Lambertus Nicodemus Palar
Lambertus Nicodemus Palar (L.N. Palar) adalah seorang diplomat senior Indonesia. L.N. Palar lahir di Rurukan, Minahasa tanggal 05 Juni 1900 dari pasangan Gerrit Palar dan Jacoba Lumanauw. Ayahnya merupakan pengawas sekolah di Tondano dan ibunya merupakan seorang ibu rumah tangga. Sebagai seorang anak kepala sekolah, L.N. Palar berkesempatan bersekolah di MULO di Tondano (Biografisch Woordenboek van Nederland, 2013: 1). Setelah menyelesaikan sekolah MULO di Tondano, L.N. Palar berangkat ke Pulau Jawa untuk belajar di sekolah AMS di Yogyakarta, di sana ia tinggal bersama Sam Ratulangi. Dari Sam Ratulangi itu kemudian mempengaruhi pemikiran L.N. Palar tentang nasionalisme. Sejak Perang Dunia I, pemuda terpelajar di kota-kota besar di Jawa telah terpupuk jiwa nasionalismenya termasuk L.N. Palar.
Di sekolah sering terjadi perdebatan antara murid-murid mengenai penjajahan dan kemerdekaan. Setelah menamatkan sekolah AMS tahun 1922, L.N. Palar kemudian melanjutkan sekolah ke Technische Hogeschool di Bandung. Di Kota Bandung, L.N. Palar juga tinggal bersama keluarga Sam Ratulangi. Ketika mengenyam pendidikan di Technische Hogeschool, L.N Palar sekelas dengan Sukarno. Di Technische Hogeschool, L.N. Palar aktif mengikuti pertemuan-pertemuan pelajar, dimana Sam Ratulangi dan Douwes Dekker mendiskusikan soal-soal kolonialisme, nasionalisme, gerakan-gerakan kemerdekaan dan mengkritik politik pemerintahan Hindia Belanda. Baru berjalan empat bulan kuliah di Technische Hogeschool, L.N. Palar jatuh sakit dan terpaksa dirawat di rumah sakit selama delapan bulan. Keadaan tersebut membuat L.N. Palar kemudian berhenti dari Technische Hogeschool (Sutopo, 1995: iv-v).
Setelah sembuh dari sakitnya, L.N. Palar kemudian berangkat ke Batavia (Jakarta) untuk bekerja pada sebuah perusahaan pelayaran KPM (Konninklijke Paketvaart Maatschappij). Setelah bekerja di beberapa bulan, kemudian ia jatuh sakit lagi. Setelah sembuh ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya, Tomohon, di sana ia tinggal bersama orang tuanya selama satu tahun. Akhir tahun 1926 ia kembali ke Batavia dan mengenyam pendidikan di Rechts Hogeschool (RHS) atau sekolah tinggi hukum (Anonim, 1980: 7). Selama menjadi pelajar di RHS, L.N. Palar aktif berbagai kegiatan politik. Salah satu kegiatan politik yang aktif ia lakukan R. Senduk mahasiswa kedokteran adalah tergabung dalam Perkumpulan Pemuda Minahasa atau Studeren de Vereniging Minahasa, yang ketika itu diberi nama Jong Minahasa dan kemudian menjadi Jong Celebes (Sutopo, 1995: v).
Pada saat aktif di Jong Celebes, L.N. Palar menjadi simpatisan Partai Sosial-Demokrasi Hindia Belanda. Pada tahun 1928, ia berangkat ke Amsterdam, Belanda untuk meneruskan pelajaran bidang ekonomi dan sosiologi. Sesampainya di Amsterdam segera mendapat kontak dengan gerakan kaum buruh yang pada waktu itu sedang hangat dalam menganalisis dan menentukan sikap terhadap kolonialisme. Keberangkatan L.N. Palar juga dikarenakan ayahnya khawatir karena anaknya yang nasionalis akah diasingkan ke Boven Digul. Di Belanda, Palar awalnya ragu-ragu apakah akan bergabung dengan komunis atau sosialis. Pada tahun 1930 ia memilih Partai Pekerja Sosial Demokrat/Sociaal-Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Pemilihannya terhadap partai tersebut karena partai tersebut mendukung atas kemerdekaan Indonesia (Biografisch Woordenboek van Nederland, 2013: 2). Selain itu program SDAP dalam asas politiknya mengenai penjajahan, bahwa bangsa yang terjajah harus merdeka. Atas dasar itu SDAP mendukung secara penuh perjuangan bangsa-bangsa penjajahan untuk mencapai kemerdekaan. Program kerja Partai Sosial Buruh Demokrat di parlemen mendukung partai-partai nasional Indonesia, dengan tidak memandang bulu, menyokong politik M.H. Thamrin, Suroso, Sam Ratulangi di Volksraad dan membela politik non-cooperation yang dijalankan oleh Sukarno, Hatta dan Sjahrir serta lainnya (Sutopo, 1995: v).
Keterlibatan Palar dalam dunia politik semakin kuat dibuktikan dengan keanggotaan partai. Pada tahun 1933 Palar mendapat posisi untuk menjadi anggota sekretariat Komisi Kolonial SDAP dan Nederlandsch Verbond van Vakvereenigingen (NVV) dan dia juga menjadi editor agen pers 'Indonesia' ('Persindo'), yang artikel-artikel bermuatan sosial-demokrat (Biografisch Woordenboek van Nederland, 2013: 2). Keterlibatan Palar dalam keanggotaan sekretariat SDAP, dengan demikian tugasnya bertambah yakni mengumpulkan bahan-bahan mengenai perjuangan nasional Indonesia dalam segala aspek untuk dipergunakan oleh pers dan fraksi SDAP di Parlemen. Kesibukan Palar semakin bertambah karena beliau juga menjadi editor pada agen pers. Selama menjadi editor, Palar juga menyiapkan beberapa artikel yang isinya tentang perkembangan politik di Indonesia serta propaganda kemerdekaan Indonesia. Tulisan-tulisan Palar kemudian dimuat sejak tahun 1934-1938 diberbagai media pers Indonesia. Kemudian Palar diutus oleh SDAP untuk kembali ke Indonesia pada tahun 1938 dengan tujuan untuk mempelajari dan melaporkan mengenai perkembangan politik dan gerakan buruh di Hindia Belanda (Sutopo, 1995: vi).
Setelah menyelesaikan tugasnya, dan kembali ke Belanda, Palar dicalonkan partai berdasarkan hasil Kongres SDAP untuk menjadi anggota Eerste Kamer, dalam Parlemen Belanda. Tidak lama kemudian Perang Dunia II meletus sehingga Palar batal menjadi anggota Eerste Kamer Belanda tahun 1939. Setelah Perang Dunia II berkecamuk, Jerman berhasil menduduki Belanda sehingga hal ini membuat Palar tidak dapat berbuat banyak dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari negeri Belanda.
Karena pendudukan Jerman, Palar kehilangan pekerjaannya di SDAP pada Juni 1940. Untuk memenuhi kehidupannya, ia kemudian bekerja di laboratorium 'Van der Waals' di Amsterdam. Dia juga mengajar bahasa Melayu untuk mendapatkan uang tambahan sebagai gitaris di orkestra krontjong. Selama bulan-bulan terakhir perang, ia menerima keuntungan dari Dana Van de Kieft. Selama pendudukan, ia memberikan kuliah rahasia di kalangan kecil tentang nasionalisme Indonesia dan perspektifnya setelah perang. Palar juga menyediakan tempat perlindungan sementara bagi orang-orang yang bersembunyi di rumah mereka (Biografisch Woordenboek van Nederland, 2013: 3).
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya melalui Sukarno dan Hatta, Palar kemudian memberitahukan kepada pimpinan partai bahwa ia mendukung secara penuh kemerdekaan Indonesia. Pada 20 November 1945, Palar diangkat menjadi anggota parlemen darurat untuk fraksi SDAP. Beberapa bulan kemudian pada tanggal 04 Juni 1946, ia menjadi anggota Tweede Kamer untuk Partai Buruh (Partij van de Arbeid/PvdA). Semenjak menjadi anggota Tweede Kamer, Palar terus menyuarakan dan memperjuangkan Indonesia. Palar melakukan protes pada sidang Tweede Kamer karena Belanda merencanakan mengirimkan pasukan tambahan untuk menduduki Indonesia (Biografisch Woordenboek van Nederland, 2013: 3).
Selanjutnya pada tahun 1947, Palar mengundurkan diri dari anggota Tweede Kamer karena PvdA dianggap sudah tidak lagi serius memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hal itu dikarenakan PvdA berkoalisi dengan Partai Katolik Belanda yang menginginkan bahwa Indonesia tetap berstatus sebagai wilayah jajahan. Setelah mengundurkan diri sebagai anggota Tweede Kamer dan PvdA, Palar kemudian diminta untuk mendampingi Sjahrir ke Dewan Keamanan PBB yang bertujuan untuk memperjuangkan secara diplomasi pengakuan internasional atas kemerdekaan Indonesia. Setelah Sutan Sjahrir dan Agus Salim selesai menghadiri rapat Dewan Keamanan PBB, L.N. Palar diangkat oleh Sjahrir menjadi Kepala Utusan Indonesia, bersama dengan Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Charles Thambu dan Sudjatmiko. Sebagai juru bicara Indonesia dalam memperjuangkan Indonesia di PBB, jabatan ini ia emban hingga Pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia pada 26 Desember 1949 (Sutopo, 1995: vii-viii).
Pada tahun 1950, Palar dipercaya untuk menjadi pimpinan Indonesia dalam misi ke Moskow untuk meyakinkan Uni Soviet agar tidak memveto permintaan Indonesia untuk menjadi anggota PBB. Misi yang diketuai oleh Palar berhasil dan Uni Soviet menerima permintaan Indonesia untuk tidak memveto Indonesia. Atas keberhasilan misinya tersebut pada September 1950 Indonesia menjadi anggota PBB. Dengan demikian, Palar ditunjuk menjadi wakil Indonesia untuk PBB. Pada tahun 1953, Palar meninggalkan jabatannya di PBB dan diangkat menjadi Duta Besar Indonesia di India. Selama memangku jabatan sebagai duta besar di India, Palar dipanggil pulang ke Indonesia untuk membantu mempersiapkan Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Setelah tidak menjabat sebagai Duta Besar India, Palar kemudian dalam waktu singkat menjadi Duta Besar Uni Soviet merangkap Duta Besar di Republik Federasi Jerman Barat. Setelah itu, pada tahun 1957-1962 Palar menjadi Duta Besar di Kanada, dan pada saat yang bersamaan, Palar mewakili Indonesia dalam sidang tahunan PBB. Pada tahun 1962 untuk kedua kalinya Palar ditunjuk kembali sebagai wakil Indonesia di PBB hingga Indonesia untuk sementara waktu menarik diri dari keanggotaannya di PBB tahun 1965 (Sutopo, 1995: viii).
Setelah Indonesia keluar dari keanggotaan PBB, Palar menjabat sebagai duta besar untuk Amerika Serikat yang berkedudukan di Washington D.C. Ketika memasuki masa purnabakti, Palar menjadi peneliti di East West Centre, kurang lebih selama 10 bulan. Kemudian menjadi dosen keliling, visiting lecturer, di beberapa universitas dan college di Amerika Serikat. Setelah kembali ke Indonesia, Palar menjadi konsultan dan aktif di bidang sosial kemasyarakatan, antara lain sebagai salah seorang anggota pengurus di Kerukunan Keluarga Kawanua, dan anggota pada Himpunan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada tahun 1970, Palar menghabiskan masa tuanya dengan tidak lagi menjabat atau bekerja pada bidang apapun. Di masa purnabaktinya, Palar memilih untuk berkumpul bersama istri dan putri bungsunya yang bermukim di daerah Menteng, Jakarta. Palar meninggal di Jakarta pada tanggal 13 Februari 1981. Dia meninggalkan isterinya, Johanna Petronella Volmers, dan anak-anaknya Mary Elizabeth Singh, Maesi Martowardojo, dan Bintoar Palar. Palar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional bertepatan dengan Hari Pahlawan pada tanggal 10 November 2013 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berdasarkan Keppres No. 68/TK/Tahun 2013 tanggal 06 November 2013.
Penulis: Handoko
Referensi
Anonim, 1980, Lambertus Nicodemus Palar: Profil Seorang Patriot, Jakarta: Yayasan Idayu.
Anonim, 2013, “Bronvermelding: Lambert J. Giebels, 'Palar, Lambertus Nicodemus (1900-1981)”, in Biografisch Woordenboek van Nederland, pada http://resources.huygens.knaw.nl/bwn1880-2000/lemmata/bwn5/palar [12-11-2013]
Sutopo, 1995, Inventaris Arsip Lambertus Nicodemus Palar 1928-1981, Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.