persoalan-persoalan tersebut disampaikan oleh Sekjen Sentral Biro SOBSI yaitu Nyono, seperti perbaikan upah, jaminan sosial, dan pelaksanaan hak-hak serikat buruh, perbaikan ekonomi, pengembangan kesatuan aksi buruh dan mempererat kerja sama dengan semua golongan rakyat serta konsolidasi organisasi. | ||
Line 25: | Line 25: | ||
Beberapa pidato Nyono yang dipublikasikan adalah ''Tegakkan Pandji-Pandji Persatuan'' (1956), ''Mempertahankan dan Memperluas Hak-Hak Kaum Buruh di Lapangan Politik, Ekonomi, Sosial dan Kebudajaan'' (1959), ''Tentang Aksi, Kader dan Demokrasi'' (1961), ''Untuk Sandang-Pangan dan Demokrasi'' (1962), ''Dorong Madju, Demokrasi dan Produksi Serta Landjutkan Perdjuangan Pembebasan Irian Barat'' (1962), ''Biar Andjing Menggonggong Hajo Madju Terus'' (1962), ''Djundjung Tinggi Pandji-Pandji Revolusi, Djalankan Patriotisme Ekonomi, Bubarkan “Malaysia” dan Bentuk Kabinet Nasakom'' (1964). | Beberapa pidato Nyono yang dipublikasikan adalah ''Tegakkan Pandji-Pandji Persatuan'' (1956), ''Mempertahankan dan Memperluas Hak-Hak Kaum Buruh di Lapangan Politik, Ekonomi, Sosial dan Kebudajaan'' (1959), ''Tentang Aksi, Kader dan Demokrasi'' (1961), ''Untuk Sandang-Pangan dan Demokrasi'' (1962), ''Dorong Madju, Demokrasi dan Produksi Serta Landjutkan Perdjuangan Pembebasan Irian Barat'' (1962), ''Biar Andjing Menggonggong Hajo Madju Terus'' (1962), ''Djundjung Tinggi Pandji-Pandji Revolusi, Djalankan Patriotisme Ekonomi, Bubarkan “Malaysia” dan Bentuk Kabinet Nasakom'' (1964). | ||
Pada bulan September 1965 terjadi peristiwa G30S, PKI dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut. Nyono Ketua PKI Comite Djakarta Raja (CDR) dan anggota Politbiro telah mengerahkan dua ribu orang dari organisasi pemuda PKI, Pemuda Rakyat yang bertugas sebagai tenaga cadangan untuk operasi-operasi militer. Pada bulan-bulan sebelumnya para pemuda tersebut menerima latihan kemiliteran di Lubang Buaya (Roosa, 2008: 146-147). Hal tersebut menyebabkan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang dibentuk pada bulan Desember 1965 pada bulan Februari 1966 menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Nyono Prawiro (Ricklefs 2005: 568; Roosa 2008: 147). | Pada bulan September 1965 terjadi peristiwa [[G30S/Gestok Tahun 1965|G30S]], PKI dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut. Nyono Ketua PKI Comite Djakarta Raja (CDR) dan anggota Politbiro telah mengerahkan dua ribu orang dari organisasi pemuda PKI, Pemuda Rakyat yang bertugas sebagai tenaga cadangan untuk operasi-operasi militer. Pada bulan-bulan sebelumnya para pemuda tersebut menerima latihan kemiliteran di Lubang Buaya (Roosa, 2008: 146-147). Hal tersebut menyebabkan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang dibentuk pada bulan Desember 1965 pada bulan Februari 1966 menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Nyono Prawiro (Ricklefs 2005: 568; Roosa 2008: 147). | ||
Penulis: Ahmad Sunjayadi | Penulis: Ahmad Sunjayadi |
Revision as of 11:20, 1 August 2023
Nyono atau lengkapnya Nyono Prawiro (Njono Prawiro) adalah aktivis buruh dan pemimpin organisasi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), organisasi sarekat buruh terbesar pada dekade 1960-an. Ia lahir di Cilacap, Jawa Tengah pada 28 Agustus 1925. Ayahnya, Sastrodiredjo adalah seorang pensiunan buruh Jawatan Kereta Api yang tinggal di Yogyakarta. Dalam keluarganya Nyono merupakan anak laki-laki pertama. Pada tahun 1931 ketika ia berusia sekitar 7 tahun, ia masuk Sekolah Rakyat Taman Siswa (Taman Muda). Ia menyelesaikan sekolah dasar pada 1938 lalu meneruskan pendidikannya ke Taman Guru tetapi tidak selesai (Notosutanto et.al. 1989).
Pada tahun 1941 Nyono bekerja di surat kabar Asia Raya sebagai seorang reporter muda. Selain menulis berita-berita sekitar kota, Nyono juga menulis artikel secara populer mengenai sosiologi yang dimuat dalam majalah terbitan Balai Pustaka. Setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 1945, ia meninggalkan pekerjaan sebagai jurnalis dan menjadi aktivis buruh. Pada bulan September 1945 dibentuk Barisan Buruh Indonesia (BBI) dengan ketua Koesnaeni yang kemudian digantikan oleh Nyono. Menurut Rosihan Anwar, Nyono merupakan pemimpin Serikat Buruh Trem di Kramat, Jakarta (Anwar 1983: 116-117).
Di bawah pimpinan Nyono, Barisan Buruh Indonesia Jakarta yang mengatasnamakan seluruh BBI mengeluarkan maklumat. Isinya menuntut kepada Komite Nasional Indonesia (KNI) untuk mengakui BBI sebagai satu-satunya organisasi yang menyuarakan dan menggerakkan kaum buruh. Pernyataan Nyono didukung oleh Menteri Sosial, Mr. Iwa Koesoemasoemantri yang menyarankan BBI menyatukan pendapat. Hal itu disambut oleh BBI Jakarta yang menyatakan akan mengadakan pertemuan BBI seluruh Indonesia. Kementerian Sosial bersedia membantu dan sebagai penyelenggara ditunjuk BBI Surabaya. Sebelumnya BBI Jakarta maupun BBI Surabaya bersikeras menjadi tuan rumah acara tersebut. Akhirnya diambil jalan tengah dengan menunjuk Surakarta sebagai tempat pertemuan yang berlangsung 7-9 November 1945. Oleh karena bersifat nasional, maka pertemuan diubah menjadi kongres. Kongres itu dihadiri oleh sekitar 3.000 peserta.
Dalam kongres di Surakarta, Nyono sebagai Ketua BBI Jakarta menjelaskan tujuan perjuangan buruh dan menyimpulkan bahwa landasan bagi pergerakan buruh Indonesia yaitu front persatuan menentang penjajahan, bantuan ekonomi bagi buruh serta pembentukan dewan-dewan buruh di setiap perusahaan jawatan.
Selama tahun 1946 dan 1947, berbagai serikat buruh didirikan. Banyak dari serikat buruh ini merupakan organisasi-organisasi lokal yang kecil. Namun, serikat buruh-serikat buruh yang lebih besar dan bersifat nasional juga mulai dibentuk. Kebanyakan para pemimpin serikat-serikat buruh ini adalah orang-orang yang memiliki pengalaman di masa lalu sebagai pemimpin serikat buruh. Serikat-serikat buruh tersebut mengaku lebih menyukai sebuah organisasi sentral. Namun, ada yang menginginkan sebuah federasi dari serikat-serikat buruh yang ada, baik secara lokal maupun nasional. Hasilnya adalah dibentuknya Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GASBI) pada 21 Mei 1946, lalu karena disebabkan ketidakpuasan terhadap bentuk dan susunan GASBI, maka dibentuklah Gabungan Serikat Buruh Vertikal (GSBV) pada bulan Juni 1946 di bawah pimpinan Soerjono (Tedjasukmana 2008: 36).
Pada 29 November 1946 diselenggarakan sebuah konferensi persiapan oleh sejumlah pemimpin dari berbagai serikat buruh. Dari hasil diskusi disepakati untuk membentuk sebuah federasi baru yang menggantikan GASBI dan GSBV serta merupakan peleburan dari dua organisasi tersebut. Nama organisasi tersebut adalah Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Para pemimpin organisasi ini adalah Harjono, Asraruddin, Surjono, dan Nyono (Gie 1997: 86; Sandra 2007: 61).
Dalam konferensi tahun 1946 tersebut Harjono diangkat menjadi Ketua Umum, Setiadjid sebagai Wakil Ketua, dan Nyono sebagai Sekretaris Umum SOBSI (Gie 1997: 84-85). Sebagian besar pendiri dan pengurus SOBSI adalah kaum sosialis dan komunis yang mempertahankan hubungan erat dengan Republik Indonesia. Kurun waktu akhir tahun 1940-an hingga 1950, sebagian besar jajaran pimpinan SOBSI memiliki keanggotaan rangkap, pengurus SOBSI dan sekaligus tokoh-tokoh penting dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Jajaran pimpinan tersebut adalah Nyono, Harjono, dan Oey Gee Hwat (Brackman 1963: 57).
SOBSI memiliki dua jenis keanggotaan sebelum Peristiwa Madiun 1948, yaitu anggota non-komunis dan anggota komunis. Setelah peristiwa Madiun 1948 banyak anggota SOBSI yang non-komunis keluar dari SOBSI. Kedekatan SOBSI dengan PKI mengakibatkan anggota SOBSI dianggap terlibat dalam peristiwa 1948. Dalam peristiwa tersebut Harjono ditangkap dan dieksekusi pada bulan Januari 1949 karena dituduh mendukung gerakan sayap kiri di Madiun. Hal tersebut mengakibatkan SOBSI bersama PKI ikut menjadi organisasi terlarang. SOBSI muncul kembali pada 1949 dengan Ketua Asrarudin. Pada 1950, Nyono menggantikan Asrarudin menjadi Ketua. Pada 5 Januari hingga 19 November 1950 delegasi SOBSI dipimpin oleh Nyono pergi ke China. Tujuannya mempelajari gerakan para pekerja di sana. Di China Nyono mendapatkan pengetahuan tentang organisasi, terutama pergerakan buruh (Hindley 1964: 132).
Keterkaitan antara pengurus SOBSI dan PKI tampak pada surat tanggal 4 Desember 1954 yang dikirim oleh Njono, Sekretaris Jenderal SOBSI, kepada D.N. Aidit, Sekretaris Jenderal PKI. Surat tersebut berisi permintaan Nyono untuk menjadi anggota PKI setelah menjadi pemimpin puncak SOBSI serta sebagai simpatisan PKI selama bertahun-tahun (Tedjasukmana 2008: 168-169).
Pada tanggal 9 sampai 20 Januari 1955 di Jakarta berlangsung Kongres Nasional II SOBSI. Kongres tersebut dihadiri oleh para wakil serikat buruh pusat dan daerah, utusan kaum buruh Belanda, utusan buruh sedunia. Selain itu juga dihadiri oleh wakil-wakil serikat buruh non vak sentral. Berbagai persoalan dibahas dalam Kongres tersebut. Persoalan-persoalan tersebut disampaikan oleh Sekjen Sentral Biro SOBSI yaitu Nyono, seperti perbaikan upah, jaminan sosial, dan pelaksanaan hak-hak serikat buruh, perbaikan ekonomi, pengembangan kesatuan aksi buruh dan mempererat kerja sama dengan semua golongan rakyat serta konsolidasi organisasi.
SOBSI dan organisasi massa lainnya di bawah kepemimpinan politik PKI membina hubungan dengan organisasi sektoral yang umumnya diasosiasikan dengan the world communist Left seperti WFTU (World Federation of Trade Unions) didirikan tahun 1945 dan the World Peace Council (Dewan Perdamaian Dunia) dibentuk tahun 1950. Sebagai hasil dari hubungan dengan rekan-rekan mereka di luar negeri, anggota serikat pekerja Indonesia memiliki kesempatan untuk bepergian ke luar negeri dan mendapatkan ide-ide baru. Para anggota serikat pekerja Indonesia dianggap sebagai bagian setia dari WFTU dan beberapa dari mereka dipilih untuk menjadi bagian dari kepemimpinan organisasi. Salah satunya adalah Ketua SOBSI Nyono yang terpilih sebagai Wakil Presiden WFTU pada tahun 1957 (Hearman 2016: 31).
Ketika serikat pekerja di Arab dan Afrika menjadi semakin penting dan tumbuh lebih besar, WFTU membentuk trade international solidarity committee (Komite Solidaritas Internasional Serikat Pekerja) pada tahun 1958 untuk mendukung Aljazair. Upaya itu melibatkan serikat pekerja dari banyak negara, termasuk beberapa serikat yang berafiliasi dengan saingan mereka yaitu International Confederation of Free Trade Unions (ICFTU) – Konfederasi Internasional Serikat Pekerja Bebas. SOBSI mengirim ketuanya, Nyono, bersama dengan anggota serikat, Mohammad Tohir, dan perwakilan dari 19 serikat pekerja lainnya untuk menghadiri pertemuan pertama komite di Kairo pada bulan September 1958 (Hearman 2016: 36).
Beberapa pidato Nyono yang dipublikasikan adalah Tegakkan Pandji-Pandji Persatuan (1956), Mempertahankan dan Memperluas Hak-Hak Kaum Buruh di Lapangan Politik, Ekonomi, Sosial dan Kebudajaan (1959), Tentang Aksi, Kader dan Demokrasi (1961), Untuk Sandang-Pangan dan Demokrasi (1962), Dorong Madju, Demokrasi dan Produksi Serta Landjutkan Perdjuangan Pembebasan Irian Barat (1962), Biar Andjing Menggonggong Hajo Madju Terus (1962), Djundjung Tinggi Pandji-Pandji Revolusi, Djalankan Patriotisme Ekonomi, Bubarkan “Malaysia” dan Bentuk Kabinet Nasakom (1964).
Pada bulan September 1965 terjadi peristiwa G30S, PKI dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut. Nyono Ketua PKI Comite Djakarta Raja (CDR) dan anggota Politbiro telah mengerahkan dua ribu orang dari organisasi pemuda PKI, Pemuda Rakyat yang bertugas sebagai tenaga cadangan untuk operasi-operasi militer. Pada bulan-bulan sebelumnya para pemuda tersebut menerima latihan kemiliteran di Lubang Buaya (Roosa, 2008: 146-147). Hal tersebut menyebabkan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang dibentuk pada bulan Desember 1965 pada bulan Februari 1966 menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Nyono Prawiro (Ricklefs 2005: 568; Roosa 2008: 147).
Penulis: Ahmad Sunjayadi
Referensi
Anwar, Rosihan. 1983. Menulis Dalam Air. Sebuah Otobiografi. Jakarta: Sinar Harapan.
Brackman, Arnold C. 1963. Indonesian Communism a History. New York: Frederic A. Praeger.
Gie, Soe Hok. 1997. Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Hearman, Vannessa. 2016. Indonesian Trade Unionist, the World Federation of Trade Unions and Cold War Internationalism, 1947-65. Labour History 111. 27-44. Hindley, Donald. 1964. The Communist Party of Indonesia 1951-1963. Berkeley-Los Angeles: University of California Press.
Notosusanto, Nugroho (et.al). 1989. Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia. Jakarta: Intermasa.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal. Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia-Hasta Mitra.
Sandra. 2007. Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia. Jakarta: TURC.
Tedjasukmana, Iskandar. 2008. Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia. Jakarta: TURC.