I Gusti Ketut Pudja
Mr. I Gusti Ketut Pudja adalah tokoh penting asal Bali yang duduk sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ia lahir di Singaraja, 19 Mei 1908, sebagai putra kelima pasangan I Gusti Nyoman Raka (ayah), seorang punggawa di Sukasada, Buleleng dan Jero Ratna Kusuma.
Latar belakang kebangsawannya memudahkan I Gusti Ketut Pudja untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Ia mengikuti pendidikan pada Hollands Inlandsche School (HIS) tahun 1922 di Pabean/Singaraja, dilanjutkan sekolah MULO tahun 1926 di Malang, dan pada tahun 1934 di usianya yang ke 26 tahun, I Gusti Ketut Pudja mendapat gelar Meester in de Rechten dari Rechtshogeschool di Jakarta. I Gusti Ketut Pudja menikah dengan I Gusti Ayu Made Ngurah, hasil pernikahannya telah dikaruniai lima orang anak, masing-masing bernama; Drs. I Gusti Ngurah Arinton Pudja, I Gusti Made Arinta Pudja, S.H., I Gusti Ayu Nyoman Arinti Pudja, B.A., I Gusti Ayu Ketut Karnini, dan I Gusti Ayu Ketut Karnina.
Pada tahun 1935, I Gusti Ketut Pudja bekerja di Kantor Residen Bali dan Lombok, Singaraja. Satu tahun kemudian, yakni tahun 1936, I Gusti Ketut Pudja ditempatkan di Pengadilan Negeri Raad van Kerta waktu itu. Pada awal Pendudukan Jepang, I Gusti Ketut Pudja bertugas mengaktifkan kembali kegiatan pemerintahan sipil. Ia diangkat oleh Kapten Kanamura dari Angkatan Darat Jepang untuk menjalankan kegiatan pemerintahan karesidenan di Singaraja dengan jabatan semacam residen. Setelah Angkatan Darat Jepang diganti dengan Angkatan Laut Jepang, I Gusti Ketut Pudja diangkat sebagai Giyosei Komon (Penasihat Umum), Cookan (Kepala Pemerintahan Sunda Kecil) hingga kemerdekaan.
Karir I Gusti Ketut Pudya dalam politik nasional mulai nampak ketika pemerintah Angkatan Darat XVI Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 7 Agustus 1945. Panitia tersebut diketuai oleh Ir. Sukarno, I Gusti Ketut Pudja adalah salah seorang anggota PPKI yang terpilih mewakili Sunda Kecil (Bali dan Nusa Tenggara) sekarang. Selain itu, I Gusti Ketut Pudja terlibat dalam perumusan naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda pada tanggal 16 Agustus 1945 hingga esok dini hari. Keesokan harinya, I Gusti Ketut Pudja menjadi saksi sejarah terpenting bangsa Indonesia yang terjadi di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta atau di rumah Ir. Sukarno. Setelah proklamasi kemerdekaan yang berlangsung sehari, PPKI kemudian mengadakan rapat yang membahas tentang dasar negara. Olehnya itu, dibentuklah panitia 9 yang terdiri dari: Ir. Sukarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, H.A. Salim, Achmad Subarjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin.
Perbedaan prinsip yang fundamental antara Piagam Jakarta dengan UUD 1945 adalah dihilangkannya tujuh kata di dalam Piagam Jakarta tersebut yaitu "dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Mohammad Hatta pada sidang saat itu berkata, “Dengan membuang tujuah kata-kata itu serta syarat bahwa Presiden Indonesia ialah orang Indonesia asli dan harus beragama Islam maka inilah merupakan perubahan maha penting yang menyatukan seluruh bangsa-bangsa. Syarat-syarat ini menyinggung perasaan sedangkan membuang ini maka seluruh hukum di UUD diterima oleh daerah Indonesia yang tidak beragama Islam....”
Alasan I Gusti Ketut Pudja mengusulkan perubahan dalam UUD tersebut ialah agar UUD 45 bisa diterima oleh seluruh penduduk yang beragam agama, yakni menyelamatkan UUD 45 dari warna khas agama tertentu. Pembahasan ini memuncak ketika Sukarno memimpin sidang PPKI menawarkan kepada hadirin tentang usul perubahan itu dan tidak seorang pun yang keberatan tentang hal tersebut. Ir. Sukarno kemudian membacakan kembali Pembukaan UUD dengan perubahan yang diusulkan oleh I Gusti Ketut Pudja dan mengesahkannya.
Pada tanggal 22 Agustus 1945 Presiden Sukarno mengangkat I Gusti Ketut Pudja menjadi Gubernur Sunda Kecil atau Bali pada saat itu masih disebut Wakil Pemimpin Besar Bangsa Indonesia Sunda Kecil. Tugas pertamanya sebagai gubernur adalah menyebarluaskan proklamasi kemerdekaan dan menjelaskan konsep serta struktur pemerintahan pada masyarakat hingga ke pelosok. Selain itu, I Gusti Ketut Pudja memerintahkan para pemuda untuk melucuti Jepang yang masih berada di Bali saat itu. Pada 13 Desember 1945, I Gusti Ketut Pudja tertangkap oleh tentara Jepang dan ditahan selama kurang lebih satu bulan. Selain menjabat sebagai Gubernur Sunda Kecil, I Gusti Ketut Pudja juga pernah menjabat di Departemen Dalam Negeri dan sempat menjadi Ketua BPK hingga pensiun tahun 1968.
I Gusti Ketut Pudja meninggal di usianya yang ke 69 tahun, tepatnya tanggal 4 Mei 1977. I Gusti Ketut Pudja menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Atas jasa-jasanya, Presiden Soeharto menganugerahkan penghargaan Bintang Mahaputera Utama kepada I Gusti Ketut Pudja. Pada tahun 2001 ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan keputusan Presiden RI Nomor 113/TK/2011.
Penulis: Haliadi-Sadi
Rujukan:
Tim Penyusun Museum Perumusan Naskah Proklamasi (2019) I Gusti Ketut Pudja, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Museum Perumusan Naskah Proklamasi.
https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.com/2014/03/Biografi-I-Gusti-Ketut-Pudja-Gubernur-Pertama-Sunda-Kecil.html. Diakses 20 September 2021.