Radicale Concentratie (1918-1923)
Radicale Concentratie merupakan satu fraksi gabungan dari wakil-wakil berbagai organisasi, seperti Boedi Oetomo, Indische Partij, Sarekat Islam, dan Indische Social Democratische Vereniging (ISDV), yang tergabung dalam Volksraad. Para tokoh politik Indonesia masa itu membentuk Radicale Concentratie untuk bersatu dan memberikan tekanan kepada pemerintah Hindia Belanda dalam rangka mencapai kemerdekaan. Perjuangan Radicale Concentratie dilanjutkan oleh Fraksi Nasional yang berdiri pada 27 Januari 1930 (Rohmadi dan Warto 2019: 166).
Sejalan penerapan kebijakan Politik Etis di Hindia Belanda pada 1901, muncul gagasan mengenai satu badan perwakilan Hindia Belanda sebagai bagian dari wujud pengejawantahan perhatian pemerintah kolonial terhadap kesejahteraan penduduk bumiputera. Pada tahun 1916, satu kelompok utusan dari Boedi Oetomo, Sarekat Islam, dan perwakilan para bupati di Jawa berkeliling ke Belanda untuk mengkampanyekan gagasan mengenai perwakilan dan melayangkan aspirasi mereka kepada Ratu Wilhelmina. Meskipun pihak Belanda tidak menyetujui pembagian kekuasaan, akan tetapi mereka menerima gagasan pembentukan badan penasihat yang kemudian dikenal sebagai Volksraad (Fischer 1959: 56). Pada awalnya, sebagian besar anggota Volksraad merupakan pejabat pemerintah kolonial. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johan Paul van Limburg Stirum menginginkan orang bumiputera yang lebih radikal di Volksraaad agar dapat dikendalikan. Kemudian, ia menggunakan wewenangnya untuk mengangkat anggota lain seperti Tjokroaminoto (Sarekat Islam) dan Tjipto Mangoenkoesoemo (Insulinde) (Ricklefs 2008: 290).
Di dalam Volksraad terdapat satu fraksi yang selalu mendorongnya menjadi satu lembaga perwakilan, khususnya bagi para penduduk bumiputera, alih-alih hanya menjadi lembaga penasihat. Fraksi tersebut dikenal dengan sebutan Radicale Concentratie, yang menuntut perubahan dalam struktur pemerintahan Hindia Belanda. Fraksi politik ini didirikan atas usul Ch. G. Cramer, pemimpin partai ISDV, pada tanggal 16 November 1918 (Soerjohardjo 1976: 61). Tokoh-tokoh politik yang terafiliasi dengan Radicale Concentratie adalah Ch. G. Cramer (ISDV), Abdoel Rivai dan Tjipto Mangoenkoesoemo (Insulinde), H.O.S. Tjokroaminoto dan Abdoel Moeis (Sarekat Islam Pusat), Sastrowidjono (Boedi Oetomo), Haji Agus Salim (Sarekat Soematra), dan Darnakoesoema (Pasundan) (Rohmadi dan Warto 2019: 170).
Pasca Perang Dunia Pertama, terjadi berbagai gejolak dan pemberontakan di Eropa, salah satunya adalah Revolusi Rusia, yang memiliki dampak terhadap kondisi politik di Hindia Belanda. Kritik keras terhadap pemerintahan kolonial, baik dari anggota Indonesia maupun Belanda, yang membawa semangat anti kolonialisme dan sosialisme, menimbulkan begitu banyak kekhawatiran sehingga pada bulan November Gubernur Jenderal van Limburg Stirum berbicara kepada Volksraad dan menjanjikan reformasi administrasi yang luas ( Kahin 1952: 73). Hal itu kemudian memotivasi tokoh-tokoh nasionalis seperti Tjokroaminoto, bersama Radicale Concentratie, mengorganisir anggota Volksraad untuk mengajukan mosi kepada pemerintah kolonial.
Radicale Concentratie yang dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto menuntut perpanjangan wewenang dan otoritas Volksraad untuk menjadi suatu parlemen sejati. Mengetahui hal tersebut, pemerintah kolonial mengirim Mr. Dr. D. Talma untuk menyampaikan ancaman pemerintah kolonial terhadap Volksraad. Setiap peraturan yang dikeluarkan oleh Volksraad dan dianggap bermuatan menyimpang akan dicabut (Depdikbud, 1978: 120). Ancaman pemerintah tersebut direspon oleh Radicale Concentratie dengan mosi yang diajukan pada tanggal 25 November 1918, dan ditandatangani H.O.S. Tjokroaminoto, Sastrowidjono, Dwidjesewojo, Cramer, Tjipto Mangoenkoesoemo, Radjiman Wedyodiningrat, Teeuwen, Abdoel Moeis, dan Thajeb. Isi dari mosi tersebut adalah sebagai berikut:
“Sesegera mungkin harus dimulai dengan pembentukan parlemen yang dipilih dan disusun oleh dan dari rakyat dengan hak-hak hukum penuh, dan dengan pembentukan pemerintahan yang bertanggung jawab kepada parlemen (Wongsokoesoemo 1940: 267-268).”
Mosi tersebut kemudian diperkuat dengan mosi yang diajukan oleh Djajadiningrat pada tanggal 3 Desember 1918 dan ditandatangani oleh Schuman, Wawoeroentoe, van Hinloopen Labberton, Kan, dan Jacob. Mosi tersebut juga menuntut adanya zelfbestuur, atau wewenang otonomi daerah/swapraja. Pemerintah kolonial menanggapi mosi tersebut dengan pembentukan komisi reformasi RUU di Hindia Belanda pada tanggal 17 Desember 1918. Akan tetapi, pemerintah kolonial kemudian justru menolak usulan komisi reformasi Undang-undang tersebut dan menyetujui mosi yang diajukan oleh H.O.S. Tjokroaminoto dan Djajadiningrat (Pringgodigdo 1986: 46).
Kondisi politik serta meningkatnya investasi swasta yang masuk di Hindia Belanda pasca Perang Dunia Pertama membuat Hindia Belanda bergejolak. Para politisi Bumiputera mulai menyadari bahwa kapitalisme yang berkembang hanya akan mengeksploitasi sumber daya, baik alam maupun manusia, di Hindia Belanda. Hal tersebut menyebabkan para tokoh politik tersebut melakukan gerakan massa untuk menentang kapitalisme di Hindia Belanda. Salah satunya adalah pemogokan para buruh yang dipimpin oleh Soerjopranoto, seorang tokoh Personeel Fabrieken Bonds (PFB) dan anggota Sarekat Islam (Budiawan 2006). Gerakan pemogokan yang dipimpin oleh Soerjopranoto ini ditentang oleh sebagian anggota Radicale Concentratie, yang kemudian memicu konflik internal dalam Radical Concentratie. Kondisi tersebut kemudian diperparah dengan ditangkapnya H.O.S.Tjokroaminoto karena diduga ikut serta dalam pemberontakan Afdeeling B (Shiraishi 1997: 316; Ricklef, 2011: 271). Setelah Tjokroaminoto ditangkap, kondisi fraksi tersebut mulai goyah hingga akhirnya bubar. Kegiatan terakhir fraksi politik ini tercatat pada 13 Februari 1921 (Soerjohardjo 1976: 85).
Gerakan Radicale Concentratie kemudian dilanjutkan oleh Radicale Concentratie kedua yang didirkan pada 12 November 1922 (Pringgodigdo 1986: 46). Radical Concentratie kedua ini memiliki jumlah anggota yang lebih banyak dibandingkan Radicale Concentratie pertama. Hal tersebut dikarenakan anggota Radicale Concentratie pertama bersedia untuk bergabung kembali, ditambah dengan anggota baru, yakni Semaoen (Partai Komunis Indonesia), F.P. Dahler (Nationaal Indische Partij), A.J. Patty (Sarekat Ambon), dan J.H. Pangemanan (Perserikatan Minahasa). Radicale Concentratie kedua ini mulai menggunakan istilah Indonesia untuk menggantikan istilah kolonial “Hindia” dan mulai menggunakan bahasa Indonesia (McVey 2009: 197). Sayap-sayap politik tersebut bergerak keluar dan ke dalam tembok Volksraad untuk bertahan melawan berbagai kebijakan pemerintah kolonial yang menindas rakyat. Akan tetapi, Radical Concentratie kedua ini hanya bertahan kurang lebih satu tahun, dikarenakan adanya kebijakan disiplin partai dan mulai berkembangnya ide mengenai aksi non-kooperatif. Radical Concentratie kedua ini kemudian menghilang sejak akhir tahun 1923 (Rohmadi dan Warto 2019: 171).
Penulis: Allan Akbar
Instansi: Bank Indonesia Institute
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si
Referensi
A.K. Pringgodigdo. 1986. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat)
Budiawan. 2006. Anak Bangsawan Bertukar Jalan, (Yogyakarta: LkiS)
Fischer, Louis. 1959. The Story of Indonesia, (London: Hamish Hamilton)
Kahin, George McT. 1952. Nationalism and Revolution in Indonesia, (New York: Cornell University Press)
McVey, Ruth T. 2009. Kemunculan Komunisme di Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu)
Nazirwan Rohmadi; Warto. 2019. “Volksraad (People Council): Radicale Concentratie Political Arena and National Fraction, 1918-1942”, Humaniora, Vol. 31, No. 2 (Juni 2019), hlm. 166-176
Ricklefs, Merle Calvin. 2008. Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008, (Jakarta: Serambi).
Soerjohardjo, Wardiningsih. 1976. “Volksraad dan Konsentrasi Radikal”, Skripsi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Wongsokoesoemo, Roeslan. 1940. “Peroebahan Volksraad dan Raad van Indie”, Soeara Parindra, November Tahun ke V, hlm. 267-269