Sukarno: Difference between revisions

From Ensiklopedia
(Created page with "Sukarno adalah presiden pertama Republik Indonesia dan sekaligus Bapak Proklamator Indonesia. Sejak awal proklamasi kemerdekaan Indonesia ia lebih akrab dipanggil Bung Karno, sesuai dengan jiwa dan semangat zaman di mana sebutan bung lebih menunjukkan kesetaraan-equalitas dan egalitarian untuk mendekonstruksi feudalisme. Sebagai nasionalis, Bung Karno selalu aktif dalam gerakan penyemai nilai-nilai nasionalisme dan persatuan dalam keberagaman di kalangan bangsa Indonesia...")
 
No edit summary
 
(5 intermediate revisions by the same user not shown)
Line 1: Line 1:
Sukarno adalah presiden pertama Republik Indonesia dan sekaligus Bapak Proklamator Indonesia. Sejak awal proklamasi kemerdekaan Indonesia ia lebih akrab dipanggil Bung Karno, sesuai dengan jiwa dan semangat zaman di mana sebutan bung lebih menunjukkan kesetaraan-equalitas dan egalitarian untuk mendekonstruksi feudalisme. Sebagai nasionalis, Bung Karno selalu aktif dalam gerakan penyemai nilai-nilai nasionalisme dan persatuan dalam keberagaman di kalangan bangsa Indonesia, baik ketika masih dalam kekuasaan asing maupun setelah Indonesia merdeka dan punya peran penting dalam perumusan dasar negara Pancasila. Oleh karena itu, dari aspek sosial politik Bung Karno merupakan tokoh fenomenal dalam panggung sejarah dengan kiprah yang spektakuler untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bahkan untuk dunia, khususnya Asia Afrika. John Legge, profesor dari Monash University Australia, menyebut Sukarno sebagai tokoh paling menonjol dari para pelaku lainnya dalam perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan (Wild & Carry 1986: 109-115). Meskipun demikian, kehidupannya berakhir sangat ironis, dijadikan tahanan politik oleh bangsa yang ikut dimerdekakan olehnya dari belenggu penjajahan.
[[File:Medium sized JPEG.jpg|thumb|Presiden Soekarno (circa 1949)|link=]]
Sukarno adalah presiden pertama Republik Indonesia dan Bapak Proklamator Indonesia. Ia lahir pada 6 Juni 1901, dari rahim seorang ibu keturunan bangsawan dari Singaraja, Bali bernama Ida Ayu Nyoman Rai Srimben dan ayah Raden Soekemi Sosrodihardjo. Soekemi menyematkan nama Kusno ditambah nama belakang dirinya kepada putranya (Salam 1982: 18). Kehadiran Kusno telah melengkapi kebahagiaan keluarga kecil yang pada saat itu tinggal di Jalan Pandean IV/40, Surabaya. Sebelumnya, pasangan Soekemi dan Ida Ayu telah dikaruniai seorang putri bernama Soekarmini. Kusno kecil sering terserang sakit, seperti malaria dan disentri, sehingga Soekemi mengganti nama Kusno menjadi Sukarno. Tradisi mengganti nama anak yang sakit-sakitan memang lazim dalam kepercayaan orang Jawa (Adams 1986). Saat beranjak dewasa, Sukarno baru memahami bahwa kata “Sukarno” ternyata diambil dari nama salah satu tokoh pewayangan, yaitu Karno''.'' Menurut Soekemi, Karno adalah pahlawan besar dalam cerita ''Mahabharata''. Sembari memegang bahu Sukarno, Soekemi mendoakan putranya agar tumbuh menjadi seorang patriot. Dalam sebuah memoar yang ditulis Cindy Adams, Sukarno juga mengenang kalimat yang diucapkan ibunya pada suatu pagi, bahwa Sukarno dilahirkan pukul setengah enam pagi saat fajar mulai menyingsing. Ia percaya bahwa suatu hari, Sukarno akan menjadi orang yang mulia dan menjadi pemimpin yang dicintai rakyat. Menurut kepercayaan orang Jawa, orang yang dilahirkan saat matahari terbit nasibnya telah ditakdirkan terlebih dahulu. Berdasar pada kepercayaan itu, Ida Ayu berpesan pada putranya agar selalu ingat bahwa dirinya adalah putra sang fajar. Kelahirannya juga menandai suatu abad baru, yaitu 1901 yang merupakan awal abad ke-20. Lebih dari itu, abad ke-20 juga menjadi awal zaman baru sekaligus tonggak nasionalisme di kalangan penduduk Bumiputra, yang dimulai dari kaum intelektual (Niel 1970).


Sukarno lahir pada 6 Juni 1901, dari rahim seorang ibu keturunan bangsawan dari Singaraja, Bali, bernama Ida Ayu Nyoman Rai Srimben dan ayah Raden Soekemi Sosrodihardjo. Soekemi menyematkan nama Kusno ditambah nama belakang dirinya kepada putranya (Salam 1982: 18). Kehadiran Kusno telah melengkapi kebahagiaan keluarga kecil yang pada saat itu tinggal di Jalan Pandean IV/40, Surabaya. Sebelumnya, pasangan Soekemi dan Ida Ayu telah dikaruniai seorang putri bernama Soekarmini. Kusno kecil sering terserang sakit, seperti malaria dan disentri, sehingga Soekemi mengganti nama Kusno menjadi Sukarno. Tradisi mengganti nama anak yang sakit-sakitan memang lazim dalam kepercayaan orang Jawa (Adams 1986). Nama Sukarno inilah yang kemudian dikenal sebagai Proklamator dan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia.
Masa kanak-kanak Sukarno dihabiskan di beberapa kota di Jawa Timur, mulai dari Surabaya, Jombang, hingga Mojokerto. Hal itu karena profesi sang ayah sebagai guru yang sering dipindahtugaskan, sehingga Sukarno pun ikut serta berpindah tempat tinggal. Kota pertama yang disinggahi adalah Jombang. Saat berusia enam tahun, keluarga Soekemi hijrah ke Mojokerto. Persinggahannya di berbagai kota dikenang oleh Sukarno sebagai babak-babak baru yang mempengaruhi pemikiran dan kedewasaannya. Mojokerto menjadi persinggahan yang berkesan justru karena keterbatasan yang dimiliki keluarga kecil Soekemi. Dengan gaji sekitar $ 25 per bulan, Soekemi harus menghidupi istri dan kedua anaknya (Palmier 1957: 101-119). Keadaan serba terbatas tersebut sering kali membuat Sukarno termenung dan kadang-kadang menangis tersedu. Apalagi, ketika ia mendengar suara anak-anak yang bermain petasan saat lebaran. Dalam kondisi demikian, ibu yang memiliki kebesaran hati adalah kekuatan terbesar Sukarno. Sukarno juga sangat menyukai sungai. Sungai adalah kawan terbaiknya saat kecil, karena ia dapat bermain di sana tanpa harus mengeluarkan biaya. Selain menyukai berbagai hal yang memiliki unsur air, Sukarno juga memiliki minat dan kecintaan yang tinggi terhadap seni. Hal itu telah muncul sejak Sukarno masih kecil.


Saat beranjak dewasa, Sukarno baru memahami kegandrungan ayahnya pada cerita ''Mahabharata''. Kata “Sukarno” ternyata diambil dari nama salah satu tokoh pewayangan, yaitu ''Karna.'' Menurut Soekemi, ''Karna'' adalah pahlawan paling besar dalam cerita ''Mahabharata''. Sembari memegang bahu Sukarno, Soekemi mendoakan putranya agar tumbuh menjadi seorang patriot. Dalam sebuah memoar yang diabadikan Cindy Adams, Sukarno juga mengenang kalimat yang diucapkan ibunya pada suatu pagi, bahwa Sukarno dilahirkan pukul setengah enam pagi saat fajar mulai menyingsing. Ia percaya bahwa suatu hari, Sukarno akan menjadi orang yang mulia dan menjadi pemimpin yang dicintai rakyat. Menurut kepercayaan orang Jawa, orang yang dilahirkan saat matahari terbit nasibnya telah ditakdirkan terlebih dahulu. Berdasar pada kepercayaan itu, Ida Ayu berpesan pada putranya agar selalu ingat bahwa dirinya adalah putra sang fajar. Kelahirannya juga telah menandai suatu abad yang baru dan benar bahwa 1901 adalah awal abad baru, yaitu abad ke-20. Lebih dari itu, abad ke-20 juga menandai zaman baru dan menjadi tonggak nasionalisme tersemai di kalangan penduduk Bumiputra oleh kaum intelektual (Niel 1970).
Satu hal yang unik dari masa kecil Sukarno adalah kegemarannya mengumpulkan bungkus rokok Westminster keluaran Inggris. Kegemaran itu bukan tanpa alasan. Sukarno kecil ternyata mengagumi Mary Pickford, Tom Mix, Eddie Polo, Fatty Arbuckle, Beverly Bayne, dan Francis X. Gambar-gambar idolanya itu ditempel di dinding kamar. Sukarno menjaga kumpulan gambar itu dengan nyawanya, karena itu adalah harta yang dimilikinya untuk pertama kali (Adams 1986: 39). Kebiasaan mengumpulkan gambar rupanya berlanjut sampai dewasa. Sukarno gemar mengumpulkan lukisan-lukisan yang indah. Selain gemar mengumpulkan gambar-gambar idolanya, Sukarno juga selalu mengikuti sang ayah menonton pertunjukan ''wayang kulit purwa''. Ia senantiasa duduk di dekat kotak ''wayang'' atau di belakang ''dhalang'' saat pagelaran berlangsung. Kelak, Sukarno dikenal sebagai pemimpin yang memiliki kecintaan dan penghayatan tinggi terhadap seni.


Masa kanak-kanak Sukarno dihabiskan di beberapa kota di Jawa Timur, mulai dari Surabaya, Jombang, hingga Mojokerto. Hal itu karena profesi sang ayah sebagai guru yang sering dipindahtugaskan mengharuskan Sukarno turut serta berpindah. Kota pertama yang disinggahi adalah Jombang. Saat berusia enam tahun, keluarga Soekemi hijrah ke Mojokerto. Persinggahannya di berbagai kota dikenang oleh Sukarno sebagai babak-babak baru yang mempengaruhi pemikiran dan kedewasaannya. Mojokerto menjadi persinggahan yang berkesan justru karena keterbatasan yang dimiliki keluarga kecil Soekemi. Dengan gaji sekitar $25 per bulan, Soekemi harus menghidupi istri dan kedua anaknya (Palmier 1957: 101-119). Keadaan serba terbatas tersebut sering kali membuat Sukarno termenung dan kadang-kadang menangis tersedu. Apalagi, ketika ia mendengar suara anak-anak yang bermain petasan saat lebaran. Dalam kondisi demikian, ibu yang memiliki kebesaran hati adalah kekuatan terbesar Sukarno. Selain itu, Sukarno juga sangat menyukai sungai. Sungai adalah kawan terbaiknya saat kecil, karena ia dapat bermain di sana tanpa harus mengeluarkan biaya.
Sukarno memulai pendidikan formal di Sekolah ''Angka Loro'' (Sekolah dasar kelas dua untuk anak-anak Bumiputra dengan lama pendidikan tiga tahun). Ketika itu, ayahnya sedang bertugas di Sidoarjo. Dalam hal pendidikan Sukarno dikenal sebagai anak yang pintar, meskipun tidak tergolong sebagai siswa yang rajin. Meskipun demikian, ia adalah anak yang selalu bertanya tentang apa saja yang terlintas di pikiran dan kurang dimengerti. Pertanyaan tersebut ia tujukan baik kepada guru maupun orang tuanya. Beruntung, ayahnya adalah seorang guru sehingga pertanyaan-pertanyaan Sukarno kecil dapat terjawab dengan baik.


Satu hal yang unik dari masa kecil Sukarno adalah kegemarannya mengumpulkan bungkus rokok Westminster keluaran Inggris. Kegemaran itu bukan tanpa alasan. Sukarno kecil ternyata mengagumi Mary Pickford, Tom Mix, Eddie Polo, Fatty Arbuckle, Beverly Bayne, dan Francis X. Gambar-gambar idolanya itu ditempel di dinding kamar. Sukarno menjaga kumpulan gambar itu dengan nyawanya, karena itu adalah harta yang dimilikinya untuk pertama kali (Adams 1986: 39). Kebiasaan mengumpulkan gambar rupanya berlanjut sampai dewasa. Sukarno gemar mengumpulkan lukisan-lukisan yang indah. Selain gemar mengumpulkan gambar-gambar idolanya, Sukarno juga selalu mengikuti sang ayah menonton pertunjukan ''wayang kulit purwa''. Ia senantiasa duduk di dekat kotak ''wayang'' atau di belakang ''dhalang'' saat pagelaran berlangsung. Kelak, Sukarno dikenal sebagai pemimpin yang memiliki kecintaan dan penghayatan tinggi terhadap seni.
Selain di bangku sekolah, Sukarno juga mendapatkan sentuhan pendidikan dari sang ayah. Sekalipun telah belajar selama berjam-jam di sekolah, saat di rumah Sukarno masih harus belajar membaca dan menulis (Fahrudin 2020: 51). Hidup di bawah bayang-bayang Pemerintah Kolonial Belanda mengharuskan Sukarno melewati berbagai penyetaraan jika ingin mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang baik. Saat berusia 12 tahun, Sukarno disekolahkan di sekolah Kelas Satu. Upaya itu dilakukan sebagai bentuk penyetaraan pendidikan, sehingga Sukarno dapat mendaftar di ''Hoogere Burger School'' (HBS). Sejak 1907, Sekolah Kelas Satu menerapkan masa pendidikan lima tahun yang mengajarkan Bahasa Belanda.  


Sukarno memulai pendidikan formal di Sekolah ''Angka Loro'' (Sekolah dasar kelas dua untuk anak-anak Bumiputra dengan lama pendidikan tiga tahun). Ketika itu, ayahnya sedang bertugas di Sidoarjo. Dalam hal pendidikan Sukarno dikenal sebagai anak yang pintar, meskipun tidak tergolong sebagai siswa yang rajin. Meskipun demikian, ia adalah anak yang selalu bertanya tentang apa saja yang terlintas di pikiran dan kurang dimengerti. Pertanyaan tersebut ia tujukan baik kepada gurunya maupun orang tuanya. Beruntung, ayahnya adalah seorang guru sehingga pertanyaan-pertanyaan Sukarno kecil dapat terjawab dengan baik.
Berkat kepandaiannya, Sukarno dipindahkan ke ''Europeese Lagere School'' (ELS). Ia menjadi murid yang menonjol dan giat belajar, terutama dalam ilmu bahasa, menggambar, dan berhitung. Selain itu, Sukarno juga mengambil kursus Bahasa Perancis di ''Brynette de La Roche Brune''. Setelah menyelesaikan pendidikan di ELS, Sukarno dikirim ke HBS di Surabaya. Sukarno tinggal di rumah sahabat ayahnya, yaitu Tjokroaminoto yang tidak lain adalah pemimpin Sarekat Islam (SI). Tjokroaminoto tinggal bersama istri dan lima anaknya. Mereka tinggal di rumah depan, sementara Sukarno mendiami salah satu kamar di belakang yang disewakan (Adams 1986). Di Surabaya, Sukarno berkenalan dengan banyak pemimpin politik, antara lain Tjokroaminoto sendiri, [[Agus Salim]], [[Sneevliet]], [[Semaun]], Musso, [[Alimin Prawirodirdjo|Alimin]], dan [[Soewardi Soeryaningrat|Ki Hadjar Dewantara]] (Ricklefs 2005: 375).


Selain di bangku sekolah, Sukarno juga mendapatkan pendidikan dari sentuhan sang ayah. Sekalipun telah belajar selama berjam-jam di sekolah, saat di rumah Sukarno masih harus belajar membaca dan menulis (Fahrudin 2020: 51). Hidup di bawah bayang-bayang Pemerintah Kolonial Belanda mengharuskan Sukarno melewati berbagai penyetaraan jika ingin mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang baik. Demikian itu pula harapan Soekemi atas putranya. Saat berusia 12 tahun, Sukarno disekolahkan di sekolah Kelas Satu. Upaya itu dilakukan sebagai bentuk penyetaraan pendidikan, sehingga Sukarno dapat mendaftar di ''Hoogere Burger School'' (HBS). Sejak 1907, Sekolah Kelas Satu menerapkan masa pendidikan lima tahun yang mengajarkan Bahasa Belanda.  
Selain bertemu dengan banyak tokoh politik, Sukarno juga mulai membaca buku-buku tentang sejarah Eropa. Bukan hanya memahami perkembangan ideologi orang-orang Eropa, membaca juga menjadikan Sukarno mengenal orang-orang besar dari segala bangsa. Sukarno juga tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk belajar dari Tjokroaminoto, pemimpin partai terbesar pada masa itu yang dijuluki “Radja yang Dinobatkan” oleh orang-orang Belanda (Adams 1986). Diskriminasi yang didapat selama bersekolah di HBS, berbagai hal yang didengar dari para pemimpin politik, serta kebiasaan membaca dan menyelami berbagai peristiwa di dunia telah menggerakkan sikap politik anti penjajahan dalam dirinya, hingga ia menyebut Surabaya sebagai “Dapur Nasionalisme”. Pada 1918, Sukarno menjadi anggota gerakan ''Jong Java'' dan mulai menulis di surat kabar SI dan ''Oetoesan Hindia''. Ia juga mulai menunjukkan kemampuan retorik yang mengesankan dalam rapat-rapat SI. Sukarno berhasil lulus dari HBS pada 1921 dan melanjutkan ke Sekolah Tinggi Teknik di Bandung. Sebelumnya, ia telah mempersunting Utari, putri Tjokroaminoto. Oleh karena usia Utari yang masih sangat muda, mereka terikat dalam sebuah ikatan perkawinan yang pernikahannya ditunda atau disebut kawin gantung (Ricklefs 2005: 376).


Berkat kepandaiannya, Sukarno dipindahkan ke ''Europeese Lagere School'' (ELS). Ia menjadi murid yang menonjol dan giat belajar, terutama dalam ilmu bahasa, menggambar, dan berhitung. Selain itu, Sukarno juga mengambil kursus Bahasa Perancis di ''Brynette de La Roche Brune''. Setelah menyelesaikan pendidikan di ELS, Sukarno dikirim ke HBS di Surabaya. Sukarno tinggal di rumah sahabat ayahnya, yaitu Tjokroaminoto yang tidak lain adalah pemimpin Sarekat Islam (SI). Tjokroaminoto tinggal bersama istri dan lima anaknya. Mereka tinggal di rumah depan, sementara Sukarno mendiami salah satu kamar di belakang yang disewakan (Adams 1986). Di Surabaya, Sukarno berkenalan dengan banyak pemimpin politik, antara lain Tjokroaminoto sendiri, Agus Salim, Sneevliet, Semaun, Musso, Alimin, dan Ki Hadjar Dewantara (Ricklefs 2005: 375).
Setelah menamatkan sekolah di Surabaya, Sukarno hijrah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan di ''Technishe Hoogeschool'' (sekarang ITB). Bagi Sukarno, Bandung adalah “Gerbang ke Dunia Putih”. Pada Agustus 1921, Sukarno pernah kembali ke Surabaya ketika Tjokroaminoto ditangkap karena dituduh telah memberikan sumpah palsu. Sukarno meninggalkan kuliah dan kembali untuk bekerja sebagai pegawai perusahaan kereta api di Surabaya. Tujuannya adalah untuk menjadi tulang punggung keluarga [[Tjokroaminoto]]. Ketika Tjokroaminoto dibebaskan, Sukarno kembali ke Bandung.


Selain bertemu dengan banyak tokoh politik, Sukarno juga mulai membaca buku-buku tentang sejarah Eropa. Bukan hanya memahami perkembangan ideologi orang-orang Eropa, membaca juga menjadikan Sukarno juga mengenal orang-orang besar dari segala bangsa. Sukarno juga tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk belajar dari Tjokroaminoto, pemimpin partai terbesar pada masa itu yang dijuluki “Radja yang Dinobatkan” oleh orang-orang Belanda (Adams 1986). Diskriminasi yang didapat selama bersekolah di HBS, berbagai hal yang didengar dari para pemimpin politik, serta kebiasaan membaca dan menyelami berbagai peristiwa di dunia telah menggerakkan sikap politik anti penjajahan dalam dirinya, hingga ia menyebut Surabaya sebagai “Dapur Nasionalisme”. Pada 1918, Sukarno menjadi anggota gerakan ''Jong Java'' dan mulai menulis di surat kabar SI dan ''Oetoesan Hindia''. Ia juga mulai menunjukkan kemampuan retorik yang mengesankan dalam rapat-rapat SI. Sukarno berhasil lulus dari HBS pada 1921 dan melanjutkan ke Sekolah Tinggi Teknik di Bandung. Sebelumnya, ia telah mempersunting Utari, putri Tjokroaminoto. Oleh karena usia Utari yang masih sangat muda, mereka terikat dalam sebuah ikatan perkawinan yang pernikahannya ditunda atau disebut kawin gantung (Ricklefs 2005: 376).
Berbagai pengaruh yang didapatkan di Bandung pada akhirnya melemahkan hubungan Sukarno dengan Tjokroaminoto, baik sebagai guru dan murid mapun pribadi. Hal itu karena pada 1922 Sukarno bercerai dengan Oetari dan kemudian menikah dengan Inggit Garnasih. Bandung juga telah menjadi pusat berbagai ide yang mempengaruhi pandangan Sukarno. Namun demikian, hal yang terpenting adalah bahwa di Bandung Sukarno bertemu dengan [[Douwes Dekker, E.F.E (Danudirja Setiabudi)|Douwes Dekker]] dan [[Tjipto Mangoenkususmo]] yang membuatnya sangat terkesan. Ia juga dekat dengan Ki Hadjar Dewantara. Ketiga tokoh itu, dengan pemikiran yang tidak hanya berfokus pada kerangka Islam, namun juga nasionalisme dan marxisme, telah memberi pengaruh besar dalam pemikiran Sukarno.  


Setelah menamatkan sekolah di Surabaya, Sukarno hijrah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan di ''Technishe Hoogeschool'' (sekarang ITB). Bagi Sukarno, Bandung adalah “Gerbang ke Dunia Putih”. Pada Agustus 1921, Sukarno pernah kembali ke Surabaya ketika Tjokroaminoto ditangkap karena dituduh telah memberikan sumpah palsu. Sukarno meninggalkan kuliah dan kembali untuk bekerja sebagai pegawai perusahaan kereta api di Surabaya. Tujuannya adalah untuk menjadi tulang punggung keluarga Tjokroaminoto. Ketika Tjokroaminoto dibebaskan, Sukarno kembali ke Bandung.
Kegemaran membaca, pengalaman politiknya dan perkenalan dengan tokoh-tokoh besar telah memberi Sukarno kemampuan teoretis serta praktis tentang bahaya disintegrasi. Oleh sebab itu, pemikiran-pemikiran Sukarno selalu diarahkan pada perjuangan dalam rangka persatuan. Dari Tjokroaminoto Sukarno belajar teknik-teknik konsiliasi. Sementara itu, dari Ki Hadjar Dewantara ia belajar memadukan arus pemikiran Barat dan tradisional. Meskipun Sukarno tidak menerima teori Marxis secara total, namun Marxisme Alimin dan Semaun telah memberinya persepsi tentang imperialisme sebagai sistem kekuasaan serta perlunya pengakuan atas perjuangan melawan imperialisme. Sukarno menangkap sesuatu tentang romantisme dan revolusi yang tidak dapat diprediksi dari Tan Malaka. Dari Douwes Dekker ia menarik konsep keutamaan revolusi nasionalis dan mengikat rakyat Hindia menjadi satu kesatuan (Legge 2012: 43).


Berbagai pengaruh yang didapatkan di Bandung pada akhirnya melemahkan hubungan Sukarno dengan Tjokroaminoto, baik sebagai guru dan murid mapun pribadi. Hal itu karena pada 1922 Sukarno bercerai dengan Oetari dan kemudian menikah dengan Inggit Garnasih. Bandung juga telah menjadi pusat berbagai ide yang mempengaruhi pandangan Sukarno. Namun demikian, hal yang terpenting adalah bahwa di Bandung Sukarno bertemu dengan Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkususmo yang membuatnya sangat terkesan. Ia juga dekat dengan Ki Hadjar Dewantara. Ketiga tokoh itu, dengan pemikiran yang tidak hanya berfokus pada kerangka Islam, teristimewa ideologi nasionalisme dan marxisme, telah memberi pengaruh begitu besar dalam pemikiran Sukarno. Hal itu bisa dilihat bahwa di kemudian hari Sukarno menemukan bentuk nasionalisme yang tidak terkotak dalam kerangka Islam, teori perjuangan kelas, dan kaitan formal dengan kelompok etnik tertentu.
Konsepsi-konsepsi yang telah ia serap baik dari guru maupun dari sesama tokoh perjuangan serta pengalaman empirik selama bertemu dengan rakyat dari berbagai kalangan telah menjadi peletak dasar pemikiran Sukarno, yaitu “Marhaenisme”. Konsepnya tentang “Marhaenisme” merupakan sebuah ikhtiar untuk menyesuaikan Marxis proletariat dengan keadaan sosial masyarakat agraris. Hal itu sebagaimana ia ungkapkan bahwa konsep “proletariat” sama sekali tidak relevan dengan Indonesia. Daripada proletar, Sukarno lebih memilih menyebut rakyat Indonesia sebagai “orang kecil” yang meskipun sangat miskin, namun sebenarnya masih memiliki hak kepemilikan, baik berupa cangkul, bajak, kerbau, maupun barang-barang yang dijual di kios-kios. Dengan demikian, doktrin sosial harus menempatkan mereka sebagai tokoh sentral yang sama sekali berbeda dari kaum proletar karena pada kenyataannya para petani meskipun sangat miskin tetapi tidak menjual tenaganya. Mereka berusaha untuk diri mereka sendiri. Sukarno menggunakan istilah “Marhaen” untuk melambangkan “orang kecil” dan merupakan penilaian yang adil tentang sifat masyarakat Indonesia. Istilah “Marhaen” sendiri muncul ketika Sukarno bertemu dengan seorang petani di dekat Bandung  Jawa Barat (Legge 2012: 102).  


Pada 1925, Sukarno mendirikan kelompok studi bernama ''Algemeene Studie Club'' (ASC). Pendirian ASC terinspirasi dari Studi Club yang didirikan oleh dr. Sutomo di Surabaya. Di tengah-tengah dilema setelah lulus akan menjadi pegawai di dinas pemerintah atau bergerak di bidang politik, Sukarno menerbitkan artikel-artikel yang berisi imbauan agar Islam, marxisme, dan nasionalisme semestinya bersatu untuk kemerdekaan. Tulisan tersebut diterbitkan oleh ''Indonesia Moeda,'' surat kabar yang terbit sekali dalam sebulan. Penerbitnya adalah ASC. Sukarno menulis artikel bertajuk “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme''”'' yang terbit dalam tiga nomor berturut-turut. Ia menyerukan kerjasama yang erat di antara tiga golongan tersebut (Prabowo, t.t.: 28). Dengan berdasar pada pemikiran bahwa tidak ada perbedaan yang berarti dari ideologi-ideologi tersebut, terlebih karena kekuatan-kekuatan  seperti Partai Komunis Indonesia (PKI) dan SI yang sedikit melemah, Sukarno telah menetapkan pilihan karier politik. Pilihan itu sekaligus menandai zaman baru bagi nasionalisme Indonesia, karena ia ikut membidani pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI).  
Pada 1925, Sukarno mendirikan kelompok studi bernama ''Algemeene Studie Club'' (ASC). Pendirian ASC terinspirasi dari Studi Club yang didirikan oleh dr. Sutomo di Surabaya. Di tengah-tengah dilema antara menjadi pegawai pada dinas pemerintah atau bergerak di bidang politik, Sukarno menerbitkan artikel-artikel yang berisi imbauan agar Islam, marxisme, dan nasionalisme semestinya bersatu untuk kemerdekaan. Tulisan tersebut dimuat dalam surat kabar ''Indonesia Moeda'' yang diterbitkan oleh ASC. Sukarno menulis artikel bertajuk “[[Nasionalisme]], Islam, dan Marxisme''”'' yang terbit dalam tiga nomor berturut-turut. Ia menyerukan kerjasama yang erat di antara tiga golongan tersebut (Prabowo, t.t.: 28). Dengan berdasar pada pemikiran bahwa tidak ada perbedaan yang berarti dari ideologi-ideologi tersebut, terlebih karena kekuatan-kekuatan seperti Partai Komunis Indonesia (PKI) dan SI yang sedikit melemah, Sukarno telah menetapkan pilihan karier politik. Pilihan itu sekaligus menandai zaman baru bagi [[nasionalisme]] Indonesia, karena ia ikut membidani pendirian [[Partai Nasional Indonesia (PNI)]].  


Oleh karena pergerakan politik yang dilakukan sangat radikal, maka dalam kurun waktu 1930-1942 Sukarno beberapa kali keluar masuk penjara, bahkan pengasingan seperti di Flores dan Bengkulu. Selama Sukarno dipenjara sampai 1931, PNI telah membubarkan diri karena pemerintah kolonial Belanda menetapkan PNI sebagai partai terlarang. Tidak lama kemudian, berdiri dua partai baru, yaitu Partai Indonesia (Partindo) pimpinan Mr. Sartono dan PNI Baru pimpinan Mohammad Hatta-Sutan Sjahrir. Pada 1932, setelah dibebaskan dari penjara, Sukarno bergabung dengan Partindo dan mengusahakan fusi antara Partindo dan PNI Baru. Sebelumnya, Sukarno telah menerbitkan koran baru bernama ''Pikiran Ra’jat''. Namun, pada 28 Maret 1933, Sukarno harus menerima surat pengasingan dari Pemerintah Kolonial Belanda atas kegiatan pembangkangan. Sukarno diasingkan ke Ende di Nusa Tenggara Timur. Pada Februari 1938, Sukarno dipindahkan ke Bengkulu (Prabowo, t.t.: 31).
Sejak awal proklamasi kemerdekaan Indonesia Sukarno lebih akrab dipanggil Bung Karno, sesuai dengan jiwa dan semangat zaman di mana sebutan “bung” lebih menunjukkan kesetaraan dan keegaliteran untuk mendekonstruksi feudalisme. Sebagai nasionalis, Bung Karno selalu aktif dalam gerakan penyemai nilai-nilai nasionalisme dan persatuan dalam keberagaman di kalangan bangsa Indonesia, baik ketika masih dalam kekuasaan asing maupun setelah Indonesia merdeka dan memiliki peranan penting dalam perumusan dasar negara Pancasila. Oleh karena itu, dari aspek sosial politik Bung Karno merupakan tokoh fenomenal dalam panggung sejarah dengan kiprah yang spektakuler untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bahkan untuk dunia, khususnya Asia Afrika. John Legge, profesor dari Monash University Australia, menyebut Sukarno sebagai tokoh paling menonjol dari para pelaku lainnya dalam perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan (Wild & Carry 1986: 109-115).  


Dalam sebuah pengadilan di Bandung sebelum diasingkan, Sukarno pernah membacakan pembelaannya yang berjudul “Indonesia Menggugat”. Menarik dalam pidatonya Sukarno menyinggung Jepang sebagai negara modern di Asia yang berhasil menguasai Sakhalin dan Manchuria. Sukarno mengatakan bahwa penguasaan Jepang atas Sakhalin dan Manchuria akan menjadi ancaman bagi perdamaian dan keamanan bangsa-bangsa di Lingkaran Pasifik. Sukarno juga mengatakan bahwa slogan “Jepang adalah perintis bagi bangsa-bangsa tertindas di Asia” adalah slogan penipuan dan kebohongan. Menurut Sukarno, slogan tersebut hanyalah ilusi dari para nasionalis Jepang konservatif yang menganggap Jepang sebagai pahlawan dari Asia. Sukarno melukiskan secara tajam situasi peperangan hebat antara Jepang, Inggris, dan Amerika yang terjadi di Tiongkok (Soekarno 1951).  
Oleh karena pergerakan politik yang dilakukan sangat radikal, maka dalam kurun waktu 1930-1942 Sukarno beberapa kali keluar masuk penjara, bahkan pengasingan seperti di Flores dan Bengkulu. Selama Sukarno dipenjara sampai 1931, PNI telah membubarkan diri karena pemerintah kolonial Belanda menetapkan PNI sebagai partai terlarang. Tidak lama kemudian, berdiri dua partai baru, yaitu [[Partai Indonesia (PARTINDO)|Partai Indonesia (Partindo)]] pimpinan Mr. Sartono dan PNI Baru pimpinan [[Mohammad Hatta]]-[[Sutan Sjahrir]]. Pada 1932, setelah dibebaskan dari penjara, Sukarno bergabung dengan Partindo dan mengusahakan fusi antara Partindo dan PNI Baru. Sebelumnya, Sukarno telah menerbitkan koran baru bernama ''Pikiran Ra’jat''. Namun, pada 28 Maret 1933, Sukarno harus menerima surat pengasingan dari Pemerintah Kolonial Belanda atas kegiatan yang dianggap  pembangkangan. Sukarno diasingkan ke Ende di Nusa Tenggara Timur. Pada Februari 1938, Sukarno dipindahkan ke Bengkulu (Prabowo, t.t.: 31). Di tempat pengasingan inilah Sukarno bertemu dengan Fatmawati. Mereka saling jatuh cinta dan menikah pada 1943, setelah Sukarno menceraikan Inggit Garnasih.


Pidato Sukarno membuktikan bahwa kelompok elite intelektual bangsa Indonesia telah menyadari bahwa di kemudian hari Indonesia akan turut mendapatkan pengaruh dari benturan yang terjadi di antara negara-negara adikuasa di Pasifik Barat (Goto 1998: 293). Pidato Sukarno terbukti ketika Jepang berhasil menduduki Indonesia pada 1942 dan pada tahun itu juga Sukarno dibebaskan dari hukuman pembuangan. Pada awal masa pendudukan Jepang, Sukarno bersama dengan Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan K.H.M. Mansur mendirikan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) (''historia.id,'' 2018). Keempat tokoh tersebut dikenal dengan sebutan Empat Serangkai, dan pada akhir 1943 PUTERA dibubarkan.
Dalam sebuah pengadilan di Bandung sebelum diasingkan, Sukarno membacakan pembelaannya yang berjudul “[[Indonesia Menggugat]]” (Soekarno 1951). Dalam pidato tersebut Sukarno menyatakan bahwa kelompok elite intelektual bangsa Indonesia telah menyadari jika di kemudian hari Indonesia akan turut mendapatkan pengaruh dari benturan yang terjadi di antara negara-negara adikuasa di Pasifik Barat (Goto 1998: 293). Pidato Sukarno terbukti ketika Jepang berhasil menduduki Indonesia pada 1942 dan pada tahun itu juga Sukarno dibebaskan dari hukuman pembuangan. Pada awal masa pendudukan Jepang, Sukarno bersama dengan Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan K.H.M. Mansur mendirikan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) (''historia.id,'' 2018). Keempat tokoh tersebut dikenal dengan sebutan Empat Serangkai, dan pada akhir 1943 PUTERA dibubarkan.


Pada 25 April 1945, Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) didirikan. BPUPKI diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat. Pada sidang pertama BPUPKI 1 Juni 1945, Sukarno mengusulkan gagasan dan konsep tentang dasar negara yang disebut Pancasila yang disetujui oleh forum rapat BPUPKI. Dalam rapat tersebut juga disepakati Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusi Indonesia. Pada 9-14 Agustus 1945, Sukarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat diundang oleh Marsekal Terauchi ke Dalat, Saigon, Vietnam. Usai pertemuan tersebut, Sukarno menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak perlu menunggu “jagung berbuah”.  
Pada sidang pertama [[BPUPKI]] 1 Juni 1945, Sukarno mengusulkan gagasan dan konsep tentang dasar negara yang disebut Pancasila yang disetujui oleh forum rapat BPUPKI. Dalam rapat tersebut juga disepakati Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusi Indonesia. Pada 9-14 Agustus 1945, Sukarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat diundang oleh Marsekal Terauchi ke Dalat, Saigon, Vietnam. Usai pertemuan tersebut, Sukarno menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak perlu menunggu “jagung berbuah”.  


Sukarno telah membangun nasionalisme dengan cara yang berbeda. Sejak zaman kolonial Belanda, melalui tulisan-tulisan kritis yang diterbitkan di media massa atau gerakan aksi dalam pertemuan dan organisasi politik, Sukarno menyemai nasionalisme. Sukarno meyakini bahwa memiliki rasa nasionalisme akan menimbulkan rasa percaya diri yang sangat penting dalam menumbuhkan kemampuan bela diri untuk menghadapi segala keadaan yang dapat mengalahkan dan menghancurkan suatu bangsa. Dengan demikian, nasionalisme dapat membentuk karakter kolektif suatu bangsa yang mengedepankan kebersamaan, persatuan, kekuatan, kepercayaan diri, kegigihan, dan ketabahan dalam menghadapi berbagai hambatan dan rintangan (Soekarno 1965: 1-23). Melalui diskusi-diskusi, rapat-rapat terbuka dan tertutup, dan media-media lainnya, ia berusaha untuk menyemai nilai-nilai nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya kaum muda. Nasionalisme bagi Sukarno tidak hanya merupakan komitmen untuk hidup bersama sebagai sebuah bangsa untuk mencapai tujuan bersama, tetapi juga sebuah ideologi yang menekankan pada kebersamaan, persatuan, kepercayaan, kemandirian, dan demokrasi (Rochwulaningsih 2014).  
Sebagai salah seorang pendiri bangsa dan presiden pertama Indonesia, Sukarno secara konsisten melestarikan nilai-nilai nasionalisme dalam pembangunan karakter bangsa. Masalah nasionalisme tidak berhenti dan tidak selesai setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Pada 1948 di Yogyakarta, Sukarno menegaskan bahwa dalam kemerdekaan Indonesia, nasionalisme adalah perekat yang menyatukan rakyat dalam mencapai cita-cita kemerdekaan, yaitu: tidak memihak, makmur, dan masyarakat terhormat berdasar ideologi Pancasila (Sukarno 1965). Hal itu wajar karena apa yang disebut sebagai negara, bangsa, dan rakyat Indonesia sebenarnya merupakan hasil dari proses sejarah yang panjang yang melibatkan berbagai elemen sosial di Nusantara (Frank 1998: 97-98).


Bagi Sukarno, nasionalisme menciptakan ikatan suatu bangsa untuk hidup dan berjuang bersama meskipun berbeda suku, ras, agama, ideologi, kedaerahan dan latar belakang lainnya. Sukarno bahkan percaya bahwa nasionalisme dapat bersinergi dengan Islam dan Marxisme yang tumbuh di koloni-koloni di seluruh Asia dalam berjuang bersama, hingga menjadi kekuatan yang tangguh melawan imperialisme dan kolonialisme Barat (Soekarno 1965: 1-23). Dengan demikian, jelas bahwa nasionalisme Sukarno memiliki corak yang spesifik, yaitu kebangsaan, persatuan dan kerakyatan atau populis. Keberagaman etnik, suku, agama, ideologi, ke wilayah, dan lain-lain, dapat menjadi kekuatan yang saling mengisi untuk berjuang bersama mencapai cita-cita.  
Sejak diberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, Sukarno tidak lagi berperan sebagai Kepala Pemerintahan, melainkan hanya sebagai Kepala Negara. Jadi secara konstitusional, wewenang Sukarno sebagai presiden telah dibatasi. Namun demikian, sampai dengan Pemilu 1955, pemerintahan Indonesia masih mencari dasar yang kokoh bagi demokrasi parlementer karena persoalan politik, ekonomi, dan ancaman disintegrasi. Pada 1956, Sukarno sebagai Kepala Negara melakukan kunjungan ke beberapa negara antara lain untuk mencari dukungan atas penyelesaian persoalan Irian Barat. Namun, setelah kembali ke Indonesia, Sukarno justru menghadapi ancaman disintegrasi akibat gerakan separatisme, perpecahan politik, ketidakmampuan Badan Konstituante (hasil Pemilu 1955) dalam menyusun konstitusi, serta perdebatan seputar kebudayaan nasional yang tidak kunjung menemukan titik temu. Berdasar pada persoalan-persoalan tersebut, Sukarno menyampaikan konsep Demokrasi Terpimpin (Giebels 2015: 338). Hal itu didasarkan kondisi objektif bahwa dengan sistem demokrasi liberal, bangsa Indonesia berada dalam situasi konflik yang sangat keras, yang mengancam integrasi nasional.


Sukarno dan kawan-kawan seperjuangan berusaha menanamkan ideologi nasionalisme kepada massa akar rumput. Dalam rapat-rapat akbar, ia menggunakan bahasa yang sederhana dalam menjelaskan esensi nasionalisme sebagai senjata pamungkas untuk menghancurkan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Dalam Rapat Umum Propaganda PNI di Jakarta tahun 1927, Sukarno menegaskan bahwa PNI akan menghidupkan kembali kejayaan Nusantara, dan karena itu seluruh rakyat harus berjuang bersama untuk menghancurkan penjajahan Belanda. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan PNI dalam meraih kemerdekaan Indonesia, beberapa program aksi dilakukan, seperti (1) meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berjuang dengan kekuatan sendiri, dan (2) memperkuat gotong royong dan bekerjasama dengan asosiasi lain yang memiliki tujuan yang sama. Sukarno sangat meyakini bahwa hanya nasionalisme yang berwatak persatuan, demokrasi, dan mandiri yang dapat menghancurkan kekuatan kolonialisme di Indonesia dan negara-negara jajahan lain. Sukarno menyemai dan mengembangkan nasionalisme untuk menghancurkan kolonialisme yang memperbudak dan mengeksploitasi Indonesia (Rochwulaningsih 2014).
Pada 21 Februari 1957 Sukarno mengumumkan konsepsinya mengenai Demokrasi Terpimpin dan disaksikan oleh sekitar 900 tamu. Ia membagikan refleksi sementara mengenai Demokrasi Terpimpin di Istana Negara Jakarta yang juga disaksikan oleh ribuan orang di Lapangan Merdeka. Pidato dilaksanakan pada pukul delapan malam dengan harapan disaksikan oleh para elite bangsa. Sukarno konsisten menempuh jalan yang mengarah pada penerapan “Demokrasi Terpimpin” dengan melibatkan partai politik dari semua aliran, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI). Pelibatan PKI itulah yang kemudian menimbulkan keberatan dari partai politik berideologi Islam seperti Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Sukarno juga harus menghadapi reaksi keras negara-negara Barat. Meskipun demikian, dengan maksud untuk mengonsolidasikan seluruh kekuatan, pada 17 Agustus 1957 Sukarno menyinggung tentang konsepsi Demokrasi Terpimpin dan menyebut 1957 sebagai “tahun keputusan” (Giebels 2015: 378).


Sukarno berhasil membangkitkan kesadaran "Kebangsaan Indonesia" melalui PNI, dan hal itu sangat terkait dengan semakin banyaknya orang-orang terpelajar yang lahir dari "pendidikan kaum tertindas". Mereka memperoleh kemampuan dan kesempatan untuk mengamati bahwa kapitalisme dan kolonialisme telah menciptakan penderitaan dan kesengsaraan. Mereka juga mengembangkan empati terhadap situasi dan menyadari bahwa nasionalisme harus menjadi jiwa serta semangat suatu bangsa dalam menghadapi kapitalisme dan kolonialisme. Sukarno telah mengembangkan nasionalisme yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip kemanusiaan dengan makna yang komprehensif. Nasionalisme dapat menjadi penjabaran partisipatif non-diskriminatif dari nilai-nilai kemanusiaan dan kesejahteraan. Sukarno melihat nasionalisme dapat melahirkan negara bangsa dan mampu menggantikan posisi negara kolonial. Pada akhirnya, Sukarno telah berkontribusi pada pembentukan bangsa Indonesia melalui momentum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Pada 19 Juni 1959 Sukarno kembali ke Indonesia dari kunjungannya ke luar negeri. Kedatangan Sukarno di Bandara Kemayoran disambut oleh para anggota kabinet dengan pengawalan ketat. Pada saat itu, Sukarno menyampaikan bahwa beberapa hari ke depan ia akan mengumumkan pernyataan penting. Pada 2-3 Juli, Sukarno melanjutkan tugas kepresidenannya dan menyatakan akan memulihkan konstitusi 1945. Pada 5 Juli 1959, Sukarno membacakan Dekrit Presiden yang kemudian dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Beberapa poin penting dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 antara lain pembubaran Dewan Konstituante dan mengembalikan konstitusi Indonesia pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pada 6 Juli 1959, Perdana Menteri Djuanda mengajukan pengunduran diri yang juga menandai penerapan sistem pemerintahan presidensial sebagaimana anamat UUD 1945 (Giebels 2015: 412-413).  


Sebagai salah seorang pendiri bangsa dan presiden pertama Indonesia, Sukarno secara konsisten melestarikan ideologi nasionalisme dalam pembangunan karakter bangsa. Masalah nasionalisme tidak berhenti dan tidak selesai setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Pada 1948 di Yogyakarta, Sukarno menegaskan bahwa dalam kemerdekaan Indonesia, nasionalisme adalah perekat yang menyatukan rakyat dalam mencapai cita-cita kemerdekaan, yaitu: tidak memihak, makmur, dan masyarakat terhormat berdasar ideologi Pancasila (Sukarno 1965). Hal itu menjadi wajar karena apa yang disebut sebagai negara, bangsa, dan rakyat Indonesia sebenarnya merupakan hasil dari proses sejarah yang panjang yang melibatkan berbagai elemen sosial di Nusantara (Frank 1998: 97-98).  
Pemberlakuan Demokrasi Terpimpin yang sekaligus juga mengembalikan fungsinya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan telah menjadi momentum bagi Sukarno untuk fokus mengembangkan pembangunan karakter bangsa. Bagi Sukarno, nasionalisme juga harus berlandaskan rasa saling menghormati dan anti-imperialisme, sehingga terbangun peradaban baru yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan kerjasama. Dalam konteks ini, Sukarno berperan aktif dalam mensinergikan kekuatan nasionalisme bangsa-bangsa di Asia dan Afrika dengan menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang dihadiri oleh perwakilan dari 29 negara Asia dan Afrika. Konferensi ini telah berhasil meningkatkan saling pengertian dan kesadaran di antara para pemimpin negara-negara Asia dan Afrika. KAA bahkan menjadi momen yang tepat untuk menyelenggarakan acara-acara terkait yang lebih operasional seperti Konferensi Jurnalis Asia Afrika, Konferensi Pemuda Asia Afrika, Konferensi Perempuan Asia Afrika, dan lain-lain.


Sampai masa setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Sukarno tetap konsisten mempertahankan nilai-nilai nasionalisme, terbukti dari langkah-langkahnya dalam mengembangkan pembangunan karakter bangsa. Bagi Sukarno, nasionalisme juga harus berlandaskan rasa saling menghormati dan anti-imperialisme, sehingga terbangun peradaban baru yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan kerjasama penuh. Dalam konteks ini, Sukarno berperan aktif dalam mensinergikan kekuatan nasionalisme bangsa-bangsa di Asia dan Afrika dengan menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang dihadiri oleh perwakilan dari 29 negara Asia dan Afrika. Konferensi ini telah berhasil meningkatkan saling pengertian dan kesadaran di antara para pemimpin negara-negara Asia dan Afrika. KAA bahkan menjadi momen yang tepat untuk menyelenggarakan acara-acara terkait yang lebih operasional seperti Konferensi Jurnalis Asia Afrika, Konferensi Pemuda Asia Afrika, Konferensi Perempuan Asia Afrika, dan lain-lain.
Sukarno telah secara konsisten mempertahankan paham nasionalisme dan anti imperialisme dalam berbagai aspek kehidupan bernegara. Contoh konsistensi Sukarno adalah ketika ia menanggapi polemik kebudayaan yang terjadi selama masa [[Demokrasi Liberal]]. Berbagai polemik yang terjadi seputar kebudayaan selama hampir satu dasawarsa karena perdebatan menyangkut etnisitas, otentisitas, dan ancaman kebudayaan Barat, menurut Sukarno adalah akibat dari penerapan aturan asing yang tidak cocok untuk Indonesia. Oleh sebab itu, sejak [[Dekrit Presiden 5 Juli 1959]], kebijakan budaya tentang “identitas nasional” didominasi oleh gagasan Sukarno berlandaskan pada nasionalisme (Jones 2015: 110).


Di tengah praktik Demokrasi Liberal di Indonesia, Sukarno terpanggil untuk memperkuat kesadaran berbangsa dan bernegara karena penurunannya akan mengancam kepercayaan, persatuan, kebersamaan, gotong royong, harkat dan martabat bangsa, rasa bangga dan hormat terhadap bangsa, serta kemampuan dan kepribadian bangsa. Hal itu diungkap dalam sebuah pidato peringatan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1957. Dalam pandangan Sukarno, melemahnya karakter bangsa dan bangsa Indonesia pada saat itu telah ditunjukkan oleh birokrasi yang berbelit-belit. Birokrasi yang berbelit-belit telah melahirkan administrasi yang tidak efektif dan tidak efisien, ditambah korupsi yang merusak mental dan moral. Aliran budaya asing menurut Sukarno lebih cepat mengikis nilai-nilai budaya bangsa dan pertumbuhan pikiran negatif, dibandingkan dengan pikiran positif dalam pembangunan bangsa dan negara. Oleh karena itu, Sukarno mulai menyebarkan gagasan untuk melakukan revolusi tahap kedua dengan sasaran pembangunan karakter bangsa dan bangsa sebagai kelanjutan dari revolusi pertama yang ditujukan untuk kemerdekaan dan gagasan itu perlu didukung oleh revolusi mental (Soekarno 1965: 284-285).
Pada peringatan Hari Kemerdekaan 1959, Sukarno menyampaikan pidato berisi program umum pemerintah yang disebut dengan [[Manifesto Politik]] (Manipol) oleh Dewan Pertimbangan Agung (Jones 2015: 97).  Manifesto Politik merupakan dokumen bersejarah yang menjelaskan program pokok dan program umum Revolusi secara menyeluruh (''Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi,'' 1961: 77)''.'' Manifesto Politik Republik Indonesia ini kemudian ditetapkan sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara yang bersisi; (1) Undang-undang Dasar 1945; (2) Sosialisme Indonesia; (3) Demokrasi Terpimpin; (4) Ekonomi Terpimpin (5) Kepribadian Indonesia, untuk selanjutnya disebut [[USDEK]] (Soyomukti 2010: 153).


Menurut Sukarno, pembangunan karakter bangsa harus dilakukan secara radikal, mengembalikan jiwa kita pada keadaan revolusi pertama, bebas dari kepentingan pribadi dan golongan, penuh idealisme untuk berkontribusi pada perjuangan bangsa, dan penuh semangat mengabdi pada kejayaan bangsa. Revolusi mental akan mampu membangkitkan dan menggerakkan bangsa Indonesia untuk maju dan berkarya, berjuang, beribadah, dan berkorban demi cita-cita nasional dan tentunya cita-cita kemerdekaan Indonesia. Pemikiran tersebut disampaikan dalam menanggapi situasi Indonesia yang semakin cenderung menempatkan kepentingan golongan, suku, agama, daerah, partai di atas kepentingan bangsa dan negara serta tergerusnya idealisme. Demikian pula pada peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1958, Sukarno menegaskan bahwa melalui momen Hari Sumpah Pemuda, bangsa Indonesia harus kembali pada karakter bangsa yang merdeka, percaya pada kemampuan dan kepribadian sendiri, memiliki jati diri sebagai bangsa, karena hanya bangsa dengan kepribadian yang kuatlah yang akan tetap berdiri. (Rochwulaningsih 2014).
Masa [[Demokrasi Terpimpin]] menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk membentuk kepribadian bangsa dan menolak kolonialisme dalam bentuk apapun (''Minggu Pagi'' 1963: II). Sukarno memulainya dengan kebijakan nasional antikolonialisme dan antiimperialisme. Sikap antikolonialisme Sukarno sebenarnya telah lahir jauh sebelum Indonesia merdeka, maka kebijakan tersebut sekaligus membuktikan bahwa konsistensi Sukarno terhadap antikolonialisme dan nonkooperatif tidak diragukan. Salah satu cerminan dari sikap tegas Sukarno adalah penolakannya terhadap arsitektur bernuansa kolonial. Pada bangunan yang ia rancang sendiri, memang tidak ditemukan desain tiang-tiang Yunani bergaya Ionia, Doria, dan Korintina. Ia juga menolak gaya-gaya arsitektur ''Amsterdam style'' (Ardhiati 2005: 111-112).


Sukarno telah secara konsisten mempertahankan paham nasionalisme dan anti imperialisme dalam berbagai aspek kehidupan bernegara. Contoh konsistensi Sukarno adalah ketika ia menanggapi polemik kebudayaan yang terjadi selama masa Demokrasi Liberal. Berbagai polemik yang terjadi seputar kebudayaan selama hampir satu dasawarsa karena perdebatan menyangkut etnisitas, otentisitas, dan ancaman kebudayaan Barat, menurut Sukarno adalah akibat dari penerapan aturan asing yang tidak cocok untuk Indonesia. Oleh sebab itu, sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kebijakan budaya tentang “identitas nasional” didominasi oleh gagasan Sukarno berlandaskan pada nasionalisme (Jones 2015: 110).
Pada peringatan Hari Kemerdekaan tahun 1963, Sukarno menyampaikan pidato berjudul "Suara Gema Revolusi Indonesia" yang menekankan pentingnya pembangunan karakter bangsa untuk mencapai cita-cita kemerdekaan: masyarakat yang makmur, tidak memihak, dan sejahtera dalam bingkai persatuan dan kebersamaan. Gagasan tentang pembangunan karakter bangsa yang disampaikan Sukarno merupakan gagasan besar karena Indonesia sebagai bangsa yang heterogen membutuhkan nilai-nilai etika dan moral yang holistik untuk mencerminkan keunggulan karakter bangsa. Hal ini sangat penting karena menyangkut landasan esensial kehidupan yang terhormat dan bermartabat bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu Sukarno mengusung semboyan politik yang dikenal dengan Trisakti Revolusi Indonesia, yaitu (1) kedaulatan dalam politik, (2) kemandirian dalam ekonomi, dan (3) kepribadian bangsa dalam budaya.


Pada peringatan Hari Kemerdekaan 1959, Sukarno menyampaikan pidato berisi program umum pemerintah yang disebut dengan Manifesto Politik (Manipol) oleh Dewan Pertimbangan Agung (Jones 2015: 97).  Manifesto Politik merupakan dokumen bersejarah yang menjelaskan program pokok dan program umum Revolusi secara menyeluruh (''Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi,'' 1961: 77)''.'' Manifesto Politik Republik Indonesia ini kemudian ditetapkan sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara yang bersisi; (1) Undang-undang Dasar 1945; (2) Sosialisme Indonesia; (3) Demokrasi Terpimpin; (4) Ekonomi Terpimpin (5) Kepribadian Indonesia, untuk selanjutnya disebut USDEK (Soyomukti 2010: 153).
Dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yaitu bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur dengan cara demokratis, Sukarno menciptakan berbagai program, seperti “[[Berdiri Di Atas Kaki Sendiri (BERDIKARI)|Berdikari]]” (berdiri di atas kaki sendiri) yang berimplikasi pada peningkatan produk bangsa sendiri dan pembatasan produk impor. Program “Benteng” untuk menghidupi dan melindungi industri anak bangsa dari tekanan kekuatan asing, serta nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Kemandirian tersebut  tidak hanya terbatas dalam bidang ekonomi, tetapi juga politik. Oleh karena itu pada era Sukarno nasionalisme dijadikan dasar untuk membangun dan memperkokoh integrasi politik nasional sebagaimana tercermin dalam menumpas gerakan-gerakan separatis dan perjuangan yang gigih untuk mengembalikan Irian Barat dalam NKRI.


Masa Demokrasi Terpimpin menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk membentuk kepribadian bangsa dan menolak kolonialisme dalam bentuk apapun (''Minggu Pagi'' 1963: II). Sukarno memulainya dengan kebijakan nasional antikolonialisme dan antiimperialisme. Sikap antikolonialisme Sukarno sebenarnya telah lahir jauh sebelum Indonesia merdeka, maka kebijakan tersebut sekaligus membuktikan bahwa konsistensi Sukarno terhadap antikolonialisme dan nonkooperatif tidak diragukan. Salah satu cerminan dari sikap tegas Sukarno adalah penolakannya terhadap arsitektur bernuansa kolonial. Pada bangunan yang ia rancang sendiri, memang tidak ditemukan desain tiang-tiang Yunani bergaya Ionia, Doria, dan Korintina. Ia juga menolak gaya-gaya arsitektur ''Amsterdam style'' (Ardhiati 2005: 111-112).
Sukarno adalah juga seorang pemimpin yang memiliki pemikiran global. Pemikiran-pemikiran Sukarno dimanifestasikan terutama melalui pidato dalam forum-forum internasional pada awal 1960-an. Dalam konteks pandangan tentang dunia, Sukarno tetap konsisten atau sama dengan ketika memulai gerakan politiknya pada 1920-an hingga 1930-an, yaitu anti-imperialisme. Anti-imperialisme Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin masih tetap sama dengan istilah yang berbeda, yaitu neo-kolonialisme, kolonialisme, dan impeliarialisme atau disingkat Nekolim. Nekolim adalah versi 1960-an dari anti-imperialisme yang telah dirancang pada 1930-an di mana pemerintah kolonial Belanda memerintah secara langsung. Adapun Nekolim pada 1960-an berfokus pada imperialisme gaya baru yang berbentuk dominasi ekonomi di bawah pengaruh Barat. Versi lain dari pandangan yang sama mengenai kolonialisme adalah konsep pertarungan antara kekuatan baru yang muncul dan kekuatan lama yang mapan. Oleh Sukarno, kekuatan tersebut disebut ''New Emerging Forces'' (NEFO) dan ''Old Established Forces'' (OLDEFO). Esensi konsep NEFO dan OLDEFO disematkan dalam pendahuluan pidato Sukarno berjudul ''To Build the World a New'' di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September 1960. Sukarno dapat memahami implikasi jangka pendek dari perpecahan Peking-Moskow serta akibat jangka panjangnya pada situasi dunia. Di hadapan PBB Sukarno berargumentasi bahwa konflik di dunia sebenarnya bukan Perang Dingin. Adapun perhatian bangsa-bangsa semestinya adalah menyadari adanya imperialisme bentuk baru di satu sisi, dan perjuangan memperoleh keadilan, kesetaraan, serta kebebasan di sisi yang lain (Legge 2012: 329-330). Kepada bangsa-bangsa yang lebih tua, Sukarno menunjukkan bahwa “imperialisme belum mati”. NEFO dan OLDEFO terus digaungkan oleh Sukarno yang menunjukkan kecurigaan terhadap praktik-praktik imperialisme sehingga negara-negara yang baru meraih kemerdekaan menyadari keberadaan imperialisme gaya baru. Hal itu diungkap oleh Sukarno ketika berpidato dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non-Blok 1-6 September 1961 di Beograd, Yugoslavia.  


Isu ''nation and character building'' tidak hanya menjadi wacana bagi Sukarno, terutama setelah pemberlakuan kembali UUD 1945, di mana Sukarno bukan hanya menjadi presiden tetapi juga kepala pemerintahan. Ia menyusun program aksi yang lebih konkrit melalui amandemen UU Sisdiknas. Secara substansial, ia mengarahkan tujuan pendidikan pada implementasi semangat berbangsa dan berkarakter. Hal itu tercermin dalam salah satu isi Kebijakan Presiden nomor 19 tahun 1965 yang menyatakan: “Pendidikan Nasional adalah Pendidikan Bangsa”. ''Nation and character building'' akan membimbing suatu bangsa untuk dapat menyelesaikan revolusinya secara bertanggung jawab, selangkah demi selangkah, berdasar agama. Sebagai substansi mutlak, pembangunan bangsa dan budi pekerti dilaksanakan di sekolah formal melalui pelajaran budi pekerti yang memperkenalkan nilai-nilai etika dan moral serta mata pelajaran agama. Menariknya, pelajaran itu diajarkan oleh tokoh-tokoh nasional yang berpengaruh, bahkan oleh Sukarno sendiri.
Sukarno memiliki pandangan yang visioner terhadap perdamaian dunia yang bebas dari semua bentuk penjajahan. Dalam hal ini berarti negara-negara Asia dan Africa memiliki kedudukan yang sama dengan negara-negara Barat yang dianggap lebih maju. Guna membuktikan bahwa Indonesia adalah negara yang kuat sehingga dapat diperhitungkan di dunia, Sukarno membangun fasilitas yang megah untuk penyelenggaraan ''Asian Games'' 1964 di mana Indonesia menjadi tuan rumah. Perhelatan ''Asian Games'' yang dipusatkan di Senayan Jakarta ingin menunjukkan kepada dunia  bahwa Indonesia adalah negara yang kuat (Legge 2012: 329-330).


Pada peringatan Hari Kemerdekaan tahun 1963, Sukarno menyampaikan pidato berjudul "Suara Gema Revolusi Indonesia" yang menekankan pentingnya pembangunan karakter bangsa untuk mencapai cita-cita kemerdekaan: masyarakat yang makmur, tidak memihak, dan sejahtera dalam bingkai persatuan dan kebersamaan. ''Nation and character building'' yang disampaikan oleh Sukarno merupakan gagasan besar karena Indonesia sebagai bangsa yang heterogen membutuhkan nilai-nilai etika dan moral yang holistik untuk mencerminkan keunggulan karakter bangsa. Hal ini sangat penting karena menyangkut landasan esensial kehidupan yang terhormat dan bermartabat bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, dalam pembangunan bangsa dan karakter ini, Sukarno mengusung semboyan politik yang dikenal dengan Trisakti Revolusi Indonesia, yaitu (1) kedaulatan dalam politik, (2) kemandirian dalam ekonomi, dan (3) kepribadian bangsa dalam budaya.
Awal 1960-an barangkali adalah titik balik seluruh konsepsi Sukarno yang sebenarnya sudah terbentuk sejak awal masa-masa pergerakan. Namun, pada 1965, Sukarno harus menghadapi permasalahan yang sangat kompleks mulai dari politik hingga ekonomi. Pada awal 1965, Sukarno mengumumkan keputusan yang sangat kontroversial ketika menyatakan bahwa Indonesia menarik diri dari PBB. Keputusan itu diambil berkaitan dengan perebutan Irian Barat serta konfrontasi terhadap Malaysia. Krisis memuncak pada 1965 yang berakibat pada tertundanya reformasi ekonomi akibat inflasi serta pinjaman besar untuk keperluan militer. Pada masa-masa itu pula desas-desus tentang kesehatan Sukarno yang mulai menurun akibat penyakit ginjal terus menyebar. Namun, ia selalu menekankan bahwa kesehatannya dalam kondisi baik, bahkan kepada para diplomat asing (Dake 2005: 300).


Sukarno meyakini, bahwa ''nation and character building'' dapat menjadi dasar untuk membangun kemandirian bangsa dan kemandirian bangsa adalah modal utama untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yaitu bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur dengan cara demokratis. Program-program yang diarahkan untuk itu antara lain “Berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri) yang berimplikasi pada peningkatan produk bangsa sendiri dan pembatasan produk impor. Program “Benteng” untuk menghidupi dan melindungi industri pribumi dari tekanan kekuatan non pribumi. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Kemandirian tidak terbatas secara ekonomi, tetapi juga politik. Oleh karena itu pada era Sukarno nasionalisme dijadikan dasar untuk membangun dan memperkokoh integrasi politik nasional sebagaimana tercermin dalam menumpas gerakan-gerakan separatis dan perjuangan yang gigih untuk mengembalikan Irian Barat dalam NKRI.
Di tengah kondisi kesehatannya yang terus menurun dan ancaman pengadilan atas tuduhan keterlibatan dalam G30S, Sukarno terus berjuang untuk mempertahankan kekuasaannya. Dalam ruang terbatas, Sukarno tidak mengutuk PKI yang dituduh menjadi dalang terbunuhnya tujuh jenderal. Ia tidak menyangkal konsensus komunisme yang telah dicari sejak masa ketika ia memulai pergerakan membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan.


Sukarno wafat pada 21 Juni 1970 di RSPAD Gatot Subroto karena gagal ginjal dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur di samping makam ibundanya.
Sukarno wafat pada 21 Juni 1970 di RSPAD Gatot Subroto karena gagal ginjal dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur di samping makam ibundanya.{{Penulis|Yety Rochwulaningsih|Masyarakat Sejarah Indonesia|Dr. Endang Susilowati, M.A}}
 
Penulis: Yety Rochwulaningsih




Line 71: Line 70:


Ardhiati, Y. (2005) ''Bung Karno Sang Arsitek: Kajian Arstistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior, Kria, Simbol, Mode Busana, dan Teks Pidato 1926-1965.'' Depok: Komunitas Bambu.  
Ardhiati, Y. (2005) ''Bung Karno Sang Arsitek: Kajian Arstistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior, Kria, Simbol, Mode Busana, dan Teks Pidato 1926-1965.'' Depok: Komunitas Bambu.  
Dake, Antonie C.A. (2005) ''Berkas-Berkas Sukarno 1965-1967 Kronologi Suatu Keruntuhan.'' Jakarta: Aksara Karunia.


Fahrudin, Ali (2020) ''Nasionalisme Soekarno dan Konsep Kebangsaan Mufassir Jawa''. Jakarta: Litbangdiklat Press.
Fahrudin, Ali (2020) ''Nasionalisme Soekarno dan Konsep Kebangsaan Mufassir Jawa''. Jakarta: Litbangdiklat Press.


Frank, Andre Gunder (1998). ''Reorient: Global Economy in the Asian Age.'' Berkeley-Los Angeles London: University of California Press.  
Frank, Andre Gunder (1998). ''Reorient: Global Economy in the Asian Age.'' Berkeley-Los Angeles London: University of California Press.  
Giebel, L. J. (2015) ''Sukarno: A Biography.'' Amsterdam: Fosfor.


Goto, K. (1998) ''Jepansoekarnog dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia''. Jakara: Yayasan Obor Indonesia.
Goto, K. (1998) ''Jepansoekarnog dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia''. Jakara: Yayasan Obor Indonesia.


Haryanto, Alexander (2021) “Biografi Ir Sukarno: Kisah Tragis dan Kesepian di Akhir Hidupnya. Diakses dari <nowiki>https://tirto.id/biografi-ir-sukarno-kisah-tragis-dan-kesepian-di-akhir-hidupnya-f9Ap</nowiki> pada 29 Oktober 2021.
Jones, T (2015) ''Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 hingga Reformasi,'' terjemahan Edisius Riyadi Terre. Jakarta: KITLV.


Jones, T (2015) ''Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 hingga Reformasi,'' terjemahan Edisius Riyadi Terre. Jakarta: KITLV.
Legge J. D. (2012) ''Sukarno: A Political Biography'' . Singapore: Editions Didier Millet.


Palmier, Leslie (1957) Sukarno, the Nasionalist. ''Pasific Affairs,'' 20(2): 101-119.
Palmier, Leslie (1957) Sukarno, the Nasionalist. ''Pasific Affairs,'' 20(2): 101-119.


Prabowo, Prananda (t.t.) ''Komik Seri Bung Karno Bapak Bangsa 1901-1945''. (t.p.)  
Prabowo, Prananda (t.t.) ''Komik Seri Bung Karno Bapak Bangsa 1901-1945''. (t.p.)  
Rochwulaningsih, Yety (2014) Soekarno in the Nationalism and Nations Character Building. Paper presenter at Seminar: Ideas of the Archipelago Statesmen’s. Organized by Arkib Negara Malaysia, Universiti Utara Malaysia. 22 – 24 September.


Salam, Solichin (1982) ''Bung Karno Putra Fajar.'' Jakarta: Gunung Agung.
Salam, Solichin (1982) ''Bung Karno Putra Fajar.'' Jakarta: Gunung Agung.
Soekarno. 1965. ''Di Bawah Bendera Revolusi.'' Djakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi.


Soyomukti, N. (2010) ''Sukarno Visi Kebudayaan dan Revolusi Indonesia''. Yogyakarta: Ar-Russ Media.  
Soyomukti, N. (2010) ''Sukarno Visi Kebudayaan dan Revolusi Indonesia''. Yogyakarta: Ar-Russ Media.  
Line 101: Line 100:


Wild, Colin & Carry Peter (Penyunting) (1986) ''Gelora Api Revolusi. Sebuah Antologi Sejarah''. Jakarta: PT. Gramedia.
Wild, Colin & Carry Peter (Penyunting) (1986) ''Gelora Api Revolusi. Sebuah Antologi Sejarah''. Jakarta: PT. Gramedia.
[[Category:Tokoh]]
{{Comment}} [[Category:Tokoh]]

Latest revision as of 15:29, 12 August 2024

Presiden Soekarno (circa 1949)

Sukarno adalah presiden pertama Republik Indonesia dan Bapak Proklamator Indonesia. Ia lahir pada 6 Juni 1901, dari rahim seorang ibu keturunan bangsawan dari Singaraja, Bali bernama Ida Ayu Nyoman Rai Srimben dan ayah Raden Soekemi Sosrodihardjo. Soekemi menyematkan nama Kusno ditambah nama belakang dirinya kepada putranya (Salam 1982: 18). Kehadiran Kusno telah melengkapi kebahagiaan keluarga kecil yang pada saat itu tinggal di Jalan Pandean IV/40, Surabaya. Sebelumnya, pasangan Soekemi dan Ida Ayu telah dikaruniai seorang putri bernama Soekarmini. Kusno kecil sering terserang sakit, seperti malaria dan disentri, sehingga Soekemi mengganti nama Kusno menjadi Sukarno. Tradisi mengganti nama anak yang sakit-sakitan memang lazim dalam kepercayaan orang Jawa (Adams 1986). Saat beranjak dewasa, Sukarno baru memahami bahwa kata “Sukarno” ternyata diambil dari nama salah satu tokoh pewayangan, yaitu Karno. Menurut Soekemi, Karno adalah pahlawan besar dalam cerita Mahabharata. Sembari memegang bahu Sukarno, Soekemi mendoakan putranya agar tumbuh menjadi seorang patriot. Dalam sebuah memoar yang ditulis Cindy Adams, Sukarno juga mengenang kalimat yang diucapkan ibunya pada suatu pagi, bahwa Sukarno dilahirkan pukul setengah enam pagi saat fajar mulai menyingsing. Ia percaya bahwa suatu hari, Sukarno akan menjadi orang yang mulia dan menjadi pemimpin yang dicintai rakyat. Menurut kepercayaan orang Jawa, orang yang dilahirkan saat matahari terbit nasibnya telah ditakdirkan terlebih dahulu. Berdasar pada kepercayaan itu, Ida Ayu berpesan pada putranya agar selalu ingat bahwa dirinya adalah putra sang fajar. Kelahirannya juga menandai suatu abad baru, yaitu 1901 yang merupakan awal abad ke-20. Lebih dari itu, abad ke-20 juga menjadi awal zaman baru sekaligus tonggak nasionalisme di kalangan penduduk Bumiputra, yang dimulai dari kaum intelektual (Niel 1970).

Masa kanak-kanak Sukarno dihabiskan di beberapa kota di Jawa Timur, mulai dari Surabaya, Jombang, hingga Mojokerto. Hal itu karena profesi sang ayah sebagai guru yang sering dipindahtugaskan, sehingga Sukarno pun ikut serta berpindah tempat tinggal. Kota pertama yang disinggahi adalah Jombang. Saat berusia enam tahun, keluarga Soekemi hijrah ke Mojokerto. Persinggahannya di berbagai kota dikenang oleh Sukarno sebagai babak-babak baru yang mempengaruhi pemikiran dan kedewasaannya. Mojokerto menjadi persinggahan yang berkesan justru karena keterbatasan yang dimiliki keluarga kecil Soekemi. Dengan gaji sekitar $ 25 per bulan, Soekemi harus menghidupi istri dan kedua anaknya (Palmier 1957: 101-119). Keadaan serba terbatas tersebut sering kali membuat Sukarno termenung dan kadang-kadang menangis tersedu. Apalagi, ketika ia mendengar suara anak-anak yang bermain petasan saat lebaran. Dalam kondisi demikian, ibu yang memiliki kebesaran hati adalah kekuatan terbesar Sukarno. Sukarno juga sangat menyukai sungai. Sungai adalah kawan terbaiknya saat kecil, karena ia dapat bermain di sana tanpa harus mengeluarkan biaya. Selain menyukai berbagai hal yang memiliki unsur air, Sukarno juga memiliki minat dan kecintaan yang tinggi terhadap seni. Hal itu telah muncul sejak Sukarno masih kecil.

Satu hal yang unik dari masa kecil Sukarno adalah kegemarannya mengumpulkan bungkus rokok Westminster keluaran Inggris. Kegemaran itu bukan tanpa alasan. Sukarno kecil ternyata mengagumi Mary Pickford, Tom Mix, Eddie Polo, Fatty Arbuckle, Beverly Bayne, dan Francis X. Gambar-gambar idolanya itu ditempel di dinding kamar. Sukarno menjaga kumpulan gambar itu dengan nyawanya, karena itu adalah harta yang dimilikinya untuk pertama kali (Adams 1986: 39). Kebiasaan mengumpulkan gambar rupanya berlanjut sampai dewasa. Sukarno gemar mengumpulkan lukisan-lukisan yang indah. Selain gemar mengumpulkan gambar-gambar idolanya, Sukarno juga selalu mengikuti sang ayah menonton pertunjukan wayang kulit purwa. Ia senantiasa duduk di dekat kotak wayang atau di belakang dhalang saat pagelaran berlangsung. Kelak, Sukarno dikenal sebagai pemimpin yang memiliki kecintaan dan penghayatan tinggi terhadap seni.

Sukarno memulai pendidikan formal di Sekolah Angka Loro (Sekolah dasar kelas dua untuk anak-anak Bumiputra dengan lama pendidikan tiga tahun). Ketika itu, ayahnya sedang bertugas di Sidoarjo. Dalam hal pendidikan Sukarno dikenal sebagai anak yang pintar, meskipun tidak tergolong sebagai siswa yang rajin. Meskipun demikian, ia adalah anak yang selalu bertanya tentang apa saja yang terlintas di pikiran dan kurang dimengerti. Pertanyaan tersebut ia tujukan baik kepada guru maupun orang tuanya. Beruntung, ayahnya adalah seorang guru sehingga pertanyaan-pertanyaan Sukarno kecil dapat terjawab dengan baik.

Selain di bangku sekolah, Sukarno juga mendapatkan sentuhan pendidikan dari sang ayah. Sekalipun telah belajar selama berjam-jam di sekolah, saat di rumah Sukarno masih harus belajar membaca dan menulis (Fahrudin 2020: 51). Hidup di bawah bayang-bayang Pemerintah Kolonial Belanda mengharuskan Sukarno melewati berbagai penyetaraan jika ingin mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang baik. Saat berusia 12 tahun, Sukarno disekolahkan di sekolah Kelas Satu. Upaya itu dilakukan sebagai bentuk penyetaraan pendidikan, sehingga Sukarno dapat mendaftar di Hoogere Burger School (HBS). Sejak 1907, Sekolah Kelas Satu menerapkan masa pendidikan lima tahun yang mengajarkan Bahasa Belanda.

Berkat kepandaiannya, Sukarno dipindahkan ke Europeese Lagere School (ELS). Ia menjadi murid yang menonjol dan giat belajar, terutama dalam ilmu bahasa, menggambar, dan berhitung. Selain itu, Sukarno juga mengambil kursus Bahasa Perancis di Brynette de La Roche Brune. Setelah menyelesaikan pendidikan di ELS, Sukarno dikirim ke HBS di Surabaya. Sukarno tinggal di rumah sahabat ayahnya, yaitu Tjokroaminoto yang tidak lain adalah pemimpin Sarekat Islam (SI). Tjokroaminoto tinggal bersama istri dan lima anaknya. Mereka tinggal di rumah depan, sementara Sukarno mendiami salah satu kamar di belakang yang disewakan (Adams 1986). Di Surabaya, Sukarno berkenalan dengan banyak pemimpin politik, antara lain Tjokroaminoto sendiri, Agus Salim, Sneevliet, Semaun, Musso, Alimin, dan Ki Hadjar Dewantara (Ricklefs 2005: 375).

Selain bertemu dengan banyak tokoh politik, Sukarno juga mulai membaca buku-buku tentang sejarah Eropa. Bukan hanya memahami perkembangan ideologi orang-orang Eropa, membaca juga menjadikan Sukarno mengenal orang-orang besar dari segala bangsa. Sukarno juga tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk belajar dari Tjokroaminoto, pemimpin partai terbesar pada masa itu yang dijuluki “Radja yang Dinobatkan” oleh orang-orang Belanda (Adams 1986). Diskriminasi yang didapat selama bersekolah di HBS, berbagai hal yang didengar dari para pemimpin politik, serta kebiasaan membaca dan menyelami berbagai peristiwa di dunia telah menggerakkan sikap politik anti penjajahan dalam dirinya, hingga ia menyebut Surabaya sebagai “Dapur Nasionalisme”. Pada 1918, Sukarno menjadi anggota gerakan Jong Java dan mulai menulis di surat kabar SI dan Oetoesan Hindia. Ia juga mulai menunjukkan kemampuan retorik yang mengesankan dalam rapat-rapat SI. Sukarno berhasil lulus dari HBS pada 1921 dan melanjutkan ke Sekolah Tinggi Teknik di Bandung. Sebelumnya, ia telah mempersunting Utari, putri Tjokroaminoto. Oleh karena usia Utari yang masih sangat muda, mereka terikat dalam sebuah ikatan perkawinan yang pernikahannya ditunda atau disebut kawin gantung (Ricklefs 2005: 376).

Setelah menamatkan sekolah di Surabaya, Sukarno hijrah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan di Technishe Hoogeschool (sekarang ITB). Bagi Sukarno, Bandung adalah “Gerbang ke Dunia Putih”. Pada Agustus 1921, Sukarno pernah kembali ke Surabaya ketika Tjokroaminoto ditangkap karena dituduh telah memberikan sumpah palsu. Sukarno meninggalkan kuliah dan kembali untuk bekerja sebagai pegawai perusahaan kereta api di Surabaya. Tujuannya adalah untuk menjadi tulang punggung keluarga Tjokroaminoto. Ketika Tjokroaminoto dibebaskan, Sukarno kembali ke Bandung.

Berbagai pengaruh yang didapatkan di Bandung pada akhirnya melemahkan hubungan Sukarno dengan Tjokroaminoto, baik sebagai guru dan murid mapun pribadi. Hal itu karena pada 1922 Sukarno bercerai dengan Oetari dan kemudian menikah dengan Inggit Garnasih. Bandung juga telah menjadi pusat berbagai ide yang mempengaruhi pandangan Sukarno. Namun demikian, hal yang terpenting adalah bahwa di Bandung Sukarno bertemu dengan Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkususmo yang membuatnya sangat terkesan. Ia juga dekat dengan Ki Hadjar Dewantara. Ketiga tokoh itu, dengan pemikiran yang tidak hanya berfokus pada kerangka Islam, namun juga nasionalisme dan marxisme, telah memberi pengaruh besar dalam pemikiran Sukarno.

Kegemaran membaca, pengalaman politiknya dan perkenalan dengan tokoh-tokoh besar telah memberi Sukarno kemampuan teoretis serta praktis tentang bahaya disintegrasi. Oleh sebab itu, pemikiran-pemikiran Sukarno selalu diarahkan pada perjuangan dalam rangka persatuan. Dari Tjokroaminoto Sukarno belajar teknik-teknik konsiliasi. Sementara itu, dari Ki Hadjar Dewantara ia belajar memadukan arus pemikiran Barat dan tradisional. Meskipun Sukarno tidak menerima teori Marxis secara total, namun Marxisme Alimin dan Semaun telah memberinya persepsi tentang imperialisme sebagai sistem kekuasaan serta perlunya pengakuan atas perjuangan melawan imperialisme. Sukarno menangkap sesuatu tentang romantisme dan revolusi yang tidak dapat diprediksi dari Tan Malaka. Dari Douwes Dekker ia menarik konsep keutamaan revolusi nasionalis dan mengikat rakyat Hindia menjadi satu kesatuan (Legge 2012: 43).

Konsepsi-konsepsi yang telah ia serap baik dari guru maupun dari sesama tokoh perjuangan serta pengalaman empirik selama bertemu dengan rakyat dari berbagai kalangan telah menjadi peletak dasar pemikiran Sukarno, yaitu “Marhaenisme”. Konsepnya tentang “Marhaenisme” merupakan sebuah ikhtiar untuk menyesuaikan Marxis proletariat dengan keadaan sosial masyarakat agraris. Hal itu sebagaimana ia ungkapkan bahwa konsep “proletariat” sama sekali tidak relevan dengan Indonesia. Daripada proletar, Sukarno lebih memilih menyebut rakyat Indonesia sebagai “orang kecil” yang meskipun sangat miskin, namun sebenarnya masih memiliki hak kepemilikan, baik berupa cangkul, bajak, kerbau, maupun barang-barang yang dijual di kios-kios. Dengan demikian, doktrin sosial harus menempatkan mereka sebagai tokoh sentral yang sama sekali berbeda dari kaum proletar karena pada kenyataannya para petani meskipun sangat miskin tetapi tidak menjual tenaganya. Mereka berusaha untuk diri mereka sendiri. Sukarno menggunakan istilah “Marhaen” untuk melambangkan “orang kecil” dan merupakan penilaian yang adil tentang sifat masyarakat Indonesia. Istilah “Marhaen” sendiri muncul ketika Sukarno bertemu dengan seorang petani di dekat Bandung  Jawa Barat (Legge 2012: 102).

Pada 1925, Sukarno mendirikan kelompok studi bernama Algemeene Studie Club (ASC). Pendirian ASC terinspirasi dari Studi Club yang didirikan oleh dr. Sutomo di Surabaya. Di tengah-tengah dilema antara menjadi pegawai pada dinas pemerintah atau bergerak di bidang politik, Sukarno menerbitkan artikel-artikel yang berisi imbauan agar Islam, marxisme, dan nasionalisme semestinya bersatu untuk kemerdekaan. Tulisan tersebut dimuat dalam surat kabar Indonesia Moeda yang diterbitkan oleh ASC. Sukarno menulis artikel bertajuk “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme yang terbit dalam tiga nomor berturut-turut. Ia menyerukan kerjasama yang erat di antara tiga golongan tersebut (Prabowo, t.t.: 28). Dengan berdasar pada pemikiran bahwa tidak ada perbedaan yang berarti dari ideologi-ideologi tersebut, terlebih karena kekuatan-kekuatan seperti Partai Komunis Indonesia (PKI) dan SI yang sedikit melemah, Sukarno telah menetapkan pilihan karier politik. Pilihan itu sekaligus menandai zaman baru bagi nasionalisme Indonesia, karena ia ikut membidani pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI).

Sejak awal proklamasi kemerdekaan Indonesia Sukarno lebih akrab dipanggil Bung Karno, sesuai dengan jiwa dan semangat zaman di mana sebutan “bung” lebih menunjukkan kesetaraan dan keegaliteran untuk mendekonstruksi feudalisme. Sebagai nasionalis, Bung Karno selalu aktif dalam gerakan penyemai nilai-nilai nasionalisme dan persatuan dalam keberagaman di kalangan bangsa Indonesia, baik ketika masih dalam kekuasaan asing maupun setelah Indonesia merdeka dan memiliki peranan penting dalam perumusan dasar negara Pancasila. Oleh karena itu, dari aspek sosial politik Bung Karno merupakan tokoh fenomenal dalam panggung sejarah dengan kiprah yang spektakuler untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bahkan untuk dunia, khususnya Asia Afrika. John Legge, profesor dari Monash University Australia, menyebut Sukarno sebagai tokoh paling menonjol dari para pelaku lainnya dalam perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan (Wild & Carry 1986: 109-115).

Oleh karena pergerakan politik yang dilakukan sangat radikal, maka dalam kurun waktu 1930-1942 Sukarno beberapa kali keluar masuk penjara, bahkan pengasingan seperti di Flores dan Bengkulu. Selama Sukarno dipenjara sampai 1931, PNI telah membubarkan diri karena pemerintah kolonial Belanda menetapkan PNI sebagai partai terlarang. Tidak lama kemudian, berdiri dua partai baru, yaitu Partai Indonesia (Partindo) pimpinan Mr. Sartono dan PNI Baru pimpinan Mohammad Hatta-Sutan Sjahrir. Pada 1932, setelah dibebaskan dari penjara, Sukarno bergabung dengan Partindo dan mengusahakan fusi antara Partindo dan PNI Baru. Sebelumnya, Sukarno telah menerbitkan koran baru bernama Pikiran Ra’jat. Namun, pada 28 Maret 1933, Sukarno harus menerima surat pengasingan dari Pemerintah Kolonial Belanda atas kegiatan yang dianggap  pembangkangan. Sukarno diasingkan ke Ende di Nusa Tenggara Timur. Pada Februari 1938, Sukarno dipindahkan ke Bengkulu (Prabowo, t.t.: 31). Di tempat pengasingan inilah Sukarno bertemu dengan Fatmawati. Mereka saling jatuh cinta dan menikah pada 1943, setelah Sukarno menceraikan Inggit Garnasih.

Dalam sebuah pengadilan di Bandung sebelum diasingkan, Sukarno membacakan pembelaannya yang berjudul “Indonesia Menggugat” (Soekarno 1951). Dalam pidato tersebut Sukarno menyatakan bahwa kelompok elite intelektual bangsa Indonesia telah menyadari jika di kemudian hari Indonesia akan turut mendapatkan pengaruh dari benturan yang terjadi di antara negara-negara adikuasa di Pasifik Barat (Goto 1998: 293). Pidato Sukarno terbukti ketika Jepang berhasil menduduki Indonesia pada 1942 dan pada tahun itu juga Sukarno dibebaskan dari hukuman pembuangan. Pada awal masa pendudukan Jepang, Sukarno bersama dengan Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan K.H.M. Mansur mendirikan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) (historia.id, 2018). Keempat tokoh tersebut dikenal dengan sebutan Empat Serangkai, dan pada akhir 1943 PUTERA dibubarkan.

Pada sidang pertama BPUPKI 1 Juni 1945, Sukarno mengusulkan gagasan dan konsep tentang dasar negara yang disebut Pancasila yang disetujui oleh forum rapat BPUPKI. Dalam rapat tersebut juga disepakati Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusi Indonesia. Pada 9-14 Agustus 1945, Sukarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat diundang oleh Marsekal Terauchi ke Dalat, Saigon, Vietnam. Usai pertemuan tersebut, Sukarno menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak perlu menunggu “jagung berbuah”.

Sebagai salah seorang pendiri bangsa dan presiden pertama Indonesia, Sukarno secara konsisten melestarikan nilai-nilai nasionalisme dalam pembangunan karakter bangsa. Masalah nasionalisme tidak berhenti dan tidak selesai setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Pada 1948 di Yogyakarta, Sukarno menegaskan bahwa dalam kemerdekaan Indonesia, nasionalisme adalah perekat yang menyatukan rakyat dalam mencapai cita-cita kemerdekaan, yaitu: tidak memihak, makmur, dan masyarakat terhormat berdasar ideologi Pancasila (Sukarno 1965). Hal itu wajar karena apa yang disebut sebagai negara, bangsa, dan rakyat Indonesia sebenarnya merupakan hasil dari proses sejarah yang panjang yang melibatkan berbagai elemen sosial di Nusantara (Frank 1998: 97-98).

Sejak diberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, Sukarno tidak lagi berperan sebagai Kepala Pemerintahan, melainkan hanya sebagai Kepala Negara. Jadi secara konstitusional, wewenang Sukarno sebagai presiden telah dibatasi. Namun demikian, sampai dengan Pemilu 1955, pemerintahan Indonesia masih mencari dasar yang kokoh bagi demokrasi parlementer karena persoalan politik, ekonomi, dan ancaman disintegrasi. Pada 1956, Sukarno sebagai Kepala Negara melakukan kunjungan ke beberapa negara antara lain untuk mencari dukungan atas penyelesaian persoalan Irian Barat. Namun, setelah kembali ke Indonesia, Sukarno justru menghadapi ancaman disintegrasi akibat gerakan separatisme, perpecahan politik, ketidakmampuan Badan Konstituante (hasil Pemilu 1955) dalam menyusun konstitusi, serta perdebatan seputar kebudayaan nasional yang tidak kunjung menemukan titik temu. Berdasar pada persoalan-persoalan tersebut, Sukarno menyampaikan konsep Demokrasi Terpimpin (Giebels 2015: 338). Hal itu didasarkan kondisi objektif bahwa dengan sistem demokrasi liberal, bangsa Indonesia berada dalam situasi konflik yang sangat keras, yang mengancam integrasi nasional.

Pada 21 Februari 1957 Sukarno mengumumkan konsepsinya mengenai Demokrasi Terpimpin dan disaksikan oleh sekitar 900 tamu. Ia membagikan refleksi sementara mengenai Demokrasi Terpimpin di Istana Negara Jakarta yang juga disaksikan oleh ribuan orang di Lapangan Merdeka. Pidato dilaksanakan pada pukul delapan malam dengan harapan disaksikan oleh para elite bangsa. Sukarno konsisten menempuh jalan yang mengarah pada penerapan “Demokrasi Terpimpin” dengan melibatkan partai politik dari semua aliran, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI). Pelibatan PKI itulah yang kemudian menimbulkan keberatan dari partai politik berideologi Islam seperti Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Sukarno juga harus menghadapi reaksi keras negara-negara Barat. Meskipun demikian, dengan maksud untuk mengonsolidasikan seluruh kekuatan, pada 17 Agustus 1957 Sukarno menyinggung tentang konsepsi Demokrasi Terpimpin dan menyebut 1957 sebagai “tahun keputusan” (Giebels 2015: 378).

Pada 19 Juni 1959 Sukarno kembali ke Indonesia dari kunjungannya ke luar negeri. Kedatangan Sukarno di Bandara Kemayoran disambut oleh para anggota kabinet dengan pengawalan ketat. Pada saat itu, Sukarno menyampaikan bahwa beberapa hari ke depan ia akan mengumumkan pernyataan penting. Pada 2-3 Juli, Sukarno melanjutkan tugas kepresidenannya dan menyatakan akan memulihkan konstitusi 1945. Pada 5 Juli 1959, Sukarno membacakan Dekrit Presiden yang kemudian dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Beberapa poin penting dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 antara lain pembubaran Dewan Konstituante dan mengembalikan konstitusi Indonesia pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pada 6 Juli 1959, Perdana Menteri Djuanda mengajukan pengunduran diri yang juga menandai penerapan sistem pemerintahan presidensial sebagaimana anamat UUD 1945 (Giebels 2015: 412-413).

Pemberlakuan Demokrasi Terpimpin yang sekaligus juga mengembalikan fungsinya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan telah menjadi momentum bagi Sukarno untuk fokus mengembangkan pembangunan karakter bangsa. Bagi Sukarno, nasionalisme juga harus berlandaskan rasa saling menghormati dan anti-imperialisme, sehingga terbangun peradaban baru yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan kerjasama. Dalam konteks ini, Sukarno berperan aktif dalam mensinergikan kekuatan nasionalisme bangsa-bangsa di Asia dan Afrika dengan menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang dihadiri oleh perwakilan dari 29 negara Asia dan Afrika. Konferensi ini telah berhasil meningkatkan saling pengertian dan kesadaran di antara para pemimpin negara-negara Asia dan Afrika. KAA bahkan menjadi momen yang tepat untuk menyelenggarakan acara-acara terkait yang lebih operasional seperti Konferensi Jurnalis Asia Afrika, Konferensi Pemuda Asia Afrika, Konferensi Perempuan Asia Afrika, dan lain-lain.

Sukarno telah secara konsisten mempertahankan paham nasionalisme dan anti imperialisme dalam berbagai aspek kehidupan bernegara. Contoh konsistensi Sukarno adalah ketika ia menanggapi polemik kebudayaan yang terjadi selama masa Demokrasi Liberal. Berbagai polemik yang terjadi seputar kebudayaan selama hampir satu dasawarsa karena perdebatan menyangkut etnisitas, otentisitas, dan ancaman kebudayaan Barat, menurut Sukarno adalah akibat dari penerapan aturan asing yang tidak cocok untuk Indonesia. Oleh sebab itu, sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kebijakan budaya tentang “identitas nasional” didominasi oleh gagasan Sukarno berlandaskan pada nasionalisme (Jones 2015: 110).

Pada peringatan Hari Kemerdekaan 1959, Sukarno menyampaikan pidato berisi program umum pemerintah yang disebut dengan Manifesto Politik (Manipol) oleh Dewan Pertimbangan Agung (Jones 2015: 97).  Manifesto Politik merupakan dokumen bersejarah yang menjelaskan program pokok dan program umum Revolusi secara menyeluruh (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, 1961: 77). Manifesto Politik Republik Indonesia ini kemudian ditetapkan sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara yang bersisi; (1) Undang-undang Dasar 1945; (2) Sosialisme Indonesia; (3) Demokrasi Terpimpin; (4) Ekonomi Terpimpin (5) Kepribadian Indonesia, untuk selanjutnya disebut USDEK (Soyomukti 2010: 153).

Masa Demokrasi Terpimpin menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk membentuk kepribadian bangsa dan menolak kolonialisme dalam bentuk apapun (Minggu Pagi 1963: II). Sukarno memulainya dengan kebijakan nasional antikolonialisme dan antiimperialisme. Sikap antikolonialisme Sukarno sebenarnya telah lahir jauh sebelum Indonesia merdeka, maka kebijakan tersebut sekaligus membuktikan bahwa konsistensi Sukarno terhadap antikolonialisme dan nonkooperatif tidak diragukan. Salah satu cerminan dari sikap tegas Sukarno adalah penolakannya terhadap arsitektur bernuansa kolonial. Pada bangunan yang ia rancang sendiri, memang tidak ditemukan desain tiang-tiang Yunani bergaya Ionia, Doria, dan Korintina. Ia juga menolak gaya-gaya arsitektur Amsterdam style (Ardhiati 2005: 111-112).

Pada peringatan Hari Kemerdekaan tahun 1963, Sukarno menyampaikan pidato berjudul "Suara Gema Revolusi Indonesia" yang menekankan pentingnya pembangunan karakter bangsa untuk mencapai cita-cita kemerdekaan: masyarakat yang makmur, tidak memihak, dan sejahtera dalam bingkai persatuan dan kebersamaan. Gagasan tentang pembangunan karakter bangsa yang disampaikan Sukarno merupakan gagasan besar karena Indonesia sebagai bangsa yang heterogen membutuhkan nilai-nilai etika dan moral yang holistik untuk mencerminkan keunggulan karakter bangsa. Hal ini sangat penting karena menyangkut landasan esensial kehidupan yang terhormat dan bermartabat bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu Sukarno mengusung semboyan politik yang dikenal dengan Trisakti Revolusi Indonesia, yaitu (1) kedaulatan dalam politik, (2) kemandirian dalam ekonomi, dan (3) kepribadian bangsa dalam budaya.

Dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yaitu bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur dengan cara demokratis, Sukarno menciptakan berbagai program, seperti “Berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri) yang berimplikasi pada peningkatan produk bangsa sendiri dan pembatasan produk impor. Program “Benteng” untuk menghidupi dan melindungi industri anak bangsa dari tekanan kekuatan asing, serta nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Kemandirian tersebut  tidak hanya terbatas dalam bidang ekonomi, tetapi juga politik. Oleh karena itu pada era Sukarno nasionalisme dijadikan dasar untuk membangun dan memperkokoh integrasi politik nasional sebagaimana tercermin dalam menumpas gerakan-gerakan separatis dan perjuangan yang gigih untuk mengembalikan Irian Barat dalam NKRI.

Sukarno adalah juga seorang pemimpin yang memiliki pemikiran global. Pemikiran-pemikiran Sukarno dimanifestasikan terutama melalui pidato dalam forum-forum internasional pada awal 1960-an. Dalam konteks pandangan tentang dunia, Sukarno tetap konsisten atau sama dengan ketika memulai gerakan politiknya pada 1920-an hingga 1930-an, yaitu anti-imperialisme. Anti-imperialisme Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin masih tetap sama dengan istilah yang berbeda, yaitu neo-kolonialisme, kolonialisme, dan impeliarialisme atau disingkat Nekolim. Nekolim adalah versi 1960-an dari anti-imperialisme yang telah dirancang pada 1930-an di mana pemerintah kolonial Belanda memerintah secara langsung. Adapun Nekolim pada 1960-an berfokus pada imperialisme gaya baru yang berbentuk dominasi ekonomi di bawah pengaruh Barat. Versi lain dari pandangan yang sama mengenai kolonialisme adalah konsep pertarungan antara kekuatan baru yang muncul dan kekuatan lama yang mapan. Oleh Sukarno, kekuatan tersebut disebut New Emerging Forces (NEFO) dan Old Established Forces (OLDEFO). Esensi konsep NEFO dan OLDEFO disematkan dalam pendahuluan pidato Sukarno berjudul To Build the World a New di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September 1960. Sukarno dapat memahami implikasi jangka pendek dari perpecahan Peking-Moskow serta akibat jangka panjangnya pada situasi dunia. Di hadapan PBB Sukarno berargumentasi bahwa konflik di dunia sebenarnya bukan Perang Dingin. Adapun perhatian bangsa-bangsa semestinya adalah menyadari adanya imperialisme bentuk baru di satu sisi, dan perjuangan memperoleh keadilan, kesetaraan, serta kebebasan di sisi yang lain (Legge 2012: 329-330). Kepada bangsa-bangsa yang lebih tua, Sukarno menunjukkan bahwa “imperialisme belum mati”. NEFO dan OLDEFO terus digaungkan oleh Sukarno yang menunjukkan kecurigaan terhadap praktik-praktik imperialisme sehingga negara-negara yang baru meraih kemerdekaan menyadari keberadaan imperialisme gaya baru. Hal itu diungkap oleh Sukarno ketika berpidato dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non-Blok 1-6 September 1961 di Beograd, Yugoslavia.

Sukarno memiliki pandangan yang visioner terhadap perdamaian dunia yang bebas dari semua bentuk penjajahan. Dalam hal ini berarti negara-negara Asia dan Africa memiliki kedudukan yang sama dengan negara-negara Barat yang dianggap lebih maju. Guna membuktikan bahwa Indonesia adalah negara yang kuat sehingga dapat diperhitungkan di dunia, Sukarno membangun fasilitas yang megah untuk penyelenggaraan Asian Games 1964 di mana Indonesia menjadi tuan rumah. Perhelatan Asian Games yang dipusatkan di Senayan Jakarta ingin menunjukkan kepada dunia  bahwa Indonesia adalah negara yang kuat (Legge 2012: 329-330).

Awal 1960-an barangkali adalah titik balik seluruh konsepsi Sukarno yang sebenarnya sudah terbentuk sejak awal masa-masa pergerakan. Namun, pada 1965, Sukarno harus menghadapi permasalahan yang sangat kompleks mulai dari politik hingga ekonomi. Pada awal 1965, Sukarno mengumumkan keputusan yang sangat kontroversial ketika menyatakan bahwa Indonesia menarik diri dari PBB. Keputusan itu diambil berkaitan dengan perebutan Irian Barat serta konfrontasi terhadap Malaysia. Krisis memuncak pada 1965 yang berakibat pada tertundanya reformasi ekonomi akibat inflasi serta pinjaman besar untuk keperluan militer. Pada masa-masa itu pula desas-desus tentang kesehatan Sukarno yang mulai menurun akibat penyakit ginjal terus menyebar. Namun, ia selalu menekankan bahwa kesehatannya dalam kondisi baik, bahkan kepada para diplomat asing (Dake 2005: 300).

Di tengah kondisi kesehatannya yang terus menurun dan ancaman pengadilan atas tuduhan keterlibatan dalam G30S, Sukarno terus berjuang untuk mempertahankan kekuasaannya. Dalam ruang terbatas, Sukarno tidak mengutuk PKI yang dituduh menjadi dalang terbunuhnya tujuh jenderal. Ia tidak menyangkal konsensus komunisme yang telah dicari sejak masa ketika ia memulai pergerakan membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan.

Sukarno wafat pada 21 Juni 1970 di RSPAD Gatot Subroto karena gagal ginjal dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur di samping makam ibundanya.

Penulis: Yety Rochwulaningsih
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A


Referensi

“Neo-Kolonialisme.” Minggu Pagi, 27 Januari 1963, hlm. II.

Adams, C. (2011) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. (alih bahasa Syamsu Hadi). Yogyakarta dan Jakarta: Media Pressindo dan Yayasan Bung Karno.

Ardhiati, Y. (2005) Bung Karno Sang Arsitek: Kajian Arstistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior, Kria, Simbol, Mode Busana, dan Teks Pidato 1926-1965. Depok: Komunitas Bambu.

Dake, Antonie C.A. (2005) Berkas-Berkas Sukarno 1965-1967 Kronologi Suatu Keruntuhan. Jakarta: Aksara Karunia.

Fahrudin, Ali (2020) Nasionalisme Soekarno dan Konsep Kebangsaan Mufassir Jawa. Jakarta: Litbangdiklat Press.

Frank, Andre Gunder (1998). Reorient: Global Economy in the Asian Age. Berkeley-Los Angeles London: University of California Press.

Giebel, L. J. (2015) Sukarno: A Biography. Amsterdam: Fosfor.

Goto, K. (1998) Jepansoekarnog dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakara: Yayasan Obor Indonesia.

Jones, T (2015) Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 hingga Reformasi, terjemahan Edisius Riyadi Terre. Jakarta: KITLV.

Legge J. D. (2012) Sukarno: A Political Biography . Singapore: Editions Didier Millet.

Palmier, Leslie (1957) Sukarno, the Nasionalist. Pasific Affairs, 20(2): 101-119.

Prabowo, Prananda (t.t.) Komik Seri Bung Karno Bapak Bangsa 1901-1945. (t.p.)

Salam, Solichin (1982) Bung Karno Putra Fajar. Jakarta: Gunung Agung.

Soyomukti, N. (2010) Sukarno Visi Kebudayaan dan Revolusi Indonesia. Yogyakarta: Ar-Russ Media.

Surat Pendiri Bangsa: Surat Sukarno (10-22 November 2018). Diakses dari https://historia.id/surat-pendiri-bangsa/koleksi/surat-sukarno pada 19 Oktober 2021.

Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi. Jakarta: PT. Grafika, 1961.

Van Niel, Robert (1970) The Emergence of The Modern Indonesian Elite. Van Hoeve Publishers Ltd.

Wild, Colin & Carry Peter (Penyunting) (1986) Gelora Api Revolusi. Sebuah Antologi Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia.