Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) terlahir akibat munculnya gagasan untuk mendirikan suatu wadah yang menampung pemuda-pemuda terdidik dengan mengusung pemikiran politik Sukarno dengan haluan nasionalisme. Gagasan tersebut berkembang dari pertemuan para pimpinan tiga organisasi mahasiswa yang beraliran marhaenisme yaitu, Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia di Jakarta (GMDI), Gerakan Mahasiswa Merdeka di Surabaya dan Gerakan Mahasiswa Marhaenis di Yogyakarta. Pada awal September 1953, proses peleburan ketiga organisasi mahasiswa ini mulai tampak ketika Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) melakukan pergantian pengurus, yakni dari Dewan Pengurus lama yang dipimpin Drs. Sjarief kepada Dewan Pengurus baru yang diketuai oleh S.M. Hadiprabowo. Dalam satu rapat pengurus GMDI yang diselenggarakan di Gedung Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tercetus keinginan untuk mempersatukan ketiga organisasi yang seazas itu dalam satu wadah. Keinginan ini mendapat sambutan positif dari ketiga organisasi (Radjab 2014: 108).
Pada bulan September 1953, sebagai proses lanjut dari serangkaian pertemuan untuk memantapkan penyatuan ketiga organisasi mahasiswa ini, diadakanlah rapat bersama antar ketiga pimpinan organisasi mahasiswa di rumah dinas Walikota Jakarta Raya Soediro, di Jalan Taman Suropati. hasil rapat tersebut mencapai tiga kesepakatan, yaitu: Pertama, ketiga organisasi mahasiswa itu setuju untuk melakukan fusi. Kedua, wadah hasil fusi merupakan organisasi berazaskan marhaenisme. Ketiga, hasil-hasil itu akan ditindak lanjuti dengan pelaksanaan kongres di Surabaya dalam jangka enam bulan setelah pertemuan di Jakarta tersebut (Komite Organisasi Presidium GMNI 2003: 2).
Kesepakatan fusi dengan mendirikan organisasi baru yang berazaskan marhaenisme sebagai ideologi politik tidak hanya memperkuat perkumpulan yang sekubu dengan Sukarno, pendirian organisasi baru ini juga memberikan keuntungan bagi kepentingan politik PNI yang merupakan partai berhaluan marhaenisme (Soenario 1988: 86). Peran dari partai ini diakui oleh S.M. Hadiprabowo saat da menuturkan bahwa PNI membantu mendanai Kongres I GMNI pada 23 Maret 1954 di Surabaya. Bantuan keuangan tersebut membuktikan adanya keterlibatan aktor politik di luar mahasiswa dalam Kongres GMNI. Kedekatan antara GMNI dengan PNI semakin terlihat jelas setelah Kongres GMNI II tahun 1956 di Bandung. Para pimpinan GMNI maupun PNI semakin masif melakukan komunikasi maupun kerja-kerja politik. Hubungan itu dilegalisasi ke dalam kestrukturan partai PNI di mana GMNI ditempatkan sebagai organisasi yang seasas dengan PNI (Rocamora 1991: 324).
Sebagai organisasi baru, pada awalnya GMNI hanya memainkan peranan yang kurang penting dalam tumbuh PNI. Namun, hal itu mulai berubah ketika GMNI merumuskan “Beberapa Tesis Pedoman Garis Perjuangan” serta mendukung usulan Dewan Nasional yang merupakan program Demokrasi Terpimpin (Sjamsuddin 1984: 14). GMNI secara perlahan mulai memainkan peran strategis di PNI dan mulai mengintegrasikan diri dalam aktivitas para elit di panggung politik nasional. Periode ini sering disebut sebagai masa keemasan GMNI (Komite Organisasi Presidium GMNI 2003: 5).
Di akhir kekuasaan Sukarno eskalasi politik mahasiswa mengalami peningkatan kembali. Sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang diusung Sukarno dipenuhi ketegangan antar-faksi politik. Peristiwa 30 September 1965, dimana PKI diduga mendalangi percobaan kudeta dan berada dibalik operasi penculikan para petinggi Angkatan Darat, telah menggoyah stabilitas sosial politik Demokrasi Terpimpin. Situasi itu diperburuk oleh keadaan perekonomian nasional yang semakin merosot tajam akibat pertikaian politik. Kondisi nasional yang demikian telah memicu munculnya gelombang protes yang di dalamnya melibatkan mahasiswa sebagai kekuasaan utama.
Menurut Cosmas Batubara, terjadi polarisasi dan menjadi tiga kelompok dalam tubuh gerakan mahasiswa. Pertama, mahasiswa nasionalis-Sukarnois yang memang sejak awal merupakan kelompok pendukung Bung Karno. Berada dalam kelompok ini adalah organisasi-organisasi sayap PNI, terutama yang berperan penting adalah GMNI. Kedua, kelompok mahasiswa yang sejalan dengan garis politik tentara, Angkatan Darat. Ketiga, kelompok mahasiswa berhaluan sosialis-komunis yang merupakan organisasi sayap PKI (Batubara 1994: 150).
Setelah Soeharto naik ke puncak kekuasaan, ia mulai mengurangi kekuasaan Bung Karno. Melalui berbagai rekayasa konstitusional, pada 22 Februari 1967 Presiden Sukarno menyerahkan kekuasaannya kepada Soeharto. Penguasa baru itu menyadari, pendukung setia Sukarno masih banyak dan berada dalam setiap lini pemerintahan, angkatan bersenjata, partai politik, ormas maupun di kalangan masyarakat luas. Hal itu dianggap Soeharto dapat menjadi ganjalan bagi kekuasaannya. Oleh karena itu, langkah awal dari rezim Orba adalah melakukan pembersihan terhadap pendukung-pendukung setia Sukarno (Ranuwihardjo 2002: 45).
PNI beserta onderbouw-onderbouwnya menjadi sasaran pembersihan itu. Angkatan darat melakukan pembersihan terhadap PNI dengan alasan bahwa PKI telah melakukan penyusupan ke dalam tubuh PNI. Propaganda yang digemborkan untuk pembersihan itu adalah pimpinan PNI membiarkan dirinya diperalat Sukarno dan PKI agar dapat memetik keuntungan dominasi keduanya dalam politik Demokrasi Terpimpin. Searah dengan pembersihan kaum kiri dan orang-orang pro-Sukarno, GMNI sebagai ormas PNI mengalami nasib yang sama dengan partai afiliasinya. Tekanan-tekanan itu juga dimunculkan dari dalam organisasi. Perpecahan di tubuh PNI yang telah terjadi sebelum Orde Baru terbentuk mengalami eskalasi yang berimbas pada GMNI saat Orde Baru berdiri (Rocamora 1991: 437).
Disebabkan teror yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru, PNI dan ormas-ormasnya menyatakan bertekad bulat membuang mental Orde Lama dan berusaha untuk hidup bersama dengan Orde Baru serta mengikis habis sisa-sisa G30S. Selain itu, PNI dan ormas-ormasnya tidak menghendaki kembalinya Sukarno dalam kepemimpinan pemerintahan. PNI juga memutuskan untuk mencabut gelar Bapak Marhaenisme yang pernah diberikan kepada Sukarno (Soenario 1988: 129).
Menanggapi instruksi dari DPP PNI, GMNI adalah satu-satunya ormas PNI yang menolak upaya pembersihan internal sebagaimana yang dilakukan PNI terhadap anggota-anggotanya yang dituduh terlibat G30S. Namun, bagi pemerintah keputusan independensi politik dari GMNI ini merupakan hal yang menguntungkan. Keluarnya GMNI dari PNI setidaknya akan memperlemah dukungan terhadap PNI. Sejak awal berkuasa, rezim Orde Baru berusaha memperlemah kekuatan kelompok-kelompok yang dianggap dapat menjadi ganjalan bagi stabilisasi kekuasaan (Soenario 1988: 167).
GMNI sepenuhnya terlepas dari pengaruh PNI. Realitas politik itu semakin memperteguh keputusan politik GMNI untuk memilih sebagai organisasi mahasiswa independen. Oleh karena itu, independensi GMNI kemudia dikukuhkan kembali dalam kongres VI di Jakarta pada tahun 1976 dan kongres VII pada tahun 1979 di Medan, Sumatera Utara (Komite Organisasi Presidium GMNI 2004: 9).
Walaupun sikap politik tersebut sudah diteguhkan dan dikampanyekan ke publik oleh GMNI. Akan tetapi, stigma kedekatan GMNI kepada salah satu partai politik tetap tertanam dalam benak masyarakat. Pandangan masyarakat ini menjadi kendala tersendiri bagi aktivitas GMNI. Situasi pada masa itu sangat tidak kondusif bagi aktivitas partai politik maupun organisasi kemasyarakatan, kebijakan depolitisasi massa yang diterapkan rezim Orde Baru telah menumbuhkan sikap sensitif terhadap keberadaan ormas, partai politik dan kegiatan politik praktis. Situasi ini menyulitkan kader-kader GMNI menjalankan roda organisasi, meskipun telah menegaskan independensinya. Puncak dari situasi ini adalah keluarnya kebijakan NKK/BKK untuk meredam suara mahasiswa yang di mana mereka hanya sebagai insan akademis yang steril dari kepentingan politik (Saidi 1993: 51).
Di masa setelah runtuhnya Orde Baru, walaupun peran dari organisasi ekstra kampus, termasuk GMNI, tidak sepopuler lembaga formal kampus, sesungguhnya ada benang merah yang mengkaitkan organisasi ekstra kampus dalam struktur gerakan mahasiswa di tahun 1998. Banyak di antara para pimpinan organisasi formal kampus dan komite aksi yang sebenarnya anggota dari organisasi ekstra kampus. Sehingga, kemunculan lembaga formal kampus dan komite-komite aksi merupakan desain politik dari organisasi ekstra kampus. Strategi ini menjadi pilihan yang efektif untuk menghindari pengaruh tekanan-tekanan politik dari penguasa.
Penulis: Satrio priyo utomo
Referensi
Batubara, Cosmas (1994). Kilas Balik Kelahiran Orde Baru dan Peranan Mahasiswa, dalam Pembangunan Politik, Situasi Global dan HAM di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Komite Organisasi Presidium GMNI (2003). Panduan Organisasi. Jakarta: Penerbit Presidium GMNI.
_______________________________(2004).
Radjab, Syamsudin dan Ade Reza Hariyadi (2014). GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan. Jakarta: Nagamedia.
Railon, Francois (1985). Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974, Jakarta: LP3ES.
Ranuwihardjo, Dahlan (2002). Revolusi, Anti Imperialisme dan Pancasila. Jakarta: Instrans, 2002.
Rocamora, Elisio (1991). Nasionalisme Mencari Ideologi Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946-1965. Pustaka Utama Grafiti.
Sjamuddin, Nazaruddin (1984). PNI dan Kepolitikannya 1963-1969. Jakarta: Rajawali. 1984.
Saidi, Ridwan (1993). Kelompok Cipayung, Analisis Gerakan Kebersamaan dan Pemikiran Ormas Mahasiswa Pasca Aksi Tritura 1966. Jakarta: LSIP.
Soenario (1988). Banteng Segitiga. Jakarta: Yayasan Marinda, 1988.