Yosaphat Sudarso

From Ensiklopedia
Sumber: Pusat Sejarah TNI

Yosaphat Sudarso lahir di Pungkursari Salatiga pada tanggal 24 November 1925, putra seorang reserse polisi sederhana bernama Sukarno Darmoprawiro dengan istrinya Mariyam (Harnoko, 2012: 3). Ketertarikannya menjadi prajurit tertanam kuat dari profesi sang bapak, walaupun ia sendiri tidak menghendaki Yos Sudarso meniti karier di bidang keprajuritan. Pendidikan pertamanya dijalani di sekolah Particuliere HIS Salatiga yang diselesaikannya pada 1940 (Pusat Sejarah TNI, 2021).

Selain tekun dalam mata pelajaran, Yos kecil hobi melukis tokoh-tokoh kartun idolanya seperti Flash Gordon dan kemahirannya mendapat perhatian serta bimbingan dari pelukis-pelukis profesional seperti Surono dan Endranata (Oemar, 1981: 8). Selepas sekolah di HIK, Yos berkesempatan melanjutkan studi ke MULO di Semarang, tetapi Yos lebih memilih masuk ke HIK (Hollandsch Inlandsche Kweekschool) di Muntilan sebagaimana yang dikehendaki orang tuanya. Harapan Yos menjadi guru sirna saat studinya di HIS terhenti karena terjadi peralihan kekuasaan dari tangan Belanda ke Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 (Raditya, 27 April 2021). Pada tahun 1943, Yos masuk ke Koto Seinin Yoseisho (Sekolah Pelayaran Tinggi) di Semarang dan berhasil menyelesaikannya dalam 1 tahun. Yos kemudian dipekerjakan sebagai mualim pada kapal Gyo Osamu Butai milik Jepang (Oemar ,1981: 19).

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Yos Sudarso masuk menjadi anggota BKR-Laut di Semarang (Adrymarthanio, 4 Juni 2021). BKR-Laut Semarang terlibat aktif dalam perebutan senjata dan gedung-gedung milik Jepang terutama menguasai kompleks SPT di Karang Tempel dan Purwodinatan. Pada peristiwa Lima Hari di Semarang, tanggal 14-19 Oktober 1945, BKR-Laut bertugas mengamankan jalan bojong dan wilayah Pelabuhan. Pada saat Sekutu memasuki Semarang di bawah Brigadir Jenderal Bethel, BKR-Laut diperintahkan Gubernur Wongsonegoro untuk meninggalkan Semarang menuju Demak, kemudian pindah ke Pekalongan, Tegal, dan berakhir di Yogyakarta. Seiring dengan pembubaran BKR dan pembentukan TKR, maka BKR-Laut berubah menjadi TKR-Laut pada tanggal 15 November 1945 (Oemar, 1981: 34).

Keterlibatan Yos Sudarso dalam revolusi Indonesia ditunjukkan dengan bergabung dalam ekspedisi laut ke Maluku dalam upaya mengobarkan semangat Proklamasi ke pulau-pulau di Indonesia Timur. Pada 31 Maret 1946, ekspedisi ini berangkat dari Pelabuhan Tegal dengan 2 buah kapal kayu tipe Kiri Maru 60 ton  dengan nama Semeru dan Sindoro. Yos Sudarso menjadi perwira satu di kapal Sindoro dengan komandan Ibrahim Saleh (Swantoro, 1964: 102). Sampai di Pulau Ambon, kapal Sindoro ditawan Belanda dan Yos Sudarso beserta awak kapal lainnya ditahan selama setahun. Dari penjara Ambon, Yos Sudarso dipindahkan ke Makassar dan baru dibebaskan setelah penandatanganan perjanjian Linggarjati (Oemar, 1981: 42-43). 

Selepas dari penjara, Yos Sudarso ditugaskan mengikuti Latihan Opsir di Kalibakung Tegal pada tanggal 1 April 1947. Baru 3 bulan mengikuti pelatihan, Belanda melakukan Agresi Militer I dan menyerang Tegal dari arah selatan pada tanggal 23 Juli 1947. Yos Sudarso beserta pasukan ALRI Pangkalan IV Tegal mempertahankan markas Kalibakung dari serangan Belanda. Setelah suasana lebih tenang, pelatihan opsir diadakan kembali di Sarangan. Yos Sudarso yang berhasil menyelesaikan pelatihan diangkat sebagai Perwira Operasi Khusus III yang bertugas di Yogyakarta dan Surakarta.

Pada saat Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948, Yos Sudarso beserta staf Markas Besar Angkatan Laut (MBAL) melakukan gerilya di luar kota Yogyakarta, karena Yogyakarta dikuasai Belanda (Oemar, 1981: 42-55). Setelah penandatanganan KMB, Yos Sudarso menerima penyerahan korvet “Pati Unus” dan selanjutnya diangkat menjadi Perwira II pada Korvet tersebut (Sudono Jusuf, 1976: 84). Selanjutnya Yos Sudarso dipercaya memegang pimpinan Korvet “Banteng” pada April 1950, KRI “Gajah Mada” pada 1 Juni 1951, KRI “Rajawali” pada September 1953, dan KRI “Alu” pada 6 Maret 1954. Pada saat memimpin Korvet “Banteng”, Yos Sudarso terlibat aktif dalam menumpas pemberontakan Andi Azis di Makassar dan pemberontakan Republik Maluku Selatan (Pusat Sejarah TNI, 25 Februari 2021). Pada tahun 1958, Yos Sudarso dengan KRI “Pattimura” terlibat pula dalam menumpas pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara (Oemar, 1981: 66).

Dengan banyak terlibat dalam kegiatan pengabdian untuk negara seperti menumpas pemberontakan, karier Yos Sudarso meningkat dengan pesat. Pada April 1954, Yos Sudarso diangkat menjadi komandan Divisi II PSK dan pada tanggal 13 Desember 1954 diangkat sebagai Perwira Staf Operasi IV dengan pangkat Kapten (Oemar, 1981: 59). Pada tanggal 1 Agustus 1958, Yos Sudarso diangkat sebagai hakim pengadilan tentara untuk seluruh Indonesia. Pada tanggal 10 Oktober 1959, Yos Sudarso diangkat sebagai Deputi I KSAL dengan pangkat Letnan Kolonel. Pada 10 Mei 1960, ia ditunjuk sebagai Men/KSAL dan tanggal 17 April 1961 mendapat promosi kenaikan pangkat sebagai Komodor (Laksamana Pertama) (Pusat Sejarah TNI, 25 Februari 2021).

Dengan diumumkannya operasi Trikora oleh Presiden Sukarno pada tanggal 19 Desember 1961 untuk membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda, memberi tanggung jawab yang besar pada Yos Sudarso untuk meningkatkan patroli laut di daerah perbatasan. Pada tanggal 15 Januari 1962, Yos Sudarso melakukan patrol di laut Aru dengan 3 buah kapal jenis MTB, yaitu KRI Macan Tutul, KRI Macan Kumbang, dan KRI Harimau. Patroli tersebut segera diketahui oleh Belanda yang melakukan pengejaran dengan kapal jenis destroyer. Agar 2 kapal lainnya bisa menyelamatkan diri, KRI Macan Tutul yang ditumpangi Yos Sudarso berusaha “pasang badan” dan menjadi umpan. Dengan demikian, KRI Macan Tutul berhadap-hadapan dengan kapal perang Belanda. Setelah pada tembakan pertama meleset, kapal perang Belanda berhasil mengenai KRI Macan Tutul yang mengakibatkan kapal tenggelam. Yos Sudarso beserta semua awak kapal gugur sebagai pahlawan.

Yos Sudarso meninggalkan seorang istri yaitu Siti Mustini dan 3 orang anak. Atas jasa-jasanya, pangkat Yos sudarso dinaikan satu tingkat menjadi Laksamana Muda Anumerta dan gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1973 dengan surat Keputusan Presiden RI No. 088/TK/Tahun 1973, tertanggal 6 November 1973 (Pusat Sejarah TNI, 25 Februari 2021).

Penulis: Julianto Ibrahim
Instansi: Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

Adryamarthanino, Verelladevanka (2021), “Yos Sudarso: Kiprah, Peran, dan Akhir Hidupnya”, https://www.kompas.com/stori/read/2021/06/04/161859979/yos-sudarso-kiprah-peran-dan-akhir-hidupnya?page=all  diunduh 27 Oktober 2021.

Harnoko, Darto, dkk., (2012), Riwayat Perjuangan Pahlawan-Pahlawan Salatiga dalam Mengisi Kemerdekaan Republik Indonesia, Salatiga: Dinas Perhubungan, Komunikasi, Kebudayaan, dan Pariwisata Kota Salatiga.

Iswara, Raditra N. (2021), “sejarah Hidup Yos Sudarso: Gugur Dalam Tugas di KRI Macan Tutul”, https://tirto.id/sejarah-hidup-yos-sudarso-gugur-dalam-tugas-di-kri-macan-tutul-gdWW, diunduh 27 Oktober 2021.

Oemar, Mohammad (1981), Laksda TNI AL Anumerta Yosaphat Soedarso, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Pusat sejarah TNI (2021), “Laksamana Muda Yosaphat Sudarso (1925-1962)”, https://sejarah-tni.mil.id/2021/02/25/laksama-muda-yosaphat-sudarso-1925-1962/ diunduh 27 Oktober 2021.