Jusuf Ronodipuro
“Innalillahi wa innailaihi rojiun…
Minggu, 27 Januari 2008, pukul 11.20 malam, Indonesia kehilangan
pahlawan penyiar teks proklamasi, Moehammad Joesoef Ronodipoero ia
telah menghadap sang Khalik di usianya yang ke 88 tahun akibat
komplikasi, kabar duka ini datang bersamaan saat Presiden Soeharto pun
meninggal dunia di hari yang sama. Jusuf dikebumikan hari Senin nya, di
Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta, dengan serangkaian upacara
militer.” (Anwar, 2009: 223)
Moehammad Joesoef Ronodipoera adalah penyiar dan pendiri Radio Republik Indonesia. Ia menjadi terkenal karena kiprahnya dalam menyiarkan berita kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Ia lahir di Salatiga, Jawa Tengah 30 September 1919 (Anwar, 2009). Saat usianya 35 tahun, Jusuf mempersunting Siti Fatma Rassat kelahiran Kayutanam, 27 November 1925. Dari pernikahannya dengan Fatma, Jusuf dikaruniai tiga anak yaitu Dharmawan Ronodipuro, Siti Fatmi Ronodipuro, dan Irawan Ronodipuro (Gracivia, 2015). Nama Jusuf amat melekat dalam ingatan bangsa Indonesia karena kiprahnya sebagai sang penyiar “Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia” di Radio milik Jepang Hoso Kyoku dan sebagai ketua Radio Republik Indonesia dengan jargon “Sekali di Udara Tetap di Udara” (Holthausen dalam koran Het Parool, 1995: 4; Java Bode, 1956: 1). Jusuf sebagai pahlawan nasional, jasanya dalam penyiaran proklamasi kemerdekaan 1945 amat diperhitungkan.
Jusuf lahir saat Indonesia sedang dijajah oleh Belanda, kehidupannya amat kental dengan budaya Jawa, memegang prinsip hidup sederhana, dan gigih dalam bekerja (Indra, 2015). Bahkan menurut pengakuan Rosihan Anwar, Jusuf merupakan sosok laki-laki yang baik, santun, berprofil rendah pun bertutur moderat (Anwar, 2009: 229).
Jusuf kecil mengenyam pendidikan pertamanya di Hollandsch Inlandsche School (HIS) atau sekolah Belanda untuk bumiputra, sekolah setingkat Sekolah Dasar (SD) yang berdiri tahun 1914 sebagai bagian dari agenda politik etis (Ethische Politiek) Belanda, di HIS ini Jusuf selesai tahun 1934. Setelah tamat dari HIS, Jusuf kemudian melanjutkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan selesai tahun 1937. Kemudian meneruskan ke jenjang setara Sekolah Menengah Atas (SMA) di Algemeene Middelbare School (AMS) di Batavia (sekarang Jakarta) selesai tahun 1940. Kemudian bekerja sebagai sales kendaraan di General Motor, yang berlokasi di Tanjung Priok (Kementerian Penerangan RI, 1953; Gracivia, 2015; Anwar, 2009). Sekolah-sekolah tempat Jusuf menimba ilmu, merupakan sekolah-sekolah buatan Belanda, karen masa-masa Jusuf mengenyam pendidikan, Belanda sedang berkuasa di Indonesia. Tahun-tahun 1930 ini juga merupakan masa-masa penduduk pribumi diperlakukan rendah oleh pemerintah Belanda, adanya diskriminasi yang amat mencolok, misalnya pendidikan menengah hanya dapat diakses oleh anak-anak pribumi yang berkedudukan tinggi, sisanya hanya diperbolehkan bersekolah di sekolah rakyat (SR), di sekolah pun anak-anak pribumi ditanamkan bahwa mereka adalah golongan kelas rendah (Holthausen dalam koran Het Parool, 1995: 4)
Namun setelah Belanda menyerah pada Jepang, 8 Maret 1942 yang termaktub dalam perjanjian Kalijati. Bergantilah masa pendudukan Jepang di Indonesia. Di masa pendudukan Jepang, Jusuf berkiprah di Pusat Kebudayaan atau Kantor Besar Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso), bagian seni lukis hingga tahun 1943. Di sinilah Jusuf mengenal pelukis-pelukis handal di zamannya seperti Affandi, Sudjono, Agus Djaya, dan Oto Sjaya. Setelah dari seni, Jusuf berkesempatan untuk bekerja di Hoso Kyoku Jakarta tahun 1943-1945, sebuah stasiun radio Jakarta yang dijalankan oleh pemerintah bala tentara Dai Nippon, yang bernaung dalam jaringan Kantor Berita Domei (Kementerian Penerangan RI, 1953; Anwar, 2009). Di sinilah peran Jusuf mulai terlihat. Meskipun siaran Radio Hoso Kyoku ini amat ketat pengawalannya, dan semua penyiaran atas kendali pemerintah Jepang. Namun Jusuf amat menikmati profesinya sebagai komentator dan reporter di radio ini, mengingat radio merupakan media komunikasi yang paling diandalkan masa itu. Adapun Radio Hoso Kyoku Jakarta ini diketuai oleh personil tentara Jepang bernama Letkol Tomo Bachi, wakilnya dari Indonesia yaitu Utoyo Ramlan, sedangkan pemimpin redaksinya Bahtar Loebis. Selain Jusuf, Bahtar Loebis juga sering kali dipercaya membawakan siaran mancanegara di Hoso Kyoku (Winarto, 2005).
Selang dua tahun Jusuf bekerja di Hoso Kyoku (1945). Pada 6 Agustus 1945, Amerika Serikat meluncurkan bom dahsyatnya ke Hiroshima juga di Nagasaki tanggal 9 Agustus 1945, dan Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Kekalahan Jepang ini belum banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia, mengingat minimnya akses informasi, juga masih banyak yang belum terbiasa mendengar siaran radio. Namun, saat itu Jusuf sedang di kantor Hoso Kyoku, dan mendengar berita kekalahan Jepang atas Amerika Serikat. Sayangnya, selang sehari setelah Hiroshima dan Nagasaki hancur, semua radio dijaga ketat oleh kempetai, tentara Jepang.
Di Indonesia, Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, dengan segera para pemimpin pemuda Indonesia menekan Ir. Sukarno untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Saat itu, Ir. Sukarno didampingi oleh Mohammad Hatta membacakan teks proklamasi kemerdekaan pada Jumat, 17 Agustus 1945, pukul 10.00 WIB di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta.
Berita proklamasi tersebut sayangnya tidak sampai ke seluruh wilayah Indonesia, hanya diketahui oleh kalangan sekup kecil saja. Oleh karenanya, pukul 13.00 WIB, para siswa dari fakultas kedokteran turut menyerbu stasiun radio untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia, sayangnya mereka dipukul mundur oleh Jepang (Holthausen dalam koran Het Parool, 1995: 4). Saat itu jam 17.30 WIB, Jusuf posisinya berada di Hoso Kyoku, tiba-tiba datang Syahruddin, seorang pewarta dari kantor Berita Domei membuat Jusuf kaget. Syahruddin menyelundup ke kantor berita Hoso Kyoku dengan melompati pagar, dan berhasil masuk di ruangan penyiaran (news-room) Hoso Kyoku, ia dengan segera menyerahkan secarik kertas dari Adam Malik yang isinya “Harap berita terlampir disiarkan”. Isi berita itu tidak lain adalah naskah Proklamasi yang jam 10.00 WIB telah diproklamirkan oleh Ir. Sukarno. Dengan segera Jusuf bersama rekannya Bachtiar Lubis, dan Joe Seragih, seorang teknisi radio berusaha memperbaiki hal-hal teknis radio, karena saat itu saluran radio dijaga ketat oleh kempetai, dan beberapa saluran terputus. Beruntungnya, studio siaran luar negeri tidak dijaga, dengan bantuan teknisi radio, Joe Seragih, kabel siaran dalam negeri dialihkan ke studio siaran luar negeri. Tepat pukul 19.00 WIB, saat Sodookan (supervisor) Nippon lengah, selama kurang lebih 15 menit, teks proklamasi berhasil disiarkan oleh Jusuf dalam bahasa Indonesia, sedangkan versi Inggris dibacakan oleh Soeprapto, hingga tersebarlah berita kemerdekaan itu ke seluruh nusantara juga ke mancanegara, termasuk BBC London (Anwar, 2009: 224). Tersiarnya kemerdekaan ini, menandakan Republik baru telah lahir, dan Indonesia menjadi negara yang berdaulat secara utuh.
- Proklamasi
- Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
- Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l, diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnya.
- Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
- Atas nama bangsa Indonesia
- Soekarno/Hatta
Selang dua jam setelah berita kemerdekaan tersiar, Jusuf dan Bachtiar Loebis disergap oleh kempetai (kapten polisi militer Jepang), mereka dipukuli hingga babak belur, Rosihan Anwar menggambarkan: “mereka dipermak”. Mereka juga nyaris akan dibunuh oleh perwira Jepang dengan katana (pedang samurai). Beruntungnya, mereka diselamatkan oleh pegawai Nippon yang usianya lebih tua, masuk ruangan siaran dan berteriak “Stop! We hebben immers de oorlog verloren” (Berhenti! Lagi pula kita kalah perang). Jusuf dan rekannya berhasil diselamatkan (Anwar, 2009: 224; Holthausen dalam koran Het Parool, 1995: 4)
Dalam kondisi yang lemah, dan pakaian penuh darah akibat pukulan kempetai, Jusuf berusaha mengamankan diri, ia bersepeda singgah ke rumah sahabatnya, Basuki Abdullah di daerah Gambir, dan keesokannya pergi ke RS di Salemba dan diobati oleh Abdurahman Saleh (Sandy, 2015).
Setelah peristiwa itu, pada 10 September 1945, Jusuf, Bachtiar Loebis dan bersama para pemimpin radio dari berbagai daerah berkumpul untuk membahas ide didirikannya stasiun radio nasional untuk menyiarkan semangat perjuangan (Esa, 2005), namun untuk terwujudnya ide tersebut, radio Hoso Kyoko harus menjadi milik Indonesia. Dengan perjuangan, dan semangat yang tinggi, akhirnya radio Hoso Kyoko berhasil dikuasai, sementara Domei menjadi Kantor Berita Antara yang dipimpin Adam Malik (Iswara, 2008).
Pada 11 September 1945, Hoso Kyoko diganti menjadi Radio Republik Indonesia, dan RRI resmi berdiri. Jusuf pun menjadi kepala RRI Jakarta hingga Juli 1947, ia juga yang mengusulkan semboyan “Sekali di Udara Tetap di Udara” untuk RRI (Anwar, 2009: 224; Iswara, 2008). Perjuangan Jusuf dalam mempertahankan radio RRI tidak berhenti di situ. 21 Juli 1947 Agresi Militer Belanda I terjadi, Belanda berhasil menguasai stasiun radio Jakarta (Anwar, 2009: 225), Saat adanya perundingan antara RI dan Belanda di Jakarta dibawah supervisi PBB melalui Komisi Tiga Negara (KTT), terdiri dari wakil Amerika, Australia, dan Belgia, Jusuf bertugas sebagai liaison-officer atau penghubung dari delegasi Indonesia, ia menjadi asisten Mr. Soedjono yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Delegasi RI (Anwar, 2009: 225).
Setelah Agresi Militer Belanda I usai, terjadi kembali Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, Jusuf mengalami masa-masa sulit saat itu, RRI berhasil direbut Belanda, Jusuf ditangkap di Pegangsaan Timur 56, dan dipenjara di Bukit Duri. Dua tahun mendekam dipenjara, Jusuf bebas, dan bisa kembali berkiprah menjadi kepala RRI Jakarta tahun 1950-1956.
Di RRI, Jusuf kemudian mengusulkan kepada Ir. Sukarno untuk ‘mereplika ulang suara’ saat membacakan teks proklamasi kemerdekaan. Waktu itu Ir. Sukarno, sebagai sang proklamator menolak, dengan argumen proklamasi hanya sekali dan tidak bisa diulang (Iswara, 2008). Jusuf berusaha membujuk Ir. Sukarno, ia pun akhirnya luluh dan mau untuk merekam ulang. Akhir tahun 1951 rekaman suara terlaksana di studio Radio Republik Indonesia (RRI), dan tersimpan baik. Oleh karenanya, rekaman suara proklamasi yang beredar kini, merupakan suara hasil rekaman di studio RRI, bukan suara asli saat Ir. Sukarno memproklamirkan kemerdekaan (Max, 2019: 135; Iswara, 2020).
Pribadi Jusuf yang berani inilah kemudian membawanya untuk terus berkiprah dalam memajukan Indonesia. Jusuf seringkali menjadi wakil/delegasi dari Indonesia dalam forum-forum besar dunia. Seperti yang tercatat dalam CNN: tahun 1950 Jusuf menjadi anggota delegasi Indonesia ke Internasional Telecommunication Conference on Broadcast Frequency, Swiss; anggota delegasi RI ke Asian Radio Consultative Conference, India (1950); Press-Attache pada Kedutaan Besar RI di London dengan gelar Sekretaris I (1960); Press-Officer Presiden Sukarno dalam kunjungan kenegaraan ke Yugoslavia, Bulgaria, Hungaria, Austria, Afrika dan Portugal (1960); Penasihat delegasi RI ke sidang umum PVV ke XVIII (1963); Direktur Jenderal Penerangan Dalam dan Luar Negeri, Departemen Penerangan (1969), dan prestasi-prestasi lainnya (Gracia, 2015 dalam CNN).
Setelah bekerja sebagai pegawai di Kementerian Penerangan, Jusuf pindah menjadi diplomat, dan menjabat sebagai atase penerangan pada KBRI di London saat B.M. Diah menjadi Dubes. Setelahnya, Jusuf pindah ke New York menjadi perwakilan Indonesia di PBB saat dubes Soekardjo Wirjopranoto menjabat. Kemudian setelahnya menjadi minister-councillor pada KBRI di Manila. Tahun 1970 ia kembali ke Jakarta dan diangkat menjadi Duta Besar RI di Argentina (Anwar, 2009: 228). Banyak penghargaan yang Jusuf dapatkan diantaranya Bintang Mahaputera Utama; Grand Officier de L'Ordre du Mérite du Monisaraphon (Kamboja); Groot Officier in de Orde van Oranje Nassau (Belanda); Orden de Mayo al Mérito en Grado de Gran Cruz (Republik Argentina); dan Bintang Angkatan ’45 (Laudy, 2015).
Pada tanggal 1 April 1976 Jusuf pensiun dari jabatannya, namun tetap aktif dalam pimpinan Dewan Harian Angkatan ’45 di Menteng 31, Cikini Raya Jakarta sebagai sekretaris (Anwar, 2009). Usianya yang semakin sepuh, di tambah kondisi kesehatannya yang semakin memburuk, Jusuf mengidap penyakit komplikasi karena kebiasaannya sering merokok. Jusuf kemudian tutup usia pada 11.20 WIB malam, 27 Januari 2008, diusia yang ke 88 tahun. Meskipun proses pemakamannya sepi (Anwar, 2009: 223), namun bangsa Indonesia akan terus mengenang jasa Jusuf sebagai pewarta kemerdekaan Indonesia. “Selamat jalan temanku…” (Anwar, 2009).
Penulis: Tati Rohayati
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Anwar, Rosihan (2009). Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia. Jilid 3. Jakarta: Kompas
Boli Sabon Max. 2019. Mengenal Indonesia, Aku Cinta Indonesia, Tak Kenal Maka Tak Sayang. Jakarta: Penerbit Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Firdaus, Helmi. Ucup Tutup ‘Siaran’ 10 Jam Setelah Soeharto. https://www.cnnindonesia.com/, Senin 17 Agustus 2015
Gracivia, Laudy. Pengirim Kabar Indonesia Merdeka ke Seantero Dunia. https://www.cnnindonesia.com/. Senin 17 Agustus 2015
Het Parool, Vrij Onverveerd, Opgericht in het Oorlogsjaar 1940, 55Ste Jaargang NR 15491, Donderdag 17 Agustus 1995, pag 4
Indonesia, Album Perjuangan Kemerdekaan 1945-1950, Dari Negara Kesatuan ke Negara Kesatuan. 1975. (Badan Pimpinan Harian Pusat Korps Cacad Veteran RI, dan Badan Penerbit Alda CV Jakarta) 1975
Indra Pratama, Sandy. Jusuf Ronodipuro, Si Pendongeng Andal Pengantar Tidur. https://www.cnnindonesia.com/, Senin 17 Agustus 2015
Java Bode: Nieuws, handels en advertentieblad voor Nederlandsch-Indië, 104de Jaargang No. 121, Woensdag 04 Januari 1956, pag 1.
Nieuwsgier. Jusuf Ronodipuro. 11e Jaargang No. 105, Woensdag 4 Januari 1956, pagina 1
Pratama, Sandy Indra. Jusuf Ronodipuro, Si Pendongeng Handal Pengantar Tidur. https://www.cnnindonesia.com/, Senin, 17 Agustus 2012 08:27 WIB
Raditya, Iswara N. Joesoep Ronodipoero: Hampir Mati Gara-gara Menyiarkan Proklamasi. https://tirto.id/, 27 Januari 2008
Winarto. 2005. "M. Yusuf Ronodipuro Bapak RRI. Dipala Jepang Nganti Dheglok Marga Nggiyarake Proklamasi" ing Damar Jati. 2005: 4 kaca 26-27, 36.