Bambang Sugeng

From Ensiklopedia
Bambang Sugeng. Sumber: ANRI - Foto Personalia - P03 0054


Kolonel Bambang Sugeng lahir tanggal 31 Oktober 1913 di Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Dia dikenal sebagai tokoh militer dan diplomat di era kepemimpinan Presiden Sukarno. Ayahnya bernama Slamet dan ibunya bernama Zahro. Bambang adalah putra pertama dari enam bersaudara. Dalam dunia akademik, Bambang tergolong orang yang cukup beruntung karena berhasil menempuh semua jenjang pendidikan. Sewaktu kecil, Bambang mula-mula masuk ke Hollandsch Inlandsche School (HIS) Tegalrejo, sekolah dasar yang diperuntukkan bagi pribumi asli dari kalangan bangsawan, tokoh terkemuka dan priayi atau aristokrat pada zaman kolonialisme Hindia Belanda. Setelah lulus dari HIS, Bambang kecil kemudian melanjutkan pendidikan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah setingkat SMP di Purwokerto. Setelah berhasil merampungkan pendidikan di MULO, Bambang remaja kemudian masuk sekolah setingkat SMA, Algemene Middelbare School (AMS) bagian A di Yogyakarta. Selepas menempuh pendidikan di AMS, Bambang sebetulnya sempat mengenyam bangku kuliah di Rechtshoogeschool (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum, Jakarta. Namun karena saat itu Jakarta sudah diduduki oleh fasisme Jepang tahun 1942 dan RHS ditutup, impian Bambang menjadi ahli hukum pun harus kandas di tengah jalan.

Bambang menikah dengan wanita asal Temanggung, Sukemi pada tahun 1936. Dari pernikahan ini Bambang dan Sukemi dikaruniai tiga orang anak (Prasetya, 2017). Untuk menafkahi keluarganya, Bambang bekerja sebagai pegawai negeri di Pemerintahan Temanggung sebagai Juru Tulis. Biduk rumah tangganya bersama Sukemi tidak begitu lama, yakni sekitar sepuluh tahun. Bambang harus merelakan kepergian sang istri selama-lamanya akibat penyakit paru-paru. Bambang kemudian menikah lagi dengan perempuan asal Banjarnegara dan dikaruniai dua orang putri.

Tiga tahun sebelum kepergian istri pertamanya atau tepatnya tahun 1943, Bambang telah mengikuti pendidikan keperwiraan di PETA (Pembela Tanah Air) Gyungun Renseitai di Bogor. PETA adalah kesatuan militer rintisan Jepang di Indonesia yang dibentuk tahun 1943. Peta ini dibentuk pada tanggal 7 September 1943 atas usul R. Gatot Mangkuprojo dengan alasan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintah militer Jepang tidak saja di belakang garis-perang, tetapi juga di medan perang (Sartono Kartodirjo, 1975) Di PETA inilah karir militer Bambang mulai dibangun dan perjalanan militernya pun tergolong tokcer hingga membawanya menjadi pimpinan tertinggi di Angkatan Darat. Setelah lulus pelatihan PETA di tahap awal saja, Bambang langsung diangkat menjadi Cudanco (Komandan Kompi) yang ditempatkan di kabupaten Magelang. Tidak berselang lama, Bambang lalu diangkat menjadi Daidanco (Komandan Batalyon) untuk wilayah Gombong, kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, pada tahun 1944. Daidanco adalah jabatan tertinggi di PETA. Pasukan PETA sendiri terdiri dari 50 Batalyon yang berdiri sendiri dan masing-masing dipimpin oleh daidanco di bawah pengawasan Opsir Jepang (Kecik, 2009).

Setelah Indonesia merdeka, karir militer Bambang Sugeng berlanjut di Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang baru saja dibentuk oleh Panitia Persiapan Pelaksanaan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 22 Agustus 1945. Tugas BKR adalah memelihara dan menjaga keselamatan segenap rakyat dan jawatan-jawatan negara dengan sukarela yang bertanggung jawab langsung kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (Abdullah, 1995, Rahardjo, 1995). Tak sekedar bergabung, Bambang yang sudah berpengalaman di dunia militer sejak pra kemerdekaan ini, malah menjadi salah satu pelopor pembentukan BKR di Kabupaten Temanggung, daerah asal istri pertamanya, yang resmi berdiri pada bulan September 1945 (Arsip Museum Mandala Kodam VII Diponegoro). Adapun tokoh-tokoh perintis BKR lainnya adalah Sarno Samsiatmodjo, Soejoto, Aboekasan, Salmoen, Sri Soewarno, Bambang Poernomo, dan Soedarsin.

Para pemrakarsa BKR Temanggung rata-rata berasal dari tentara PETA dengan jabatan yang bermacam-macam seperti Chudancho, Shodancho dan Bundancho, hanya Bambang yang bergelar Daidancho sehingga dia didapuk sebagai ketua panitia dalam pembentukan BKR ini. Sebulan kemudian, Pemerintah Pusat menginstruksikan pengubahan BKR menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) tanggal 5 Oktober 1945―cikal bakal lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI), maka Bambang pun didaulat kembali menjadi pimpinan TKR Temanggung pada Oktober 1945. Saat menjadi pimpinan TKR, Bambang melakukan perekrutan anggota baru dengan persyaratan yang tidak rumit. Cukup mereka yang sudah berumur 17 tahun, berani perang dan berani mati untuk membela negeri, maka mereka sudah sah menjadi anggota TKR (Sofa, Wahyuning, 2015). TKR Temanggung pimpinan Bambang masuk dalam Divisi V Jawa Tengah.

Saat menjabat di beberapa divisi, bambang kerap terlibat aktif dalam beberapa operasi, seperti memimpin pasukan pada Agresi Militer Belanda I tahun 1947, Agresi Militer Belanda II tahun 1948 dan Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Keterlibatan Bambang dalam beberapa operasi tersebut menjadikan dirinya diangkat sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang I di bawah Panglima Besar Jenderal Sudirman yang ditunjuk langsung pemerintah tahun 1949. Setahun kemudian Bambang didaulat menjadi Panglima Divisi I Jawa Timur atau sekarang bernama Komando Daerah Militer (Kodam) V Brawijaya. Pada tahun 1952, Bambang kemudian diangkat oleh Presiden Sukarno untuk menduduki posisi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) menggantikan Abdul Haris Nasution yang saat itu masih berpangkat Kolonel.

Peralihan pucuk kepemimpinan tertinggi di angkatan darat ini sebelumnya santer diberitakan bahwa Jenderal A.H Nasution yang saat itu masih menjabat KSAD, diduga menjadi dalang atas peristiwa 17 Oktober 1952. A.H. Nasution dan Tujuh Panglima Daerah meminta pemerintah untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) karena telah dianggap intervensi terlalu jauh terhadap internal tubuh TNI, khususnya angkatan darat. Puncak dari polemik ini adalah terjadinya unjuk rasa besar-besaran di depan Istana Merdeka yang melibatkan perwira militer dan 30.000 demonstran. Presiden Sukarno saat itu tidak terbuai dengan tuntutan demonstran yang sarat politis apalagi sampai membubarkan DPRS, karena menurutnya dirinya bukan pemimpin otoriter yang bisa sesukanya membubarkan lembaga negara, justru Sukarno menganggap aksi demonstrasi dengan melibatkan militer lengkap dengan tank merupakan tindakan makar.

Setelah peristiwa itu, Sukarno menerima delegasi militer dan puncaknya A.H. Nasution dipecat dari KSAD dan digantikan oleh Kolonel Bambang Sugeng. Alasan Sukarno memilih Bambang Sugeng diantaranya karena Bambang saat itu bersikap netral terhadap Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang tidak memihak kubu A.H. Nasution maupun kubu Bambang Supeno yang notabene tidak puas dengan kepemimpinan A.H. Nasution sebagai KSAD sehingga dirinya mengirim surat ke DPRS. Atas pengangkatan ini, kepangkatan Bambang pun naik dari Kolonel ke Mayor Jenderal (Mayjen).

“Dalam sidangnya tadi malam, kabinet memutuskan mengangkat Kolonel Bambang Sugeng sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Selanjutnya sehubungan dengan jabatan Kepala Staf Angkatan Darat, Angkatan Udara dan Angkatan Laut, Kabinet telah memutuskan untuk mengangkat Kolonel Bambang Sugeng, Kolonel Subiakto dan Laksamana Suryadarnia menjadi Mayor Jenderal. Keputusan ini akan mulai berlaku pada tanggal 1 April” (Het Nieuwsblad voor Sumatra, 1954).


Jauh sebelum itu, isu pengangkatan Bambang Sugeng sebagai KSAD malah sudah tersiar saat dirinya masih menjabat sebagai Panglima Daerah Jawa Timur (Kodam V Brawijaya) pada tahun 1950.

“Kolonel Bambang Sugeng, akan segera berangkat ke Jakarta untuk menduduki jabatan KASAD. Kolonel Bambang Sugeng akan digantikan di Jawa Timur oleh Kolonel Djatikusumo. Kolonel Bambang Supeno, yang saat ini menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, akan diberi komando Kalimantan Selatan” (Java Bode: Nieuws, 1950).

Kepala Staf Angkatan Darat adalah jabatan tertinggi yang bambang emban selama berkarir di militer. Bambang adalah KSAD ketiga setelah Kolonel Djatikoesoemo dan Kolonel A.H. Nasution. Jika dirunut, jenjang posisi yang pernah diemban bambang selama berada di dunia militer antara lain: Komandan Resimen TKR Divisi V tahun 1945-1946, Kepala Staf Divisi II/Sunan Gunung Djati tahun 1946-1948, Panglima Divisi III/Diponegoro merangkap Gubernur Militer Istimewa III Djawa Tengah tahun 1948-1949, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang I tahun 1949, Kepala Staf “G” Markas Besar Angkatan Darat tahun 1949-1950, Panglima Divisi I Brawijaya tahun 1950-1952, dan Kepala Staf Angkatan Darat tahun 1952-1955 (Edi Hartoto, 2010).

Bambang adalah prajurit luar biasa yang pernah dimiliki bangsa Indonesia. Sikapnya yang tegas, berkarisma, pemberani dan berintegritas membawa dirinya menjadi tokoh yang diperhitungkan dan disegani dalam kancah kemiliteran Indonesia. Saat terjadi kekisruhan di tubuh TNI angkatan darat sebagai implikasi peristiwa 17 Oktober 1952, Bambang mampu menjadi juru damai di antara pihak-pihak yang berseteru melalui Piagam Yogyakarta tahun 1955. Piagam yang diinisiasi Bambang ini berhasil menyatukan kembali TNI AD meskipun pada akhirnya Bambang harus mengundurkan diri dari jabatannya sebagai KSAD. Pengunduran Bambang disebabkan karena dirinya tidak setuju dengan manuver TNI yang saat itu terlalu terlibat aktif dalam urusan politik sebagaimana menjadi penyebab perpecahan tersebut. Atas sikapnya ini, Bambang kemudian mengirim surat pengunduran diri kepada Presiden Sukarno. Selain Bambang resmi berhenti dari KSAD pada 8 Mei 1955, puncak dari intrik ini juga adalah diangkat kembalinya Jenderal A.H. Nasution sebagai KSAD oleh Sukarno pada November 1955, meski sebelumnya pucuk pimpinan TNI AD ini sempat diisi oleh Kolonel Zulkifli Lubis pada 8 Mei 1955 dan Bambang Utoyo pada 25 Juni 1955.  

“Dalam suratnya kepada Presiden, Kolonel Bambang Sugeng menyatakan bahwa ia tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, karena ia lumpuh tangan dan kaki, sarang. Selanjutnya, Kolonel meminta dalam suratnya untuk demarkasi (batas pemisah) yang jelas antara masalah militer dan politik. Karena demarkasi ini tidak ada, tidak mungkin baginya untuk melakukan tugasnya. Kolonel Bambang Sugeng kemudian meminta di akhir suratnya untuk mengundurkan diri dari jabatannya” (Java Bode: Nieuws, 1953).

Bambang juga dikenal sebagai tokoh yang mempelopori pencatatan nomor induk bagi setiap prajurit TNI atau Nomor Registrasi Pusat (NRP). Sistem ini kelak diadopsi untuk oleh organisasi sipil seperti pada Nomor Induk Pegawai (NIP) (Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat, 2006). Gagasan Bambang ini lahir dari realitas di mana saat itu dirinya kerap menemukan kesatuan yang bertindak sendiri-sendiri serta ditemukan beberapa batalyon fiktif.  Ide ini juga lahir atas hasil analisis Bambang terhadap kekuatan yang dimiliki secara administratif, berbeda jauh dengan kekuatan di lapangan. Selain sebagai identitas, NRP berfungsi sebagai kode penyebutan prajurit saat tertangkap di medan perang. Prajurit yang tertangkap hanya diperbolehkan menyebut nama dan NRP.

Setelah berhenti dari dinas kemiliteran, terhitung sejak 8 Mei 1955, Bambang kemudian diberi mandat oleh Sukarno untuk menjadi seorang diplomat. Karir Bambang di dunia hubungan internasional ini dimulai dengan menjadi seorang Duta Besar Indonesia untuk Vatikan pada tahun 1956. Pada 1960, prajurit yang sudah berpangkat Mayjen ini ditunjuk kembali menjadi Duta Besar Indonesia untuk Jepang. Setelah itu Bambang menjadi Duta Besar Indonesia untuk Brasil dari tahun 1964 sampai 1966.

Penulis: Tati Rohayati
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Abdullah, T. 1995. “Masalah Ilmu Sejarah dan Pengajaran Sejarah yang Reflektif dan Inspiratif. Pengajaran Sejarah: Kumpulan Makalah Simposium.” Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayan.

Ahmad Choirul Rofiq. “Kebijakan Pemerintah Terkait Hak Sipil Penghayat Kepercayaan dan Implikasinya Terhadap Perkembangan Penghayat Kepercayaan di Ponorogo” dalam Jurnal Kodifikasia, Vol.8., No.1., Tahun 2014, h. 1-22.

Dinas Pembinaan Mental Tingkatan Darat. 2006. “Jenderal Mayor Bambang Sugeng, Kiprahnya sebagai Prajurit dan Diplomat.” Bandung, KASAD ke-3.

Edi Hartoto. 2012. Panglima Bambang Sugeng: Panglima Komando Pertempuran Merebut Ibu Kota Djogja Kembali 1949 dan Seorang Diplomat. Jakarta: Kompas.

Fikriyah Sofa, Wahyuning Sri dan Isawati. 2015. “Peranan Tentara Keamanan Rakyat Temanggung dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Tahun 1945-1946. Universitas Sebelas Maret, Solo.

Het nieuwsblad voor Sumatra.1954. “Drie nieuwe generaals in Indonesisch leger.” Uitgave van de Deli en de Sumatra Post. &de Jaargang, No. 1679. Woensdag, 24 pag 1.

Java Bode: Nieuws. 1950. “handels-en advertentieblad voor Nederlandsch. Bambang Sugeng Chef-staf landmacht.” de Jaargang Nummer 86. Donderdag, pagina 3.

Java Bode: Nieuws. 1953. “handels-en advertentie voor Nederlands. Bambang Sugeng Vraagt ontslag als fungerend chef-staf landcht.” 101ste Jaargang No. 120, pag 1.

Kartodirdjo, Sartono, Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto. 1975. “Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia. Vol. 6. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kecik, Hario. 2009. Pemikiran Militer 1: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Pamoe Rahardjo, 1995. Badan Keamanan Rakyat Cikal Bakal Tentara Nasional Indonesia. Jakarta: Majalah Peta.

Prasetya, Gustam Duga. 2017. “Peran Bambang Sugeng dalam Perang Kemerdekaan di Yogyakarta Tahun 1945-1948.” Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.