Abdul Kahar Muzakkir

From Ensiklopedia

Abdul Kahar Muzakkir adalah salah seorang pahlawan nasional yang berperan besar dalam proses pembentukan negara-bangsa. Selain memperkuat identitas nasional, Muzakkir tercatat sebagai salah satu perintis kemerdekaan Indonesia. Lahir di Kotagede, Yogyakarta, 16 April 1907, Muzakkir merupakan putra dari K.H. Muzakkir, seorang pedagang, guru agama, dan tokoh Muhammadiyah di Kotagede yang juga aktif mengelola Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta. Kakek buyutnya, Kiai Hasan Busyari merupakan Syekh Tarekat Syattariyah (Sadariyah) yang turut berjuang dalam Perang Jawa (1825-1930) sebagai Komandan Laskar Pangeran Diponegoro (Nakamura, 1975; 2019).

Selain mempelajari ilmu agama kepada ayahnya, Muzakkir menimba ilmu di beberapa pondok pesantren: Gading, Krapyak, Jamsaren, Tremas, serta di Madrasah Mambaul Ulum. Sebelumnya ia sempat mengenyam pendidikan dasar di Standard School (Ongko Loro) Muhammadiyah di Selokraman, Kotagede sampai 1918. Pada 1925 Muzakkir melanjutkan studi di Universitas Al Azhar dan Darul Ulum, Kairo. Ia lulus pada 1936 dengan fokus studi kajian hukum Islam, pedagogi, bahasa Arab, dan bahasa Ibrani (Setiawati, 2007: 24-35,171; Nakamura, 1975; 2019; Lassa, 2014: 78).

Selama dua belas tahun tinggal di Kairo, Muzakkir aktif dalam gerakan reformisme dan pembaharuan Islam di Mesir. Tidak semata mengkaji ragam persoalan agama, ia juga mengamati beragam perkembangan sosial-politik Mesir, baik melalui pidato tokoh setempat maupun dari tulisan-tulisan di media massa. Ia turut menuangkan gagasannya di sejumlah koran terbitan Mesir: Al-Ahram, Al-Balagh dan Al-Hayat, terlibat dalam banyak konferensi Islam, bergelut dalam politik pelajar, mendirikan Jamiyatul Syubban Muslimin, menginisiasi pendirian Perhimpunan Indonesia Raya di Kairo, serta memimpin Jamiyah Khairiyah Indonesia. Muzakkir tercatat bersahabat dengan Sayid Qutub, penulis tafsir Fi Dzilal Al-Qur’an, serta berhubungan dengan Partai Wafd di Mesir (Hernawan & Kelana, Gatra, 2012: 24).

Pengalaman terlibat dalam gelombang gerakan pembaharuan dan kebangkitan nasionalisme di Mesir menjadi modal penting Muzakkir untuk turut menginisiasi gerakan kebangkitan nasional, melibatkan diri dalam aktivitas sosial keagamaan sekembalinya ia di tanah air pada 1938. Dalam bidang dakwah ia bergabung di Muhammadiyah; mengajar dan memimpin Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah di Yogyakarta, menjadi pengurus Majelis Pemuda Muhammadiyah dan Bahagian Penolong Kesengsaraan Oemoem (Mejelis PKU); serta membantu Ki Bagus Hadikusumo menyusun AD/ART Muhammadiyah.

Dalam bidang politik, ia bergabung dengan Partai Islam Indonesia (PII) pada 1938—selanjutnya terpilih sebagai salah satu komisarisnya hingga 1941. Di PII, ia turut berperan dalam menyusun program aksi partai yang menghendaki negara kesatuan berdasar pada pemerintah yang demokratis dengan suatu parlemen dan lembaga perwakilan lain yang bergerak bersama membangun masyarakat merdeka. Perluasan hak-hak politik, kebebasan berbicara, berpendapat dan berpikir, serta kemerdekaan pers menjadi hal-hal yang diperjuangkan oleh Muzakkir dan PII. Tak jarang aktivitas PII terhalang oleh peraturan pemerintah Belanda yang membuat para tokohnya ditangkap. Pada 8 Desember 1941, misalnya, Muzakkir, bersama dengan Ahmad Kasmat dan Haji Faried Ma’ruf ditangkap Belanda dengan tuduhan bersimpati kepada Jepang (Adil, X No.14. 1 Januari 1942; Deliar Noer, 1996:178). Pada zaman pendudukan Jepang, Muzakkir tampil sebagai pemimpin pemuda Muhammadiyah yang disegani melawan Japanisasi. Ia tegas menentang kebijakan Jepang jika dianggap tidak memihak khususnya kepada masyarakat muslim Indonesia. dalam sebuah diskusi dengan pemerintah Jepang pada 1943, Muzakkir membantah analisa Profesor Ozaki yang mempersalahkan orang-orang Islam karena “terang-terangan mau menempati posisi yang khusus dan unik” di dalam masyarakat Indonesia. Muzakkir menegaskan,

“Cukup banyak orang Nippon yang telah mempelajari prinsip prinsip Islam…karena itu mereka harus tahu bahwa dalam Islam itu bukan saja agama akan tetapi seluruh way of life meresapi seluruh masyarakat...perjuangan melawan imperialis Barat sudah lama kami kenal, sehingga kami menerima tujuan Nippon untuk melawannya… (Tetapi) prinsip yang harus dianut secara ketat untuk mencapai kerja sama (yang diingini) haruslah…..”Kami dengan agama kami, kamu dengan agama kamu”. Perbedaan di antara semua kepercayaan kita tidak perlu menghalangi kerja sama kita untuk mengusir Sekutu dari Asia, yang adalah rumah bagi semua agama (Benda, 1980: 157).

Pengalaman, wawasan keilmuan dan pengaruhnya yang besar kepada masyarakat membuat Muzakkir dipercaya pemerintah Jepang menjadi pegawai di Jawatan Ekonomi Pemerintahan Militer dan pegawai sipil Jawatan Siaran Radio Militer sebagai komentator luar negeri (1943), serta Jawatan Urusan Agama (1944). Menjelang akhir pendudukan Jepang, posisi dan peran politik Muzakkir sebagai tokoh golongan santri nasionalis semakin penting khususnya dalam pembentukan negara Indonesia. Menurutnya, “Pagar-pagar halaman tanah air kita”—sebutan untuk wilayah negara—terhubung secara historis dengan kebesaran Sriwijaya, Majapahit, dan kerajaan Demak yang perlu terus dijaga, termasuk Semenanjung Melayu dan tanah Papua. Tentang hal ini Muzakkir menjelaskan,

“Oleh karena itu untuk menyelamatkan seluruh tanah air kita, untuk menyelamatkan sebidang tanah air kita dengan kerelaan mereka, dengan suka rela mereka, yang telah menciptakan kesatuan dengan kita. Bukan tanah Melayu saja, akan tetapi pulau Papua juga, walaupun bangsa berlainan sedikit daripada bangsa kita umumnya daripada bangsa Melayu, sebagai keterangan tuan Hatta. Maka biarlah yang tinggal di Papua agak kehitam-hitaman sedikit daripada kita, akan tetapi tanah Papua itu pula menjadi sumber kekayaan kita. Janganlah sumber kekayaan, yang diwariskan oleh nenek moyang kita hilangkan dengan sia-sia belaka.” (Kusuma: 2009:241)

Pada bulan Mei 1945 Muzakkir ditunjuk menjadi anggota Panitia Sembilan, bersama Sukarno, Moh. Hatta, Muhammad Yamin, A.A. Maramis, Wahid Hasjim, Achmad Soebardjo, Abikusno Tjokrosujoso, dan Agus Salim yang bertugas merumuskan dasar Negara dalam rangka persiapan kemerdekaan Indonesia. Panitia Sembilan ini melahirkan “Piagam Jakarta” (The Jakarta Charter) yang merupakan ruh dan naskah otentik Pembukaan UUD 1945 (Febriansyah, 2013: 75).

Pendidikan menjadi bidang lain yang dikembangkan oleh Muzakkir. Pada 1945 Muzakkir bersama Moh. Hatta, M. Natsir, Moh. Roem, dan K.H. Abdul Wahid Hasjim mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI). Setelah diresmikan pada 8 Juli 1945, ia dipercaya menjadi Rektor STI. Pada 1948 STI dipindahkan ke Yogyakarta dan berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) yang diresmikan sejak 5 Juni 1948. Selain mengabdi di UII, Muzakir turut menginisiasi pendirian Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hal ini menunjukkan kontribusi besar Muzakkir dalam membangun pendidikan tinggi di Indonesia, sesuai amanah pembukaan UUD 1945 perihal pentingnya “Mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Selama masa Agresi Militer Belanda (1947-1949) Muzakkir menjabat sebagai penasihat agama Angkatan Perang Sabil di Yogyakarta, sambal tetap menjadi pengajar di UII dan beberapa kampus lainnya. Memasuki tahun 1950-an, Muzakkir kembali aktif berpolitik. Ia memimpin Masyumi Cabang Yogyakarta saat berlangsungnya pemilu pertama pada 1955 dan terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante dari fraksi Masyumi, posisi yang dijabatnya hingga dewan tersebut dibubarkan oleh Sukarno pada 1959.

Meski berpeluang memperkuat posisi dan peran politiknya pada saat itu, Muzakkir lebih memilih fokus pada pengembangan dunia pendidikan. Baginya pendidikan adalah pondasi bangsa merdeka. Tentang pilihan Muzakkir dalam pengembangan dunia pendidikan, Nakamura mencatat, “Abdul Kahar could have stayed in politics, but he did not. He devoted himself to the foundation and the growth of an Islamic university.” (Nakamura, 1993: 105; Maarif, 2013: 232). Pilihan ini yang ditempuh, dan secara konsisten dijalaninya hingga tutup usia.

Muzakkir meninggal dunia di Yogyakarta pada tahun 1973 dalam usia 65 tahun karena serangan jantung. Atas segala pengabdiannya untuk Indonesia, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 120/TK/Tahun 2019 yang ditandatangani pada 7 November 2019 oleh Presiden Jokowi.

Penulis: Setyadi Sulaiman
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Benda, Harry J. 1980. Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada masa Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya.

Febriansyah, M. Raihan, dkk. 2013. Muhammadiyah: 100 Tahun Menyinari Negeri, Yogyakarta: Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Hamka, 1973. “Kenang-kenangan kepada Professor Abdul Kahar Muzakkir,” Suara Muhammadiyah, No. 24, Th. ke-53.

Hermawan, Aries Koes & Aries Kelana. 2012. “KH. Abdul Kahar Muzakkir: Berjuang Lewat Dakwah dan Politik”, Gatra, No. 41-42 Tahun XVIII 16- 19 Agustus 2012, hal. 23-26.

Lasa H.S, dkk, 2014. 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi. Yogyakarta: Majelis Pustaka dan Informasi, Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Kusuma, RM. AB. 2009. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Maarif, Ahmad Syafii. 2013. “Memetakan Peran Prof. Abdul Kahar Mudzakkir dalam Pembentukan Bangsa dan Negara Indonesia”, dalam Dari Muhammadiyah untuk Indonesia: Pemikiran dan Kiprah Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimedjo, dan K.H. Abdul Kahar Mudzakkir. Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, hal.229-237.

Mitsuo Nakamura, 2019. “Prof. H. Abdul Kahar Muzakkir dan Perkembangan Gerakan Islam Reformis di Indonesia,” Jurnal AFKARUNA Vol. 15 No. 2.

____________, The Crescent Arises Over the Banyan Tree. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993.

Noer, Deliar, 1996. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES), Cet. Kedelapan.

Setiawati, Tris. 2007. Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir, Mutiara Nusantara dari Yogyakarta. Yogyakarta: Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia.