Zainul Arifin
Dilahirkan di Barus pada 2 September 1909, KH. Zainul Arifin merupakan keturunan tunggal dari pasangan raja Barus bernama Sultan Ramali bin Tuanku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan dan putri bangsawan Mandailing Natal, Siti Baiyah Nasution. Namun, saat kedua orang tuanya berpisah, Zainul kecil dibawa ibunya ke Kotanopan lalu ke Kerinci. Di sanalah Zainul mendapatkan pendidikan dasar Holland-Inlandsche School (HIS) dan sekolah lanjutan untuk guru bernama Normaal School (Siahaan, 1984: 32). Selain itu, Zainul belajar Islam di madrasah dan surau. Zainul muda kemudian merantau ke Jakarta pada usia 16 tahun dan bekerja di Perusahaan Air Minum kotapraja Batavia. Namun, krisis ekonomi dunia (malaise) membuat Arifin kehilangan pekerjaannya. Ia pun memutuskan untuk menjadi guru di kawasan Meester Cornelis (Jatinegara), Batavia (Siahaan, 1984: 54).
Zainul tertarik dengan kegiatan seni budaya sejak kecil. Di kampung halamannya ia menjadi bagian dari Stambul Bangsawan, sebuah seni pertunjukan sandiwara musikal lokal. Tak heran saat di Batavia, ia bergabung dengan kesenian Samrah dan akhirnya membuat kelompok sendiri yang dinamakan Tonil Zainul. Saat aktif berkesenian inilah, ia berinteraksi dengan Djamaluddin Malik yang mengajaknya bergabung dengan Gerakan Pemuda (GP) Anshor. Ini membuat Zainul sering berceramah keliling Batavia. Persentuhan dengan Anshor berlanjut dengan dipercayanya Zainul sebagai Ketua Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Jatinegara dan kemudian anggota Majelis Konsul NU Batavia. Aktivismenya dalam NU ini berlangsung hingga Jepang datang tahun 1942.
Pada masa pendudukan Jepang, Zainul menjadi wakil NU dalam Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Ia pun mengorganisasi barisan Hizbullah (Tentara Allah) sebagai pasukan paramiliter yang dipersiapkan Jepang untuk Perang Asia Timur Raya. Sebagai Panglima Tertinggi Hizbullah, ia melatih para pemuda di Cibarusah, Jawa Barat. Namun, tak berapa lama, Jepang berhasil dikalahkan pasukan Sekutu (Prasetya, 2004: 264).
Setelah proklamasi kemerdekaan RI, Zainul menjadi anggota Badan Pekerja (BP) Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Posisinya sebagai Panglima di Hizbullah membuatnya harus turut bergerilya pada masa Revolusi Kemerdekaan RI. Setelah Agresi Militer Belanda II dan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) diumumkan, Zainul menjadi anggota Komisariat Pemerintah Pusat di Djawa (KPPD) PDRI. Saat Belanda mengakui kedaulatan RI, Zainul sempat didapuk sebagai Sekretaris Pucuk Pimpinan TNI dan anggota parlemen yang mewakili Masyumi di Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS). Namun, itu tak berlangsung lama. Banyaknya anggota laskar Hizbullah yang tidak lolos sebagai prajurit TNI membuatnya mengundurkan diri.
Meski Zainul memutuskan untuk tidak melanjutkan karir militernya, karir politiknya terus dilanjutkan. Setelah NU memisahkan diri dari Masyumi tahun 1952, ia menjadi wakil Partai NU di lembaga legislatif. Kiprahnya pun berlanjut ke lembaga eksekutif saat ia menjadi Wakil Perdana Menteri dalam kabinet Ali Sostroamidjojo yang berhasil membuat Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Pada Pemilihan Umum di tahun yang sama, Partai NU berhasil masuk ke dalam 4 besar dan mendapatkan 45 kursi dalam legislatif. Zainul pun menjadi anggota Konstituante dan Wakil Ketua DPR. Setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Indonesia memasuki masa Demokrasi Terpimpin, Zainul menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.
Pada 14 Mei 1962, Zainul mendampingi Presiden Sukarno dalam sholat Idul Adha yang dilakukan di masjid Istiqlal. Bertindak sebagai imam saat itu adalah KH. Idham Chalid, Ketua Pengurus Besar NU, dan Jenderal A.H. Nasution sebagai khatib salat Idul Adha, selaku Wakil Pertama Bidang Pertahanan dan Keamanan/KSAD. Namun, saat salat sedang dilaksanakan, terdengar suara takbir dan letusan pistol. Telah terjadi upaya pembunuhan Presiden Sukarno, namun upaya tersebut gagal. Zainul telah menjadi perisai Presiden dan ia tertembak di bahu kirinya. Meski selamat, luka di bahu kiri tersebut meninggalkan dampak buruk baginya. Sepuluh bulan setelah itu, tepatnya pada 2 Maret 1963, KH. Zainul Arifin menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 54 tahun.
Penulis: Haryo Mojopahit
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Helmy, Ario. (2009). Biografi KH. Zainul Arifin: Berdzikir Menyiasati Angin. Jakarta: Pucuk Pimpinan Lajnah Taklif wan Nasyr NU.
Siahaan, E.K. (1984). KH. Zainul Arifin. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Prasetya, Johan. (2014). Pahlawan-Pahlawan Bangsa Yang Terlupakan. Yogyakarta: Saufa.