Maludin Simbolon

From Ensiklopedia
Maludin Simbolon. Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional RI, No. Panggil - L.1010


Kolonel Maludin Simbolon adalah perwira militer yang menjadi salah seorang pimpinan dalam pemberontakan PRRI-Permesta di Sumatera. Ia lahir pada 13 September 1916 di Tarutung, Sumatra Utara. Ayahnya seorang mandor perkebunan Pearaja Tarutung yang bernama Julius Simbolon dan ibunya bernama Nursiah Lumbantobing. Maludin Simbolon menghabiskan masa kecilnya di Pulo Tao, sebuah pulau kecil di Danau Toba. Pada usia 7 tahun, Maludin Simbolon mulai menempuh pendidikan formal di sekolah rendah yang diasuh oleh Zending di Simanindo. Setelah dua tahun di Simanindo, seorang pendeta yang bernama Brenstrodt membantu Maludin Simbolon masuk ke  sekolah Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Narumonda (Bangun, 1996: 9).

Orang tua Maludin Simbolon adalah sosok berpikiran maju. Mereka memandang pendidikan sebagai jalan menuju kepada kehidupan yang lebih baik dan maju. Hal inilah yang menyebabkan Maludin dikirim ke Probolinggo, Jawa Timur, untuk melanjutkan pendidikannya. Di Jawa Timur, Ia masuk ke sekolah guru yaitu Christelijke Hollandsch Inlandsche Kweekschool (Chr.HIK). Maludin Simbolon memilih masuk ke Chr.HIK  karena pada masa itu guru dan pendeta  sangat dihormati di Tapanuli. Saat sedang menempuh pendidikan di Chr. HIK Probolinggo, sekolah ini diintegrasikan dengan Chr. HIK Solo.  Pada tahun 1938, Maludin Simbolon  berhasil menyelesaikan pendidikannya di Chr. HIK Solo dengan predikat terbaik (Bangun, 1996: 14).

Sebelum berkarier di militer, Maludin Simbolon berprofesi sebagai guru. Setelah menyelesaikan pendidikan di Chr. HIK Solo, ia menjadi guru di HIS Kartasura, Solo. Namun hanya setahun ia bekerja di sekolah ini karena Maludin Simbolon memutuskan untuk  ke Sumatra dan menerima tawaran mengajar di sekolah swasta di Curup, Bengkulu tahun 1940. Saat menjadi guru di Curup, Maludin Simbolon mulai mengenal ide-ide nasionalisme dari majalah Nationale Commentaren yang diasuh oleh Dr. Sam Ratulangi. Ia  mulai sadar akan tugas dan kewajibannya sebagai guru dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsanya (Bangun, 1996: 16-18).  

Pada tahun 1943, Maludin Simbolon mulai tertarik ke militer. Ia  mendaftarkan diri untuk mengikuti pelatihan dan pendidikan militer Gyugun di  Pagar Alam, Sumatera Selatan. Semangat nasionalisme dan pembunuhan saudara laki-lakinya, Julius Simbolon, oleh tentara Jepang menjadi alasan Maludin Simbolon untuk terjun ke militer. Setelah menyelesaikan pendidikan dan pelatihan militer, ia diberi pangkat  Gyu Syoi (Letnan Dua) dan ditempatkan sebagai perwira di Markas Batalyon Gyugun Sumatra Selatan. Saat bertugas membangun pertahanan anti serangan udara di stasiun kereta api Lahat, Maludin Simbolon mulai berkenalan dengan Dr. A.K. Gani, seorang tokoh pergerakan bangsa di Sumatera Selatan (Susetyo, 2021; Bangun, 1996: 23).

Setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945, karier Maludin Simbolon dalam bidang militer semakin meningkat. Dr. A.K. Gani sebagai Koordinator dan Formatur Komando Sumatra menugaskan Maludin Simbolon sebagai Komandan Divisi-I di Lahat. Maludin Simbolon menjalankan tugasnya dengan penuh tanggungjawab. Ia membenahi organisasi dan memberdayakan sumber daya setempat untuk memenuhi kebutuhan pasukannya. Hal ini berbeda dengan usaha para komandan lain yang melakukan perdagangan barter untuk operasional pasukan  di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pada awal Juli 1946, Maludin Simbolon diangkat menjadi Staf Komandemen Bidang Organisasi dan Operasi di Bukittinggi. Ia mulai mempelajari tentang strategi perang dari buku-buku klasik berbahasa Jerman. Maludin Simbolon juga belajar tentang diplomasi militer. Ia mempelajarinya saat bertugas sebagai anggota delegasi TRI mewakili Sumatra di dalam perundingan gencatan senjata dengan sekutu (Bangun, 1996: 46. Susetyo, 2021).

Pada  1 Desember 1946, Kolonel Maludin Simbolon diangkat menjadi Panglima Sub Komando Militer Sumatera Selatan yang meliputi Palembang, Jambi, Bengkulu, dan Lampung. SUBKOSS di Palembang menempati gedung bekas kantor pelayaran Belanda di Boom Baru. Namun, akibat Perang 5 hari 5 malam di Palembang, maka kedudukan SUBKOSS pindah ke Lahat. Menjelang Agresi Militer II, Maludin Simbolon mengeluarkan satu kebijakan yaitu Peraturan Operasi Komandan Sub Teritorium Sumatra Selatan. Peraturan ini menjadi pedoman bagi seluruh Tentara Nasional Indonesia di dalam Sub Teritorium Sumatra Selatan. Di dalamnya digariskan tentang strategi, taktik dan rencana operasi dengan fase-fase (Susetyo, 2021).

Pada masa Agresi Militer Belanda II, Maludin Simbolon berperan aktif dalam menanggulangi krisis pangan. Ia menandatangani kupon beras yang diperuntukkan rakyat tepat di hari penyerangan peristiwa Clash II. Bon beras ini berjumlah lima kilogram dibagikan kepada rakyat dan diambil di Lubuklinggau. Ia mewajibkan setiap pamong atau kepala adat membantu melancarkan kupon beras ini di wilayahnya masing-masing. Pasokan beras-beras ini diperoleh dari Tugumulyo yang merupakan daerah lumbung beras dengan areal persawahannya yang luas  (Susetyo, 2021).

Pengalaman Maludin Simbolon di bidang militer menjadi pertimbangan Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwo IX mengangkatnya menjadi Komandan Tentara dan Teritorium Sumatra Utara pada tahun 1950. Selanjutnya Maludin Simbolon  mengubah sebutan komandan menjadi panglima. Selain itu, ia mengubah nama Komando Tentara dan Teritorium Sumatra Utara menjadi Komando Tentara dan Teritorium Bukit Barisan.  Nama Bukit Barisan dipilih oleh Maludin Simbolon sebagai lambang kekuatan yang menyatukan wilayah komando dan menggambarkan peran Bukit Barisan dalam perang gerilya (Bangun, 1996). Kesulitan ekonomi yang dihadapi pasukannya di awal kemerdekaan menyebabkan Maludin Simbolon melangsungkan perdagangan barter karet antara pelabuhan-pelabuhan di Sumatera Utara dan Singapura (Bhakti dkk(ed.), 2018).

Pada pertengahan 1950, Maludin Simbolon menuntut pemerataan pembangunan untuk wilayah luar Jawa dan otonomi daerah yang lebih luas. Ia mendirikan Dewan Gajah dan mengumumkan pemutusan hubungan sementara dengan pemerintah pusat pada tangga 22 Desember 1956. Melalui dewan yang dibentuknya, Maludin Simbolon mengambil alih kekuasaan gubernur dan mengumumkan darurat perang di Provinsi Sumatra Utara. Meskipun Maludin Simbolon memutuskan hubungan sementara dengan pemerintah pusat akan tetapi ia tidak bermaksud melepaskan diri dari Republik Indonesia. Maludin Simbolon juga tidak berkeinginan untuk mendirikan suatu negara dalam negara (Kahin & Kahin, 1997) .

Langkah  yang ditempuh Maludin Simbolon dianggap oleh pemerintah dan pimpinan Angkatan Darat sebagai suatu pelanggaran terhadap doktrin TNI, Sapta Marga, dan sumpah Prajurit. Oleh karena itu,  ia diberhentikan sebagai Panglima Tentara dan Teritorium I/Bukit Barisan dan digantikan oleh Letnan Kolonel Djamin Ginting (Bhakti dkk (ed.), 2018; Bangun, 1996). Meskipun demikian, Maludin Simbolon tetap melakukan perlawanan bersama pasukannya. Ia melanjutkan perlawanan secara bergerilya dan bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Maludin Simbolon menjabat sebagai Menteri Luar Negeri PRRI dan berusaha membangun hubungan baik dengan  luar negeri, baik dalam upaya memperoleh dukungan diplomatik maupun memperoleh bantuan persenjataan dan perlengkapan militer. Hubungan luar negeri dijalinnya dengan Inggris dan Amerika Serikat. Di dalam menjalankan tugasnya, Maludin Simbolon banyak dibantu oleh Letnan Kolonel Ventje Sumual dan Prof. Dr. Sumitro Joyohadikusumo (Bangun, 1996).

Pada tanggal 27 Juli 1961, Maludin Simbolon bersama pasukannya menyerahkan diri kepada Panglima Kodam II, Letkol Manaf Lubis di Balige.   Berdasarkan perintah Presiden Sukarno. Maludin Simbolon sebagai tokoh militer yang terlibat PRRI harus dikarantina politik di Batu, Malang. Pada tahun 1963, Maludin Simbolon dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jakarta dan akhirnya dibebaskan pada tahun 1966. Setelah bebas, Maludin Simbolon menjadi seorang pengusaha dan wafat pada tahun 2000.

Penulis: Ida Liana Tanjung
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum


Referensi

Bakti, Ikrar Nusa dkk (ed.) (2018). Intelijen dan politik era Sukarno. Jakarta: LIPI press.

Bangun, Payung (1996). Kolonel Maludin Simbolon; Liku-liku Perjuangannya dalam Pembangunan Bangsa. Jakarta : Sinar Harapan.

Berlian Susetyo, Peran Kolonel Maludin Simbolon Sebagai Panglima Sub Teritorium Sumatera Selatan (Subkoss) di Lubuklinggau Tahun 1947-1948. Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Vol. 9 Issue 1,July 2021.

Kahin, Audrey and  George McTurnan Kahin (1997).  Subversion as Foreign Policy : The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia. University of Washington Press.