Latief Hendraningrat: Difference between revisions
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh") |
No edit summary |
||
Line 1: | Line 1: | ||
[[File:Latief Hendraningrat - L1153.jpg|center|thumb|Latief Hendraningrat. Sumber: [https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=617839 Koleksi Perpustakaan Nasional RI, No. Panggil - L1153]]] | |||
Latief Hendraningrat adalah tokoh pejuang dan militer yang ikut terlibat dalam peristiwa proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Sosok yang dikenal sebagai sang pengerek bendera merah putih ini memiliki nama lengkap Raden Mas Abdul Latief Hendraningrat. Ia lahir pada 15 Februari 1911 di Jatinegara sebagai anak dari pasangan Raden Mas Moh. Said Hendraningrat dan Raden Ajeng Sitti Haerani. Pada usia satu tahun, ibu kandungnya meninggal dunia. Karena itu, Latief besar di bawah pengasuhan ibu tirinya dan memiliki tiga orang adik, yaitu Rukmiati, Rukmita Hendraningrat, dan Sitti Salamah. Ayahnya merupakan seorang wedana di Jakarta. Dengan keadaan itu, Latief kecil tergolong anak yang cukup beruntung karena dapat mengenyam pendidikan formal di sekolah-sekolah yang dikelola pemerintah kolonial Belanda. Ia memulai pendidikannya di [[Europeesche Lagere School (ELS)|''Europeesche Lagere School'' (ELS)]] Jakarta dan tamat pada 1926. Jenjang pendidikan berikutnya ia tempuh di [[Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)|''Meer Uitgebreid Lager Onderwijs'' (MULO)]] Bandung. Namun belum sempat selesai ia harus pindah mengikuti ayahnya dan melanjutkan sekolah di MULO Malang yang diselesaikan pada 1929. Ia lalu meneruskan pendidikannya di ''Algemeene Middelbare School'' (AMS) Malang dan tamat pada 1933. Latief sempat mengenyam pendidikan tinggi di ''Rechtshoogeschool'' (RHS) Jakarta pada 1933. Namun, ia hanya menjalani selama setahun sebelum akhirnya memutuskan berhenti karena biaya pendidikan yang tergolong cukup tinggi saat itu, yakni 3.000 gulden per tahun (Sandjojo, 2011). | Latief Hendraningrat adalah tokoh pejuang dan militer yang ikut terlibat dalam peristiwa proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Sosok yang dikenal sebagai sang pengerek bendera merah putih ini memiliki nama lengkap Raden Mas Abdul Latief Hendraningrat. Ia lahir pada 15 Februari 1911 di Jatinegara sebagai anak dari pasangan Raden Mas Moh. Said Hendraningrat dan Raden Ajeng Sitti Haerani. Pada usia satu tahun, ibu kandungnya meninggal dunia. Karena itu, Latief besar di bawah pengasuhan ibu tirinya dan memiliki tiga orang adik, yaitu Rukmiati, Rukmita Hendraningrat, dan Sitti Salamah. Ayahnya merupakan seorang wedana di Jakarta. Dengan keadaan itu, Latief kecil tergolong anak yang cukup beruntung karena dapat mengenyam pendidikan formal di sekolah-sekolah yang dikelola pemerintah kolonial Belanda. Ia memulai pendidikannya di [[Europeesche Lagere School (ELS)|''Europeesche Lagere School'' (ELS)]] Jakarta dan tamat pada 1926. Jenjang pendidikan berikutnya ia tempuh di [[Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)|''Meer Uitgebreid Lager Onderwijs'' (MULO)]] Bandung. Namun belum sempat selesai ia harus pindah mengikuti ayahnya dan melanjutkan sekolah di MULO Malang yang diselesaikan pada 1929. Ia lalu meneruskan pendidikannya di ''Algemeene Middelbare School'' (AMS) Malang dan tamat pada 1933. Latief sempat mengenyam pendidikan tinggi di ''Rechtshoogeschool'' (RHS) Jakarta pada 1933. Namun, ia hanya menjalani selama setahun sebelum akhirnya memutuskan berhenti karena biaya pendidikan yang tergolong cukup tinggi saat itu, yakni 3.000 gulden per tahun (Sandjojo, 2011). | ||
Latest revision as of 15:48, 12 September 2024
Latief Hendraningrat adalah tokoh pejuang dan militer yang ikut terlibat dalam peristiwa proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Sosok yang dikenal sebagai sang pengerek bendera merah putih ini memiliki nama lengkap Raden Mas Abdul Latief Hendraningrat. Ia lahir pada 15 Februari 1911 di Jatinegara sebagai anak dari pasangan Raden Mas Moh. Said Hendraningrat dan Raden Ajeng Sitti Haerani. Pada usia satu tahun, ibu kandungnya meninggal dunia. Karena itu, Latief besar di bawah pengasuhan ibu tirinya dan memiliki tiga orang adik, yaitu Rukmiati, Rukmita Hendraningrat, dan Sitti Salamah. Ayahnya merupakan seorang wedana di Jakarta. Dengan keadaan itu, Latief kecil tergolong anak yang cukup beruntung karena dapat mengenyam pendidikan formal di sekolah-sekolah yang dikelola pemerintah kolonial Belanda. Ia memulai pendidikannya di Europeesche Lagere School (ELS) Jakarta dan tamat pada 1926. Jenjang pendidikan berikutnya ia tempuh di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Bandung. Namun belum sempat selesai ia harus pindah mengikuti ayahnya dan melanjutkan sekolah di MULO Malang yang diselesaikan pada 1929. Ia lalu meneruskan pendidikannya di Algemeene Middelbare School (AMS) Malang dan tamat pada 1933. Latief sempat mengenyam pendidikan tinggi di Rechtshoogeschool (RHS) Jakarta pada 1933. Namun, ia hanya menjalani selama setahun sebelum akhirnya memutuskan berhenti karena biaya pendidikan yang tergolong cukup tinggi saat itu, yakni 3.000 gulden per tahun (Sandjojo, 2011).
Kehidupan dan pemikiran Latief banyak dipengaruhi ketika dirinya bersekolah di Bandung. Di kota ini, ia tinggal di rumah pamannya, yaitu Iskak Tjokrohadisurjo yang memiliki banyak kenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan, seperti Sukarno dan Soenarjo. Kerap mendengar percakapan paman dan kawan-kawannya membuat Latief sedikit tahu informasi perkembangan pergerakan. Selain itu, ia juga bergabung menjadi anggota kepanduan. Dari pengalamannya itu pula jiwa kemiliteran Latief tumbuh. Pada 1930-an, dalam bidang organisasi kepemudaan, Latief aktif sebagai anggota Jong Java dan Surya Wirawan di bawah naungan Parindra. Di organisasi Surya Wirawan, ia mulanya menjabat sebagai kepala pasukan sebelum akhirnya terpilih sebagai wakil ketua cabang Jakarta yang diembannya hingga masuknya tentara pendudukan Jepang (Sandjojo, 2011). Pengalamannya di organisasi ini membuat minat Latief di bidang militer kian menggebu.
Pada masa pendudukan Jepang, akhirnya Latief memperoleh pengalaman kemiliteran yang tidak pernah diperolehnya pada masa kolonial Belanda. Hal ini berawal ketika pada awal 1943 pihak Jepang mulai menyadari posisinya yang mulai tersudut dalam perang Asia Timur Raya. Untuk mempertahankan kedudukannya di Hindia Belanda, terutama Jawa, pihak Jepang merasa perlu mendapat dukungan penduduk pribumi. Hal ini kemudian mendasari pihak Jepang membentuk Seinendan yang bertugas mengumpulkan dan melatih para pemuda Indonesia. Tujuannya ialah menyediakan tenaga cadangan dalam memperkuat angkatan perang Jepang menghadapi sekutu. Latief pun diangkat sebagai pegawai di Kantor Besar Jawa Rengo Seinendan yang mulai berdiri pada 10 Juli 1943 (Warmansjah, Sudiyo, dan Djamaluddin, 1997). Setahun sebelumnya, ia sempat mengusulkan pembentukan suatu Pusat Latihan Pemuda untuk melatih para pemuda pribumi agar memiliki dasar kemiliteran. Usulan itu diterima yang ditandai dengan berdirinya Pusat Latihan Pemuda (Seinen Kunrensho) Jakarta pada 1942, di mana Latief sendiri bertindak sebagai pemimpin merangkap guru pelatih.
Ketika pihak Jepang membentuk tentara sukarela yang dikenal dengan Tentara Pembela Tanah Air (PETA) pada 3 Oktober 1943, Latief lantas tidak berpikir panjang untuk bergabung. Saat itu, pembentukan PETA banyak menarik minat para pemuda dengan berbagai macam motif. Ada kelompok yang bergairah, kelompok yang acuh, dan bahkan ada pula yang hanya sekedar untuk mencari nafkah karena sulitnya pekerjaan. Khususnya yang bergairah, mereka adalah para pemuda yang yakin bahwa suatu saat Indonesia akan memperoleh kemerdekaannya sendiri (Imran et al., 2012: 63). Latief tentu saja termasuk salah satu di antara kelompok yang bergairah ini. Dalam struktur jabatan organisasi Peta, ia menjabat posisi Chudanco (Komandan Kompi) di Jakarta atau satu tingkat di bawah Daidanco (Komandan Batalyon) Jakarta, yakni jabatan tertinggi prajurit pribumi yang saat itu dijabat oleh Kasman Singodimedjo.
Bergabung di PETA pada gilirannya memungkinkan Latief menjadi salah satu sosok penting di seputar peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia. Hal ini berawal ketika pengeboman Hiroshima dan Nagasaki (6 dan 9 Agustus 1945) disusul penyerahan Jepang terhadap sekutu pada 14 Agustus 1945. Kondisi ini melahirkan perbedaan pandangan antara golongan tua dan golongan muda. Sebagaimana diketahui, golongan tua menginginkan proklamasi kemerdekaan dilaksanakan setelah mendapat informasi resmi tentang Jepang yang telah menyerah kalah. Sebaliknya, golongan muda menghendaki agar proklamasi kemerdekaan dilaksanakan segera mungkin guna menghindari kesan bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan “hadiah” yang diberikan Jepang. Perbedaan inilah yang kemudian mengilhami para pemuda untuk mengamankan Sukarno dan Moh. Hatta ke luar kota dengan maksud menjauhkan kedua pemimpin itu dari segala pengaruh Jepang. Lokasi pengamanan yang disepakati para pemuda ialah Rengasdengklok. Upaya pelaksanaan pengamanan dapat berjalan sesuai rencana dengan adanya dukungan berupa perlengkapan Tentara Peta dari Latief, yang saat itu pro terhadap kalangan muda. Langkah pengamanan yang dikenal dengan Peristiwa Rengasdengklok ini berakhir setelah tercapainya kesepakatan antara golongan tua dan muda bahwa proklamasi kemerdekaan akan dilangsungkan pada 17 Agustus 1945 selambat-lambatnya pukul 12.00 WIB.
Pada hari pelaksanaan proklamasi, atas arahan dr. Moewardi, Latief mengerahkan beberapa orang prajurit PETA untuk berjaga-jaga di sekitar rel kereta yang membentang di belakang rumah Sukarno, yakni tempat diadakannya proklamasi kemerdekaan. Ia menginstruksikan hal ini beberapa jam sebelum proklamasi diikrarkan. Sekitar pukul 10.30 pagi, proklamasi kemerdekaan pun dimulai. Diawali pembacaan teks proklamasi oleh Sukarno, acara selanjutnya ialah pengibaran bendera merah putih. Saat itu, Latief bersama S. Soehoed, salah seorang anggota Barisan Pelopor, dengan sigap bertugas menaikkan bendera merah putih di sebuah tiang bambu yang kemudian diikuti lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh para hadirin secara spontan saat itu. Usai pengibaran bendera merah putih, acara proklamasi kemerdekaan diakhiri dengan kata sambutan yang dibawakan oleh Walikota Jakarta, Suwirjo dan dr. Muwardi. Demikianlah acara proklamasi kemerdekaan berlangsung kurang lebih satu jam dengan penuh khidmat dan sederhana (Poesponegoro dan Notosusanto, 1984: 90–94)
Terlibat dalam peristiwa bersejarah tidak lantas membuat Latief merasa puas dan bangga. Perjuangannya bersama rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia justru baru saja dimulai. Pasca dibubarkannya Tentara Peta, Latief terpilih menjadi Ketua II untuk BKR Pusat (Poesponegoro dan Notosusanto, 1984: 107). Posisinya inilah yang membuat Latief aktif memimpin pasukan militer di masa revolusi. Ketika Agresi Militer Belanda I terjadi pada April 1947, misalnya, ia ditunjuk sebagai Panglima Pertempuran di Divisi VI yang bermarkas di Jombang dan sekaligus menjabat Komandan Teritorial Karesidenan Surabaya. Ia ikut pula menumpas pemberontakan PKI Madiun pada September 1948. Begitupun saat Agresi Militer Belanda II berlangsung pada Desember 1948, Latief bertugas sebagai Komandan Militer Ibukota Yogyakarta. Dalam menjalankan tugasnya itu, ia mengkoordinir pelaksanaan perang gerilya di daerah Jogjakarta. Selain aktif memimpin pasukan militer, Latief juga berkecimpung di bidang pendidikan dan latihan militer. Antara 1945 hingga 1947, umpamanya, ia ikut mendirikan Akademi Militer di Yogyakarta merangkap guru pelatih (Sandjojo, 2011).
Pasca penyerahan kedaulatan, Latief tetap bergelut di bidang militer. Setelah mengikuti kursus atase militer pada awal 1952, ia dikirim sebagai Atase Militer untuk Kedutaan Besar RI di Filipina selama tiga tahun (1952-1955). Ia lalu dipindahtugaskan ke Washington dengan jabatan yang sama selama setahun (1955-1956). Karir militer Latief semakin menanjak setelah kepulangannya dari Washington. Hal ini ditandai dengan pengangkatan dirinya sebagai Direktur Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) di Bandung pada 1958. Dua tahun kemudian, perjalanan hidup Latief banyak dihabiskan dalam bidang politik. Hal ini terutama karena dirinya diangkat sebagai anggota DPR-Gotong Royong dari golongan karya ABRI (1960-1965). Selama bertugas sebagai wakil rakyat, Latief pernah menjabat posisi Ketua Komisi Luar Negeri (Sandjojo, 2011)
Meskipun berlatar belakang militer, sisi hidup Latief juga lekat dengan dunia pendidikan yang telah ditekuni sejak masa pergerakan. Setelah berhenti dari pendidikan tinggi hukum pada 1934, ia mengajar di sekolah-sekolah perguruan rakyat, Muhammadiyah dan Perguruan Taman Siswa. Keterlibatannya sebagai tenaga pengajar di lembaga-lembaga pendidikan tersebut karena ia mahir berbahasa asing, seperti bahasa Belanda, Inggris dan Jerman. Kelebihan itu pula yang membuat Latief terpilih sebagai salah satu utusan dari rombongan kesenian Hindia Belanda untuk New York’s Fair di New York pada 1939. Dalam pameran ini, rombongan yang diutus bertugas memperkenalkan kesenian Jawa, membatik, ukir kayu, tatah kulit dan musik gamelan. Bertindak sebagai ketua rombongan, saat itu Latief juga tampil membawakan pidato dalam dua bahasa, yakni bahasa Melayu dan Inggris. Menjelang perang pasifik, ia sempat pula bekerja sebagai penerjemah koran di konsulat Jepang sebelum akhirnya ditahan pihak Belanda karena dirinya diduga sebagai antek jepang (Sandjojo, 2011: 81; De Indische Courant, 30 November 1939).
Puncak keterlibatan Latief di bidang pendidikan ialah saat dirinya dipercaya menduduki jabatan rektor di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta pada 1964. Selain tercatat sebagai rektor IKIP yang pertama, ia adalah satu-satunya rektor IKIP yang berasal dari kalangan militer. Namun, kondisi politik yang tidak berlangsung kondusif membuat perjalanan karirnya tidak berjalan mulus saat itu. Di masa kepemimpinannya, perseteruan kerap terjadi antara pihak kampus dan lembaga-lembaga mahasiswa. Perseteruan ini ditengarai bersumber dari sosok Latief yang dikenal sebagai pendukung demokrasi terpimpin. Sementara itu, organisasi internal dan eksternal mahasiswa juga sering terlibat dalam kehidupan politik praktis sehingga berbagai macam kepentingan muncul di kalangan mahasiswa yang justru semakin mempertajam fragmentasi kampus pada masa itu. Kondisi itu pada gilirannya memunculkan tuntutan mahasiswa yang menghendaki agar Latief diberhentikan dari jabatannya. Akibatnya, Latief mengemban jabatan rektor hanya setahun sebelum akhirnya digantikan oleh Prof. Dr. Maftukhah Yusuf (Umasih et al., 2014).
Latief resmi pensiun dari dunia militer dengan pangkat terakhirnya Brigadir Jenderal pada 1 Januari 1967 atau beberapa bulan setelah dirinya tidak lagi menjabat sebagai rektor. Berakhirnya masa tugas kemiliteran tidak menyurutkan niat Latief untuk mengabdi pada bangsa dan negara. Ia kemudian tetap aktif berkegiatan, terutama di bidang sosial, seperti Yayasan Perguruan Rakyat, Indonesia Muda Cabang Jakarta dan Dewan Harian Pusat Angkatan 45. Selain itu, wiraswasta juga menjadi salah satu pilihan yang dijalaninya. Terdapat beberapa usaha yang digeluti Latief, antara lain perusahaan dagang “Pembimbing”, biro perjalanan PT. Tambora Pariwisata Indah, biro bangunan PT. Madja Tjahja. Di usianya yang ke-33 tahun, Latief menikah dengan seorang gadis bernama Sophia dan dianugerahi empat orang anak. Latief meninggal dunia pada 14 Maret 1983 dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Atas jasa-jasanya, di samping gelar kehormatan veteran pejuang kemerdekaan RI, Latief juga memperoleh tidak kurang dari sembilan tanda kehormatan dalam bidang militer.
Penulis: Syafaat Rahman Musyaqqat
Referensi
De Indische Courant, 30 November 1939.
Imran, Amrin, Mohammad Iskandar, R. Z Leirissa, Susanto Zuhdi, dan G. Ambar Wulan Tulistyowati. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah/ 6, Perang dan Revolusi. Diedit oleh Mestika Zed dan Mukhlis. Paeni. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto, ed. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI/ Edisi ke-4. Jakarta: Balai Pustaka.
Sandjojo, Nidjo. 2011. Abdul Latief Hendraningrat Sang Pengibar Bendera Pusaka 17 Agustus 1945. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Umasih, Tuti Nuriah Erwin, Abrar, Budiaman, Kurniawati, Humaidi, dan Aeng Muhidin. 2014. Rekam Jejak 50 Tahun Universitas Negeri Jakarta (1964-2014). Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
Warmansjah, G A, Sudiyo, dan Alwi Djamaluddin. 1997. Sejarah Revolusi Fisik Daerah DKI Jakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.