Moehammad Jasin

From Ensiklopedia

Moehammad Jasin adalah tokoh penting dalam sejarah kepolisian Indonesia. Ayahnya, Haji Mekkah adalah seorang dari lima bersaudara dari Bone yang bermigrasi ke Buton, tepatnya Bau-Bau. Haji Mekkah berprofesi sebagai pedagang kelontong (Jasin, 2010: 47-48). Jasin lahir pada 9 Juni 1920 dari istri kedua Haji Mekkah yaitu Siti Rugayah, seorang dari Maros.

Pada 1927, dia bersekolah di lembaga pendidikan formal di Bau-Bau, yaitu Volkschool (Sekolah Rakyat). Setelah tamat dari sana, Jasin melanjutkan pendidikan ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) atau Schakelschool di kota dan harus mengulang pelajaran di kelas tiga Volkschool. Pada 1937, Jasin berhasil menamatkan pendidikan pada Schakelschool dan diterima untuk mengikuti pendidikan pada Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), pendidikan setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, di kelas nol. Selama belajar di MULO, Jasin juga terlibat dalam kegiatan dalam kegiatan berorganisasi. Organisasi pertama yang ikutinya adalah MULO-HBS Vereniging, satu organisasi gabungan antara murid MULO dan Hogere Burger School. Ketika duduk di kelas tiga, MULO-HBS Vereniging semakin menarik perhatian Jasin. Dia terpilih menjabat sebagai sekretaris (Jasin, 2010: 59).

Dalam pergaulannya, dia sering mengikuti Daeng Malewa, seorang tokoh dari Partai Indonesia Raya (PARINDRA) Makassar yang juga sahabat dari Dr. Soetomo. Pada suatu kesempatan, dia menyaksikan perdebatan Soetomo dan Mr. Soenario mengenai strategi perjuangan untuk merebut kursi volksraad, mewakili residentie celebes en onderhoorigheden. Keduanya bersimpati pada perjuangan Nadjamoedin Daeng Malewa. Paham nasionalisme Daeng Malewa yang kuat memberikan inspirasi kepada generasi muda di Sulawesi Selatan. Karena sikapnya itu, pemerintah Belanda di Makassar menetapkan yang duduk di volksraad Makassar adalah Jaksa Abdullah Daeng Mapudji.

Terpikat pada pakaian seragam angkatan udara yang dilengkapi dengan koppelriem, setelah menyelesaikan pendidikan MULO pada 1941, Jasin menulis surat permohonan agar diterima mengikuti latihan penerbangan militer di Koninklijke Nederlandsh-Indische Lucht Macht di Bandung. Namun ternyata, Abu Baeda, kakak iparnya, telah menghubungi Komisaris Van Politie (Komisaris Polisi) Makassar verdoorn agar mengupayakan Jasin menjadi polisi. Hingga dia mendapat kabar diterima menjadi Leering Inspecteur Politie di Sukabumi (Jasin, 2010: 63).

Sebelum datang panggilan untuk mengikuti pendidikan, Jasin diberi kesempatan oleh jawatan PTT di Makassar untuk magang di kantor perwakilannya. Kesempatan itu tidak diambilnya. Dia menerima tawaran untuk bekerja sebagai pegawai magang di kantor PTT sambil menunggu jawaban dari pimpinan PTT. Jasin ditempatkan sebagai pegawai magang di bagian administrasi perkantoran dan bekerja di bawah kepala bagian administrasi umum. Pekerjaan administrasi merupakan kegiatan baru, namun Jasin tidak mengalami kesulitan (Jasin, 2010: 71).

Jasin pun diterima untuk mengikuti sekolah kepolisian. Namun, karena jumlah murid yang akan mengikuti pendidikan sebagai Inspectuur Van Politie sudah cukup, dia lolos  sebagai murid cadangan. Dia pun terdaftar untuk mengikuti pendidikan hoofd agent van politie. Sebenarnya dia masih bercita-cita menjadi penerbang militer. Kakak iparnya menjadi bingung dan terus membujuknya agar bersedia menerima tawaran dan panggilan dari Departemen Urusan Dalam Negeri (Departement Van Biinnelandsezaken) untuk mengikuti pendidikan Hoofdt Agent Politie di Sukabumi (Jasin, 2010: 72).

Karena masalah usia yang masih 19 tahun, Jasin sempat khawatir akan dipulangkan ke Makassar. Ternyata pejabat sekolah menambahkan usianya menjadi 22 tahun. Dia juga masuk ke kelas A, karena kelas B sudah  melebihi kapasitas. Kelas B untuk pribumi sedangkan kelas A untuk mereka yang berkebangsaan belanda dan indo-belanda. Sebagai murid yang diterima, mereka berhak mendapat tunjangan 70 gulden dan pakaian seragam lengkap dengan koppel riemnya.

Jasin menjalani pendidikan selama sembilan bulan.  Setelahnya, dia ingin pulang ke Makassar. Namun karena ada ancaman Perang Dunia II dari Jepang, sejak Juli 1941 pemerintah telah membentuk satu milisi yang terdiri dari 6.000 orang Indonesia guna mempertahankan kedudukan, terutama di Jawa dari ancaman militer dan polisi bumiputra yang telah menyelesaikan pendidikan hanya ditempatkan di Jawa dan Madura. Jasin ditempatkan di seksi III Staats Politie Surabaya yang berkantor di Bubutan (Jasin, 2010: 74).

Ketika pasukan Jepang memasuki Surabaya, Jasin berada di pos polisi seksi III Bubutan. Seorang anggota kepolisian menyatakan bahwa mereka tidak akan mengganggu tugas kepolisian dan berharap polisi dapat melaksanakan tugas sebagaimana biasanya. pernyataan itu tampaknya benar karena sejumlah anggota polisi berkebangsaan Belanda juga tetap dibiarkan melaksanakan tugas (Jasin, 2010: 77).

Di Surabaya, semangat kemerdekaan yang menjiwai tiap dada putra-putri Indonesia menjadi sangat meluap, setelah mendengar berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia yang diucapkan pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. Sesuai Konvensi Jenewa, Jepang tidak membubarkan kepolisian karena dalam negara yang sudah diduduki musuh sekalipun kepolisian tetap diperlukan untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Keadaan kepolisian tetap sebagaimana sebelumnya. Cara pengambilalihan kepolisian dari Jepang dilakukan spontan dan dengan berbagai cara. Ada yang mengambil alih kantor polisi dan mengusir orang Jepang. Ada yang menaikkan bendera Merah Putih. Inspektur M. Jasin di Surabaya melakukannya dengan memproklamasikan Polisi Istimewa di bawah pimpinannya sebagai polisi RI pada 21 Agustus 1945. Dengan demikian, pasukan Polisi Istimewa yang dipimpin M. Jasin tetap utuh dan merupakan satu-satunya pasukan yang lengkap saat menghadapi Inggris pada 10 November 1945. Pada 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menempatkan Kepolisian Dalam Negeri seperti Hofd Van De Dienst Dar Almene Poliite (Awaloedin dkk., 2016: 7).

Beberapa kali Kempeitai berusaha untuk melawan kekuatan Indonesia tetapi tidak berhasil. Di samping itu, sebagai perwujudan dari adanya proklamasi kemerdekaan tersebut, anggota kepolisian pun berusaha mengibarkan bendera sang Merah Putih. Peristiwa di Tunjungan merupakan perwujudan semangat rakyat dengan segala resikonya (Memet, 1971: 34).

Gerakan rakyat yang telah berhasil pada insiden bendera di Tunjungan merupakan titik pangkal dari usaha mempertahankan kelangsungan hidup kemerdekaan bangsa Indonesia. Perlawanan terhadap tentara pendudukan Jepang terus dilancarkan dengan tujuan mendapatkan senjata mereka. Puncak perlawanan tersebut adalah dikepungnya markas tentara Jepang yang berada di seluruh Kota Surabaya dan sekitarnya, di antaranya:

  1. Tobu Jawa Bo-ei tai (pertahanan Jawa Timur) di Krembangan
  2. Markas Kaigun di Gubeng
  3. Markas Butai di Don Bosco, Sawahan
  4. Markas Yasran di Morokrembangan, Tanjung Perak dan Ujung.

Dalam pertempuran melawan satuan-satuan tentara Jepang itu, seluruh kekuatan dan kemampuan persenjataan kepolisian dikerahkan secara maksimal. Adanya tekanan dan penyerangan dari rakyat Surabaya, maka Jepang akhirnya menyerahkan kekuasaanya kepada pihak Indonesia di Surabaya melalui Komite Nasional Indonesia Daerah Surabaya. Sedangkan penyerahan senjata-senjatanya diterimakan dan dipertanggungjawabkan kepada IP II Moh. Jasin, Komandan Pasukan Polisi Istimewa Surabaya, sedangkan orang-orang Jepangnya ditawan (Memet, 1971: 35).

Pada 24 Oktober 1945, tentara Sekutu mendarat di Surabaya. Mereka disambut baik oleh pemerintah daerah, akan tetapi uluran tangan itu dibalas dengan tindakan agresif, sehingga mengakibatkan terjadinya insiden-insiden antara pihak sekutu dengan pihak kita. Sebagai puncak daripada perbenturan senjata itu gugurlah Brigadir Jenderal Mallaby dari Inggris. Maka komandan tentara Inggris mengeluarkan ultimatum yang ditandatangani oleh Jenderal Mansergh dimana diserukan supaya rakyat yang mempunyai senjata menyerahkannya kepada pihak Sekutu dengan batas waktu yang sangat singkat. Oleh karena ultimatum itu tidak dihiraukan, maka tentara Inggris mengerahkan seluruh kekuatannya baik di darat, di laut maupun di udara untuk menggempur kota Surabaya.

Salah satu tempat yang menjadi sasaran musuh adalah Markas Besar Polisi Istimewa Surabaya. Peristiwa ini terjadi pada 10 November 1945. Kesatuan Polisi Istimewa Karesidenan Surabaya, beserta tenaga muda kepolisian yang bertugas di seksi polisi di seluruh kota Surabaya segera turut serta mengambil bagian untuk melakukan perlawanan yang gigih. Karena lawan lebih kuat, pasukan mundur dari Surabaya.

Dalam pengunduran ke luar Kota Surabaya, Pasukan Polisi Istimewa kota Surabaya dibawah pimpinan PIP Soetjipto Danoekoesoemo, mengambil posisi pengunduran menuju daerah Sepanjang, sedangkan Polisi Istimewa karesidenan Surabaya dibawah pimpinan IP II Moh. Jasin mengambil posisi pengunduran ke daerah antara Surabaya-Sidoarjo (Memet, 1971: 45).

Setelah seluruh pasukan tempur mengundurkan diri ke luar kota, maka dibentuklah garis pertahanan dengan posisi mengepung kota Surabaya di daratan, sehingga terbentuklah komando sektor pertahanan sebagai berikut (Memet, 1071: 46):

  1. Komando sektor pertahanan Surabaya Utara, dipegang oleh pasukan di bawah pimpinan AIP. Imam Bachri dengan tugas untuk menutup gerakan musuh ke arah lapangan udara
  2. Komando sektor pertahanan Surabaya Barat, dipegang oleh Soetjipto Danoekoesoemo dengan tugas untuk menutup gerakan Inggris ke Mojokerto
  3. Komando sektor pertahanan Surabaya Selatan, dipegang oleh Moh. Jasin dengan tugas untuk mencegah gerakan musuh menuju pedalaman dengan mengambil kedudukan di Sidoarjo.


Di Jawa Timur, tentara B yang berkedudukan di kota Surabaya pada 21 Juli 1947 melakukan serangan umum ke jurusan selatan dan timur Surabaya. Kesatuan Polisi dari Batalion I Mobile Brigade Besar Jawa Timur di bawah pimpinan Soerkarli segera terlibat dalam pertempuran melawan tentara Belanda yang bergerak dari Porong menuju Malang. Batalion II Mobile Brigade Besar Jawa Timur dibawah pimpinan Soekarja yang bertugas menjaga lini II di Lawang, tidak berhasil membendung gerak maju tentara Belanda, lalu mundur ke Malang. Seluruh Batalion Mobile Brigade Besar di Jawa Timur di bawah pimpinan Inspektur Polisi M. Jasin yang semula berkedudukan di Malang, dipindahkan ke Turen. Kemudian dibentuk garis pertahanan melingkar dari Krebet atau Bulaklawang sampai ke jalan besar yang menghubungkan Malang-Tumpang (Memet, 1971: 52).

Pada 28 September 1948, batalion meneruskan gerakannya ke Ponorogo yang pada saat itu masih dikuasai penuh oleh PKI Musso, dan setelah mengalami pertempuran, akhirnya Ponorogo berhasil diduduki. Setelah berada di Ponorogo, batalion tersebut mendapat serangan balasan dari pasukan pemberontak PKI yang dipimpin sendiri oleh panglimanya, Djoko Surjono. Pihak musuh dipukul mundur dengan meninggalkan korban yang tidak sedikit dan juga senjata serta alat perlengkapan yang ditaksir dapat melengkapi satu kompi. Pemberontak mengundurkan diri ke daerah Slaung dan segera dapat diketahui, sehingga diadakan pencegatan dan terjadi pulalah pertempuran yang sengit sehingga mengakibatkan korban jiwa yang besar pada pihak pemberontak. Sisa pemberontak mengundurkan diri ke jurusan Wonogiri dan batalion ke Ponorogo untuk mengadakan konsolidasi. Sedangkan pengejaran terus dilanjutkan oleh kesatuan lainnya. Tugas batalion selanjutnya mengadakan pembersihan, di daerah Ponorogo satu kompi, satu kompi di Magetan, satu kompi di Ngawi, dan satu kompi beserta komando batalion di Madiun. (Memet, 1971: 56).

Dalam peristiwa Madiun tersebut, mobrig karesidenan Malang dan Kediri mengadakan pembersihan terhadap pengaruh pemberontakan Madiun di daerahnya masing-masing. Sebagai penghargaan atas jasanya, maka Mobile Brigade Jawa Timur dengan perantaraan komandannya, yaitu Moh. Jasin, telah menerima Surat Tanda Penghargaan tertanggal 4 Agustus 1949 dari Panglima Besar Angkatan Perang Jenderal Soedirman (Memet, 1971: 56).

Pada 12 Agustus 1949, Belanda melakukan serangan balasan ke pos pertahanan Mobile Brigade Karesidenan Surabaya di Jombang selatan serta berhasil menduduki Pare. Belanda meneruskan gerakannya ke jurusan Kediri (Memet, 1971: 59).

Kesatuan Mobile Brigade Karesidenan Surabaya terus-menerus melakukan serangan terhadap pos pertahanan Belanda di Tunggorono, Sembung, Cukir, Ceweng, dan serangan umum atas Kota Jombang. Kesatuan kepolisian dari Mobile Brigade Besar Jawa Timur di bawah pimpinan Kompol II M. Jasin pada waktu Yogyakarta diserang Belanda, masih tersebar di beberapa tempat dan markas komandonya berada di Madiun, setelah kota itu direbut kembali dari kaum pemberontak PKI. Ketika Belanda menyerang Madiun, Markas Komando Mobile Brigade Besar Jawa Timur telah dipindahkan ke perkebunan kopi di kompleks Gunung Wilis (Memet, 1971:60).

Batalion I dan II dari MBB Jawa Timur dibawah pimpinan Kompol II M. Jasin tetap bertahan di Madiun, mempertahankan sektor di Madiun timur secara gerilya. Meskipun Belanda berkali-kali melakukan pembersihan di seluruh sektor di Madiun, tidak berhasil menghancurkan kekuatan MBB Jawa Timur, berkat adanya bantuan dari rakyat.

Setelah adanya perintah penghentian baku tembak pada 3 Agustus 1949, kesatuan MBB di Jawa Timur atas perintah wakil Kepala Kepolisian Negara R. Soermarto, setelah konsolidasi pasukan bersama dengan kesatuan Mobile Brigade Karesidenan Surabaya kembali ke Surabaya untuk melakukan persiapan tugas pengamanan dalam rangka penyusunan kembali pemerintah RI di Surabaya (Memet, 1971: 60).

Penulis: Ega Rezeki Margaretha Barus


Referensi:

Awaloedin Djamin dan G. Ambar Wulan, Jenderal Polisi R.S. 2016. Seokanto Tjokrodiatmodjo, Bapak Kepolisian Negara RI, Peletak Dasar Kepolosian Nasional yang Profesional dan Modern. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Irdjen Pol. Memet Tanumidjaja SH. 1971. Sedjarah Perkembangan Angkatan Kepolisian, Seri Text-Book Sedjarah ABRI. Departemen Pertahanan-Keamanan: Pusat Sedjarah ABRI.

Komisaris Jenderal Polisi (Purn). Dr. H. Moehammad Jasin. 2010. Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia. Jakarta: GPU.