Negara Federal
Gagasan negara federal bagi Indonesia berasal dari seorang insinyur kehutanan bernama Ritsema van Eyck. tahun 1916, van Eyck menjabat Kepala Dinas Kehutanan di Cepu. Dari pengalaman-pengalamannya di lapangan, dia berpendapat bahwa manajemen pemerintahan Hindia-Belanda tidak mungkin dilakukan secara seragam. Dia memandang keragaman lokal dalam legislasi dan pelayanan pemerintahan akan lebih efektif jika dijalankan dalam format negara federal (Mboi, 2011: 467). Ini Edit
Ketika Perhimpunan Indonesia mengadakan kongres pada tanggal 7 dan 28 Maret 1926 di Belanda, Sunarjo juga memunculkan persoalan mengenai bentuk negara Indonesia merdeka. Hatta dan mayoritas mahasiswa di Amsterdam lebih memilih sistem negara federal dengan alasan karena adanya keragaman latar budaya di Hindia (Latif, 2012: 379). Setahun sebelumnya, pada tahun 1925 Gubernur Jenderal Jan Van Limburg Stirum sudah juga mengemukakan gagasan yang kurang-lebih sama. Walaupun demikian, van Limburg Stirum tetap mengatakan kalau kemungkinan itu tidak boleh melupakan kekuatan pemerintahan di Hindia-Belanda yang bertitik-pangkal pada bentuk kesatuan (Swantoro, 2016: 298).
Gagasan negara federal untuk Indonesia lainnya muncul pada 14 Desember 1928, ketika Frederik Willem Tobias Hunger Jr. menulis disertasi berjudul Federatieve Staatsbouw, Een Vraagstuk voor Nederlandsch-Indie (Bentuk Negara Federal, Suatu Persoalan untuk Hindia Belanda). Melalui karya ini, Hunger Jr. memperkenalkan negara federal sebagai bentuk sistem negara cocok untuk Indonesia di masa mendatang, di mana keberagaman yang menjadi ciri dasar Hindia Belanda akan dapat diakui sepenuhnya dan mendapat tempat yang sewajarnya (Swantoro, 2016: 298).
Namun, yang disebut-sebut sebagai "Arsitek Negara Federal" yang mempersiapkan Indonesia menjadi negara federal ialah Hubertus van Mook (Swantoro, 2016: 297). Van Mook hadir dalam acara makan bersama berbagai delegasi yang ditaja Indische Vereniging di Den Haag, pada 14 April 1917. Dia menekankan perlunya pembinaan kerja sama antara berbagai kelompok penduduk di Hindia-Belanda (Nagazumi, 1986: 153-4). Di kemudian hari dia diangkat menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat), Menteri Jajahan dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, jabatan-jabatan yang memungkinkannya mengadakan suatu sistem negara federal untuk Indonesia (Nagazumi, 1986: 154).
Dalam praktiknya, realisasi negara federal dilakukan van Mook setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dan Belanda adalah kembali menganeksasi Indonesia. Ide negara federal van Mook pada awalnya direalisasikan dengan membentuk Negara Indonesia Timur tanggal 18 Desember 1946. Beberapa negara federal lainnya yang berhasil dibentuk van Mook ialah Negara Pasundan, Daerah Istimewa Borneo, Negara Madura, Negara Sumatra Timur, dan Negara Jawa Timur. Upaya ini, kata Smit, merupakan suatu taktik Belanda mengadu-domba suatu daerah dengan daerah yang lain dalam wilayah Indonesia, "dengan kata lain suatu politik ‘pecah-belah dan kuasai’, ungkapan dari nafsu bertahan Belanda,” demikian Smit, (1986: 15). Anak Agung pun berpendapat sama, upaya van Mook melancarkan kampanye negara federal hanya sebagai senjata politik untuk mengisolasi Republik Indonesia yang ketika itu berpusat di Yogyakarta. Selain itu, van Mook juga menggunakan negara federal untuk menggunakannya sebagai jembatan dalam mewujudkan cita-citanya mendirikan sebuah negara yang tidak diperintah dari Den Haag. Negara yang dimaksud ini bakal dikendalikan dari Batavia secara otoriter dan akan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan van Mook sendiri (Swantoro, 2016: 301).
Negara federal yang 'diciptakan' van Mook tidak bertahan lama. Negara federal itu bertentangan dengan kemauan kebanyakan orang Indonesia yang menginginkan suatu negara republik kesatuan (Akira, 1986: 154). Negara federal terbukti tidak populer (Mutawally, 2021: 13) dan kebanyakan rakyat meminta untuk mengintegrasikan kembali negara-negara bagian yang sudah terbentuk itu ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penulis: Deddy Arsya
Referensi
Mboi, Ben, 2011. Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamongpraja, Jakarta: Gramedia.
Latif, Yudi, 2012. Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Jakarta: Democracy Project.
Nagazumi, Akira, 1986. "Masa Awal Pembentukan 'Perhimpunan Indonesia', Kegiatan Mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda, 1916-1917", dalam Akira Nagazumi (penyunting), Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang: Perubahan Sosial-ekonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mutawally, Anwar F, 2021. “State of East Indonesia (1946-1950) from Netherlands Puppet State and Return to Indonesia.” SocArXiv. 26 November 2021, doi:10.31235/osf.io/ag9e2.
Rahzen, Taufik (ed.), 2007. 1907-2007 Seabad Pers Kebangsaan, Jakarta: I:Boekoe.
Smit, C., 1986. Dekolonisasi Indonesia Fakta dan Ulasan, Jakarta: Pustaka Azet.
Swantoro, P. 2016. Dari Buku ke Buku, Jakarta: Gramedia.