Herman Nicolas ‘Ventje’ Sumual

From Ensiklopedia

Herman Nicolas ‘Ventje’ Sumual lahir di Remboken, sebuah desa kecil di tepi Danau Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara pada 11 Juni 1923. Beliau dibesarkan bersama dengan saudara-saudaranya yang lain dengan didikan keras dari ayahnya yang juga seorang sersan KNIL (serdadu Belanda). Ia pernah belajar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta pada 1946-1948,  sembari aktif sebagai Perwira Penghubung Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dan diangkat sebagai Kepala Staf Brigade XVI dengan pangkat Mayor. Ia pernah memimpin satuan-satuan KRIS dalam perjuangan melawan serangan Belanda di Yogyakarta pada Januari 1949 (Pusat Data dan Analisa Tempo, 2020: 18).

Pada 1950, ia kembali ke Sulawesi setelah bertugas sebagai Kepala Staf Brigade XVI di Yogyakarta. Ketika itu, ia menjadi anggota Komisi Militer untuk Indonesia Timur dengan tanggung jawab utama di wilayah Sulawesi Utara, tanah kelahirannya. Komisi Militer pada saat itu bertugas untuk mendaftar bekas anggota KNIL menjadi anggota TNI dan juga para gerilyawan yang ikut memanggul senjata. Sewaktu bertugas itulah, ia akhirnya menemukan kondisi prajurit dan keluarga mereka yang memprihatinkan. Keadaan tersebut membuatnya bersama dengan para perwira dan tokoh masyarakat di Sulawesi menoleh ke Jakarta. Mereka berpendapat bahwa masyarakat Sulawesi telah menyumbang pendapatan besar bagi negara dari hasil ekspor kopra, namun hanya sedikit yang kembali untuk daerah. Karena hal tersebut, maka pimpinan militer di daerah-daerah, seperti Panglima Indonesia Timur, Joop Warouw, mengizinkan adanya barter kopra, di mana cara serupa juga dilakukan oleh beberapa pimpinan militer lainnya di Sumatera dan Kalimantan. Hasil dari barter tersebut kemudian dipakai untuk membangun barak prajurit.

Namun, Pemerintah Pusat di Jakarta melarang barter, dimana Pimpinan TNI di Pusat, Jenderal Nasution, menindak Warouw dan menegur daerah lainnya. Larangan barter inilah yang membuat Ventje Sumual dan rekan-rekannya meminta agar otonomi seluas-luasnya harus diwujudkan. Ketidakpuasan memuncak ketika saat diadakan Reuni Korps Perwira Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) di Cibangkong, Bandung, pada November 1956, dibahas mengenai kekecewaan terhadap kepemimpinan Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang dipandang kurang memiliki perhatian kepada para prajurit. Keretakan dalam tubuh Angkatan Darat ketika itu tidak terbendung lagi.

Sejak Mei 1956, Ventje Sumual menjabat sebagai Kepala Staf Tentara Teritorium (TT) VII, dimana setelah tiga bulan, ia dilantik menjadi Komandan TT VII Indonesia Timur dengan pangkat kolonel. Pergolakan timbul di sejumlah daerah di Sumatera, sehingga pada akhir 1956 dan awal 1957, dibentuklah Dewan Banteng, Dewan Gajah dan Dewan Garuda di wilayah Sumatera Utara, Barat dan Selatan. Ternyata hal tersebut juga sampai ke Sulawesi, di mana para pemuda Bugis dan Minahasa menuntut didirikannya dewan serupa di Sulawesi. Tindakan tersebut direspon oleh Gubernur Sulawesi saat itu, Andi Pangerang Pettarani, dan para pejabat daerah dengan menyusun konsep tuntutan otonomi daerah ke Jakarta (lihat Harvey, 1989; Leiriza, 1997).

Pada 28 Februari 1957, gubernur dan para pejabat daerah di seluruh Sulawesi berusaha berunding dengan Pemerintah Pusat di Jakarta mengenai tuntutan otonomi pembangunan. Meskipun upaya tersebut gagal, di Makassar, Ventje Sumual dan yang lainnya sepakat untuk menggelar rapat menyusun konsep perjuangan otonomi daerah. Hingga akhirnya, pada 1 Maret 1957, Piagam Perdjoangan Semesta dalam Wilayah TT-VII Wirabuana ditandatangani oleh 51 orang yang hadir. Ventje Sumual sebagai orang pertama yang menandatanganinya, kemudian membacakan ikrar bersama yang kemudian dikenal sebagai “Deklarasi Permesta”. Deklarasi Permesta tersebut berisikan tuntutan penting terhadap Pemerintah Pusat di Jakarta, yaitu; otonomi daerah seluas-luasnya dan penghapusan sistem pemerintahan yang sentralistis. Selanjutnya sebagai Panglima TT-VII Wirabuana, pada 2 Maret 1957, ia mengumumkan SOB (Staat van Oorlog atau Negara dalam keadaan bahaya) bahwa wilayah Indonesia Bagian Timur dalam keadaan darurat perang, sekaligus memproklamasikan Permesta. Dia juga menggelar Kongres Bhinneka Tunggal Ika di Makassar pada Mei 1957 yang dihadiri oleh perwakilan semua kabupaten di empat provinsi di Kawasan Indonesia Timur, yang menyatakan dukungan kepada Permesta (lihat Harvey, 1989;  Leiriza, 1997).

Pada pertengahan September 1957, Sukarno dan Kabinet Perdana Menteri Djuanda menggelar Musyawarah Nasional (Munas) untuk membahas mengenai tuntutan daerah kepada Pemerintah Pusat di Jakarta. Namun, hasil dari Munas tersebut mengecewakan pihak Ventje Sumual. Tidak beberapa lama kemudian, terjadi usaha pembunuhan terhadap Presiden Sukarno yang gagal dalam Peristiwa Cikini pada 30 November 1957. Pihak Ventje Sumual dituduh sebagai pelakunya, sehingga ia dan rekan-rekannya yang sedang menghadiri Musyawarah Pembangunan sebagai lanjutan dari Munas pun sempat ditahan. Akibatnya, segala keputusan Munas pun dibekukan oleh Wakil Perdana Menteri Leimena (Pusat Data dan Analisa Tempo, 2020: 23).

Sebagai reaksi, maka Ventje Sumual bersama dengan beberapa panglima yang dianggap memberontak, seperti Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Mohammad Natsir dan Sumitro Djojohadikusumo bertemu di Sungai Dareh (perbatasan Sumatra Barat dan Jambi dewasa ini). Di desa tersebut, mereka sepakat membuat wadah perjuangan yang nantinya dinamakan sebagai “Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI). Pada 10 Februari 1958, Dewan Perjuangan di Sungai Dareh mengeluarkan ultimatum agar Kabinet Djuanda menyerahkan mandat kepada presiden, yang dibalas dengan tindakan pengeboman Padang dan Manado oleh Nasution melalui AURI. Kemudian pada 15 Februari 1958, Kabinet PRRI diumumkan di Bukittinggi, Sumatera Tengah saat itu, dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri. Ketika itu, Ventje Sumual sedang berada di Manila. Hingga pada akhirnya, ia dipecat oleh Markas Besar Angkatan Darat pada 26 Februari 1958. Sejak saat itu, ia semakin memusatkan aktivitasnya dalam pergolakan dari tahun 1958-1961 dengan berjuang bersama pasukan PRRI/Permesta di Sulawesi Utara dan Maluku Utara.

Setelah tiga tahun lamanya memberontak di Pegunungan Sulawesi Utara, pada 20 Oktober 1961, Ventje Sumual menyerah kepada Pemerintah Pusat. Ia diantar oleh Kolonel Soenandar Priyosudarmo, Panglima Kodam XIII/Merdeka, Sulawesi Utara, dari Manado ke Jakarta. Dibandingkan tokoh Permesta lainnya, dia termasuk yang paling akhir turun gunung untuk menyerah. Tokoh lainnya seperti Mayor Jenderal Alex Evert Kawilarang, sudah terlebih dahulu menyerahkan diri bersama 10.000 anggota pasukan, disaksikan oleh Jenderal Nasution dan Jenderal Ahmad Yani di Manado pada Mei 1961. Sementara itu, Ventje Sumual baru akan menyerah setelah Sjafruddin Prawiranegara mengumumkan berakhirnya permusuhan dengan Pemerintah Pusat di Jakarta. Sjafruddin Prawiranegara sendiri kemudian mengumumkan berakhirnya pertentangan dengan RI sejak 17 Agustus 1961, dimana Ventje Sumual baru menerima salinan suratnya dari PRRI pada Oktober 1961. Sehingga, dengan begitu ia pun akhirnya juga ikut menyerah dan kembali ke pangkuan Republik Indonesia tanpa syarat.    

Berdasarkan Keputusan Presiden Sukarno melalui Jenderal Nasution, para pengikut Gerakan PRRI dan Permesta diberikan amnesti dan abolisi. Setelah itu, Ventje Sumual beralih menjadi orang swasta dengan mendirikan PT Konsultasi Pembangunan Semesta pada 1967 bersama dengan tujuh rekan sesama tokoh PRRI/Permesta, yang bergerak di bidang perkayuan. Ia mendapatkan hak pengelolaan hutan seluas 100.000 hektar di Maluku. Perusahaan tersebut sendiri mempekerjakan sejumlah orang yang pernah terlibat dalam PRRI/Permesta. Ventje Sumual sebagai Presiden Direktur, Kolonel Simbolon sebagai Presiden Komisaris, Ahmad Husein sebagai Direktur, sedangkan para bekas anggota pasukan menjadi staf. Beliau wafat pada 28 Maret 2010 di Jakarta  (Pusat Data dan Analisa Tempo, 2020: 53-54).

Oleh: Ilham Daeng Makkelo


Referensi

Pusat Data dan Analisa Tempo, 2020. Herman Nicolas Ventje Sumual. Lelaki di Balik Permesta. Jakarta: Tempo Publishing.  

Harvey, B. S., 1989. PERMESTA: Pemberontakan Setengah Hati. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Leirissa, R. Z., 1997. PRRI-PERMESTA: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.