Badan Pendukung Sukarno

From Ensiklopedia

Badan Pendukung Sukarno (BPS) dibentuk pada 1 September 1946 oleh sejumlah jurnalis, antara lain Adam Malik, BM Diah, dan Sumantoro. Pendirian BPS juga didukung oleh beberapa anggota PNI dan kelompok politik Islam. Pendirian badan tersebut bertujuan untuk melawan PKI dan memisahkan Sukarno dari partai tersebut. Para anggota BPS pun berupaya membedakan antara Sukarnoisme dan Komunisme (Kahin 2015: 55).

Konflik antara BPS dan PKI semakin memanas melalui propaganda yang dilakukan di berbagai media, mulai dari koran, radio, maupun televisi. Selain itu, BPS juga melobi para elit dan beberapa di antaranya mendukung gerakan BPS, seperti Menteri Informasi (Achmadi), Menteri Urusan Agama (Saifuddin Zuhri), Wakil Perdana Menteri III (Chairul Saleh), Menteri atau Panglima AD (Ahmad Yani), dan Menteri Pertahanan (AH Nasution). Namun, ada pula yang menolak, salah satunya Subandrio. Pada 13 November 1946 Sumantoro sebagai perwakilan BPS beserta delegasi Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia menemui Subandrio yang saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri untuk mendukung BPS, namun hal tersebut ditolak (Anwar 2006: 321).

Pergerakan BPS yang semakin menguat dan perseteruan dengan PKI yang tidak kunjung henti membuat badan tersebut menuai berbagai kecaman. Presiden Sukarno didesak berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk membubarkan BPS. Dalam merespon hal tersebut, Presiden Sukarno melakukan berbagai tahapan untuk mempertimbangkan keputusan yang akan diambil terhadap BPS. Sidang MPRS yang seharusnya diadakan pada 3 Desember 1964 ditunda demi menghindari kontroversi Sukarnoisme. Presiden Sukarno juga mengadakan pertemuan di Bogor pada 12 Desember 1964 dengan 10 perwakilan partai politik untuk membahas masalah BPS. Peserta yang berasal dari PNI, NU, PKI, Perti, Partindo, PSII, Partai Katolik, Murba, Parkindo, dan IP-KI mencapai kesepakatan yang dinamakan “Deklarasi Bogor”. Deklarasi  tersebut berisi empat poin penting, yaitu lebih fokus mensukseskan Dwikora; memelihara persatuan nasional progresif-revolusioner yang berpatokan pada nasakom dalam mengamalkan Pancasila, manipol/USDEK, dan pedoman-peroman pelaksanaannya, serta tidak mengintepretasikan ajaran golongan lain yang dapat merugikan; mengutamakan sistem musyawarah, baik partai di daerah maupun pusat dalam menyelesaikan permasalahan; dan menolak fitnah mengenai peletakan jabatan yang akan dilakukan oleh pimpinan besar revilosi, Bung Karno (NN, 1965: 69-71).

Puncak dari konflik BPS dan PKI berujung dengan dikeluarkannya putusan No. 72/KOTI/1964 pada 17 Desember 1964 oleh Presiden Sukarno yang berisi pembubaran BPS. Keputusan tersebut dibuat sebagai upaya untuk tetap menjaga persatuan dan kekuatan nasional serta mencapai tujuan revolusi dan Dwikora. Selain alasan tersebut, Sukarno juga menyebutkan adanya keterlibatan Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA) dalam pembentukan Badan Pendukung Sukarno (Al Araf 2022: 87-88; Ricklefs 2005: 545).

Penulis: Siti Utami
Instansi: Universitas Tebuka
Editor: Dr. Sri Margana, M.Hum.

Dewi Ningrum


Referensi

Al Araf (2022). Sejarah dan Politik-Hukum di Indonesia (1945-2018), Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Kahin, Audrey (2015). Historical Dictionary of Indonesia. London: Rowman & Littlefield.

NN (1965). BPS Aksi Reaksi: Adjaran-adjaran Bung Karno, P.T. Rakyat: Djakarta, 1965.

Ricklefs, M.C., (2005). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.

Rosihan Anwar (2006). Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik, 1961-1965. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.