Utuy Tatang Sontani: Difference between revisions

From Ensiklopedia
(Created page with "Utuy Tatang Sontani, dramawan dan penulis cerita pendek, salah satu pendiri sastra Indonesia modern (Sikorsky, 2020) yang karya-karyanya berhasil mencapai level internasional (Woolgar, 2019: 5). Karya-karyanya juga diterjemahkan dalam bahasa Rusia, Mandarin, Jerman, Vietnam, Belanda, Ceko dan Italia (Supartono, 2001: 8). Utuy Tatang Sontani lahir di Cianjur, Jawa Barat pada 13 Mei 1920 dari keluarga haji pedagang batik. Ia bersekolah di sekolah rendah dan kemudian pinda...")
 
No edit summary
Line 1: Line 1:
Utuy Tatang Sontani, dramawan dan penulis cerita pendek, salah satu pendiri sastra Indonesia modern (Sikorsky, 2020) yang karya-karyanya berhasil mencapai level internasional (Woolgar, 2019: 5). Karya-karyanya juga diterjemahkan dalam bahasa Rusia, Mandarin, Jerman, Vietnam, Belanda, Ceko dan Italia (Supartono, 2001: 8).
Utuy Tatang Sontani, dramawan dan penulis cerita pendek, salah satu pendiri sastra Indonesia modern (Sikorsky, 2020) yang karya-karyanya berhasil mencapai level internasional (Woolgar, 2019: 5). Karya-karyanya juga diterjemahkan dalam bahasa Rusia, Mandarin, Jerman, Vietnam, Belanda, Ceko dan Italia (Supartono, 2001: 8).


Utuy Tatang Sontani lahir di Cianjur, Jawa Barat pada 13 Mei 1920 dari keluarga haji pedagang batik. Ia bersekolah di sekolah rendah dan kemudian pindah ke sekolah yang biayanya jauh lebih rendah daripada biaya di HIS. Ketika ayahnya berhasil memindahkannya ke sekolah ''Schakel'' yang mengajarkan bahasa Belanda, ia keluar karena tidak tahan dihina sebagai “''inlander'' pemalas” oleh guru Belandanya karena ketidakmampuannya menghafal. Ia menemukan sekolah yang tepat di Taman Siswa, yang tetap mengajarkan bahasa Belanda meskipun tidak ada guru Belanda, ada pelajaran di luar kelas sambil bermain dan tamasya ke gunung yang dicintainya seminggu sekali, dan gurunya dipanggil “Bapak” (Supartono, 2001: 2-3).
Utuy Tatang Sontani lahir di Cianjur, Jawa Barat pada 13 Mei 1920 dari keluarga haji pedagang batik. Ia bersekolah di sekolah rendah dan kemudian pindah ke sekolah yang biayanya jauh lebih rendah daripada biaya di [[Hollandsch Inlandsche School (HIS)|HIS]]. Ketika ayahnya berhasil memindahkannya ke sekolah ''Schakel'' yang mengajarkan bahasa Belanda, ia keluar karena tidak tahan dihina sebagai “''inlander'' pemalas” oleh guru Belandanya karena ketidakmampuannya menghafal. Ia menemukan sekolah yang tepat di [[Taman Siswa]], yang tetap mengajarkan bahasa Belanda meskipun tidak ada guru Belanda, ada pelajaran di luar kelas sambil bermain dan tamasya ke gunung yang dicintainya seminggu sekali, dan gurunya dipanggil “Bapak” (Supartono, 2001: 2-3).


Utuy mengawali belajar tulis menulis melalui koran berbahasa Sunda, ''Sinar Pasundan.'' Dalam keadaan ekonomi yang sulit, sambil menunggu mendapatkan pekerjaan selama dua tahun, Utuy menulis dua novel berbahasa Sunda dengan judul ''Mahala Bapa'' dan ''Tambera'' (Supartono, 2001:4-5).
Utuy mengawali belajar tulis menulis melalui koran berbahasa Sunda, ''Sinar Pasundan.'' Dalam keadaan ekonomi yang sulit, sambil menunggu mendapatkan pekerjaan selama dua tahun, Utuy menulis dua novel berbahasa Sunda dengan judul ''Mahala Bapa'' dan ''Tambera'' (Supartono, 2001:4-5).


Pada 1938 Utuy mendapatkan pekerjaan sebagai juru tulis di kantor ''Regentschapswarken'' Bandung yang dijalaninya sampai kedatangan Jepang pada 1942. Pada masa Jepang, ia bekerja di bagian kebudayaan PUTERA (Poesat Tenaga Rakyat) cabang Priangan. Pada awal masa revolusi, Utuy Tatang Sontani sempat menjadi editor pada majalah ''Berontak'' yang diterbitkan oleh BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia) di Magelang. Setelah tidak terbit lagi, Utuy kembali ke Bandung dan bekerja di RRI Bandung dan sempat menjadi editor berita Bahasa Sunda. Sumber lain menyebutkan bahwa Utuy menjadi pemimpin redaksi berita dalam bahasa Sunda untuk Tentara Republik di Bandung sampai tahun 1947 ketika Agresi Militer Belanda. Setahun kemudian, setelah menyelesaikan dua karya pertamanya yang berbahasa Indonesia, yaitu ''Suling'' dan ''Bunga Rumah Makan'', Utuy pindah ke Jakarta (Echols: 17, Supartono, 2001: 6-8).
Pada 1938 Utuy mendapatkan pekerjaan sebagai juru tulis di kantor ''Regentschapswarken'' Bandung yang dijalaninya sampai kedatangan Jepang pada 1942. Pada masa Jepang, ia bekerja di bagian kebudayaan [[Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA)|PUTERA (Poesat Tenaga Rakyat)]] cabang Priangan. Pada awal masa revolusi, Utuy Tatang Sontani sempat menjadi editor pada majalah ''Berontak'' yang diterbitkan oleh BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia) di Magelang. Setelah tidak terbit lagi, Utuy kembali ke Bandung dan bekerja di [[Radio Republik Indonesia (RRI)|RRI]] Bandung dan sempat menjadi editor berita Bahasa Sunda. Sumber lain menyebutkan bahwa Utuy menjadi pemimpin redaksi berita dalam bahasa Sunda untuk Tentara Republik di Bandung sampai tahun 1947 ketika Agresi Militer Belanda. Setahun kemudian, setelah menyelesaikan dua karya pertamanya yang berbahasa Indonesia, yaitu ''Suling'' dan ''Bunga Rumah Makan'', Utuy pindah ke Jakarta (Echols: 17, Supartono, 2001: 6-8).


Di Jakarta, karya-karya Utuy mulai diterbitkan. ''Suling'' dan ''Bunga Rumah Makan'' diterbitkan oleh Balai Pustaka, kemudian disusul ''Tambera'' (1949), ''Orang-Orang Sial'' (1951), ''Awal dan Mira'' (1952) (Supartono, 2001: 8). Dua karya yang terakhir mendapatkan penghargaan dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Pada 1956, badan yang sama juga memberikan penghargaan atas karya Utuy yang berupa drama ''Saat Yang Genting'' (Echols, t.t.: 17). Balai Pustaka juga menerbitkan ''Sang Kuriang'' (1959) dan ''Manusia Kota'' (1961). Selain oleh Balai Pustaka, karya-karya Utuy juga diterbitkan oleh Badan Penerbitan LEKRA (Jajasan Kebudajaan Sedar) yaitu ''Si Kabajan'' (1959)'', Si Sapar'' (1965), dan ''Si Kampeng'' (1965). ''Selamat Jalan Anak Kufur'' (1963) diterbitkan oleh penerbit Nusantara Bukittinggi (Supartono, 2001: 8).
Di Jakarta, karya-karya Utuy mulai diterbitkan. ''Suling'' dan ''Bunga Rumah Makan'' diterbitkan oleh Balai Pustaka, kemudian disusul ''Tambera'' (1949), ''Orang-Orang Sial'' (1951), ''Awal dan Mira'' (1952) (Supartono, 2001: 8). Dua karya yang terakhir mendapatkan penghargaan dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Pada 1956, badan yang sama juga memberikan penghargaan atas karya Utuy yang berupa drama ''Saat Yang Genting'' (Echols, t.t.: 17). Balai Pustaka juga menerbitkan ''Sang Kuriang'' (1959) dan ''Manusia Kota'' (1961). Selain oleh Balai Pustaka, karya-karya Utuy juga diterbitkan oleh Badan Penerbitan [[Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA)|LEKRA]] (Jajasan Kebudajaan Sedar) yaitu ''Si Kabajan'' (1959)'', Si Sapar'' (1965), dan ''Si Kampeng'' (1965). ''Selamat Jalan Anak Kufur'' (1963) diterbitkan oleh penerbit Nusantara Bukittinggi (Supartono, 2001: 8).


Sejak 1961, Utuy menjadi asisten H.B. Jassin di Lembaga Bahasa dan Kesusastraan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta (Echols, t.t.: 17). Pada 27 September 1965 bersama sekitar 500 orang delegasi Indonesia pergi ke Tiongkok sebagai utusan resmi pemerintah dan wakil organisasi-organisasi profesi seperti PGRI dan PWI. Sebagian besar dari rombongan merupakan delegasi PKI dan ormas-ormas kiri seperti BTI, Pemuda Rakyat, SOBSI, Gerwani dan LEKRA.  Karena terjadinya Peristiwa G 30 S 1965, ketua rombongan Joesoef Adjitorop mengumumkan agar para anggota delegasi tidak segera pulang ke tanah air. Akhirnya Utuy Tatang Sontani memutuskan untuk tinggal di Moskow sampai akhir hidupnya pada 17 September 1979 karena serangan jantung (Supartono, 2001: 1-2 dan 20).
Sejak 1961, Utuy menjadi asisten [[Hans Bague Jassin (H.B. Jassin)|H.B. Jassin]] di Lembaga Bahasa dan Kesusastraan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta (Echols, t.t.: 17). Pada 27 September 1965 bersama sekitar 500 orang delegasi Indonesia pergi ke Tiongkok sebagai utusan resmi pemerintah dan wakil organisasi-organisasi profesi seperti PGRI dan PWI. Sebagian besar dari rombongan merupakan delegasi [[Partai Komunis Indonesia (1920-1966)|PKI]] dan ormas-ormas kiri seperti BTI, Pemuda Rakyat, SOBSI, Gerwani dan LEKRA.  Karena terjadinya Peristiwa [[G30S/Gestok Tahun 1965|G 30 S 1965]], ketua rombongan Joesoef Adjitorop mengumumkan agar para anggota delegasi tidak segera pulang ke tanah air. Akhirnya Utuy Tatang Sontani memutuskan untuk tinggal di Moskow sampai akhir hidupnya pada 17 September 1979 karena serangan jantung (Supartono, 2001: 1-2 dan 20).


Penulis: Asti Kurniawati
Penulis: Asti Kurniawati

Revision as of 14:04, 2 August 2023

Utuy Tatang Sontani, dramawan dan penulis cerita pendek, salah satu pendiri sastra Indonesia modern (Sikorsky, 2020) yang karya-karyanya berhasil mencapai level internasional (Woolgar, 2019: 5). Karya-karyanya juga diterjemahkan dalam bahasa Rusia, Mandarin, Jerman, Vietnam, Belanda, Ceko dan Italia (Supartono, 2001: 8).

Utuy Tatang Sontani lahir di Cianjur, Jawa Barat pada 13 Mei 1920 dari keluarga haji pedagang batik. Ia bersekolah di sekolah rendah dan kemudian pindah ke sekolah yang biayanya jauh lebih rendah daripada biaya di HIS. Ketika ayahnya berhasil memindahkannya ke sekolah Schakel yang mengajarkan bahasa Belanda, ia keluar karena tidak tahan dihina sebagai “inlander pemalas” oleh guru Belandanya karena ketidakmampuannya menghafal. Ia menemukan sekolah yang tepat di Taman Siswa, yang tetap mengajarkan bahasa Belanda meskipun tidak ada guru Belanda, ada pelajaran di luar kelas sambil bermain dan tamasya ke gunung yang dicintainya seminggu sekali, dan gurunya dipanggil “Bapak” (Supartono, 2001: 2-3).

Utuy mengawali belajar tulis menulis melalui koran berbahasa Sunda, Sinar Pasundan. Dalam keadaan ekonomi yang sulit, sambil menunggu mendapatkan pekerjaan selama dua tahun, Utuy menulis dua novel berbahasa Sunda dengan judul Mahala Bapa dan Tambera (Supartono, 2001:4-5).

Pada 1938 Utuy mendapatkan pekerjaan sebagai juru tulis di kantor Regentschapswarken Bandung yang dijalaninya sampai kedatangan Jepang pada 1942. Pada masa Jepang, ia bekerja di bagian kebudayaan PUTERA (Poesat Tenaga Rakyat) cabang Priangan. Pada awal masa revolusi, Utuy Tatang Sontani sempat menjadi editor pada majalah Berontak yang diterbitkan oleh BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia) di Magelang. Setelah tidak terbit lagi, Utuy kembali ke Bandung dan bekerja di RRI Bandung dan sempat menjadi editor berita Bahasa Sunda. Sumber lain menyebutkan bahwa Utuy menjadi pemimpin redaksi berita dalam bahasa Sunda untuk Tentara Republik di Bandung sampai tahun 1947 ketika Agresi Militer Belanda. Setahun kemudian, setelah menyelesaikan dua karya pertamanya yang berbahasa Indonesia, yaitu Suling dan Bunga Rumah Makan, Utuy pindah ke Jakarta (Echols: 17, Supartono, 2001: 6-8).

Di Jakarta, karya-karya Utuy mulai diterbitkan. Suling dan Bunga Rumah Makan diterbitkan oleh Balai Pustaka, kemudian disusul Tambera (1949), Orang-Orang Sial (1951), Awal dan Mira (1952) (Supartono, 2001: 8). Dua karya yang terakhir mendapatkan penghargaan dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Pada 1956, badan yang sama juga memberikan penghargaan atas karya Utuy yang berupa drama Saat Yang Genting (Echols, t.t.: 17). Balai Pustaka juga menerbitkan Sang Kuriang (1959) dan Manusia Kota (1961). Selain oleh Balai Pustaka, karya-karya Utuy juga diterbitkan oleh Badan Penerbitan LEKRA (Jajasan Kebudajaan Sedar) yaitu Si Kabajan (1959), Si Sapar (1965), dan Si Kampeng (1965). Selamat Jalan Anak Kufur (1963) diterbitkan oleh penerbit Nusantara Bukittinggi (Supartono, 2001: 8).

Sejak 1961, Utuy menjadi asisten H.B. Jassin di Lembaga Bahasa dan Kesusastraan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta (Echols, t.t.: 17). Pada 27 September 1965 bersama sekitar 500 orang delegasi Indonesia pergi ke Tiongkok sebagai utusan resmi pemerintah dan wakil organisasi-organisasi profesi seperti PGRI dan PWI. Sebagian besar dari rombongan merupakan delegasi PKI dan ormas-ormas kiri seperti BTI, Pemuda Rakyat, SOBSI, Gerwani dan LEKRA.  Karena terjadinya Peristiwa G 30 S 1965, ketua rombongan Joesoef Adjitorop mengumumkan agar para anggota delegasi tidak segera pulang ke tanah air. Akhirnya Utuy Tatang Sontani memutuskan untuk tinggal di Moskow sampai akhir hidupnya pada 17 September 1979 karena serangan jantung (Supartono, 2001: 1-2 dan 20).

Penulis: Asti Kurniawati


Referensi

Echols, J.M., “Introduction”, Sontani, Utuy T. “The Flower of the Restaurant (Bunga Rumah Makan)”.

Sikorsky, Vilen V. (2020). “To the Centenary of the Indonesian Writer Utuy Tatang Sontani”, Vostok (Oriens).

Supartono, Alex. (2001). “Rajawali Berlumur Darah: Karya-karya Eksil Utuy Tatang Sontani”, tulisan ini dipersiapkan untuk diterbitkan Jurnal Kalam, http://www.geocities.com.

Woolgar, Matthew. (2019). “A ‘Cultural Cold War’?”, Indonesia and the Malay Word, https://doi.org/10.1080/13639811.2019.1682316.