Moewardi

From Ensiklopedia

Dr. Moewardi adalah seorang aktivis pergerakan dan tokoh pemuda pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia dilahirkan di Desa Randukuning, Pati, Jawa Tengah, Rebo Pahing 30 Januari 1907 jam 10.15 malam 15 Besar tahun Jawa 1836. Ia adalah sebagai putera ke-7 dari Mas Sastrowardojo dan Roepeni. Sastrowardoyo adalah seorang kepala sekolah dasar–yang pada zaman itu merupakan suatu kedudukan yang sangat terhormat di lingkungan masyarakat pedesaan. Moewardi memiliki 13 saudara: ada diantaranya  yang bekerja sebagai pegawai Pamong Praja, wiraswasta, dan analis kesehatan. Menurut silsilah, dari pihak ayah Muwardi adalah masih keturunan langsung dari Raden Sunan Landoh atau Syeh Jangkung, sedangkan dari pihak Ibu Muwardi adalah masih keturunan Ario Damar (Bupati Palembang).

Pada awalnya, Moewardi disekolahkan pada Sekolah Rakyat Bumiputra di desanya. Akan tetapi, karena dia memiliki kecerdasan yang tinggi, kemudian pada tahun 1913 dipindahkan oleh ayahnya ke sekolah HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Kudus yaitu sekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Sebagai seorang pendidik, Sastrowardoyo ingin agar putra-putrinya menjadi orang yang lebih pandai dan memiliki kedudukan yang tinggi daripada dirinya. Setelah lulus dari HIS, Sastrowardojo memasukkan Moewardi ke sekolah rendah  khusus untuk orang Eropa di ELS (Europeesche Lagere School) di Pati.

Selama dalam proses pendidikan, Moewardi adalah selalu ikut dan aktif sebagai seorang pramuka dan pemimpin pramuka (padvinderij) yang rajin. Khususnya pada 1920-an, ia memainkan peran penting dalam transformasi Jong Java Padvinderij (Pramuka Muda Jawa) menjadi Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) yang lebih nasionalis dan sadar politik.

Setamat dari ELS tahun 1921, ayahnya meminta Dr. Umar di Cilacap memberi rekomendasi agar Moewardi dapat masuk ke STOVIA (School Tot Opleiding Voor Inlandsche Aartsen) atau Sekolah Dokter Bumiputra di Jakarta. Pada zaman itu, tidak hanya kecerdasan otak yang dapat mengantarkan seseorang untuk menikmati pendidikan, namun diperlukan juga rekomendasi dari seseorang yang terpandang. Hampir 12 tahun waktu yang diperlukan oleh Moewardi untuk dapat mendapatkan ijazah dokternya pada tahun 1933. Hal itu bukan karena ia bodoh, tetapi terlalu banyak waktu belajarnya digunakan untuk terjun aktif dalam kancah pergerakan rakyat Indonesia. Ketika dia sedang sebagai mahasiswa di STOVIA, gurunya memberikan pekerjaan kepadanya sebagai Beroeps-Assistant atau asisten dosen pada Geneeskundige Hogeschool (Sekolah Tinggi Kedokteran bagian Hidung, Kerongkongan, dan Telinga) di Salemba. Di samping itu, ia juga sudah merangkap sebagai  asisten dokter di rumah sakit CBZ (Centrale Buzgerlijke Ziekewsichting)--sekarang menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunsarkoro (RSCM). Setelah lulus dari STOVIA, Muwardi membuka praktek sebagai dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) di Batavia pada tahun 1933.

Setelah 5 tahun berpraktek sebagai dokter, dr. Moewardi kembali memperdalam ilmunya dengan mengambil spesialisasi Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) di Geneeskundig Hoogeschool (GH) Salemba dan menjadi asisten pada rumah sakit CBZ, yang kini berubah nama menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Ia resmi menjadi dokter spesialis pada tahun 1939. Pada tahun itu juga, ia membentuk satu organisasi yang menyatukan semua kelompok kepanduan Indonesia, sebuah proyek yang belum terselesaikan sampai pecahnya Perang Pasifik.

Pada masa pendudukan tentara Jepang di Indonesia, Moewardi mencoba untuk menentang larangan Jepang terhadap kelompok kepanduan dengan menghidupkan kembali upaya penyatuan kepanduan itu pada awal tahun 1943, sehingga dia dihentikan oleh otoritas pemerintah pendudukan Jepang. Untuk mengendalikan pemuda nasionalis yang gelisah dan juga untuk menjawab tekanan dari Sukarno, pada tahun 1944, Jepang di bawah payung administrasi Jawa Hōkōkai, membentuk Barisan Pelopor (Korps Perintis, Suishintai). Moewardi dipilih mungkin oleh teman dekatnya Sudiro, direktur administrasi Barisan Pelopor, sebagai kepala cabang Jabodetabek (shū rengōtaichō).

Dalam Uraian pergerakan rakyat, tidak dapat meninggalkan Gerakan Angkatan Baru Indonesia yang berkedudukan di Jakarta. Gerakan Angkatan Baru Indonesia melibatkan para pemimpin Pemuda Indonesia dalam menghadapi Jepang. Gerakan Rakyat Baru ini adalah gerakan yang dibentuk pada tanggal 28 Juli 1945 dan diresmikan oleh Saiko Sisikan. Gerakan Rakyat Baru ingin mendirikan Negara Indonesia Merdeka berdasarkan Panitia yang telah dibentuk oleh Jepang. Akan tetapi Angkatan Baru Indonesia menginginkan untuk mendirikan Negara Indonesia Merdeka atas kekuatan sendiri. Inilah titik awal timbulnya perbedaan pendapat antara golongan tua dengan golongan muda. Para Pemuda sudah bosan melihat Shimizu yang senantiasa menampilkan diri sebagai pemimpin pemuda Indonesia. Maka dalam rapatnya tanggal 3 Juni 1945 yang diselenggarakan di Gedung Gambir Selatan No. 6 Jakarta, dengan tidak dihadiri oleh Jepang hanya semata-mata dihadiri oleh Para pemuda-pemuda Indonesia yang mempunyai hubungan dengan gerakan pemuda. Dalam rapat it, Muwardi hadir sebagai perwakilan dari Barisan Pelopor.

Pada hari-hari kritis, 15 Agustus 1945, Moewardi dan Soediro bekerja sama anggota Barisan Pelopor mendesak Sukarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan RI. Hal itu ditolak oleh Sukarno. Beberapa hari kemudian, ketika dia dan yang lainnya mengusulkan gerakan untuk mengganti bendera Jepang dengan bendera Indonesia (merah-putih) di gedung-gedung pemerintah Jakarta, Moewardi juga ditegur oleh Hatta, bahwa untuk semuanya itu harus dijalankan dengan hati-hati dan cermat.

Dua hari kemudian dengan desakan dan dukungan dari kelompok pergerakan pemuda, kemudian Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan R1 tanggal 17 Agustus 1945, yang diselenggarakan Jalan Pegangsaan Timur. Di dalam penyelenggaraan upacara proklamasi itu, Moewardi yang pada waktu itu ditugasi sebagai kepala keamanan dan ditugasi untuk memberikan kata sambutan.

Setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan, Moewardi ditunjuk sebagai Ketua Umum Barisan Pelopor, menggantikan Sukarno setelah diangkat menjadi presiden. Ia bertambah antusias untuk mengatur batalyon Barisan Pelopor  di seluruh Wilayah Khusus Jakarta. Strategi Muwardi ini kemudian menjadi dasar bagi terbentuknya sebuah milisi (laskar) yang substansial di Indonesia.  Di Solo pada awal 1946, Moewardi mengganti  nama Barisan Pelopor menjadi Barisan Banteng yang berpusat di Surakarta (Solo). Di wilayah Solo-Yogya, Muwardi mengabdikan dirinya untuk mengorganisir, merekrut, dan melatih Barisan Bantengnya, yang menurutnya setia kepada Sukarno.

Pada tahun 1948, Moewardi kemudian lebih aktif terjun ke dunia politik dengan membentuk Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR) untuk melawan aksi-aksi anti pemerintah yang dilancarkan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR), onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI). Moewardi, dalam gejolak yang meningkat yang menuju ke arah peristiwa  Madiun, diculik oleh beberapa orang  orang dari Pesindo ketika sedang menjalankan operasi salah seorang. Semenjak itu ia tak pernah terlihat kembali dan hilang secara misterius.

Melalui SK Presiden RI No. 190 tahun 1964, ia dianugerahi gelar pahlawan dan namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit: Rumah Sakit Moewardi di Solo, Jawa Tengah. Selain itu, namanya juga digunakan sebagai nama jalan di beberapa kota seperti Jakarta, Cianjur, Solo, dan Denpasar.

Di dalam kehidupannya, Moewardi lebih memberikan perhatian kepada sesamanya. Karena perilakunya itu ia juga mendapat julukan "dokter gembel" yang sangat melekat pada dirinya, sebagai akibat dari kesederhanaan dan kedermawanannya di lingkungan masyarakat sekitarnya. Ia senang memberi pertolongan dan santunan kepada orang-orang yang memerlukannya.

Penulis: Sudarno
Instansi: Universitas Sebelas Maret
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum


Referensi

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan: Pn Balai Pustaka.

Muhamad Nurdin Fathurrohman, “Biografi dr Moewardi - Pahlawan Nasional”, diunduh dari https://biografi-tokoh-ternama-blogspot.com.

Mulyono dan Sutrisno Kutoyo. 1980. Dr. Muwardi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Inventarisasi & Dokumentasi Sejarah Nasional.

G.A Warmansjah, et al. 1978. Sejarah Revolusi Fisik Daerah DKI Jakarta. Jakarta: CV. Eka Dharma.

Republik Indonesia: Kementerian Penerangan. Jogjakarta: Djawatan Penerangan Daerah Istimewa Jogjakarta, 1953.

Suradi, at al. 1986. Sejarah Pemikiran Pendidikan Dan Kebudayaan. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional.