Peristiwa 17 Oktober 1952
Peristiwa 17 Oktober 1952 menandai konflik yang terjadi antara elit sipil di parlemen dengan kelompok militer khususnya Angkatan Darat (AD). Konflik ini berlatarbelakang tuntutan perbaikan kondisi ekonomi negara yang memburuk sehingga direncanakan restrukturisasi dan rasionalisasi jumlah tentara dari 200 ribu menjadi 100 ribu orang. Kebijakan ini menuai perseteruan antara kelompok pimpinan pusat AD dan daerah yang memiliki kedekatan dengan Partai Nasional Indonesia dan Sukarno (Ricklefs 2005: 486).
Kebijakan Nederlansche Militaire Missie (NMM) dalam kabinet Perdana Menteri Wilopo mengarah pada peningkatan mutu teknis militer TNI, termasuk penegakan disiplin oleh Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) (Simatupang 1972). Peningkatan mutu diharapkan membawa angkatan perang sejajar dengan partai-partai politik di pemerintahan.
Restrukturisasi terhadap Akademi Militer Candradimuka Bandung pimpinan Kol. Bambang Supeno memicu masalah berkepanjangan. Surat protes Supeno dikirimkan kepada Perdana Menteri Wilopo, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan parlemen. Mantan tentara PETA ini juga sering menghadap Presiden Sukarno tanpa mengindahkan hirarki militer. Supeno rupanya memiliki agenda untuk mencari pengganti Nasution sebagai KSAD, apalagi Nasution akan menempuh pendidikan militer di Belanda sekitar 8 bulan (Yulianto 2005:186).
KSAP T.B. Simatupang menanggapi surat protes tersebut dengan meminta Menteri Pertahanan dan Keamanan menindak Supeno karena dinilai melanggar disiplin. Namun, keinginan Supeno didukung oleh Presiden Sukarno. Salah satu indikasinya ialah penolakan Presiden Sukarno atas pengajuan pembebastugasan Supeno oleh Menteri Pertahanan Hamengkubuwono IX.
Surat Supeno seakan menjadi pintu masuk munculnya perdebatan sengit di parlemen yang memunculkan mosi dari berbagai pihak (Zainul Baharuddin, Sakirman, I.J Kasimo, Natsir, Arudji, Idham Chalid, Manai Sophian yang berasal dari PKI, Partai Murba, Partai Buruh dan PNI, Partai Katolik, NU, Masyumi, dan PSII) yang menuntut reformasi dan reorganisasi pimpinan Kementerian Pertahanan dan TNI AD (Muhaimin 2002: 77; Nasution 1971: 367). Mosi juga berisi tuntutan membentuk komisi untuk menyelidiki dugaan penyelewengan administratif dan keuangan dalam Kementrian Pertahanan dan Angkatan Perang (Sundhaussen 1988: 116-117). Berbagai mosi menimbulkan kemarahan di kalangan AD, dan menilai parlemen terlalu jauh mencampuri urusan internal mereka.
Pada 17 Oktober 1952, sekelompok AD menggerakkan massa sebanyak 30.000 orang untuk bergerak ke parlemen, melakukan tindakan anarkis di gedung parlemen, lalu menuju istana negara guna menuntut pembubaran parlemen dan penyelenggaraan pemilihan umum. Tentara juga membawa tank beserta artileri militer yang moncongnya diarahkan ke istana negara. Mengetahui tindakan tersebut, Presiden Sukarno keluar dari istana dan berbicara kepada massa yang berkerumun ( Muhaimin 2002: 77). Dalam pidato singkatnya Sukarno berhasil menenangkan massa dan menolak tuntutan pembubaran parlemen. Mengenai pemilu, Sukarno setuju diadakan secepatnya (Sundhaussen 1986: 123). Peristiwa 17 Oktober bukanlah kudeta dari militer melainkan cerminan kekecewaan terhadap usaha kelompok sipil yang akan menghalangi mereka melakukan kebijakan penting (Crouch 1986: 27).
Penulis: Waskito Widi Wardojo
Instansi: Prodi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UNS Surakarta
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.
Referensi
Crouch, Harold. 1986. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.
Muhaimin, Yahya A 2002. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nasution, A.H. 2013. Peristiwa 17 Oktober 1952: Ketika Moncong Meriam Mengarah ke Istana Merdeka. Yogyakarta: Narasi.
Nasution, A.H, 1971. Kekarjaan ABRI. Jakarta: Seruling Masa.
Ricklefs, M.C. 2007. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sundhaussen, Ulf, 1986. Politik Militer Indonesia 1945 – 1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI. Jakarta: LPE3S.
Yuli Dwi Pratomo, 2005. Militer dan Kekuasaan. Yogyakarta: Narasi.
Nasution, A.H. “Tentang Peristiwa 17 Oktober 1952”, Sinar Harapan, 9 November 1972.
Simatupang, T.B. “Dua Puluh Tahun Setelah Peristiwa 17 Oktober 1952”, Sinar Harapan, 16-21 Oktober 1972.