Sayuti Melik

From Ensiklopedia
Revision as of 23:02, 12 September 2024 by Admin (talk | contribs)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Sayuti Melik. Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional RI, No. Panggil - L2155


Sayuti Melik tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai pengetik naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Beliau dikenal aktif dalam bidang jurnalistik dan politik. Mohamad Ibnu Sayuti atau Sayuti Melik dilahirkan di Kadisobo, Rejodani, Sleman, Yogyakarta pada 25 November 1908. Sayuti Melik adalah putra dari Abdul Muin alias Partoprawito dan Sumilah. Istrinya bernama Soerastri Karma Trimurti, seorang aktivis perempuan dan wartawati.  Mohamad Ibnu Sayuti memulai pendidikannya di Sekolah Ongko Loro (setara dengan SD) di Desa Srowolan hingga kelas IV. Ia meneruskan pendidikannya hingga mendapatkan ijazah di Yogyakarta. Mengutip dari situs Encyclopedia Jakarta, Sayuti Melik melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Guru di Solo. Namun, ia ditangkap Belanda karena dicurigai tergabung dalam kegiatan politik.

Nasionalisme dalam diri Sayuti Melik didapat dari didikan bapaknya, yang saat itu menentang kebijakan Belanda terkait penanaman tembakau di sawah miliknya. Ayahnya, Partoprawito alias Abdul Mu′in, adalah seorang lurah di Desa Kadilobo Sleman, yang dikenal pemberani dan sering mengkritisi kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang dianggap menyengsarakan rakyat. Menjelang usia remaja, Sayuti Melik mulai tertarik dengan isu-isu kebangsaan. Ia rajin membaca buku, koran, juga mengikuti berbagai acara diskusi yang menghadirkan tokoh berpengaruh. Salah satu tokoh panutan Sayuti Melik adalah pendiri Muhammadiyah, Kiai Haji Ahmad Dahlan. Dikutip Solichin Salam dalam Wajah-wajah Nasional (1990), Sayuti Melik kemudian tertarik dengan ide-ide yang lebih berani. Pada 1920, ia bersekolah di Solo dan mulai membaca tulisan-tulisan Haji Mohammad Misbach, seorang muslim revolusioner. Sayuti Melik pun berguru kepada Haji Misbach.

Tulisan-tulisannya yang kritis membawanya keluar masuk penjara saat Belanda masih menduduki Indonesia. Tercatat dalam sejarah bahwa beliau pernah dibuang ke Boven Digoel, Papua, pada tahun 1921-1933. Selang empat tahun kemudian, masuk lagi ke penjara di Gang Tengah. Sayuti Melik juga pernah menjadi tahanan pemerintah kolonial di Ambarawa, Jawa Tengah, pada 1924 atau ketika usianya baru 16 tahun. Dalam buku bertajuk Wawancara dengan Sayuti Melik (1986) disebutkan, ia dijebloskan ke penjara dengan tuduhan telah menghasut rakyat untuk melawan pemerintah Hindia Belanda. Tahun 1926, Sayuti Melik terjerat perkara yang lebih serius. Oleh pemerintah kolonial, ia dituding terlibat dalam gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Audrey Kahin dalam Regional Dynamics of The Indonesian Revolution (1985) menuliskan, Sayuti Melik tak hanya dibui, tapi juga diasingkan ke Boven Digul, Papua. Sayuti Melik bebas dan pulang ke Jawa pada 1933. Namun, tahun 1936 di Singapura, ia ditangkap pemerintah kolonial Inggris lantaran dicurigai terlibat dalam gerakan bawah tanah. Sayuti Melik kala itu pergi ke negeri seberang untuk merantau.

Setelah lepas dari cengkeraman Inggris di Singapura, Sayuti Melik pulang ke tanah air pada 1937. Ia kemudian bertemu dengan Soerastri Karma (S.K.) Trimurti, seorang jurnalis perempuan sekaligus aktivis pergerakan nasional yang juga kerap terlibat masalah dengan pemerintah kolonial. Sayuti Melik dan S.K. Trimurti ternyata saling suka. Tahun 1938, keduanya menikah dan tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Di kota ini, Sayuti Melik dan S.K. Trimurti menerbitkan dan mengelola surat kabar pergerakan yang diberi nama Pesat. 1942 Belanda kalah dan Indonesia jatuh ke tangan Jepang. Di era pendudukan Jepang, Sayuti Melik dan S.K. Trimurti langsung terkena perkara. Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia (2004) menyebutkan, surat kabar Pesat dihentikan paksa karena dianggap berbahaya. Suami-istri ini ditangkap oleh aparat Dai Nippon dan dijebloskan ke penjara.

Atas permintaan Sukarno, Sayuti Melik dan S.K. Trimurti dibebaskan pada 1943. Sayuti Melik sendiri sudah cukup lama mengenal Sukarno, yakni sejak 1926. Ketika itu, Sukarno sedang merintis pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang nantinya diresmikan pada 1927 bersama sejumlah tokoh pergerakan lainnya.

Pada hari-hari terakhir kekuasaan Jepang, Sayuti Melik tergabung dalam Gerakan Menteng 31 yang beranggotakan para pemuda revolusioner Indonesia. Mereka mendesak kepada ‘Golongan Tua’ agar memerdekakan Indonesia secepat mungkin, tanpa harus menunggu janji-janji Jepang, yang kala itu di ambang kekalahan dari Sekutu di Perang Asia Timur Raya atau Perang Dunia Kedua.

Tergabung dengan golongan muda yang menghendaki kemerdekaan Indonesia secepat-cepatnya tanpa menunggu janji Jepang, Sayuti Melik terlibat aktif dalam rangkaian peristiwa sejarah menjelang proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 (Robit, 2017). Sehari sebelumnya, tanggal 16 Agustus 1945, Sayuti Melik dan para pemuda revolusioner lainnya “mengamankan” Sukarno dan Mohammad Hatta ke Rengasdengklok. Tujuannya untuk mendesak dua tokoh golongan tua itu agar segera menyatakan kemerdekaan Indonesia. Pada akhirnya, Sukarno dan Hatta setuju dan malam harinya kembali ke Jakarta untuk merumuskan naskah proklamasi di kediaman Laksamana Muda Maeda, seorang petinggi militer Angkatan Laut Jepang yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Sukarno, Hatta, dan Achmad Soebardjo saling bertukar pandangan, berbalas ide, dan merangkai kata-kata yang tepat untuk mengisi teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Di ruangan yang sama, Sayuti Melik diminta untuk mengetik naskah hasil rumusan tersebut.

Sayuti Melik juga menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan kemudian ditunjuk untuk ikut andil dalam keanggotaan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sejak 29 Agustus 1945. KNIP adalah Badan Pembantu Presiden yang merupakan cikal-bakal lembaga legislatif di Indonesia.

Sayuti Melik ditangkap pemerintah Indonesia atas perintah Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin dengan tuduhan terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946 yang disebut-sebut sebagai upaya makar pertama setelah kemerdekaan. Namun, dalam pemeriksaan, Sayuti Melik tidak terbukti bersalah sehingga terlepas dari dakwaan dan dibebaskan. Sayuti Melik kembali turun ke lapangan untuk mempertahankan kemerdekaan negara seiring kembalinya Belanda dengan membonceng pasukan Sekutu. Belanda kembali ke Indonesia dengan ambisi kembali berkuasa, sehingga terjadilah rangkaian front pergolakan, baik perang maupun perundingan, di sepanjang tahun 1945 hingga 1949. Periode ini disebut sebagai era revolusi fisik atau masa perang mempertahankan kemerdekaan.

Pada 1948, Sayuti Melik ditangkap Belanda dan ditahan di Ambarawa seperti yang pernah alami semasa muda dulu. Sayuti Melik dibebaskan pada 1950 setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada akhir tahun 1949 sesuai kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Meskipun cukup dekat dengan Sukarno dan kerap dikait-kaitkan dengan paham kiri di masa lalu, namun Sayuti Melik justru menentang konsep Nasakom atau Nasionalisme, Agama, dan Komunisme yang kerap dilantangkan Bung Karno sejak 1956.

Menurut Soegiarso Soerojo dalam Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai (1988), Sayuti Melik menuntut agar kata “komunisme” diganti dengan “sosialisme,” sehingga "Nasakom" seharusnya berganti menjadi "Nasasos". Sayuti Melik sangat tidak setuju jika Sukarno menjadi presiden seumur hidup serta berbalik mengkritik PKI lewat tulisan-tulisannya. Sejak Hatta mengundurkan diri dari posisi Wakil Presiden pada 1956, Bung Karno tampil sebagai satu-satunya sosok pemimpin tertinggi di pemerintahan. Sukarno menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin sejak 1959 yang terkait erat dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sistem politik dan pemerintahan ini bersifat terpusat yang membuat kekuasaan Sukarno selaku Presiden menjadi amat kuat. Sayuti Melik menentang penerapan Demokrasi Terpimpin yang diusung Sukarno. Kendati begitu, Sayuti Melik tidak sampai “disentuh” oleh rezim Orde Lama kendati ia terkesan diacuhkan oleh Sukarno yang dulu cukup dekat dan bersahabat dengannya.

Setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965, pengaruh Sukarno mulai meluruh dan akhirnya Orde Lama pun runtuh. Sebagai penggantinya adalah pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. Sayuti Melik yang sebelumnya tidak dianggap oleh pemerintahan Sukarno justru diberi tempat oleh rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Bahkan, Sayuti Melik duduk sebagai anggota DPR/MPR dari Fraksi Golkar usai Pemilu 1971 dan Pemilu 1977. Sayuti Melik meninggal di Jakarta tanggal 27 Februari 1989 dalam usia 80 tahun.

Penulis: Anastasia Wiwik Swastiwi
Instansi: Universitas Maritim Raja Ali Haji Kepulauan Riau
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan


Referensi

Robit Nurul Jamil dkk. 2017. “Soekarno’s Idea About Indonesian Revolution In 1945-1957I”. Jurnal Historica ISSN No. 2252-4673 Volume. 1 (2017) Issue. 1.

Yuyu Wulandari, 2021. Mengenang Sang Juru Ketik Sayuti Melik, http://perpustakaan.upi.edu/mengenang-sang-juru-ketik-sayuti-melik/ Diakses Hari Minggu, 17 Oktober 2021. Pukul 19.19 WIB.