I Gusti Ngurah Rai
I Gusti Ngurah Rai adalah tokoh pimpinan perlawanan terhadap Belanda yang terkenal dengan istilah Perang Puputan di Bali. Lahir di desa Cilangsari, kabupaten Badung, Bali pada 30 Januari 1917. Setelah tamat Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Denpasar (1926-1933), ia melanjutkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Malang, namun hanya sampai kelas dua karena putus sekolah setelah ayahnya wafat. Pada tahun 1936 ia mengikuti pendidikan calon perwira, Officer’s Opleiding Corps Prayoda, di Gianyar Bali selama empat tahun, dan diangkat sebagai komandan seksi di tangsi Prayoda Denpasar. Pada tahun 1941, ia mengikuti pendidikan khusus Lucthdeel Artelerie di Magelang, lalu ditugaskan menjadi perwira penghubung pertahanan Belanda untuk Jawa – Bali. Akibat serangan Jepang terhadap Bali tahun 1942, ia pindah ke Jawa Tengah (Panyarikan, 1977: 36-43).
Pada masa Jepang (1942-1945) Ngurah Rai bekerja sebagai agen Mitsui Bussan Kaisha (MBK) untuk Bali dan Lombok. Bersama dengan kawan-kawan lama dari Prayoda, ia melakukan gerakan bawah tanah. Beberapa kawannya, seperti I Gusti Putu Wisnu dan I Gusti Wayan Debes, bergabung dengan PETA di Bali, sehingga memperluas jaringan pergerakan mereka (Panyarikan, 1977: 63-66). Setelah Jepang kalah, sejumlah tokoh pemuda berkumpul di rumah Ngurah Rai, Kayumas Bali. Hasil pertemuan ini memutuskan mereka harus segera menyingkir ke gunung supaya tidak ditangkap oleh Belanda. Mereka menyusun rencana untuk menyerang asrama dan merebut senjata Jepang, namun tidak berhasil karena diketahui oleh Jepang. Tanggal 14 Desember Jepang melakukan penangkapan terhadap pemuda pejuang. Gubernur Bali Puja sendiri ditahan dan dipenjarakan di Denpasar (Pusjar, 1982: 38-41).
Tiga hari kemudian lima tokoh Bali yakni Wijaya Kusuma, Wisnu, Wayang Ledang, Cokorda Ngurah, Wayang Debes, dan Ngurah Rai bertemu mendiskusikan rencana selanjutnya. Mereka akan meminta bantuan kepada Markas Besar TKR di Yogyakarta. Tiga tokoh yang disebut terakhir ke Jawa, sedangkan dua tokoh lain tetap di Bali untuk mengorganisir gerakan. Rombongan Ngurah Rai berlayar dengan perahu jukung dari pantai Gesing menuju Banyuwangi pada malam hari. Mereka tiba pada 1 Januari 1946, setelah 11 hari bergerilya di laut menghindari patroli Jepang. Jukung mendarat di pantai Wongsorejo, sekitar 20 km dari utara Banyuwangi. Di pantai itu banyak pos penjagaan, baik dari Pesindo dan BPRI maupun Yon TKR Laut Banyuwangi. Dari sana mereka ke Jember dan Malang. Setelah bertemu Bung Tomo di Malang, rombongan naik kereta api menuju Yogyakarta. Pada saat itu pemerintahan RI baru saja pindah dari Jakarta ke Yogyakarta sehingga terbuka kesempatan bagi mereka bertemu Panglima Besar Jenderal Soedirman, Kepala Staf Umum Jenderal Oerip Soemohardjo, Presiden Sukarno, Menteri Pertahanan, dan pejabat tinggi lainnya (Pusjar, 1982: 43-47).
Ngurah Rai ditetapkan sebagai Komandan Tentara Republik Indonesia (TRI) Sunda Kecil oleh Oerip Soemohardjo. Pangkatnya dinaikan dari Mayor menjadi Letnan Kolonel. Resimen ini di bawah Divisi VII Suropati (Komadan: Imam Sidja’i) yang berkedudukan di Malang. Ia juga diangkat menjadi ketua Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia (DPRI) yang membawahi semua kekuatan sosial politik dalam masyarakat dan laskar-laskar rakyat (Panyarikan, 1977: 84).
Perjalanan Ngurah Rai di Jawa berhasil mendapatkan bantuan berupa senjata, peluru, dan pasukan. Pasukan itu terdiri dari ALRI Armada V Jawa Timur pimpinan Kapten Markadi, Pangkalan X ALRI pimpinan Kapten Waroka, dan anggota korps Polisi Jawa Jawa Timur yang berasal dari Bali pimpinan Ida Bagus Mahadewa, BPRI (Bung Tomo), TRI bagian udara, dan Palang Merah Indonesia (Panyarikan, 1977: 86; Pusjar, 1982: 67-68). Dengan bantuan tersebut diadakan ekspedisi perjuangan dari Jawa ke Bali.
Ekspedisi 3 April 1946 dibagi tiga kelompok, masing-masing dipimpin oleh Waroka, Markadi Poerdjirahardjo, Ngurah Rai. Kelompok Waroka (160 orang) menggunakan tiga jenis perahu Madura (mayang bisa membawa 40 orang, telepak untuk sepuluh orang, dan jukung untuk lima orang). Semua perahu ditonda dengan kapal Ringgit, Raung, dan Baluran. Rombongan berangkat pukul 20.00 menuju Selat Bali dengan jarak waktu antara perahu sekitar dua jam. Sebagian rombongan tiba di pantai Grokgak dan Celukan Bawang Bali. Mereka terlibat pertempuran dengan patroli Belanda di Desa Ringdikit pada 6 April. Dua perahu yang membawa 15 orang tidak bisa mendarat karena terbawa oleh arus ke tengah Selat Bali dan akhirnya mereka semua meninggal, karena kehabisan bekal termasuk Waroka, kecuali Kamdi selamat tiba di pantai Jangkar, dekat Situbondo (Pusjar, 1982: 88-100; Disjar, 1973: 450).
Rombongan Markadi (138 orang) berlayar menuju pantai selatan Bali pada 4 April dengan 16 perahu nelayan Banyuwangi dan Muncar. Empat perahu mayang membawa 120 orang dan sisanya dengan empat perahu jukung. Perahu lepas jangkar dari pelabuhan Banyuwangi pukul 21.00. Satu perahu berhasil tiba di pantai Pebuahan. Tiga perahu lain mendapat serangan dari dua kapal patroli Belanda. Karena kondisi angin tidak mendukung menuju Bali maka rombongan Markadi berlayar kembali ke Banyuwangi. Esok hari mereka berlayar lagi dengan perahu mayang (setiap perahu memuat lima orang). Rombongan tersebut mendarat di pantai Penginuman, Klatakan, Malaya, dan Candikesuma (Pusjar, 1982: 115-121; Disjar, 1973: 450-451).
Berbeda dengan dua rombongan tersebut yang bertolak dari pelabuhan Banyuwangi, rombongan Ngurah Rai (45 orang) berlayar dari pantai Muncar, yang jaraknya sekitar 24 km di selatan Banyuwangi, menuju pantai Yeh Kuning. Mereka menggunakan 15 perahu jukung milik nelayan Muncar dan Bali. Rombongan berangkat sekitar pukul 23.00 tanpa ditarik oleh kapal tonda. Pada esok pagi dua kapal patroli Belanda menyerang sebuah perahu (4 orang) yang terpisah dari rombongan. Tujuh jukung (21 orang) berhasil tiba di Yeh Kuning. Sementara tujuh jukung lain yang membawa Ngurah Rai, setelah mengetahui serangan Belanda, kembali ke pantai Muncar. Malam berikutnya rombongan ini kembali ke Bali. Tiga jukung dipimpin Ngurah Rai mendarat di Yeh Kuning dan sisanya di pantai Pulukan (Pusjar, 1982: 104-110).
Rombongan yang tiba di Bali segera mengadakan konsolidasi. Pasukan Ngurah Rai menuju selatan dan kemudian membuat markas di Tabanan. Pasukan Markadi yang semula bermarkas di Jembrana bertugas membentuk pangkalan ALRI dan mengamankan garis hubung Bali – Banyuwangi, karena tekanan terus menerus dari Belanda, pun bergabung dengan pasukan Ngurah Rai. Kedua pasukan itu selalu mendapat serangan dari Belanda sehingga markasnya selalu berpindah-pindah (Disjar, 1977: 451-452).
Pada 16 April, Ngurah Rai bersama para pemimpin perjuangan membentuk Markas Besar Oemoem Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia (MBO DPRI) Sunda Kecil. Ini adalah gabungan TRI Sunda Kecil dan badan-badan perjuangan di Bali yang berkedudukan di Munduk Malang di bawah pimpinan Ngurah Rai. Untuk menarik perhatian penduduk dan membagi perhatian pasukan NICA, mulai 29 Mei DPRI mengadakan long march Gunung Agung dari sebelah Barat (Bengkel Anyar) ke Timur dan sebaliknya. Dalam perjalanan jumlah personil DPRI terus bertambah. Hampir di setiap daerah yang dilalui terjadi pertempuran dengan pasukan NICA. Perjalanan berakhir, ketika rombongan ini tiba kembali di Bengkel Anyar pada 31 Juli (Panyarikan, 1977: 103-113).
Pasca perjanjian Linggarjati (1946), Belanda mulai menjalankan taktik devide et impera terhadap wilayah-wilayah di luar, khususnya Indonesia timur, lewat proyek Negara Indonesia Timur (NIT) di bawah inisiasi H.J. van Mook. Ngurah Rai menentang rencana ini. Ia berupaya menghalangi penyelenggaraan Konferensi Denpasar yang akan diadakan pada 18 Desember sebagai tindak lanjut dari hasil Konferensi Malino di Sulawesi Selatan yang dihadiri 70 orang dari Indonesia Timur (Kempen, 1953: 35). Untuk menjamin keamanan konferensi, NICA menjalankan operasi ke seluruh daerah Bali. Pada 20 November 1946 terjadi pertempuran di desa Marga yang mengakibatkan Ngurah Rai gugur bersama 96 anak buahnya. Peristiwa ini dikenal dengan Puputan Margarana (Panyarikan, 1977: 136-137; Kempen, 1953: 37). Karena jasanya itulah pemerintah menetapkan I Gusti Ngurah Rai sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No.063/TK/tahun 1975 tanggal 9 Agustus 1975.
Penulis: Abd. Rahman Hamid
Instansi: Universitas Islam Negeri Raden Intan
Lampung
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso
Referensi
Kempen. 1953. Republik Indonesia: Propinsi Sunda Ketjil. Djakarta: Kementerian Penerangan.
Panyarikan, Ktut Sudiri. 1977. Kolonel TNI Anumerta I Gusti Ngurah Rai. Jakarta: Depdikbud.
Disjar. 1973. Sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut Periode Perang Kemerdekaan 1945-1950. Djakarta: Dinas Sejarah TNI-AL.
Pusjar. 1982. Operasi Lintas Laut Banyuwangi-Bali. Djakarta: Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah ABRI.