Pierre Tendean
Pierre Andries Tendean dilahirkan di Rumah Sakit Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (sekarang RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo) Jakarta pada tanggal 21 Februari 1939 dari pasangan Aurelius Lammert Tendean dan Maria Elizabeth Cornet (Masykuri 1983: 1). Ayahnya adalah seorang dokter jiwa asli Minahasa dan ibunya keturunan Belanda-Prancis, sehingga disematkan nama Pierre yang dalam bahasa Prancis berarti “kuat bagaikan batu” (Besman dkk. 2019: 1). Sebagai seorang anak dokter, Pierre Tendean hidup berpindah-pindah mengikuti tugas ayahnya, yaitu ke Tasikmalaya, Cisarua dan menjelang kedatangan Jepang ayahnya menjadi wakil kepala Rumah Sakit Jiwa Keramat di Magelang (Masykuri 1983: 2).
Pada awal revolusi kemerdekaan tahun 1946, Pierre mulai bersekolah di Sekolah Rakyat Botton di Magelang, seraya menyaksikan ayahnya membantu mengumpulkan kebutuhan medis dan logistik untuk para pemuda yang sedang berjuang (Basman dkk. 2919: 9). Pada masa ini pula, Pierre mulai bersinggungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) saat sisa-sisa gerombolan PKI melakukan perampokan dan menculik sang ayah (Sheva, 6 Oktober 2021). Saat dibawa penculik, A.L. Tendean berhasil melarikan diri dan menceburkan diri ke Kali Manggis. Akibat diberondong penculik, kaki A.L. Tendean tertembak, sehingga A.L. Tendean menjadi pincang di sisa hidupnya (Basman dkk. 2919: 9)
Peristiwa ini membuat keluarga A.L. Tendean memutuskan pindah ke Semarang. Selain untuk mengobati kaki A.L. Tendean di rumah sakit, kepindahan itu juga untuk memenuhi tugas A.L. Tendean menjadi kepala Rumah Sakit Jiwa Pusat Semarang (Basman dkk. 2019: 10). Pada saat kepindahan itu, Pierre sudah kelas VI dan kemudian melanjutkan studinya ke SMP Negeri 1 Semarang yang diselesaikannya tahun 1955. Pada tahun yang sama, Pierre melanjutkan pendidikannya di SMA negeri Semarang bagian B dan lulus tahun 1958 dengan nilai Aljabar, ilmu ukur dan bahasa Inggris rata-rata sembilan (Basman dkk. 2019: 25; Masykuri 1983: 3-4).
Karisma Sukarno yang menggelorakan “Revolusi belum selesai” dan kerjasama militer dengan Uni Soviet yang menuntut adanya penggalangan kekuatan militer, membuat banyak pemuda termasuk Pierre Tendean berkeinginan menjadi seorang patriot bangsa (Basman dkk. 2019: 29). Oleh karena ayahnya berkeinginan Pierre menjadi seorang dokter atau insinyur, maka Pierre selain mendaftar ke Akademi Militer Nasional (AMN) juga mendaftar ke Fakultas Kedokteran UI dan Teknik ITB (Fuaddah, 1 Oktober 2021). Walaupun dapat rekomendasi Perdana Menteri II Johannes Leimena dan Guru besar Psikiatri FKUI, Pierre lebih memilih menjadi prajurit dan diterima sebagai Taruna Akademi Militer Nasional pada tahun 1958 (Wulandari 1978: 38). Atas saran A.H. Nasution yang sudah dikenal oleh A.L. Tendean, Pierre memilih Akademi Militer Jurusan Teknik (Akmil Jurtek) yang kemudian namanya menjadi Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) (Masykuri 1983: 5). Pendidikan di ATEKAD Bandung berhasil diselesaikan oleh Pierre Tendean pada tahun 1961 dan berhak atas pangkat Letnan Dua (Fuaddah, 1 Oktober 2021).
Selepas menyelesaikan pendidikan di ATEKAD, Pierre Tendean mendapat tugas dalam kesatuan Batalyon Zeni Tempur 1 Daerah Militer II/Bukit Barisan Sumatra Utara mulai tanggal 13 Desember 1962. Selama bertugas di Yonzipur Medan ini, Pierre Tendean berkenalan dengan seorang gadis bernama Nurindah Rukmini Chamim yang sering disebut dengan Mimin yang menjadikannya sebagai seorang kekasih (Matanasi 19 September 2017; Basman dkk. 2019: 102-105). Pada tahun 1963, Pierre harus meninggalkan Medan dan juga kekasihnya untuk memenuhi tugas menjalani pendidikan intelijen di Bogor. Setelah menamatkan pendidikan intelijen, Letda Pierre Tendean mendapat tugas memimpin sekelompok sukarelawan yang akan melakukan penyusupan ke Malaysia, sebagai bagian dari konfrontasi dengan Malaysia. Dalam tugas ini, Letda Pierre Tendean diperbantukan kepada Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) yang bertugas di garis depan dan bermarkas di selat Panjang Riau (Masykuri 1983: 22).
Dengan perawakan yang tinggi besar dan berwajah bule memudahkan Pierre Tendean menyusup ke Malaysia tanpa dicurigai. Selama setahun bertugas, Pierre Tendean telah melakukan penyusupan ke Malaysia sebanyak tiga kali. Tugas intelijen dengan menyusup ke Malaysia membuat Maria Elizabeth Cornet menjadi khawatir akan keselamatan anaknya. Maria Cornet yang masih memiliki hubungan keluarga dengan istri Jenderal Nasution yaitu Johanna Sunarti (Bu Nas) memohon kepada Bu Nas agar Pierre Tendean ditarik dari tugas intelijen tersebut (Masykuri 1983: 25; Basman dkk. 2019: 128). Pada akhirnya, sejak tanggal 15 April 1965 Pierre Tendean menjadi Ajudan Jenderal Nasution yang pada saat itu menjabat sebagai Menko Hankam KASAB, menggantikan Kapten Gustav Adolf Manulang yang gugur di Conggo (Basman dkk. 2019: 128). Pada saat menjadi ajudan itu, pangkat Pierre Tendean dinaikkan menjadi Lettu (Masykuri 1983: 25-26).
Pria yang sering diledeki oleh keluarga Pak Nas dengan “Londo Jowo” ini sangat berdisiplin, galak terhadap sesuatu yang di luar aturan, seperti sering menyetop dan memarahi anak-anak muda yang suka balapan di jalan. Sebagai ajudan, Pierre sering mengikuti Pak Nas tugas di beberapa daerah dan tidak lupa menyempatkan diri menemui Rukmini kekasihnya bila sedang dalam perjalanan ke Medan. Selama menjadi ajudan Pak Nas, hubungan Pierre dengan Rukmini semakin dekat, lebih sering berkirim surat dan merencanakan untuk segera menikah. Dalam urusan percintaan dan jodoh, Pierre sering mendapat nasehat dari Bu Nas dan kakaknya Mitz melalui surat. Dua hari menjelang penculikan oleh Gerakan 30 September 1965, Bu Nas menasehati Pierre, “Jangan terlalu memuja calon istrimu. Jangan sekali-kali mempunyai anggapan bahwa cintamu kepada calon istrimu tidak dapat dipisahkan oleh siapapun” (Basman dkk. 2019: 144). Nasehat yang seakan-akan sebagai firasat kalau hubungan mereka tidak akan berlanjut yang terbukti dengan gugurnya Pierre Tendean dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari pukul 03.00, satu regu kawal kehormatan Tjakrabirawa, satu peleton batalyon 530/Para Brawijaya, satu peleton Batalyon 454/Diponegoro, satu regu PGT/AURI, dan dua regu Sukwan Pemuda Rakyat yang kesemuanya dipimpin Letnan Dua Jahurup dari Resimen Tjakrabirawa bergerak menuju ke rumah Jenderal Nasution (Sekretariat Negara RI, 1994: 94-95). Pada pukul 04.00 rombongan penculik yang menggunakan tiga truk dari AURI dan dua kendaraan dari Tjakrabirawa sampai di rumah kediaman A.H. Nasution di Jalan Teuku Umar No. 40, Jakarta yang sebelumnya nyasar di rumah J. Leimena.
Mendengar suara kendaraan dan kegaduhan di depan rumah, Bu Nas membuka pintu kamar dan mendapati banyak pasukan Tjakrabirawa sudah berada di dalam rumah. A.H. Nasution yang ingin berbicara dan membuka pintu mendapat “sambutan” tembakan dari tiga pasukan Tjakrabirawa yang sudah berdiri di depan pintu kamar. A.H. Nasution segera tiarap dan Bu Nas segera menutup pintu kamar. Pak Nas segera ke luar kamar lewat pintu samping menuju kamar mandi dan melompati dinding pembatas dengan kedutaan Irak (Nasution 1987). Dalam peristiwa ini Ade Irma Suryani Nasution putri bungsu A.H. Nasution tertembak 3 kali dan akhirnya meninggal dunia. Yanti Nasution yang mendengar tembakan keluar kamar melalui jendela dan membangunkan Pierre Tendean yang tidur di paviliun ajudan. Pierre Tendean segera mengisi senjata garard-nya dan ke luar paviliun memeriksa keadaan. Baru melangkah lima meter dari Paviliun, Pierre Tendean disergap oleh para penculik dan diminta duduk di bawah pohon dekat rumah penjagaan (Sheva, 6 Oktober 2021; Masykur 1983: 73). Penculik yang menganggap Pierre Tendean sebagai A.H. Nasution, segera membawanya pergi ke Lubang Buaya.
Di Lubang Buaya, Pierre Tendean ditembak sebanyak empat kali dan mayatnya dimasukkan ke sumur tua bersama dengan enam perwira tinggi Angkatan Darat lainnya. Pada hari Minggu tanggal 3 Oktober 1965, sumur tua dengan kedalaman 12 meter dan lebar 0,75 meter yang berisi para korban penculikan ditemukan dan sehari kemudian tujuh jenazah korban penculikan diangkat untuk dikuburkan secara layak. Pada tanggal 5 Oktober 1965 keluar Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan bersenjata Indonesia/Komando Operasi tertinggi No. 110/KOTI/1965 menetapkan Lettu CZI Pierre Tendean dan enam perwira Tinggi Angkatan Darat, yaitu Letnan Jenderal TNI Ahmad Yani, Mayor Jenderal TNI Suprapto, Mayor Jenderal TNI Haryono MT, Mayor Jenderal TNI S. Parman, Brigadir Jenderal TNI Sutoyo Siswomiharjo atas jasa-jasanya diberikan kenaikan pangkat Anumerta. Dengan Surat Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Komando Operasi Tertinggi No. 111/KOTI/1965 menganugerahkan Lettu CZI Pierre Tendean beserta enam perwira Tinggi AD lainnya gelar Pahlawan Revolusi (Masykuri 1983: 92-93).
Penulis: Julianto Ibrahim
Instansi: Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Basman, Abie (2019), Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi, Jakarta: Penerbit Kompas
Matanasi, Petrik (2017), “Kematian Tragis Seorang Ajudan, Pierre Tendean”, https://tirto.id/kematian-tragis-seorang-ajudan-pierre-tendean-cwPz, diunduh 26 Oktober 2021.
Masykuri (1984), Pierre Tendean, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Nasution, A.H. (1987), Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru, Jakarta: Gunung Agung
Nur Fauddah, Muflika (2021), “Kisah Pilu Di Balik Rangkaian Peristiwa G30S: Kapten Pierre tendean gagal Menikahi Kekasihnya Demi Jadi Perisai A.H. Nasution”, https://intisari.grid.id/read/032920255/kisah-pilu-di-balik-rangkaian-peristiwa-g30s-kapten-pierre-tendean-gagal-nikahi-kekasihnya-demi-jadi-perisai-ah-nasution?page=all, diunduh 26 Oktober 2021
Sheva, Aninda (2021), “Andries Tendean”, https://olimpiadekita.com/biografi-dan-sejarah-singkat-mengenai-pahlawan-revolusi-pierre-andries-tendean/ diunduh 26 Oktober 2021
Said, Julinar dan Triana Wulandari (1995), Ensiklopedi Pahlawan Nasional, Jakarta: Direktorat Jenderal kebudayaan.
Sekretariat Negara Republik Indonesia (1994), Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Jakarta: Sekretariat Negara RI.