Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan organisasi mahasiswa Islam yang berdiri pada 17 April 1960 di Surabaya. Mahbub Djunaidi menjadi ketua umum pertama dengan A. Chalid Mawardi sebagai wakil ketua dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Kelahiran PMII merupakan respon dari kecenderungan politik umat Islam sejak 1950-an yang tidak lagi menganggap Masyumi sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam (Sitompul 1982: 62). Ketegangan politik di Masyumi mulai terlihat dengan keluarnya tokoh-tokoh eks-Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dari Masyumi pada 1947. Ketidakpuasan tokoh-tokoh eks-PSII juga dirasakan oleh Nahdlatul Ulama (NU) yang merasa bahwa Masyumi didominasi oleh kalangan modernis sehingga aspirasi NU kurang diakomodir. Pada 1952 NU keluar dari Masyumi dan mendirikan partai sendiri. Kondisi ini membuyarkan ide persatuan umat Islam secara politik (Noer 1987: 344; Wildan 2015: 438).
Kelahiran PMII diharapkan mampu menyokong keberadaan partai NU yang memerlukan kader partai dalam menyukseskan berbagai program aksi. Kondisi politik saat itu membuka ruang gerak yang luas bagi para mahasiswa untuk terlibat dalam politik praktis, tak terkecuali di kalangan terpelajar NU. Selain aspek politik, kondisi sosiologis juga berpengaruh, yaitu semakin banyaknya kelompok terpelajar di kalangan NU, seperti Ikatan Pelajar NU (IPNU) yang berdiri pada 1954, Ikatan Mahasiswa NU (IMANU) dan Keluarga Mahasiswa NU (KMNU) yang berdiri pada 1955. IMANU dan KMNU saat itu kurang mendapatkan dukungan dari Pimpinan Besar NU karena dikhawatirkan akan melemahkan IPNU yang baru berdiri. Belum lagi, organisasi-organisasi tersebut masih bersifat lokal dan terpencar-pencar. Setelah IPNU cukup kuat eksistensinya, Konferensi Besar IPNU di Yogyakarta tahun 1960 menetapkan perlunya organisasi mahasiswa yang kemudian terejawantahkan melalui pendirian PMII (Wahid 2000: 33-34; Latif 2005: 433; Wildan 2015: 438).
Sesuai dengan namanya, PMII diharapkan bisa menjadi organisasi yang dinamis dan terbuka. Frasa “pergerakan” diharapkan mampu menampung aspirasi dinamis kalangan intelektual muda. Sengaja organisasi ini tidak menggunakan nama NU sebagaimana organisasi mahasiswa sebelumnya. Hal ini sebagai upaya untuk membuat PMII sebagai organisasi yang terbuka bagi semua golongan. Dinamika mahasiswa yang progesif diharapkan mampu menjadi sebuah media untuk membentuk karakter mahasiswa Muslim yang tangguh dan di kemudian hari menjadi bisa menyumbangkan sesuatu hal yang positif bagi bangsa dan negara (Wildan 2015: 439).
Seiring dengan pertumbuhan kelas terdidik yang semakin banyak di Indonesia, PMII tumbuh dan berkembang dengan cepat. Migrasi besar-besaran mahasiswa tradisionalis ke PMII mempercepat pertumbuhan PMII. Di akhir 1960-an, anggota PMII sudah mencapai ribuan yang didominasi oleh mahasiswa IAIN. Pada Kongres PMII pertama tahun 1961 dihadiri oleh 13 cabang yang masih didominasi oleh cabang di wilayah Jawa dan Sumatera, sedangkan pada Kongres PMII kedua di Yogyakarta dihadiri oleh 31 cabang, termasuk dari wilayah Kalimantan dan Sulawesi (Latif 2005: 434; Alfas 2006; Wildan 2015: 439).
Kiprah PMII dalam penguatan kebangsaan dibuktikan dengan komitmen organisasi pada urusan negara. Selain terlibat dalam proses peralihan Orde Lama ke Orde Baru, yaitu masuk dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAMI-KAPPI) tahun 1966, PMII juga terlibat aktif dalam menolak PKI di Indonesia. Ketergantungan pada NU menjadikan PMII kurang independen dan tidak bisa masuk dalam Kelompok Cipayung yang beranggotakan HMI, GMNI, GMKI, dan PMKRI.
Dependensi PMII ini tidak hanya secara organisatoris tapi juga politis karena NU saat itu berfusi ke PPP. Melihat kecenderungan yang ada, PMII segera menetapkan strategi perjuangan utamanya melepaskan diri dari politik praktis. Melalui Deklarasi Murnajati, secara resmi PMII memutuskan untuk menjadi organiasi independen sejak tahun 1972. Dengan status ini PMII segera bergabung dalam Kelompok Cipayung pada 1974, sebuah keputusan yang meneguhkan PMII sebagai organisasi mahasiswa dengan komitmen tinggi terhadap urusan bangsa dan negara (Wildan 2015: 438). Sejak saat itu, PMII juga berupaya fokus pada pengembangan aspek intelektualitas dan pemberdayaan civil society, mengejawantahkan ajaran Islam yang transformatif, yang selain mendukung demokrasi juga menjaga nilai-nilai toleransi, menyelesaikan pelbagai persoalan sosial dan kemanusiaan.
Pada masa Orde Baru, PMII juga terkena imbas depolisisasi umat Islam. Sebagai organisasi sosial keagamaan, PMII terkena kebijakan pemerintah tentang Pancasila sebagai Asas Tunggal. Tidak jauh berbeda dengan organisasi pemuda dan mahasiswa yang lain, PMII menerima Asas Tunggal, selain sebagai bentuk kepatuhan organisasi kepada pemerintah, juga sebuah strategi politik. Kemampuan beradaptasi dengan perkembangan zaman membuat PMII tetap kokoh berdiri sebagai organisasi mahasiswa Islam yang menjadi basis gerakan perjuangan, ruang kaderisasi, laboratorium demokrasi, penguatan konstituen Islam, serta perumusan ide dan gagasan keagamaan. PMII kokoh sebagai sebuah organisasi, bertransformasi menjadi kekuatan kelas menengah muslim yang berkontribusi dalam pembangunan dan kemajuan bangsa.
Penulis: Setyadi Sulaiman
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Alfas, Fauzan (2006), PMII dalam Simpul-Simpul Sejarah Perjuangan, (Jakarta: PB PMII)
Latif, Yudi (2005), Intelegensia Muslim dan Kuasa, Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20 (Bandung: Mizan)
Noer, Deliar (1987), Partai Islam di Pentas Nasional (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti).
Sitompul, Agussalim (1982), HMI dalam Pandangan Seorang Pendeta: Antara Impian dan Kenyataan, (Jakarta: Gunung Agung)
Wildan, Muhammad (2015), “Gerakan Islam Kampus: Sejarah dan Dinamika Gerakan Mahasiswa Muslim” dalam Azyumardi Azra, Jajat Burhanuddin & Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia Jilid 3: Institusi dan Gerakan (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Kemendikbud).