Oerip Soemohardjo
Jenderal Oerip Soemohardjo adalah Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang pertama pada masa awal pembentukannya setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Ia lahir dari keluarga Sumoharjo (seorang guru) pada tanggal 22 Februari 1893 di Purworejo, Jawa Tengah. Nama kecilnya adalah Muhammad Sidik, yang merupakan cucu Mbah Glondong Rayi (ayah Sumoharjo) yang tinggal di Banyu Urip, Purworejo; dan cucu Raden Tumenggung Wijoyokusumo (mertua Sumoharjo) Bupati Trenggalek, Jawa Timur.
Muhammad Sidik sejak kecil dikenal sebagai seorang anak yang pendiam dan nakal. Akan tetapi ia sangat disenangi, disegani dan menjadi panutan bagi teman-teman sebaya di desanya, karena sering kali memberi perlindungan dan pertolongan kepada teman-temannya. Oleh karena kenakalannya itu, ia jatuh dari pohon di pekarangan rumahnya sampai pingsan. Mendengar kejadian ini, kakeknya (Bupati Trenggalek) menjadi sangat prihatin dan cemas, sehingga agar cucunya itu tidak keterusan menjadi anak yang nakal kemudian namanya yang semula Mukammad Sidik diganti dengan nama Urip.
Mula-mula Urip Sumoharjo dimasukkan ke Sekolah Jawa, setelah itu akan dipindahkan ke sekolah yang dikepalai oleh ayahnya sendiri di HIS (Hollandsche Inlandsce School). Sekolah itu dipilih supaya Urip Sumoharjo dapat lancar berbahasa Belanda, agar kelak dapat menjadi bupati seperti kakeknya. Bahasa Belanda itu menjadi syarat mutlak untuk menjadi bupati pada waktu itu. Urip Sumoharjo dapat juga menyelesaikan sekolahnya di HIS pada 1906.
Urip Sumoharjo kemudian bersiap-siap untuk memasuki pendidikan di sekolah bagi pegawai bumiputra, ketika itu disebut Opleidingsschool Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) pada tahun 1908 di Magelang. Inilah pertama kalinya Urip Sumoharjo berpisah dengan orang tua dan adik-adiknya, dengan kawan-kawan di desanya. OSVIA adalah lembaga pendidikan khusus bagi anak-anak priayi yang kelak akan dijadikan pegawai pangreh praja. Disiplin yang diterapkan di sekolah ini sangat ketat. Murid-murid diajar agar mematuhi setiap peraturan. Mereka harus bisa menempatkan dirinya sebagai seorang calon pegawai.
Pada tahun 1910 Urip Sumoharjo berhasil menyelesaikan pendidikan bagian pertama OSVIA. Walaupun angka-angka rapornya banyak yang merah, namun ia berhak untuk melanjutkan pelajaran ke bagian kedua. Pada waktu itulah ia mengambil suatu keputusan yang akan menentukan jalan hidupnya untuk masa-masa depannya. Urip Sumoharjo tidak memilih menjadi bupati, sesuai harapan orang tuanya. Untuk itu ia akan memilih pergi ke Jakarta untuk mendaftarkan diri ke Sekolah Militer.
Tanpa singgah di Purworejo, dari Magelang Urip Sumoharjo langsung berangkat ke Jakarta. Ia mendaftarkan diri dan diterima di Sekolah Militer di Jatinegara. Sesudah itu ia menulis surat kepada ayahnya. Dalam surat itu Urip Sumoharjo menceritakan latar belakang mengapa ia memilih sekolah militer. Ia meminta maaf kepada ayahnya atas semua tindakan yang telah diambilnya. Secara terus terang dikatakannya bahwa ia tidak berminat untuk menjadi pegawai. Pada tahun 1914 Urip Sumoharjo lulus dari sekolah militer.
Urip Sumoharjo ditempatkan di Banjarmasin. Ia berangkat dengan kapal KPM dari Jakarta. Sebelum berangkat, dijualnya sepeda motornya Harley Davidson dan dari hasil penjualan itu dibelinya beberapa pasang seragam baru. Setelah melewati Surabaya, kapal yang membawa Urip Sumoharjo merapat di pelabuhan Banjarmasin. Ketika berdinas di Kalimantan, ia beberapa kali dipindah di berbagai daerah Samarinda, Balikpapan, Kalimantan Utara, dan daerah lainnya. Setelah tujuh tahun, dia di pindah ke Cimahi, kemudian ke Purworejo. Pada tahun 1925 ia dipindah lagi ke Magelang.
Di kota ini, ia berkunjung ke mantan gurunya yang mengajar di OSVIA Magelang yang bernama Subroto. Guru ini memiliki seorang putri yang cantik bernama Rochmah. Di dalam pertemuan itu, ia jatuh hati kepada putri cantik itu, kemudian pada tanggal 7 Mei 1926 diberlangsungkan upacara pernikahan. Setelah itu, ia dipindah ke Surabaya dan kemudian tahun 1927 dipindah lagi ke Ambarawa dengan dinaikkan pangkatnya menjadi kapten.
Pada tahun 1932 Urip Sumoharjo dipindahtugaskan di Jatinegara. Ketika terjadi pemberontakan di kapal De Zeven Provincien pada tahun 1933, ia menghadapi persoalan, karena tidak berpihak kepada pemerintah kolonial. Dalam perdebatan dengan rekan-rekannya ia mengutarakan bahwa, sudah masanya pemerintah mengubah sikap terhadap rakyat Indonesia. Ada beberapa orang yang sependapat dengan dia, tetapi ada yang berpendapat lain, terutama para perwira Belanda. Akibatnya terjadi saling mencurigai dan Urip Sumoharjo termasuk salah seorang perwira Indonesia yang dicurigai oleh teman perwira Belanda. Ketika terjadi kerusuhan yang terjadi di Padang Panjang (Sumatra Barat) yang memakan korban seorang kontrolir Belanda dan seorang tentara KNIL, Urip Sumoharjo dipindahkan ke daerah ini. Ia berhasil mengamankan kerusuhan itu, kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor.
Pada bulan Juli 1935, sepulang cuti di Belanda, Urip Sumoharjo diangkat sebagai komandan militer di Purworejo. Pada tanggal 31 Agustus 1938, ia berkonflik dengan bupatinya terkait dengan penyelenggaraan peringatan kelahiran Ratu Wilhelmina, kemudian dipindah ke Gombong dengan pangkat Letnan Kolonel. Karena tersinggung dengan perlakuan itu, kemudian ia mengundurkan dari dinas militernya. Kawan-kawannya menyayangkan hal itu. Mereka mencoba membujuk Urip Sumoharjo agar menerima keputusan Departemen Perang, tetapi Urip Sumoharjo tidak mengenal kompromi bila harga dirinya diinjak-injak. Ia tidak bersalah dan karena itu menolak untuk dihukum.
Setelah pensiun, Urip Sumoharjo memilih tinggal di kota Yogyakarta. Oleh karena ia merasa tidak nyaman hidup di kota itu, kemudian pindah ke Gentan – sebuah desa yang terletak di antara Yogyakarta dan Pakem – untuk berkebun anggrek. Di desa ini, ia sangat ramah dan dihormati oleh penduduk di sekitarnya mendapat sebutan Ndoro Mayor mengembangkan kebun anggrek.
Di desa Gentan ini, ia merasakan hidupnya ada yang kurang, karena selama dalam perkawinannya dengan Rochmah belum dikaruniai momongan anak. Maka dari itu pada tahun 1940, ia mengunjungi sebuah panti asuhan di Semarang di bawah pimpinan Ny. Godefroy. Di panti itu, Urip Sumoharjo melihat seorang anak perempuan kecil yang pemalu. Hatinya tertarik kepada anak tersebut. Gadis kecil itu bernama Abby, anak dari seorang imigran yang telah meninggal dunia ketika berusia empat tahun.
Ketika pada tahun 1940 Negeri Belanda diduduki Jerman, pemerintah Hindia Belanda di Indonesia memaklumkan milisi, Urip Sumoharjo telah berada di Bandung. Mendengar berita itu, ia melaporkan diri ke Departemen Perang. Sebagai bekas perwira. Ia mengetahui bahwa dengan jatuhnya Negeri Belanda, secara otomatis ia harus melaporkan diri untuk dinas aktif. Ia tahu pula bahwa bahaya yang akan dihadapi Indonesia adalah serangan dari Jepang. Urip Sumoharjo sebenarnya tidak menyukai Jepang. Ia pun tidak menyukai penjajahan Belanda, karena pernah didiskriminasikan oleh pemerintah kolonial Belanda ketika berdinas di dalam KNIL. Hal itu masih tetap membekas di dalam dirinya.
Urip Sumoharjo harus memilih salah satu dari dua hal yang tidak disukainya, antara Jepang yang fasistis dan Belanda yang kolonial. Ia tahu, kedua sistem itu buruk, namun ia harus memilih yang terbaik dari kedua yang buruk itu. Akhirnya ia mendaftarkan diri untuk aktif lagi di dinas militer. Bagaimanapun Indonesia harus dipertahankan dari serangan fasis dan Urip Sumoharjo merasa terpanggil untuk turut mengambil bagian di dalamnya, betapapun kecilnya bagian yang harus diambilnya. Kemudian Urip Sumoharjo berangkat ke Bandung sehari setelah membaca berita tentang jatuhnya Negeri Belanda.
Pada waktu itu, ia adalah orang pertama yang mendaftarkan diri untuk dinas aktif. Di Departemen Perang ia bertemu kembali dengan sahabat lamanya, Letnan Kolonel Pik. Letnan Kolonel ini menghargai sikap Urip. Ia disambut dengan gembira. Perwira-perwira Belanda yang ada di Departemen Perang menaruh respek kepadanya, karena ia dapat melupakan apa yang telah terjadi di Purworejo yang menyebabkan ia harus berhenti dari dinas militer. Urip Sumoharjo diserahi untuk membentuk depo batalion baru. Dalam hal ini, ia sudah cukup berpengalaman. Tugas itu dapat diselesaikannya dalam waktu singkat.
Ketika pusat pemerintahan dan militer Hindia Belanda di pulau Jawa semakin lemah, awal bulan Maret 1942 Jepang mendaratkan pasukannya di beberapa tempat di Jawa. Belanda mengosongkan Jakarta dan menjadikan kota ini terbuka. Pasukan militer Belanda mundur ke daerah pedalaman Jawa Barat dan bertahan di daerah ini, tetapi angkatan perangnya tidak cukup kuat. Pada 8 Maret 1942 Panglima Tentara Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati, Jawa Barat, dan dengan demikian berakhirlah penjajahan Belanda di Indonesia. Urip Sumoharjo menjadi orang tawanan. Ia bersama tentara Belanda dimasukkan ke dalam kamp tahanan di Cimahi.
Setelah tiga setengah bulan berada dalam kamp tahanan di Cimahi, Urip Sumoharjo dibebaskan. Ikut pula dibebaskan para tawanan Indonesia lainnya, sedangkan orang-orang Belanda masih tetap tinggal dalam tahanan. Pada saat Urip Sumoharjo akan meninggalkan kompleks tahanan, ia disuruh menunggu sebentar sebab seorang Kolonel Jepang akan datang dari Bandung untuk menemuinya. Tak lama kemudian kolonel itu pun tiba. Ia mengembalikan pedang Urip Sumoharjo yang disita sewaktu ia ditawan. Dalam tradisi militer Jepang, bila pedang seorang tawanan dikembalikan kepadanya, berarti tawanan itu dihormati oleh pihak yang menawan.
Kolonel Jepang itu menanyakan kepada Urip, apakah ia bersedia bekerja untuk membentuk pasukan polisi. Dengan halus Urip Sumoharjo menolak tawaran itu. Ia membenci segala sesuatu yang berbau Jepang. Kepada kolonel itu dikatakannya, bahwa ia sudah tua tidak kuat lagi bekerja dan ia hanya ingin pulang ke Gentan untuk hidup sebagai orang biasa.
Di desa itu, Urip Sumoharjo sering kedatangan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia di kediamannya, seperti Mohammad Hatta dan Nasution. Ia mempunyai simpati kepada mereka, tetapi belum tertarik terjun lagi ke bidang kemiliteran. Setelah mendengar berita bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, Urip Sumoharjo membicarakan perubahan situasi itu dengan isterinya. Zaman baru telah datang. Zaman Hindia Belanda sudah lewat dan zaman penindasan Jepang pun sudah berakhir. Sudah tiba dan sekaranglah saatnya ia ingin terlibat untuk mengisi kevakuman itu untuk kemerdekaan bangsa.
Ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamasikan 17 Agustus 1945, keesokan harinya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang. Dalam sidang 19 Agustus 1945 diambil keputusan untuk membentuk tentara kebangsaan, tetapi keputusan itu diubah dalam sidang berikutnya, sehingga pada 23 Agustus diumumkanlah pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai salah satu wadah perjuangan di samping dua wadah lainnya, yakni Komite Nasional Indonesia (KNI) dan Partai Nasional Indonesia.
BKR merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) dan berada di bawah koordinasi KNI. Pemerintah tidak langsung membentuk tentara berdasarkan pertimbangan, bahwa hal itu akan mengundang reaksi Sekutu dan Jepang, padahal kekuatan nasional belum cukup mampu untuk menghadapi kedua lawan itu.
Urip Sumoharjo mengetahui perkembangan-perkembangan politik pemerintahan RI yang sedang terjadi dari Yogyakarta. Pemuda-pemuda pergerakan rakyat mulai merebut kekuasaan dari Pemerintah Pendudukan Jepang. Urip Sumoharjo tidak sabar mengetahui hal itu semua. Dalam keadaan yang sudah segenting itu, pemerintah masih juga belum membentuk tentara. Ia mengkritik pemerintah RI: "Aneh, sebuah negara zonder tentara". Setiap negara seharusnya mempunyai tentara untuk mempertahankan diri.
Dengan memperhatikan kritik itu, pada 5 Oktober 1945, Presiden RI mengubah BKR menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang diselenggarakan di Rumah Presiden Sukarno di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Presiden Sukarno membentuk tentara bertujuan untuk memperkuat pertahanan dan keamanan umum. Supriyadi, seorang mantan anggota PETA, diangkat sebagai Panglima Tentara Keamanan Rakyat. Pembentukan TKR ini dimaksudkan secara diplomatik agar dipahami oleh Sekutu maupun Jepang bahwa tentara yang dibentuk oleh Pemerintah Indonesia ini bukan untuk menghadapi Sekutu ataupun Jepang, tetapi untuk menangani masalah dalam negeri, yaitu keamanan rakyat. Struktur Kementrian Keamanan Rakyat itu yaitu sebagai berikut:
- Menteri ad interim : Moehamad Suljoadikusumo.
- Pemimpin Tertinggi : Supriyadi.
- Kepala Staf Umum : Mayor Urip Sumoharjo.
Oleh karena Supriyadi sebagai pemimpin tertinggi TKR selalu tidak hadir bila diundang oleh pemerintah pusat di Jakarta, maka pada 6 Oktober 1945, Wakil Presiden Moehamad Hatta memanggil Urip Sumoharjo untuk datang ke Jakarta. Moehammad Hatta sangat percaya pada perwira lulusan Breda di Belanda daripada mantan-mantan PETA atau Heiho yang tidak mengalami pendidikan kemiliteran secanggih pendidikan di Breda Belanda.
Berkat kerjasama yang baik antara Urip Sumoharjo dan Moehamad Suljoadikusmo kemudian dibentuklah empat komandemen di Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kepada setiap panglima masing masing komandemen diberikan komando taktis, baik atas kesatuan kesatuan TKR yang reguler maupun atas sekian banyaknya badan perjuangan dan kelaskaran. Selanjutnya, batalion-batalion TKR dikelompokkan menjadi resimen dan divisi. Enam divisi terbentuk di Sumatra, tiga di Jawa Barat, empat di Jawa Tengah dan tiga di Jawa Timur. Dalam pembentukan komandemen, Urip Sumoharjo dibantu oleh pemuda bekas perwira KNIL, yaitu Surjadharma dan TB Simatupang. Mereka kemudian memilih Yogyakarta sebagai Markas Tertinggi TKR (MT TKR). Pada awalnya markas itu berada di gedung yang sekarang menjadi Hotel Garuda di Yogyakarta, lalu dipindahkan ke bangunan rumah yang sekarang menjadi Museum TNI AD Yogyakarta.
Dalam pertemuan dengan Urip Sumoharjo di Yogyakarta, Didi menyampaikan pula keinginan pemerintah untuk mengangkat Urip Sumoharjo sebagai pejabat yang bertanggung jawab dalam hal menyusun organisasi tentara. Urip Sumoharjo menyetujui rencana pemerintah itu. Hal itu merupakan kesempatan baik baginya untuk menyumbangkan tenaga dalam negaranya yang sudah merdeka.
Pada 14 Oktober 1945 Urip Sumoharjo menerima telegram dari wakil presiden yang meminta supaya ia segera berangkat ke Jakarta. Dengan ditemani oleh Sunarmo, malam hari itu ia berangkat dengan kereta api. Di Stasiun Manggarai, Jakarta, sudah menunggu Didi Kartasasmita dan beberapa orang lainnya. Dari stasiun ia dibawa ke rumah Hudiono, kepala Bengkel Kereta Api Stasiun Manggarai yang bertempat tinggal di Pasar Rumput.
Hari itu juga Urip Sumoharjo mengikuti sidang bersama menteri-menteri republik dalam sidang kabinet yang diadakan di Pegangsaan Timur No. 56. Didi Kartasasmita turut mendampinginya. Dalam sidang kabinet itu, pemerintah memberikan mandat kepada Urip Sumoharjo untuk menyusun organisasi tentara. Urip Sumoharjo menyatakan bersedia memikul tugas yang diserahkan kepadanya itu. Ia mengusulkan kepada pemerintah agar kota Purwokerto dijadikan tempat untuk kedudukan markas besar, dengan pertimbangan tempat itu terletak di daerah pedalaman sehingga akan sulit didatangi oleh musuh. Usulan itu tidak mendapat kesepakatan dari anggota sidang itu, akhirnya kota Yogyakarta ditetapkan sebagai markas besar tentara. Selain itu ia juga mengusulkan agar komandan-komandan pasukan paling tinggi hanya berpangkat kolonel. Kedua usul itu disetujui oleh peserta sidang kabinet.
Pada 16 Oktober 1945 Urip Sumoharjo kembali ke Yogyakarta. Pada 17 Oktober 1945 Urip Sumoharjo dan rombongannya tiba di Yogyakarta. Setelah singgah sebentar di rumahnya di Jalan Bausasran, ia langsung ke Hotel Merdeka (sekarang Hotel Garuda). Ia menempati sebuah kamar di hotel itu yang dijadikan Markas Tertinggi TKR. Itulah markas tertinggi pertama dari sebuah tentara, hanya sebuah kamar hotel.
Ternyata Urip Sumoharjo tidak lama menempati kamar di Hotel Merdeka itu. Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyerahkan sebuah gedung di Jalan Gondolayu untuk dijadikan Markas Tertinggi TKR (gedung itu sekarang menjadi Markas Korem 072). Di tempat inilah usaha untuk membentuk dan membangun organisasi TKR dilanjutkan.
Untuk membantu dalam menjalankan tugasnya, Urip Sumoharjo memanggil beberapa orang tenaga muda, antara lain Suryadi Suryadarma dan TB. Simatupang. Yang pertama kemudian menjadi Kepala Staf Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), sedangkan yang kedua menjadi Kepala Staf Angkatan Perang. Keduanya adalah pemuda-pemuda yang sudah pernah menjalani pendidikan militer Belanda.
Simatupang adalah seorang pemuda yang pemah menjalani pendidikan militer di KMA Bandung, dan seorang pembaca yang rajin buku-buku tentang kemiliteran. Karena itu ia banyak mengetahui seluk beluk militer, termasuk organisasi militer dari negara-negara asing. Tugas untuk menyiapkan konsep organisasi TKR diserahkan oleh Pak Urip Sumoharjo kepadanya. Maka Simatupang pun menyiapkan sebuah konsep yang kemudian disetujui oleh Urip. Struktur organisasi Markas Tertinggi Tentara Keamanan Rakyat (MTTKR) terdiri dari dua bagian, yakni Markas Besar Umum dan jawatan-jawatan yang masing-masing dikepalai oleh seorang kepala. Sebagai kepala MTTKR dicantumkan nama Supriyadi sesuai dengan pengangkatan pemerintah 5 Oktober 1945, sedangkan Urip Sumoharjo menjadi kepala Markas Besar Umum (MBU). Pengangkatan Urip Sumoharjo sebagai ·kepala staf TKR dengan pangkat letnan jenderal diumumkan pemerintah pada 20 Oktober 1945.
Banyak kesulitan yang dihadapi oleh Urip Sumoharjodi lapangan. Di daerah-daerah, kesatuan-kesatuan tentara resmi dan tidak resmi tumbuh sebagai cendawan di musim hujan. Karena itu maka Urip Sumoharjo menghadapi kesukaran dalam rencananya untuk membentuk hanya empat divisi tentara, tiga di Jawa dan sebuah di Sumatra.
Urip Sumoharjo ini pernah dicalonkan sebagai salah satu calon Panglima Besar di samping Sudirman (Komandan Divisi V Purwokerto). Di dalam pemilihan itu–setelah terjadi loby-loby dan kompromi, akhirnya Sudirman seorang nasionalis dan bukan mantan KNIL terpilih sebagai Panglima Besar dengan perolehan dua puluh sembilan suara, sedang Urip Sumoharjo mendapat sepuluh suara. Sudirman sebenarnya tidak menerima menerima jabatan itu karena merasa lebih muda daripada Urip. Pada waktu itu, Urip Sumoharjo mendekati dan menyalami Sudirman dan mengatakan bersedia menjadi wakilnya yang dilantik oleh Presiden Sukarno di Yogyakarta pada tanggal 18 Desember 1945 dengan pangkat Letnan Jenderal.
Sebagai tindak lanjut dari penyempurnaan organisasi itu, pada 23 Februari 1946 dikeluarkan Penetapan Presiden tentang pembentukan Panitia Besar Reorganisasi Tentara. Panitia itu beranggotakan 11 orang. Sebagai ketuanya diangkat Letnan Jenderal Urip Sumoharjo dan ia pulalah yang menjadi inti dalam panitia tersebut. Buah pikirannyalah yang banyak dipakai, sekalipun ia dikenal sebagai orang yang tidak suka berbicara.
Pada l7 Mei 1946, Urip Sumoharjo diperintahkan oleh Jenderal Sudirman untuk melakukan rapat kerja Panitia Besar Reorganisasi Tentara. Ia menyerahkan hasil kerjanya kepada presiden yang meliputi masalah-masalah: bentuk Kementerian Pertahanan, bentuk ketentaraan, kekuatan tentara, organisasi tentara, dan menyempurnakan bentuk peralihan dari TKR ke TRI (Tentara Republik Indonesia) dan menentukan status laskar dan badan perjuangan; dan mengucapkan sumpah yang intinya adalah berisi kesetiaan terhadap negara dan Undang-Undang Dasar.
Urip Sumoharjo harus menunggu kurang lebih satu tahun lagi sebelum gagasannya untuk menyatukan laskar dengan tentara resmi dapat terwujud. Sementara itu Urip Sumoharjo tetap sibuk menjalankan tugasnya, baik menghadiri perundingan-perundingan dengan pihak Inggris dan Belanda maupun menyelesaikan selisih pendapat yang timbul di kalangan tentara sendiri.
Untuk menyempurnakan organisasi TKR, Jenderal Sudirman menyerahkan tugas kepada Urip. Organisasi itu disusun sesuai dengan organisasi Departemen Perang Hindia Belanda. Tanggal 7 Januari 1947 nama Tentara Keamanan Rakyat diganti menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Pada tanggal 20 Mei 1946 Letnan Jenderal Urip Sumoharjo untuk kedua kalinya dilantik sebagai Kepala Staf Umum.
Di dalam menjalankan tugasnya itu, Letnan Jenderal ini mempunyai tugas yang berat untuk menyatukan antara TNI dengan laskar-laskar sesuai dengan kepentingan politik kelompok di daerah-daerah. Setelah melalui pendekatan yang cukup panas dan waktu lama, akhirnya pada tanggal 5 Mei 1947 keluarlah keputusan presiden tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam keputusan itu disebutkan bahwa mulai tanggal 3 Juni 1947 semua kekuatan bersenjata yang ada sudah harus bergabung dengan TNI. Hal ini berarti laskar-laskar harus melebur dirinya ke dalam TNI.
Pada tanggal 17 Januari 1948, Letnan Jenderal Urip Sumoharjo tidak dapat menerima kebijakan dengan adanya perjanjian Renville, dan menuduh pemerintah mengkhianati angkatan perangnya sendiri. Karena itu ia minta berhenti dari jabatannya sebagai Kepala Staf dan mengundurkan diri dari dinas militer. Ia kemudian diminta menjadi penasehat militer Presiden, tetapi perhatiannya sudah jauh berkurang. Ia tak mungkin lagi mengalahkan rasa kecewanya. Sementara itu penyakit jantung mulai menyerangnya.
Suasana konflik Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Belanda masih sering kali berkecamuk, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa, penyakit jantungnya memaksa ia beristirahat di rumah. Pada tanggal 17 November 1948, Kepala Staf Angkatan Perang itu meninggal dunia dan jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Urip Sumoharjo setelah meninggal dunia menerima tanda jasa penghargaan dari pemerintah yang diterima oleh istrinya, berturut-turut adalah; Bintang Mahaputra tahun 1960, Bintang Republik Indonesia tahun 1967, dan Bintang Kartika Eka Paksi tahun 1968. Lebih dari itu, Pemerintah kemudian menetapkan Urip Sumoharjo sebagai Pahlawan Nasional.
Di pekarangan AMN, yang sekarang bernama Akabri, pada bulan Maret 1964 diresmikan batu peringatan untuk memperingati Urip Sumoharjo sebagai pendiri dari akademi militer tersebut. Pada batu peringatan itu tertulis kata-kata sebagai berikut:
- “Kepingan pualam berukiran sastra kencana ini dipersembahkan sebagai kenangan khidmat kepada almarhum:
- Bapak Urip Sumoharjo
- seorang putra Indonesia
- yang mengagungkan kerja
- daripada kata
- yang mengutamakan dharma
- daripada minta
- Dirgahayu! Semoga tetap hidup namanya”.
Penulis: Sudarno
Instansi: Universitas Sebelas Maret
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum
Referensi
Amrin Imran, Oerip Soemohardjo. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional Jakarta 1993.
Ensiklopedi Nasional Indonesia: Jilid 16 (TA-TZ). Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1991
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan: Pn Balai Pustaka.
"Sikap Legowo Oerip Soemohardjo Ubah Sejarah Tentara RI", https://tirto.id.
“Urip Sumoharjo: Masa Muda, Karier Militer, dan Perjuangannya”. Dalam Kompas, 12/05/2021.
Widyo Nugrahanto dan Rina Adyawardhina, “Demokrasi Dalam Sejarah Militer Indonesia: Kajian Historis Tentang Pemilihan Panglima Tentara Pertama Pada 1945”. Dalam Sosiohumaniora - Jurnal Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora. Vol. 20, No. 1, Maret 2018.