Gedung Joang ‘45
Gedung Joang ’45 adalah bangunan yang terletak di Jalan Menteng Nomor 31, Jakarta Pusat. Gedung Joang ’45 sebelumnya dikenal dengan nama Gedung Menteng Raya 31 atau Asrama Angkatan Baru Indonesia ini termasuk asrama besar yang menjadi pusat pergerakan golongan pemuda beberapa saat sebelum proklamasi kemerdekaan terlaksana pada 17 Agustus 1945 (Isnaeni 2015; Hanafi 1996).
Gedung Joang ’45 merupakan bangunan dengan gaya arsitektur Indies Woonhuis (bangunan tempat tinggal ala Hindia Belanda) yang memiliki serambi terbuka dengan pilar-pilar besar. Saat ini, bagian dalam pintu masuk gedung menampilkan relief para pemuda Menteng 31, yaitu kelompok pemuda yang menjadikan gedung ini sebagai pusat pergerakannya. Gedung telah beralih fungsi menjadi museum yang menyimpan koleksi foto peristiwa bersejarah tahun 1944-1949, yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa penting di seputar proklamasi dan yang dilakukan oleh para pemuda dari kelompok Menteng 31 (Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya 1988).
Bangunan ini berdiri pada tahun 1938, sebagai sebuah penginapan bernama Hotel Schomper I yang dikelola oleh keluarga L.C. Schomper dari Belanda. Hotel tersebut diperuntukkan bagi para pejabat Belanda dan pribumi yang berdinas ke Jakarta (Safwan 1973). Pada masa Pendudukan Jepang, gedung ini beralih fungsi menjadi Kantor Jawatan Propaganda Jepang (Gunseikan Sendenbu) hingga Juli 1942. Sebab pada Juli 1942, kantor tersebut diberikan kepada pemuda Indonesia untuk menciptakan sebuah pusat pendidikan politik berupa asrama, yang sejalan dengan deklarasi Perdana Menteri Kuniaki Koiso pada 7 September 1944 terkait pemberian kemerdekaan dan berbagai langkah persiapannya kepada bangsa Indonesia. Asrama ini diberi nama Asrama Angkatan Baru Indonesia atau Asrama Menteng 31 (Safwan 1973).
Anderson (2018) menyebutkan bahwa asrama ini diisi oleh “orang-orang dengan gerakan bawah tanah”. Sejumlah kader politik yang lahir dari asrama ini, antara lain Wikana, Chairul Saleh, Adam Malik, dan D.N. Aidit (Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya 1988), sementara para pengajar kursus pendidikan adalah seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Ahmad Subarjo, dr. Muwardi, Sanusi Pane, dan Ki Hajar Dewantara, yang beberapa di antaranya turut mengajar di Asrama Indonesia Merdeka di Kebon Sirih (Isnaeni 2021; Kahin 2013; Hanafi 1996). Materi yang disampaikan oleh para pengajar dicatat dan disebarluaskan salinannya pada banyak pemuda, hingga menjangkau berbagai wilayah di Indonesia (Safwan 1973).
Namun pada 9 Maret 1943, pemerintah Jepang di bawah Kantor Pusat Pemerintahan Militer (Gunseikanbu) mendirikan markas Pusat Tenaga Rakyat (PETA) cabang Jakarta Raya di Gedung Menteng 31. Para pemuda menganggap organisasi ini masih berjalan selaras dengan arah organisasi mereka, sehingga keberadaannya tidak menjadi gangguan atau ancaman. Hanya saja, ketika PETA dibubarkan dan digantikan oleh Jawa Hokokai pada 1 Maret 1944, para pemuda memutuskan untuk meninggalkan gedung dan berjuang di luar Menteng 31. Hal ini disebabkan karena Jawa Hokokai merupakan organisasi yang berlawanan dengan tujuan kemerdekaan, kendati memiliki tugas dan model organisasi yang sama dengan PETA. Perjuangan di luar Menteng 31 tidak berakhir setelah kemerdekaan Indonesia, sebab para pemuda meleburkan diri mereka ke dalam Comite van Actie pada 18 Agustus 1945, untuk merebut kembali Gedung Menteng 31 pada tanggal 23 Agustus 1945 (Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya 1988).
Sejumlah tokoh Asrama Angkatan Muda Indonesia menjadi tokoh kunci dari penyusunan rencana strategis Comite van Actie, antara lain Adam Malik, Sukarni, Chairul Saleh, A.M. Hanafi, Wikana, Pandu Kartawiguna, Armunanto, Maruto Nitimiharjo, Kusnaeni, dan Johar Nur yang mendorong pengambilalihan kekuasaan dari Jepang, pelucutan senjata tentara Jepang, dan pelaksanaan Rapat Raksasa di Lapangan Ikada sebagai bentuk deklarasi Proklamasi Indonesia yang menunjukkan kemerdekaan Indonesia kepada dunia (Hanafi 1996; Maulida 2021).
Setelah periode perjuangan kemerdekaan berakhir, penggunaan gedung ini terus berganti-ganti, hingga akhirnya gedung ini dipugar pada tanggal 9 September 1973 hingga 17 Agustus 1974 oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta, di bawah pemerintahan Gubernur Ali Sadikin (Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya 1988).
Penulis: Linda Sunarti
Instansi: Institut Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum
Referensi
Anderson, Benedict (2018). Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Jakarta: Marjin Kiri.
Hanafi, A.M. (1996). Menteng 31: Markas Pemuda Revolusioner Angkatan 45, Membangun Jembatan Dua Angkatan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Isnaeni, Hendri (2015). Seputar Proklamasi Kemerdekaan: Kesaksian, Penyiaran, dan Keterlibatan Jepang. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Isnaeni, Hendri (2021). “Maeda dan Asrama Indonesia Merdeka”, Historia, 7 Maret 2021. https://historia.id/politik/articles/maeda-dan-asrama-indonesia-merdeka-v29jZ/page/1.
Kahin, George M. (2013). Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (terj.). Depok: Komunitas Bambu.
Maulida, Faishal Hilmy (2021). “Meneladani Aksi Pemuda Menteng 31”, https://binus.ac.id/malang/2021/10/meneladani-aksi-pemuda-menteng-31/.
Safwan, Mardanas (1973). Peranan Gedung Menteng Raya 31 dalam Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta.
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya (1988). “Bangunan Cagar Budaya Gedung Joang ’45 di Jakarta Pusat”, No. RegNas CB: CB.587, SK Penetapan Nomor 0128/M/1988 tanggal 27 Februari 1988. http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/cagarbudaya/detail/PO2016051800007/bangunan-cagar-budaya-gedung-joang-45-di-jakarta-pusat.