Ida Anak Agung Gde Agung
Ida Anak Agung Gde Agung adalah pahlawan nasional Indonesia yang memiliki kiprah penting pada saat pembentukan negara Republik Indonesia merdeka. Ia lahir pada 21 Juli 1921 di Gianyar, Bali, sebagai putra sulung dari seorang Raja Gianyar, Ide Anak Agung Ngurah Agung (Agung, 1993: 13). Dilahirkan sebagai putra sulung dari seorang Raja Gianyar, Anak Agung sedari kecil sudah dipersiapkan untuk menjadi pengganti sang ayah. Untuk mempersiapkan hal tersebut, ayahnya membekali Anak Agung dengan pengetahuan yang cukup dalam bidang kehidupan spiritual dan kebudayaan Bali. Selain itu, Anak Agung juga kerap kali mendapatkan pelajaran moral yang diperolehnya dari sang ayah. Hal ini seperti yang dikisahkan Anak Agung dalam autobiografi yang ia tulis, yaitu:
- “....saya masih ingat dengan jelas, seolah-olah baru kemarin terjadi, bagaimana marahnya beliau (ayah) dan bagaimana beliau memaki-maki saya bila saya terlambat melaksanakan apa yang beliau perintahkan atau jika saya berusaha melakukan perintah yang tidak sesuai dengan kehendak beliau...” (Agung, 1993: 17).
Menurutnya, sikap ayahnya tersebutlah yang membuat Anak Agung mengenal arti disiplin sejak kecil, yang kemudian sangat berpengaruh terhadap keberhasilan karirnya di masa depan. Dalam bidang pendidikan, Anak Agung menempuh pendidikan dasarnya di HIS Klungkung. Kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama dan pendidikan atasnya di MULO Wilhelmina dan HBS, Malang (Algemeene Indisch Dagblad, edisi 12 Agustus 1955; Agung, 1993: 54). Setelah menamatkan sekolah menengahnya tersebut, Anak Agung melanjutkan pendidikannya di Rechtshoge School atau Sekolah Tinggi Hukum di Batavia, terhitung sejak tanggal 1 September 1939, dan mendapatkan gelar sarjana muda pada 1941. Terakhir, ia mendapatkan gelar doktor dari Universitas Indonesia di bidang Hukum (Agung, 1995: 119-121; Tirto.id ).
Latar belakang keluarga dan pendidikannya inilah, yang membuat Anak Agung kemudian terjun ke dunia politik dan berkarir sebagai seorang menteri dan diplomat dalam jangka waktu yang cukup panjang. Selain dikenal sebagai seorang politikus dan diplomat, Anak Agung juga dikenal sebagai seorang akademisi yang menghasilkan banyak karya tulis.
Pecahnya Perang Asia Pasifik dan mulainya pendudukan Jepang di Indonesia pada 1942, membuat pendidikan Anak Agung di Batavia menjadi terhambat, dan mengharuskan ia untuk kembali ke Gianyar (Penerangan, 1954: 61). Sekembalinya ke Gianyar, Anak Agung bekerja sebagai sekretaris di kantor pemerintahan ayahnya sendiri. Akan tetapi, pada 1943 ayah dari Anak Agung, yakni Ide Anak Agung Ngurah Agung, ditahan oleh Kempetai Jepang karena dicurigai telah berkhianat. Penangkapan ini kemudian membuat Anak Agung harus menggantikan posisi sang ayah, untuk menjadi Raja Gianyar (Agung, 1993: 183).
Pergantian tersebut kemudian dikukuhkan oleh Pemerintah Belanda, setelah perang berakhir (De Preangerbode, 12 Agustus 1955). Kedudukan Anak Agung sebagai Raja Gianyar berakhir pada 1946, setelah Konferensi Malino dan Konferensi Denpasar memutuskan bahwa Bali dimasukkan sebagai bagian dari wilayah NIT (Negara Indonesia Timur) (Sendra, 2013: 95; Najamuddin dan Bustan, 2017: 390). Sejak saat tersebut, Anak Agung memulai karir sebagai pejabat tinggi di Negara Indonesia Timur.
Negara Indonesia Timur (NIT) secara resmi terbentuk pada Desember 1946, setelah berlangsungnya Konferensi Denpasar dan Konferensi Malino. (Pakatuwo, dkk, 2018: 5; Awalin, 2010: vii). Kabinet NIT pertama terbentuk pada Januari 1947 dengan Perdana Menteri Nadjamoeddin, dan pada saat tersebut Anak Agung terpilih untuk menjadi Menteri Dalam Negeri NIT. Kemudian, pada Juni 1947 Anak Agung diberi tugas tambahan untuk menjadi Wakil Perdana Menteri, pada Kabinet Nadjamoeddin II (Algemeen Indisch Dagblaad, 12 Agustus 1955).
Setelah Kabinet Nadjamoeddin jatuh dan digantikan oleh Kabinet Warouw pada Oktober 1947, Anak Agung diberi tugas untuk menjadi Wakil Perdana Menteri, sekaligus sebagai Menteri Dalam Negeri (Algemeen Indisch Dagblaad, 12 Agustus 1955). Kemudian pada Desember 1947 kembali terjadi pergantian kabinet di NIT, dan Anak Agung terpilih sebagai Perdana Menteri NIT ke-IV, menggantikan Perdana Menteri sebelumnya, Warouw (Penerangan, 1954: 61). Kedudukan Anak Agung sebagai Perdana Menteri NIT, terus berlanjut selama tiga periode berturut-turut, yakni sebagai Perdana Menteri NIT ke-IV, V, dan VI, hingga pada tahun 1949 (Het Parool, 12 Januari 1949; Algemeen Handelsblad, 12 Januari 1949; Leeuwarder Courant, 12 Januari 1949).
Kedudukan Anak Agung sebagai seorang Perdana Menteri NIT, memberikan pengaruh besar terhadap penyelesaian konflik RI-Belanda. Salah satu kebijakan Anak Agung berpengaruh pada upaya penyelesaian konflik tersebut adalah dengan pengiriman delegasi Godwill Mission NIT ke Yogyakarta, pada 18 Februari 1948. Para anggota Godwill Mission diberikan kesempatan untuk mengunjungi daerah-daerah RI, serta bertukar pikiran dengan para pejabat tinggi pemerintahan (Agung, 1985: 373). Keberhasilan kunjungan ini kemudian dianggap sebagai jembatan bagi hubungan kerjasama antara RI dengan NIT ke depan. Bukti lain yang menunjukkan dukungan Anak Agung terhadap RI adalah dengan peletakkan jabatan Perdana Menteri NIT yang ia lakukan sebagai bentuk protes, ketika Belanda melancarkan aksi Agresi Militer II-nya, pada 1948 di Yogyakarta (Agung, 1995: 1).
Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO) atau Pertemuan untuk Permusyawaratan Federal merupakan sebuah organisasi yang dibentuk untuk memudahkan koordinasi antar negara bagian, serta menyelesaikan kesulitan politik antara RI dengan Belanda, pada 15 Juli 1948 (Koran Sumatera, 26 Maret 1953; Nieuwe Courant, 11 Januari 1949). Organisasi ini kemudian diketuai oleh Tengkoe Bahriun, perwakilan dari Negara Sumatra Timur, sementara Anak Agung berperan sebagai anggota biasa. Akan tetapi selama menjadi anggota BFO, Anak Agung memberikan kontribusi yang sangat besar, di antaranya yaitu menjadi Komisi Penghubung RI – BFO, menggagas diselenggarakannya Konferensi Inter-Indonesia pada April 1949, menjadi perwakilan BFO pada Konferensi Meja Bundar (KMB), dan menjadi Wakil Panitia Persiapan Nasional Penyerahan Kedaulatan pada 27 Desember 1949 (Kompas.com; Nasution, 1965: 161, Agung, 1995: 120).
Setelah Belanda mengakui kedaulatan RIS sesuai dengan hasil kesepakatan KMB, pada tanggal 17 Desember Ir. Sukarno menunjuk empat orang formatur untuk membentuk kabinet RIS, yang masing-masing pihak (RI – BFO), diwakili oleh dua formatur. Adapun keempat orang tersebut adalah Mohammad Hatta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Anak Agung Gde Agung, dan Sultan Hamid II (Agung, 1995: 129; Putro, 2018: 41). Kemudian, terbentuklah sebuah kabinet, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri. Hatta lalu menunjuk Anak Agung untuk menjadi Menteri Dalam Negeri (Finch dan Lev, 1965: 22; Algemeen Indische Dagblaad, 9 Januari 1950; Rinardi, 2012: 183). Tugas sebagai Menteri Dalam Negeri yang diemban oleh Anak Agung berhenti pada 15 Agustus 1950, saat Kabinet Hatta mengundurkan diri sebagai akibat dari pembubaran RIS dan kembalinya bentuk negara ke NKRI (Agung, 1995: 121).
Setelah berhenti dari jabatan sebagai Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Hatta, pada tahun 1951 Anak Agung diangkat untuk menjadi Duta Besar RI untuk Belgia. Selama menjadi Duta Besar RI, Anak Agung fokus untuk memperbaiki hubungan dagang antara Indonesia dan Belgia, serta memperkenalkan dan membangun citra Indonesia yang baik di Belgia (Java Bode, 18 Mei 1951). Misi ini kemudian berhasil, dibuktikan dengan didirikannya Kantor Dagang Indonesia-Belgia di Brussel pada September 1951 (Indische Courant voor Nederland, 23 Juni 1951).
Kemudian pada Maret 1951, Pemerintah RI kembali menugaskan Anak Agung untuk menjadi Duta Besar RI untuk Portugal (Java Bode, edisi 10 Maret 1951). Tidak lama setelah itu, ia juga ditugaskan untuk menjadi perwakilan RI di Luxemburg (Java Bode, 03 Juli 1951). Jadi, dalam waktu yang bersamaan pada 1951, Anak Agung menjadi Duta Besar RI untuk tiga negara, yaitu Belgia, Portugal, dan Luxemburg. Pada Maret 1953, Anak Agung berhasil membangun jaringan perdagangan dengan Portugal, yang dibuktikan dengan penandatanganan perjanjian perdagangan Indonesia-Portugal (Handelsverdag Indonesie, 16 Maret 1953).
Pada Juni 1953, Anak Agung dipindahtugaskan untuk menjadi Duta Besar RI untuk Prancis di Paris (Java Bode, 29 Juni 1953). Jika di negara sebelumnya Anak Agung banyak membangun jaringan perdagangan, maka di Paris, Anak Agung fokus pada kerjasama di bidang pendidikan. Hal ini dibuktikan dengan tercapainya kesepakatan bahwa jika ada siswa Indonesia dengan ijazah SMA ingin masuk Universitas Sorbonne, mereka tidak perlu lagi mengikuti tes ujian masuk (Het Nieuwsblaad voor Sumatra, 23 Maret 1954).
Setelah selama hampir lima tahun menjadi duta besar RI di beberapa negara, akhirnya pada 1955 Anak Agung dipanggil kembali ke Indonesia, untuk menjadi Menteri Luar Negeri pada Kabinet Burhanuddin Harahap (Finch dan Lev, 1965: 32; Algemeen Indische Dagblaad, 4 Maret 1955). Selama menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RI, Anak Agung berkontribusi dalam upaya penyelesaian konflik antara Indonesia-Belanda. Di antaranya melalui perundingan-perundingan Indonesia-belanda, yang dilakukan di Geneva, Swiss, pada 1955-1956, meskipun pada akhirnya gagal mencapai kesepakatan (Budi, 2013: 20; De Nieuwsgier, 15 Juni 1954). Pada 1956, Kabinet Burhanuddin mengundurkan diri, dan Anak Agung kembali menjadi pegawai tinggi pada Kementerian Luar Negeri (Agung, 1995: 121).
Pada 1957 Anak Agung hampir akan diberangkatkan kembali untuk menjadi Duta Besar RI di Swedia. Akan tetapi, ketika menjelang keberangkatannya, Presiden Sukarno tiba-tiba membatalkan penugasan tersebut (Algemeen Handelsblad, edisi 14 Juni 1957). Adapun alasan dari Presiden Sukarno menurut surat kabar yang beredar adalah karena:
- “....Penolakan presiden didasarkan pada fakta bahwa Swedia adalah negara Eropa yang netral...Peran negara itu sangat penting, sehingga harus ditempatkan di sana seorang tokoh Indonesia yang dapat membanggakan, mempunyai reputasi baik dalam sejarah kemerdekaan Indonesia....” (Diterjemahkan dari Java Bode, edisi 12 Juni 1957).
Pernyataan dari Ir. Sukarno tersebut membuat Anak Agung sangat kecewa. Hal ini dapat terlihat dari pernyataannya yang disampaikan melalui press, yaitu:
- “....Sungguh mengejutkan bagi saya bahwa baru sekarang saya harus mengetahui bahwa peran saya dalam perjuangan kemerdekaan dipertanyakan, sehingga pencalonan saya untuk jabatan duta besar tersebut dibatalkan oleh Presiden...” (Diterjemahkan dari Het Nieuwsblad vb Sumatra, 15 Juni 1957).
Beberapa tahun kemudian setelah situasi ini terjadi, yakni ketika Presiden Sukarno memberlakukan Demokrasi Terpimpin dan menerapkan gagasan NASAKOM, pada 16 Januari 1962 Anak Agung ditahan bersama dengan pemimpin-pemimpin lainnya seperti Sutan Sjahrir, Mohammad Roem, Prawoto, dan beberapa tokoh lainnya, atas tuduhan tindakan-tindakan subversif dan menghalangi jalannya revolusi Indonesia (Agung, 1995: 121; De Waarheid, 18 Januari 1962). Tetapi karena tuduhan ini tidak terbukti, maka pada 1966 setelah Orde Baru berkuasa di Indonesia, Anak Agung dan para pemimpin lainnya yang ditahan mulai dibebaskan.
Setelah bebas dari penahanan, Anak Agung kembali bekerja di Kementerian Luar Negeri dan bahkan sempat menjadi Duta Besar RI di Austria pada 1970. Di samping itu, ia juga pernah ditugaskan sebagai Kepala Perwakilan RI pada International Atomic Energy Agency di Wina, dan Kepala Perwakilan pada United Nations Industrial Development Organization, hingga 1974. Setelah itu, ia kembali ditempatkan di Kementerian Luar Negeri, sebagai staf ahli dan pembantu khusus (Agung, 1995: 122). Selama menjadi staf ahli menteri luar negeri, Anak Agung melakukan beberapa penelitian yang bekerjasama dengan Belanda. Salah satu hasil penelitiannya berjudul Renville als keerpunt van de Nederlands-Indonesische Onderhandelingen, menjadi disertasi Anak Agung untuk meraih gelar Doktor pada bidang sejarah di Universitas Utrecht (Belanda).
Menjelang masa pensiunnya, Anak Agung aktif menjadi seorang akademisi. Sebagai seorang intelektual Anak Agung telah berhasil menerbitkan beberapa buku diantaranya: Surat Menyurat Hatta-Anak Agoeng (1987); 20 Years Indonesia Foreign Policy 1945-1965 (1990); Bali in De XIX de Eeuw (1990); Kenangan Masa Lampau: Zaman Kolonial Hindia Belanda dan Zaman Pendudukan Jepang di Bali (1993); Persetujuan Linggarjati: Prolog dan Epilog, (1995); Dari NIT ke RIS (1996). Anak Agung kemudian meninggal pada 22 April 1999. Selain mendapat gelar Pahlawan Nasional, ia juga pernah mendapatkan penghargaan lain yaitu, Bintang Mahaputra Adipradana, Le Grand Cross Leopold, Grand Order van Oranje Nassau (Belanda), Grand Order of Austria (Tirto.id).
Penulis: Allan Akbar
Instansi: Bank Indonesia Institute
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si
Referensi
Agung, Ide Anak Agung Gde. 1983. Renville, diterjemahkan oleh Hanny Runkat dan Ny. M. Th. Sidjabat-Runkat, Jakarta: Sinar Harapan.
________________________. 1990. Bali in De XIX de Eeuw, Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
________________________. 1990. Twenty Years Indonesia Foreign Policy 1945 1965. Jakarta: Duta Wacana University.
________________________. 1993. Kenangan Masa Lampau: Zaman Kolonial Hindia Belanda dan Zaman Pendudukan Jepang di Bali, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
________________________. 1995. Pernyataan Rum-Van Roijen. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.
________________________. 1995. Persetujuan Linggarjati: Prolog dan Epilog. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara.
________________________. 1996. Dari Negara Indonesia Timur Menuju Republik Indonesia Serikat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Algemeen Handelsblad, edisi 14 Juni 1957.
Algemeen Indisch Dagblaad, edisi 04 Maret 1955.
Algemeen Indisch Dagblaad, edisi 09 Januari 1955.
Algemeen Indisch Dagblaad, edisi 12 Agustus 1955.
Algemeen Indisch Dagblaad, edisi 12 Januari 1949.
Anonim. 1954. Kami Perkenalkan. Jakarta: Kementerian Penerangan.
Awalin, Rahmatul. “Negara Indonesia Timur (1946-1950)”. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta, 2010.
Budi, Langgeng Sulistyo. “Kisah di Balik Arsip: Kesepakatan Bidang Ekonomi dalam KMB dan Pasang Surut Hubungan Indonesia-Belanda”, dalam Majalah Arsip (Media Kearsipan Nasional: Arsip, Kemerdekaan, dan Kebebasan Memperoleh Informasi) edisi 61, Mei-Agustus, 2013, hlm. 19 23.
De Nieuwsgier, edisi 15 Juni 1954.
De Preanger Bode, edisi 12 Agustus 1955.
De Waarheid, edisi 18 Januari 1962.
Finch, Susan dan Daniel S. Lev. 1965. Republic of Indonesia Cabinets 1945-1965. New York: Cornell University.
Handelsverdag Indonesie, edisi 16 Maret 1953.
Het Nieuwsblad voor Sumatra, edisi 15 Juni 1957.
Het Nieuwsblad voor Sumatra, edisi 23 Maret 1954.
Het Nieuwsblad voor Sumatra, edisi 26 Maret 1953.
Het Parool, edisi 12 Januari 1949.
https://www.kompas.com/stori/read/2021/07/04/130000779/ida-anak-agung-gde agung--masa-muda-kiprah-dan-peran?page=all, Kompas.com, diakses pada 15 September 2021.
https://tirto.id/penjilat-pantat-nederland-dan-kontroversi-anak-agung-gde-agung cL1s, Tirto.id, diakses pada 14 September 2021.
https://tirto.id/m/anak-agung-gde-agung-pG, Tirto.id, diakses pada 15 September 2021.
Indische Courant voor Nederland, edisi 23 Juni 1951.
Java Bode, edisi 03 Juli 1951.
Java Bode, edisi 10 Maret 1951.
Java Bode, edisi 12 Juni 1957.
Java Bode, edisi 18 Mei 1951.
Java Bode, edisi 29 Juni 1953.
Leewarder Courant, edisi 12 Januari 1949.
Nieuwe Courant, edisi 11 Januari 1949.
Najamuddin, Bustan, “Terbentuknya Negara Indonesia Timur (NIT) Di Sulawesi Selatan 1946-1950”, dalam Prosiding Seminar Nasional Research and Ccommunity Service Institute, Universitas Negeri Makassar, 2017.
Nasution, A. H., 1966. Sedjarah Perdjuangan Nasional di Bidang Bersendjata. Jakarta: Mega.
Pakatuwo, Laessach M., Mustari Bosra, dan Ahmadin. “Negara Boneka Belanda (Negara Indonesia Timur) 1945-1950”, dalam Jurnal Pattingalloang Pemikiran, Pendidikan, dan Penelitian Kesejarahan, Vol. 5, No. 1, Januari 2018.hlm. 1-12.
Putro, Widhi Setyo. “Konferensi Inter Indonesia Tahun 1949: Wujud Konsesnsus Nasional Antara Republik Indonesia dengan Bijeenkomst Voor Federal Overleg”, dalam Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3, No. 1, 2018, hlm. 34 42.
Rinardi, Haryono, “Dari RIS Menjadi Negara RI: Perubahan bentuk Negara Indonesia Pada Tahun 1950”, dalam Mozaik: Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2012, hlm. 92-209.
Sendra, I Made, “Pergolakan Elite dalam Panggung Politik di Bali 1945-1950”, dalam Jurnal Kajian Bali, Volume 03, Nomor 01, April 2013.