Sumitro Djojohadikusumo: Difference between revisions

From Ensiklopedia
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh")
No edit summary
 
Line 10: Line 10:
Tidak hanya sibuk belajar dan aktif membaca, Sumitro bahkan juga pernah mencoba menjadi voluntir pada Brigade Internasional saat terjadinya Perang Spanyol. Sayangnya, keinginannya itu tidak bisa diwujudkan karena dia diangap terlalu muda, sehingga dia diminta untuk mendapatkan surat izin dari orang tuanya terlebih dahulu. Walaupun ditolak dia tetap berada di perbatasan Spanyol dan aktif mengumpulkan dana dan aktivitas bantuan lainnya, sampai akhirnya dia disuruh meninggalkan kawasan itu (Djojohadikusumo 1986: 29).
Tidak hanya sibuk belajar dan aktif membaca, Sumitro bahkan juga pernah mencoba menjadi voluntir pada Brigade Internasional saat terjadinya Perang Spanyol. Sayangnya, keinginannya itu tidak bisa diwujudkan karena dia diangap terlalu muda, sehingga dia diminta untuk mendapatkan surat izin dari orang tuanya terlebih dahulu. Walaupun ditolak dia tetap berada di perbatasan Spanyol dan aktif mengumpulkan dana dan aktivitas bantuan lainnya, sampai akhirnya dia disuruh meninggalkan kawasan itu (Djojohadikusumo 1986: 29).


Sumitro tidak hanya tertarik dengan ide dan pemikiran tokoh di luar negeri. Dia mengagumi pemikiran dan pengorbanan Sukarno dan Hatta. Dia membaca dengan cermat pledoi pembelaan kedua tokoh tersebut saat mereka diadili oleh pemerintah kolonial dengan tuduhan makar. Sumitro mengatakan dia terpengaruh oleh kedua sosok tersebut. Sumitro juga mengatakan bahwa dia sangat terkesan dengan pengorbanan rakyat Indonesia yang menderita akibat eksploitasi kolonial, terutama pada saat depresi ekonomi pada tahun-tahun pertama 1930-an (Djojohadikusumo 1986: 28; 30; Djojohadikusumo 1989: xvi; Katoppo 2000: 23-24).
Sumitro tidak hanya tertarik dengan ide dan pemikiran tokoh di luar negeri. Dia mengagumi pemikiran dan pengorbanan [[Sukarno]] dan [[Mohammad Hatta|Hatta]]. Dia membaca dengan cermat pledoi pembelaan kedua tokoh tersebut saat mereka diadili oleh pemerintah kolonial dengan tuduhan makar. Sumitro mengatakan dia terpengaruh oleh kedua sosok tersebut. Sumitro juga mengatakan bahwa dia sangat terkesan dengan pengorbanan rakyat Indonesia yang menderita akibat eksploitasi kolonial, terutama pada saat depresi ekonomi pada tahun-tahun pertama 1930-an (Djojohadikusumo 1986: 28; 30; Djojohadikusumo 1989: xvi; Katoppo 2000: 23-24).


Sumitro menamatkan pendidikannya tahun 1943 dengan disertasi yang berjudul ''Het Volkscredietwezen in de Depressie'' (Kredit Rakyat di Masa Depresi'')''. Dia meraih gelor Doktor dalam ilmu ekonomi dalam usia 25, dan itu adalah sebuah prestasi hebat, sebab jarang sekali orang mampu menyelesaikan pendidikan doktoral seusia itu. Setamat kuliah dia sempat bekerja di lembaga riset almamaternya dan pada Januari 1946 ikut-serta (mendompleng) dalam delegasi Belanda ke pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di London. Dia ikut delegasi Belanda, sebagai ‘penasihat ahli’, karena itulah satu-satunya cara yang bisa dilakukan agar dia bisa menyaksikan secara langsung bagaimana persoalan kemerdekaan Indonesia dibicarakan di forum internasional. Seusai menghadiri pertemuan tersebut,m Sumitro kembali ke Indonesia (Katoppo 2000: 25, 38-43, 47).
Sumitro menamatkan pendidikannya tahun 1943 dengan disertasi yang berjudul ''Het Volkscredietwezen in de Depressie'' (Kredit Rakyat di Masa Depresi'')''. Dia meraih gelor Doktor dalam ilmu ekonomi dalam usia 25, dan itu adalah sebuah prestasi hebat, sebab jarang sekali orang mampu menyelesaikan pendidikan doktoral seusia itu. Setamat kuliah dia sempat bekerja di lembaga riset almamaternya dan pada Januari 1946 ikut-serta (mendompleng) dalam delegasi Belanda ke pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di London. Dia ikut delegasi Belanda, sebagai ‘penasihat ahli’, karena itulah satu-satunya cara yang bisa dilakukan agar dia bisa menyaksikan secara langsung bagaimana persoalan kemerdekaan Indonesia dibicarakan di forum internasional. Seusai menghadiri pertemuan tersebut, Sumitro kembali ke Indonesia (Katoppo 2000: 25, 38-43, 47).


Segera setelah pulang Sumitro sampai akhir hayatnya, Sumitro nyaris selalu tampil di panggung sejarah Indonesia dan selalu membuat sejarah. Secara kronologis bisa dikatakan bahwa Sumitro menjadi bagian yang penting dalam sejarah Indonesia pada masa revolusi, pada era demokasi liberal, pada masa gerakan daerah, zaman Orde Baru, dan hari-hari pertama Era Reformasi. Satu-satunya panggung sejarah Indonesia yang nyaris tidak dilakoninya adalah parohan pertama dekade 1960-an.  
Segera setelah pulang Sumitro sampai akhir hayatnya, Sumitro nyaris selalu tampil di panggung sejarah Indonesia dan selalu membuat sejarah. Secara kronologis bisa dikatakan bahwa Sumitro menjadi bagian yang penting dalam sejarah Indonesia pada masa revolusi, pada era demokasi liberal, pada masa gerakan daerah, zaman Orde Baru, dan hari-hari pertama Era Reformasi. Satu-satunya panggung sejarah Indonesia yang nyaris tidak dilakoninya adalah parohan pertama dekade 1960-an.  
Line 18: Line 18:
Dalam berbagai periode sejarah bangsa tersebut, berbagai peran sejarah dilakoni Sumitro. Beberapa peran penting yang dilakoninya adalah diplomat pejuang pada masa revolusi, menteri kabinet dan akademisi (tokoh pendidikan) pada masa demokrasi liberal, politisi pejuang pada masa gerakan daerah, menteri kabinet, akademisi, aktivis masyarakat sipil, dan pebisnis pada masa Orde Baru, serta pengamat sosial, ekonomi dan politik pada hari-hari pertama Era Reformasi. Tidak hanya aktivitas politik, akademis, ekonomi dan bisnis yang lazim dilakoni oleh tokoh bangsa, Sumitro juga mengukir sejarah melalui sejumlah pemikiran dan tindakannya yang unik dan kadang langka, pemikiran dan tindakan yang besar artinya bagi bangsa dan negara. Pada beberapa kesempatan, Sumitro juga bersikap kritis dan berseberangan pemikiran dan keputusan sejumlah politisi, pemikir atau kebijakan pemerintah.  
Dalam berbagai periode sejarah bangsa tersebut, berbagai peran sejarah dilakoni Sumitro. Beberapa peran penting yang dilakoninya adalah diplomat pejuang pada masa revolusi, menteri kabinet dan akademisi (tokoh pendidikan) pada masa demokrasi liberal, politisi pejuang pada masa gerakan daerah, menteri kabinet, akademisi, aktivis masyarakat sipil, dan pebisnis pada masa Orde Baru, serta pengamat sosial, ekonomi dan politik pada hari-hari pertama Era Reformasi. Tidak hanya aktivitas politik, akademis, ekonomi dan bisnis yang lazim dilakoni oleh tokoh bangsa, Sumitro juga mengukir sejarah melalui sejumlah pemikiran dan tindakannya yang unik dan kadang langka, pemikiran dan tindakan yang besar artinya bagi bangsa dan negara. Pada beberapa kesempatan, Sumitro juga bersikap kritis dan berseberangan pemikiran dan keputusan sejumlah politisi, pemikir atau kebijakan pemerintah.  


Telah lazim diketahui, bahwa pada masa revolusi Sumitro memainkan peran penting dalam lapangan pemerintahan dan perjuangan diplomasi. Di samping berperan sebagai pejabat pemerintah, seperti Asisten Perdana Menteri St. Syahrir, pegawai tinggi Kementerian Keuangan, pejabat kepala kedutaan besar RI untuk Amerika Serikat (AS), Sumitro terlibat aktif dalam perjuangan diplomasi Indonesia. Dia menjadi anggota delegasi Indonesia ke pertemuan Dewan Keamanan PBB di Lake Success 12 Agustus 1947, bertemu dengan, Wakil Menteri Luar Negeri segera setelah Belanda melancarkan Agresi Militernya yang ke-2, serta menjadi anggota delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag AS (Ichimura 2016: 440-41; Rahardjo 1989: xxvi; Katoppo 2000: 56-68).  
Telah lazim diketahui, bahwa pada masa [[revolusi]] Sumitro memainkan peran penting dalam lapangan pemerintahan dan perjuangan diplomasi. Di samping berperan sebagai pejabat pemerintah, seperti Asisten Perdana Menteri [[Sutan Sjahrir|St. Syahrir]], pegawai tinggi Kementerian Keuangan, pejabat kepala kedutaan besar RI untuk Amerika Serikat (AS), Sumitro terlibat aktif dalam perjuangan diplomasi Indonesia. Dia menjadi anggota delegasi Indonesia ke pertemuan Dewan Keamanan PBB di Lake Success 12 Agustus 1947, bertemu dengan, Wakil Menteri Luar Negeri segera setelah Belanda melancarkan Agresi Militernya yang ke-2, serta menjadi anggota delegasi Indonesia pada [[Konferensi Meja Bundar|Konferensi Meja Bundar (KMB)]] di Den Haag AS (Ichimura 2016: 440-41; Rahardjo 1989: xxvi; Katoppo 2000: 56-68).  


Peran sejarah terpenting Sumitro pada masa revolusi adalah keberhasilannya menjadikan perjuangan kemerdekaan Indonesia menjadi perhatian publik Amerika Serikat. Saat bertemu dengan Wakil Menlu AS, Sumitro mengajukan memorandum yang mengecam keras tindakan ‘tercela’ dan menyamakan tindakan itu dengan aksi Mussolini dan Jepang yang menyerang Perancis dan Amerika secara mendadak. Suatu memorandum yang isinya menggugah emosi warga Amerika khususnya dan Barat (Sekutu) pada umumnya. Sumitro juga mengingatkan AS dan Barat bahwa akibat serangan-serangan Belanda dan ketidakpatuhan Belanda pada perjanjian-perjanjian yang dibuat (Linggarjati dan Renville), rakyat Indonesia semakin tidak percaya pada upaya diplomasi, sehingga mudah dipengaruhi oleh PKI. Sumitro menyebut, hal ini telah terbukti dengan terjadinya pemberontakan PKI Madiun yang dimulai 18 September 1948. Selanjutnya, mengusulkan agar AS menghentikan bantuan dalam program ''European Recovery Program'' (ERP). Pemikiran dan usulan Sumitro ini disebarluaskan oleh media AS dan menjadi perbincangan publik AS. Ini adalah untuk kedua kalinya Sumitro menggugah publik AS dengan pernyataan dan idenya. Sebelumnya, pada tahun 1946, Sumitro juga menarik perhatian publik AS karena kapal cargo Amerika Serikat yang disewanya (disewa pemerintah Indonesa atas usulan Sumitro) ditangkap Belanda. Penangkapan kapal itu membuat berang publik AS umumnya dan ''United States-National Maritime Union'' (US-NMU) khususnya. Membuat warga AS khususnya tertarik dengan perjuangan Indonesia adalah sebuah keberhasilan besar saat itu, sebab Belanda hampir sejalau mengelabui publik dunia dengan pernyataan-pernyataannya yang mendiskreditkan bangsa, pemerintah dan rakyat Indonesia. Diantaranya dengan mengatakan kemerdekaan Indonesia adalah hadiah Jepang (Katoppo 2000: 77-84, 122-130).
Peran sejarah terpenting Sumitro pada masa revolusi adalah keberhasilannya menjadikan perjuangan kemerdekaan Indonesia menjadi perhatian publik Amerika Serikat. Saat bertemu dengan Wakil Menlu AS, Sumitro mengajukan memorandum yang mengecam keras tindakan ‘tercela’ dan menyamakan tindakan itu dengan aksi Mussolini dan Jepang yang menyerang Perancis dan Amerika secara mendadak. Suatu memorandum yang isinya menggugah emosi warga Amerika khususnya dan Barat (Sekutu) pada umumnya. Sumitro juga mengingatkan AS dan Barat bahwa akibat serangan-serangan Belanda dan ketidakpatuhan Belanda pada perjanjian-perjanjian yang dibuat (Linggarjati dan Renville), rakyat Indonesia semakin tidak percaya pada upaya diplomasi, sehingga mudah dipengaruhi oleh PKI. Sumitro menyebut, hal ini telah terbukti dengan terjadinya [[Peristiwa Madiun 1948|pemberontakan PKI Madiun]] yang dimulai 18 September 1948. Selanjutnya, mengusulkan agar AS menghentikan bantuan dalam program ''European Recovery Program'' (ERP). Pemikiran dan usulan Sumitro ini disebarluaskan oleh media AS dan menjadi perbincangan publik AS. Ini adalah untuk kedua kalinya Sumitro menggugah publik AS dengan pernyataan dan idenya. Sebelumnya, pada tahun 1946, Sumitro juga menarik perhatian publik AS karena kapal cargo Amerika Serikat yang disewanya (disewa pemerintah Indonesa atas usulan Sumitro) ditangkap Belanda. Penangkapan kapal itu membuat berang publik AS umumnya dan ''United States-National Maritime Union'' (US-NMU) khususnya. Membuat warga AS khususnya tertarik dengan perjuangan Indonesia adalah sebuah keberhasilan besar saat itu, sebab Belanda hampir sejalau mengelabui publik dunia dengan pernyataan-pernyataannya yang mendiskreditkan bangsa, pemerintah dan rakyat Indonesia. Diantaranya dengan mengatakan kemerdekaan Indonesia adalah hadiah Jepang (Katoppo 2000: 77-84, 122-130).


Seperti disebut di atas, Sumitro juga memiliki ide kritis dan sangat nasionalis, yang kadangkala berbeda dengan pandangan politisi lain atau pandangan umum. Saat menghadiri KMB, Sumitro memiliki pandangan yang berbeda dengan Moh. Hatta, pimpinan delegasi. Sumitro tidak setuju dengan klausul bahwa Indonesia harus membayar hutang Belanda sebesar 6 juta gulden. Sumitro bahkan mengatakan Belandalah yang harus membayar Indonesia atas penjajahan dan kezaliman yang dilakukannya terhadap bangsa Indonesia. Sumitro juga tidak setuju Irian Barat ditunda pengembaliannya ke Indonesia (Katoppo 2000: 94-102).  
Seperti disebut di atas, Sumitro juga memiliki ide kritis dan sangat nasionalis, yang kadangkala berbeda dengan pandangan politisi lain atau pandangan umum. Saat menghadiri KMB, Sumitro memiliki pandangan yang berbeda dengan [[Mohammad Hatta|Moh. Hatta]], pimpinan delegasi. Sumitro tidak setuju dengan klausul bahwa Indonesia harus membayar hutang Belanda sebesar 6 juta gulden. Sumitro bahkan mengatakan Belandalah yang harus membayar Indonesia atas penjajahan dan kezaliman yang dilakukannya terhadap bangsa Indonesia. Sumitro juga tidak setuju Irian Barat ditunda pengembaliannya ke Indonesia (Katoppo 2000: 94-102).  


Sumitro juga pernah mengalami pengalaman pahit pada masa revolusi. Dia, bersama Perdana Menteri Syahrir dan Menteri Kemakmuran, Darmawan Mangunkusumo disandera kelompok Persatuan Perjuangan pada aksi yang dinamakan Peristiwa 3 Juli 1946 (Katoppo 2000: 108-116).  
Sumitro juga pernah mengalami pengalaman pahit pada masa revolusi. Dia, bersama Perdana Menteri Syahrir dan Menteri Kemakmuran, Darmawan Mangunkusumo disandera kelompok Persatuan Perjuangan pada aksi yang dinamakan [[Peristiwa Tiga Juli 1946|Peristiwa 3 Juli 1946]] (Katoppo 2000: 108-116).  


Tahun 1950-an adalah kurun waktu yang paling dinamis dalam kehidupan Sumitro. Bebagai peran sosial dan politik pada berbagai panggung sejarah yang berbeda dilakoninya saat itu. Di lapangan pemerintahan Sumitro pernah menjadi Menteri Perdagangan dan Industri pada Kabinet Natsir (7 September 1950-21 Maret 1951), Menteri Keuangan pada Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953), Menteri Keuangan pada Kabinet Burhanuddin Harahap (namun ditentang oleh Partai Nasional Indonesia atau PNI sehingga Burhanudin Harahap mengembalikan mandatnya), Menteri Keuangan Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-3 Maret 1956) (Katoppo 2000: 136-174; Ichimura 2016: 441).  
Tahun 1950-an adalah kurun waktu yang paling dinamis dalam kehidupan Sumitro. Bebagai peran sosial dan politik pada berbagai panggung sejarah yang berbeda dilakoninya saat itu. Di lapangan pemerintahan Sumitro pernah menjadi Menteri Perdagangan dan Industri pada [[Kabinet Natsir]] (7 September 1950-21 Maret 1951), Menteri Keuangan pada Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953), Menteri Keuangan pada [[Kabinet Burhanuddin Harahap]] (namun ditentang oleh [[Partai Nasional Indonesia (PNI)|Partai Nasional Indonesia]] atau PNI sehingga Burhanudin Harahap mengembalikan mandatnya), Menteri Keuangan Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-3 Maret 1956) (Katoppo 2000: 136-174; Ichimura 2016: 441).  


Ada sejumlah ide dan gagasan (kebijakan Semitro) saat menjadi Menteri. Saat menjadi Menteri Perdagangan dan Industri. Sumitro menggagas pembentukan sistem perdagangan terpadu bagi seluruh Indonesia, melawan monopoli perusahaan-perusahaan Belanda (''The Big Fives'') dalam dunia niaga Indonesia, berperan aktif dalam proses nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia, mendorong pengembangan industri di Indonesia, menggagas Program Banteng (program memberi peluang yang lebih besar kepada pengusaha pribumi dalam dunia niaga), mendukung program transmigrasi, mengurangi belanja pemerintah untuk mengurangi defisit anggaran belanja negara, mendukung masuknya modal asing (investor Barat), serta melakukan diplomasi ekonomi ke sejumlah negara Eropa untuk menarik investor agar mereka menanamkan modal di Indonesia. Tidak hanya terlibat dalam diplomasi ekonomi, Sumitro juga aktif dalam diplomasi politik. Salah satu diantaranya adalah keikutsertaannya dalam perundingan pengembalian Irian Barat tahun 1955 di Jenewa. Perundingan itu telah membuahkan kemajuan namun akhirnya dianulir oleh pemerintah (Katoppo 2000:136-174).  
Ada sejumlah ide dan gagasan (kebijakan Soemitro) saat menjadi Menteri. Saat menjadi Menteri Perdagangan dan Industri, Sumitro menggagas pembentukan sistem perdagangan terpadu bagi seluruh Indonesia melawan monopoli perusahaan-perusahaan Belanda (''The Big Fives'') dalam dunia niaga Indonesia, berperan aktif dalam proses nasionalisasi [[De Javasche Bank]] menjadi Bank Indonesia, mendorong pengembangan industri di Indonesia, menggagas [[Program Benteng]] (program memberi peluang yang lebih besar kepada pengusaha pribumi dalam dunia niaga), mendukung program transmigrasi, mengurangi belanja pemerintah untuk mengurangi defisit anggaran belanja negara, mendukung masuknya modal asing (investor Barat), serta melakukan diplomasi ekonomi ke sejumlah negara Eropa untuk menarik investor agar mereka menanamkan modal di Indonesia. Tidak hanya terlibat dalam diplomasi ekonomi, Sumitro juga aktif dalam diplomasi politik. Salah satu diantaranya adalah keikutsertaannya dalam perundingan pengembalian Irian Barat tahun 1955 di Jenewa. Perundingan itu telah membuahkan kemajuan namun akhirnya dianulir oleh pemerintah (Katoppo 2000:136-174).  


Di samping mendapat apresiasi yang tinggi, ide, gagasan dan program Sumitro juga ditanggapi berbeda oleh sejumlah kalangan. PNI dan Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah dua partai politik yang hampir selalu menolak ide, gagasan dan program Sumitro. Penolakan itu pulalah, misalnya, yang membuat dia batal menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Buhanuddin Harahap pasca-kejatuhan Kabinet Wilopo tahun 1953. Program Banteng, memasukan investor Barat, pengembangan industri, pengurangan belanja pemerintah adalah sebagian ide dan gagasannya yang paling ditentang oleh PNI dan PKI. PNI, dan terutama sekali PKI, memang sejak lama tidak mendukung Sumitro. Sebaliknya, Sumitro sendiri juga tidak cocok dengan PKI. Bahkan ketidakikutsertaannya dalam Perhimpunan Indonesia (PI) pada saat dia menuntut ilmu di Belanda karena bergabungnya aktivis PKI di perkumpulan tersebut (Feith 335-336; Niwandhono 2021: 167.
Di samping mendapat apresiasi yang tinggi, ide, gagasan dan program Sumitro juga ditanggapi berbeda oleh sejumlah kalangan. [[Partai Nasional Indonesia (PNI)|PNI]] dan [[Partai Komunis Indonesia (1920-1966)|Partai Komunis Indonesia (PKI)]] adalah dua partai politik yang hampir selalu menolak ide, gagasan dan program Sumitro. Penolakan itu pulalah, misalnya, yang membuat dia batal menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Buhanuddin Harahap pasca-kejatuhan Kabinet Wilopo tahun 1953. Program Benteng, memasukan investor Barat, pengembangan industri, pengurangan belanja pemerintah adalah sebagian ide dan gagasannya yang paling ditentang oleh PNI dan PKI. PNI, dan terutama sekali PKI, memang sejak lama tidak mendukung Sumitro. Sebaliknya, Sumitro sendiri juga tidak cocok dengan PKI. Bahkan ketidakikutsertaannya dalam [[Perhimpunan Indonesia|Perhimpunan Indonesia (PI)]] pada saat dia menuntut ilmu di Belanda karena bergabungnya aktivis PKI di perkumpulan tersebut (Feith 335-336; Niwandhono 2021: 167.


Di samping terlibat secara aktif dalam dunia pemerintahan, pembangunan ekonomi dan industry, serta kerjasama luar negeri, sejak awal dasawarsa 1950-an Sumitro juga terlibat langsung dalam pengembangan dunia pendidikan Indonesia, khususnya pendidikan tinggi ekonomi. Sumitro adalah salah satu sosok penting dalam pengembangan Fakultas Ekonomi Univesitas Indonesia (FE-UI). Dia juga menjabat sebagai dekan fakultas tersebut antara tahun 1951-1957. Selama masa kepemimpinannya, dia mengundang sejumlah ilmuwan (ekonom) asing dari Barat untuk ikut memajukan FE-UI. Dia juga ikut berperan besar dalam mengirim sejumlah mahasiswa (dosen) FE-UI untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri, terutama ke AS. Sumitro juga punya andil dalam mendirikan Lembaga Pendidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM). Tidak hanya terlibat dalam pendirian FE-UI, Sumitro juga mempunyai peran dalam pembangunan UII di Yogyakarta (Wie 174-177, 189-90; Ichimura 442-443; Katoppo 2000: 176-217).
Di samping terlibat secara aktif dalam dunia pemerintahan, pembangunan ekonomi dan industry, serta kerjasama luar negeri, sejak awal dasawarsa 1950-an Sumitro juga terlibat langsung dalam pengembangan dunia pendidikan Indonesia, khususnya pendidikan tinggi ekonomi. Sumitro adalah salah satu sosok penting dalam pengembangan Fakultas Ekonomi Univesitas Indonesia (FE-UI). Dia juga menjabat sebagai dekan fakultas tersebut antara tahun 1951-1957. Selama masa kepemimpinannya, dia mengundang sejumlah ilmuwan (ekonom) asing dari Barat untuk ikut memajukan FE-UI. Dia juga ikut berperan besar dalam mengirim sejumlah mahasiswa (dosen) FE-UI untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri, terutama ke AS. Sumitro juga punya andil dalam mendirikan Lembaga Pendidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM). Tidak hanya terlibat dalam pendirian FE-UI, Sumitro juga mempunyai peran dalam pembangunan [[Universitas Islam Indonesia (UII)|UII]] di Yogyakarta (Wie 174-177, 189-90; Ichimura 442-443; Katoppo 2000: 176-217).


Kedekatan Sumitro dengan Barat, baik selaku Menteri atau sebagai akademisi menyebabkan PNI, dan terutama sekali PKI, bersikap oposan terhadapnya. Penentangan kedua partai tersebut semakin kuat saat Presiden Sukarno juga ikut-serta menyerang ide, gagasan dan kebijakan Sumitro semasa pemerintahan PM Juanda. Melalui ''Harian Rakyat'' dan ''Bintang Timur'', dua surat kabar organ komunis, Sumitro dituduh korupsi dan meminta pemerintah agar segera membawanya ke pengadilan. Lebih dari fitnah menerima gratifikasi, Sumitro bahkan diintimidasi dengan pemanggilan polisi militer untuk diinvestigasi sebanyak dua kali ketiga untuk ditahan. Karena merasa terancam, baik dirinya secara pribadi dan anak-istrinya, atas usul dan selanjutnya diantar Priyatna, seorang Jaksa aparat PARAN, Sumitro menyelamatkan diri ke Sumatra (Katoppo 2000: 211; Zon 2017).
Kedekatan Sumitro dengan Barat, baik selaku Menteri atau sebagai akademisi menyebabkan PNI, dan terutama sekali PKI, bersikap oposan terhadapnya. Penentangan kedua partai tersebut semakin kuat saat Presiden [[Sukarno]] juga ikut-serta menyerang ide, gagasan dan kebijakan Sumitro semasa pemerintahan PM Juanda. Melalui ''Harian Rakyat'' dan ''Bintang Timur'', dua surat kabar organ komunis, Sumitro dituduh korupsi dan meminta pemerintah agar segera membawanya ke pengadilan. Lebih dari fitnah menerima gratifikasi, Sumitro bahkan diintimidasi dengan pemanggilan polisi militer untuk diinvestigasi sebanyak dua kali ketiga untuk ditahan. Karena merasa terancam, baik dirinya secara pribadi dan anak-istrinya, atas usul dan selanjutnya diantar Priyatna, seorang Jaksa aparat PARAN, Sumitro menyelamatkan diri ke Sumatra (Katoppo 2000: 211; Zon 2017).


Di Sumatra Tengah Sumitro bergabung dengan Dewan Banteng yang saat itu juga bersikap kritis terhadap Jakarta. Selanjutnya dia juga bekerjasama dengan Dewan Gajah, Dewan Dewan Garuda dan Dewan Manguni. Keempat dewan ini memandang Presiden Sukarno sudah dipengaruhi oleh kaum komunis, Presiden Sukarno menjalankan roda pemerintahan di luar wewenang yang diamatkan konstitusi kepadanya. Tidak itu saja, kempat dewan itu memandang bahwa Jakarta tidak adil dalam membangun Indonesia. Pembangunan dan kesejateraan daerah-daerah luar Jawa jauh tertinggal dibandingkan dengan Pulau Jawa, padahal luar Jawa adalah penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia (Katoppo 2000: 206-212; Asnan 2007: 171-197).
Di Sumatra Tengah Sumitro bergabung dengan [[Dewan Banteng]] yang saat itu juga bersikap kritis terhadap Jakarta. Selanjutnya dia juga bekerjasama dengan Dewan Gajah, Dewan Dewan Garuda dan Dewan Manguni. Keempat dewan ini memandang Presiden [[Sukarno]] sudah dipengaruhi oleh kaum komunis, Presiden Sukarno menjalankan roda pemerintahan di luar wewenang yang diamatkan konstitusi kepadanya. Tidak itu saja, kempat dewan itu memandang bahwa Jakarta tidak adil dalam membangun Indonesia. Pembangunan dan kesejateraan daerah-daerah luar Jawa jauh tertinggal dibandingkan dengan Pulau Jawa, padahal luar Jawa adalah penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia (Katoppo 2000: 206-212; Asnan 2007: 171-197).


Pandangan Dewan Banteng relatif sejalan dengan ide dan gagasan Sumitro. Hal itulah kemudian yang menyebabkan Sumitro bergabung dengan PRRI (dan kemudian juga dengan Permesta). Ketika PRRI diproklamirkan 15 Februari 1958, Sumitro diangkat sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran pada Kabinet PRRI. Bergabungnya Sumitro dengan PRRI adalah salah satu alasan adanya dukungan dari Barat, terutama AS, terhadap PRRI. Sumitro sangat aktif dalam melakukan pendekatan politik kepada AS atau negara-negara Barat lainnya. Di samping itu, tidak bisa pula dipungkiri, dukungan Barat, terutama AS, juga disebabkan oleh wilayah PRRI juga mencakup lokasi perusahaan AS (Caltex), yaitu Riau, serta ideologi PRRI dan Permesta yang anti komunis (Katoppo 2000: 211, 218224; Asnan 2007: 193-196).
Pandangan [[Dewan Banteng]] relatif sejalan dengan ide dan gagasan Sumitro. Hal itulah kemudian yang menyebabkan Sumitro bergabung dengan [[Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Semesta Alam (PRRI/PERMESTA)|PRRI]] (dan kemudian juga dengan Permesta). Ketika PRRI diproklamirkan 15 Februari 1958, Sumitro diangkat sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran pada Kabinet PRRI. Bergabungnya Sumitro dengan PRRI adalah salah satu alasan adanya dukungan dari Barat, terutama AS, terhadap PRRI. Sumitro sangat aktif dalam melakukan pendekatan politik kepada AS atau negara-negara Barat lainnya. Di samping itu, tidak bisa pula dipungkiri, dukungan Barat, terutama AS, juga disebabkan oleh wilayah PRRI juga mencakup lokasi perusahaan AS (Caltex), yaitu Riau, serta ideologi PRRI dan Permesta yang anti komunis (Katoppo 2000: 211, 218224; Asnan 2007: 193-196).


Jakarta merespon keberadaan PRRI dengan melancarkan kampanye militer besar-besaran. PRRI yang dirancang tidak untuk berkonfrontasi secara fisik dengan Jakarta bisa ditaklukan dengan cepat (2007: 210-218). Kekalahan PRRI dan juga Permesta menyebabkan Sumitro mesti menyelamatkan diri di luar negeri. Di luar negeri Sumitro bekerja sebagai konsultan ekonomi (perusahaan), menulis buku sejarah ekonomi, dan tetap berhubungan dengan politisi dan pengusaha dunia (Barat) dan pihak-pihak anti-komunis di Indonesia. Jelas, selama tinggal di luar negeri, Sumitro relatif tidak terlibat dalam dunia politik, ekonomi, sosial, dan budaya Indonesia (Katoppo 2000: 242-248).
Jakarta merespon keberadaan [[Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Semesta Alam (PRRI/PERMESTA)|PRRI]] dengan melancarkan kampanye militer besar-besaran. PRRI yang dirancang tidak untuk berkonfrontasi secara fisik dengan Jakarta bisa ditaklukan dengan cepat (2007: 210-218). Kekalahan PRRI dan juga Permesta menyebabkan Sumitro mesti menyelamatkan diri di luar negeri. Di luar negeri Sumitro bekerja sebagai konsultan ekonomi (perusahaan), menulis buku sejarah ekonomi, dan tetap berhubungan dengan politisi dan pengusaha dunia (Barat) dan pihak-pihak anti-komunis di Indonesia. Jelas, selama tinggal di luar negeri, Sumitro relatif tidak terlibat dalam dunia politik, ekonomi, sosial, dan budaya Indonesia (Katoppo 2000: 242-248).


Tampilnya Suharto yang anti komunis membuka peluang bagi Sumitro untuk pulang, bahkan Suharto meminta Sumitro untuk pulang. Pada saat pembentukan Kabinet Pembangunan I (pada tanggal 10 Juli 1968), Soeharto mengangkat Sumitro menjadi Menteri Perdagangan dan Industri. Lima tahun setelah itu, pada tahun 1973 Soeharto mengangkat Sumitro sebagai Menteri Riset dalam Kabinet Pembangunan II. Tidak hanya sikap anti komunis Sumitro, tetapi kedekatannya dengan dengan Barat juga disebut sebagai alasan Suharto memintanya pulang. Dalam menjalankan roda pemerintahannya, Suharto memang mendukung masuknya modal Barat dan bahkan mengimplementasikan gagasan ekonomi Barat.  
Tampilnya [[Soeharto|Suharto]] yang anti komunis membuka peluang bagi Sumitro untuk pulang, bahkan Suharto meminta Sumitro untuk pulang. Pada saat pembentukan Kabinet Pembangunan I (pada tanggal 10 Juli 1968), Soeharto mengangkat Sumitro menjadi Menteri Perdagangan dan Industri. Lima tahun setelah itu, pada tahun 1973 Soeharto mengangkat Sumitro sebagai Menteri Riset dalam Kabinet Pembangunan II. Tidak hanya sikap anti komunis Sumitro, tetapi kedekatannya dengan dengan Barat juga disebut sebagai alasan Suharto memintanya pulang. Dalam menjalankan roda pemerintahannya, Suharto memang mendukung masuknya modal Barat dan bahkan mengimplementasikan gagasan ekonomi Barat.  


Pembangunan Indonesia semasa pemerintahan Soeharto memang banyak didukung oleh Barat dan kebijakan ekonominya juga pro Barat. Tidak diragukan lagi, peran Sumitro sangat besar dalam menentukan kebijakan ekonomi yang pro Barat tersebut. Apalagi sejumlah ekonom yang menduduki sejumlah posisi menteri dalam bidang ekonomi dan keuangan pemerintahan Soeharto adalah mahasiswanya yang disekolahkannya ke Barat, terutama AS, dan lazim dikenal dengan sebutan Mafia Berkeley. Sebagai Menteri Riset Sumitro berkontribusi besar dalam pelaksanaan penelitian bidang ekonomi oleh lembaga-lembaga penelitian di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia, terutama UI, Universitas Andalas, dan Universitas Hasanuddin (Katoppo 2000: 269-279; Wie 2002: 178; Ichimura 2016: 442-443).
Pembangunan Indonesia semasa pemerintahan Soeharto memang banyak didukung oleh Barat dan kebijakan ekonominya juga pro Barat. Tidak diragukan lagi, peran Sumitro sangat besar dalam menentukan kebijakan ekonomi yang pro Barat tersebut. Apalagi sejumlah ekonom yang menduduki sejumlah posisi menteri dalam bidang ekonomi dan keuangan pemerintahan Soeharto adalah mahasiswanya yang disekolahkannya ke Barat, terutama AS, dan lazim dikenal dengan sebutan Mafia Berkeley. Sebagai Menteri Riset Sumitro berkontribusi besar dalam pelaksanaan penelitian bidang ekonomi oleh lembaga-lembaga penelitian di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia, terutama UI, Universitas Andalas, dan Universitas Hasanuddin (Katoppo 2000: 269-279; Wie 2002: 178; Ichimura 2016: 442-443).

Latest revision as of 06:35, 10 June 2024

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Soemitro_Djojohadikoesoemo

Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo dikenal sebagai begawan ekonom dan politisi terkemuka Indonesia. Sumitro melahirkan banyak ide dan kebijakan ekonomi Indonesia melalui sejumlah jabatan politik yang dia duduki, dia berperan besar dalam melahirkan ekonom Indonesia melalui lembaga pendidikan (FE-UI) yang pernah dia nakhodai, serta terlibat aktif dalam berbagai iven politik yang menentukan sejarah bangsa. Sumitro termasuk salah satu dari sedikit tokoh Indonesia yang tampil dalam waktu terlama di pangung sejarah bangsa.

Sumitro lahir pada 29 Mei 1917 di Kebumen, Jawa Tengah. Sumitro adalah anak tertua dari Raden Mas Margono Djojohadikusumo, seorang aristokrat Jawa  yang menjadi ambtenar pada masa pemerintahan Hindia Belanda, pendiri Bank Negara Indonesia (BNI) dan memegang beberapa jabatan penting lain di Indonesia masa awal kemerdekaan. Dua jabatan penting lain, selain pendiri BNI dijabatnya adalah anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indnesia (BPUPKI) dan ketua pertama Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) (Gunseikanbu 1986: 271; Katoppo 2000: 2-9, 33; Niwandhono 2021: 167).

Sebagai anak seorang ambtenar Sumitro mendapat peluang untuk memasuki sekolah sekolah menengah Belanda, dan menamatkan pendidikan tingkat menegahnya di Hoogere Burgereschool (HBS). Tidak itu saja, Sumitro juga mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan tingginya ke Negeri Belanda tahun 1935. Sumitro melanjutkan pendidikannya ke Nederlandsche Economische Hogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi Belanda), yang kemudian menjadi Fakultas Ekonomi Universitas Erasmus Universitas Rotterdam, di Negeri Belanda. Di samping kuliah di Sekolah Tinggi Ekonomi Belanda, Sumitro juga pernah menimba ilmu di Universitas Sorbornne Paris (1937-1938) dengan mendalami ilmu sejarah dan filsafat (Katoppo 2000: 10, 13; Wie 2001: 173; Niwandhono 2021: 167).

Selama masa pendidikannya, Sumitro membaca banyak sekali buku tentang ekonomi, sosialisme, komunisme, dan sejarah buah karya pemikir-pemikir besar dunia. Buku-buku tesebut, menurut Sumitro juga dibaca oleh sebagian besar pemimpin perjuangan kemerdekaan Asia, terutama di Asia Tenggara, yang menuntut ilmu di Eropa saat itu. Sumitro juga bertemu dan berdiskusi dengan banyak ilmuwan serta pemikir terkemuka dunia selama masa perantauannya untuk menimba ilmu pengetahuan. Sumitro memberikan pandangan-pandangan kritisnya terhadap buku-buku bacaan dan pemikiran para ilmuan tersebut, dan dia mengakui lebih tertarik pada pemikian dan ilmuwan yang memihak pada orang kecil, perjuangan kemerdekaan dan sosialisme. Karena itu dia memberikan tekanan khusus dan memiliki apresisi tersendiri kepada Timbergen, seorang sosialis dan sangat bersimpati kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia (Djojohadikusumo 1986: 28-31).

Tidak hanya sibuk belajar dan aktif membaca, Sumitro bahkan juga pernah mencoba menjadi voluntir pada Brigade Internasional saat terjadinya Perang Spanyol. Sayangnya, keinginannya itu tidak bisa diwujudkan karena dia diangap terlalu muda, sehingga dia diminta untuk mendapatkan surat izin dari orang tuanya terlebih dahulu. Walaupun ditolak dia tetap berada di perbatasan Spanyol dan aktif mengumpulkan dana dan aktivitas bantuan lainnya, sampai akhirnya dia disuruh meninggalkan kawasan itu (Djojohadikusumo 1986: 29).

Sumitro tidak hanya tertarik dengan ide dan pemikiran tokoh di luar negeri. Dia mengagumi pemikiran dan pengorbanan Sukarno dan Hatta. Dia membaca dengan cermat pledoi pembelaan kedua tokoh tersebut saat mereka diadili oleh pemerintah kolonial dengan tuduhan makar. Sumitro mengatakan dia terpengaruh oleh kedua sosok tersebut. Sumitro juga mengatakan bahwa dia sangat terkesan dengan pengorbanan rakyat Indonesia yang menderita akibat eksploitasi kolonial, terutama pada saat depresi ekonomi pada tahun-tahun pertama 1930-an (Djojohadikusumo 1986: 28; 30; Djojohadikusumo 1989: xvi; Katoppo 2000: 23-24).

Sumitro menamatkan pendidikannya tahun 1943 dengan disertasi yang berjudul Het Volkscredietwezen in de Depressie (Kredit Rakyat di Masa Depresi). Dia meraih gelor Doktor dalam ilmu ekonomi dalam usia 25, dan itu adalah sebuah prestasi hebat, sebab jarang sekali orang mampu menyelesaikan pendidikan doktoral seusia itu. Setamat kuliah dia sempat bekerja di lembaga riset almamaternya dan pada Januari 1946 ikut-serta (mendompleng) dalam delegasi Belanda ke pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di London. Dia ikut delegasi Belanda, sebagai ‘penasihat ahli’, karena itulah satu-satunya cara yang bisa dilakukan agar dia bisa menyaksikan secara langsung bagaimana persoalan kemerdekaan Indonesia dibicarakan di forum internasional. Seusai menghadiri pertemuan tersebut, Sumitro kembali ke Indonesia (Katoppo 2000: 25, 38-43, 47).

Segera setelah pulang Sumitro sampai akhir hayatnya, Sumitro nyaris selalu tampil di panggung sejarah Indonesia dan selalu membuat sejarah. Secara kronologis bisa dikatakan bahwa Sumitro menjadi bagian yang penting dalam sejarah Indonesia pada masa revolusi, pada era demokasi liberal, pada masa gerakan daerah, zaman Orde Baru, dan hari-hari pertama Era Reformasi. Satu-satunya panggung sejarah Indonesia yang nyaris tidak dilakoninya adalah parohan pertama dekade 1960-an.

Dalam berbagai periode sejarah bangsa tersebut, berbagai peran sejarah dilakoni Sumitro. Beberapa peran penting yang dilakoninya adalah diplomat pejuang pada masa revolusi, menteri kabinet dan akademisi (tokoh pendidikan) pada masa demokrasi liberal, politisi pejuang pada masa gerakan daerah, menteri kabinet, akademisi, aktivis masyarakat sipil, dan pebisnis pada masa Orde Baru, serta pengamat sosial, ekonomi dan politik pada hari-hari pertama Era Reformasi. Tidak hanya aktivitas politik, akademis, ekonomi dan bisnis yang lazim dilakoni oleh tokoh bangsa, Sumitro juga mengukir sejarah melalui sejumlah pemikiran dan tindakannya yang unik dan kadang langka, pemikiran dan tindakan yang besar artinya bagi bangsa dan negara. Pada beberapa kesempatan, Sumitro juga bersikap kritis dan berseberangan pemikiran dan keputusan sejumlah politisi, pemikir atau kebijakan pemerintah.

Telah lazim diketahui, bahwa pada masa revolusi Sumitro memainkan peran penting dalam lapangan pemerintahan dan perjuangan diplomasi. Di samping berperan sebagai pejabat pemerintah, seperti Asisten Perdana Menteri St. Syahrir, pegawai tinggi Kementerian Keuangan, pejabat kepala kedutaan besar RI untuk Amerika Serikat (AS), Sumitro terlibat aktif dalam perjuangan diplomasi Indonesia. Dia menjadi anggota delegasi Indonesia ke pertemuan Dewan Keamanan PBB di Lake Success 12 Agustus 1947, bertemu dengan, Wakil Menteri Luar Negeri segera setelah Belanda melancarkan Agresi Militernya yang ke-2, serta menjadi anggota delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag AS (Ichimura 2016: 440-41; Rahardjo 1989: xxvi; Katoppo 2000: 56-68).

Peran sejarah terpenting Sumitro pada masa revolusi adalah keberhasilannya menjadikan perjuangan kemerdekaan Indonesia menjadi perhatian publik Amerika Serikat. Saat bertemu dengan Wakil Menlu AS, Sumitro mengajukan memorandum yang mengecam keras tindakan ‘tercela’ dan menyamakan tindakan itu dengan aksi Mussolini dan Jepang yang menyerang Perancis dan Amerika secara mendadak. Suatu memorandum yang isinya menggugah emosi warga Amerika khususnya dan Barat (Sekutu) pada umumnya. Sumitro juga mengingatkan AS dan Barat bahwa akibat serangan-serangan Belanda dan ketidakpatuhan Belanda pada perjanjian-perjanjian yang dibuat (Linggarjati dan Renville), rakyat Indonesia semakin tidak percaya pada upaya diplomasi, sehingga mudah dipengaruhi oleh PKI. Sumitro menyebut, hal ini telah terbukti dengan terjadinya pemberontakan PKI Madiun yang dimulai 18 September 1948. Selanjutnya, mengusulkan agar AS menghentikan bantuan dalam program European Recovery Program (ERP). Pemikiran dan usulan Sumitro ini disebarluaskan oleh media AS dan menjadi perbincangan publik AS. Ini adalah untuk kedua kalinya Sumitro menggugah publik AS dengan pernyataan dan idenya. Sebelumnya, pada tahun 1946, Sumitro juga menarik perhatian publik AS karena kapal cargo Amerika Serikat yang disewanya (disewa pemerintah Indonesa atas usulan Sumitro) ditangkap Belanda. Penangkapan kapal itu membuat berang publik AS umumnya dan United States-National Maritime Union (US-NMU) khususnya. Membuat warga AS khususnya tertarik dengan perjuangan Indonesia adalah sebuah keberhasilan besar saat itu, sebab Belanda hampir sejalau mengelabui publik dunia dengan pernyataan-pernyataannya yang mendiskreditkan bangsa, pemerintah dan rakyat Indonesia. Diantaranya dengan mengatakan kemerdekaan Indonesia adalah hadiah Jepang (Katoppo 2000: 77-84, 122-130).

Seperti disebut di atas, Sumitro juga memiliki ide kritis dan sangat nasionalis, yang kadangkala berbeda dengan pandangan politisi lain atau pandangan umum. Saat menghadiri KMB, Sumitro memiliki pandangan yang berbeda dengan Moh. Hatta, pimpinan delegasi. Sumitro tidak setuju dengan klausul bahwa Indonesia harus membayar hutang Belanda sebesar 6 juta gulden. Sumitro bahkan mengatakan Belandalah yang harus membayar Indonesia atas penjajahan dan kezaliman yang dilakukannya terhadap bangsa Indonesia. Sumitro juga tidak setuju Irian Barat ditunda pengembaliannya ke Indonesia (Katoppo 2000: 94-102).

Sumitro juga pernah mengalami pengalaman pahit pada masa revolusi. Dia, bersama Perdana Menteri Syahrir dan Menteri Kemakmuran, Darmawan Mangunkusumo disandera kelompok Persatuan Perjuangan pada aksi yang dinamakan Peristiwa 3 Juli 1946 (Katoppo 2000: 108-116).

Tahun 1950-an adalah kurun waktu yang paling dinamis dalam kehidupan Sumitro. Bebagai peran sosial dan politik pada berbagai panggung sejarah yang berbeda dilakoninya saat itu. Di lapangan pemerintahan Sumitro pernah menjadi Menteri Perdagangan dan Industri pada Kabinet Natsir (7 September 1950-21 Maret 1951), Menteri Keuangan pada Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953), Menteri Keuangan pada Kabinet Burhanuddin Harahap (namun ditentang oleh Partai Nasional Indonesia atau PNI sehingga Burhanudin Harahap mengembalikan mandatnya), Menteri Keuangan Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-3 Maret 1956) (Katoppo 2000: 136-174; Ichimura 2016: 441).

Ada sejumlah ide dan gagasan (kebijakan Soemitro) saat menjadi Menteri. Saat menjadi Menteri Perdagangan dan Industri, Sumitro menggagas pembentukan sistem perdagangan terpadu bagi seluruh Indonesia melawan monopoli perusahaan-perusahaan Belanda (The Big Fives) dalam dunia niaga Indonesia, berperan aktif dalam proses nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia, mendorong pengembangan industri di Indonesia, menggagas Program Benteng (program memberi peluang yang lebih besar kepada pengusaha pribumi dalam dunia niaga), mendukung program transmigrasi, mengurangi belanja pemerintah untuk mengurangi defisit anggaran belanja negara, mendukung masuknya modal asing (investor Barat), serta melakukan diplomasi ekonomi ke sejumlah negara Eropa untuk menarik investor agar mereka menanamkan modal di Indonesia. Tidak hanya terlibat dalam diplomasi ekonomi, Sumitro juga aktif dalam diplomasi politik. Salah satu diantaranya adalah keikutsertaannya dalam perundingan pengembalian Irian Barat tahun 1955 di Jenewa. Perundingan itu telah membuahkan kemajuan namun akhirnya dianulir oleh pemerintah (Katoppo 2000:136-174).

Di samping mendapat apresiasi yang tinggi, ide, gagasan dan program Sumitro juga ditanggapi berbeda oleh sejumlah kalangan. PNI dan Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah dua partai politik yang hampir selalu menolak ide, gagasan dan program Sumitro. Penolakan itu pulalah, misalnya, yang membuat dia batal menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Buhanuddin Harahap pasca-kejatuhan Kabinet Wilopo tahun 1953. Program Benteng, memasukan investor Barat, pengembangan industri, pengurangan belanja pemerintah adalah sebagian ide dan gagasannya yang paling ditentang oleh PNI dan PKI. PNI, dan terutama sekali PKI, memang sejak lama tidak mendukung Sumitro. Sebaliknya, Sumitro sendiri juga tidak cocok dengan PKI. Bahkan ketidakikutsertaannya dalam Perhimpunan Indonesia (PI) pada saat dia menuntut ilmu di Belanda karena bergabungnya aktivis PKI di perkumpulan tersebut (Feith 335-336; Niwandhono 2021: 167.

Di samping terlibat secara aktif dalam dunia pemerintahan, pembangunan ekonomi dan industry, serta kerjasama luar negeri, sejak awal dasawarsa 1950-an Sumitro juga terlibat langsung dalam pengembangan dunia pendidikan Indonesia, khususnya pendidikan tinggi ekonomi. Sumitro adalah salah satu sosok penting dalam pengembangan Fakultas Ekonomi Univesitas Indonesia (FE-UI). Dia juga menjabat sebagai dekan fakultas tersebut antara tahun 1951-1957. Selama masa kepemimpinannya, dia mengundang sejumlah ilmuwan (ekonom) asing dari Barat untuk ikut memajukan FE-UI. Dia juga ikut berperan besar dalam mengirim sejumlah mahasiswa (dosen) FE-UI untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri, terutama ke AS. Sumitro juga punya andil dalam mendirikan Lembaga Pendidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM). Tidak hanya terlibat dalam pendirian FE-UI, Sumitro juga mempunyai peran dalam pembangunan UII di Yogyakarta (Wie 174-177, 189-90; Ichimura 442-443; Katoppo 2000: 176-217).

Kedekatan Sumitro dengan Barat, baik selaku Menteri atau sebagai akademisi menyebabkan PNI, dan terutama sekali PKI, bersikap oposan terhadapnya. Penentangan kedua partai tersebut semakin kuat saat Presiden Sukarno juga ikut-serta menyerang ide, gagasan dan kebijakan Sumitro semasa pemerintahan PM Juanda. Melalui Harian Rakyat dan Bintang Timur, dua surat kabar organ komunis, Sumitro dituduh korupsi dan meminta pemerintah agar segera membawanya ke pengadilan. Lebih dari fitnah menerima gratifikasi, Sumitro bahkan diintimidasi dengan pemanggilan polisi militer untuk diinvestigasi sebanyak dua kali ketiga untuk ditahan. Karena merasa terancam, baik dirinya secara pribadi dan anak-istrinya, atas usul dan selanjutnya diantar Priyatna, seorang Jaksa aparat PARAN, Sumitro menyelamatkan diri ke Sumatra (Katoppo 2000: 211; Zon 2017).

Di Sumatra Tengah Sumitro bergabung dengan Dewan Banteng yang saat itu juga bersikap kritis terhadap Jakarta. Selanjutnya dia juga bekerjasama dengan Dewan Gajah, Dewan Dewan Garuda dan Dewan Manguni. Keempat dewan ini memandang Presiden Sukarno sudah dipengaruhi oleh kaum komunis, Presiden Sukarno menjalankan roda pemerintahan di luar wewenang yang diamatkan konstitusi kepadanya. Tidak itu saja, kempat dewan itu memandang bahwa Jakarta tidak adil dalam membangun Indonesia. Pembangunan dan kesejateraan daerah-daerah luar Jawa jauh tertinggal dibandingkan dengan Pulau Jawa, padahal luar Jawa adalah penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia (Katoppo 2000: 206-212; Asnan 2007: 171-197).

Pandangan Dewan Banteng relatif sejalan dengan ide dan gagasan Sumitro. Hal itulah kemudian yang menyebabkan Sumitro bergabung dengan PRRI (dan kemudian juga dengan Permesta). Ketika PRRI diproklamirkan 15 Februari 1958, Sumitro diangkat sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran pada Kabinet PRRI. Bergabungnya Sumitro dengan PRRI adalah salah satu alasan adanya dukungan dari Barat, terutama AS, terhadap PRRI. Sumitro sangat aktif dalam melakukan pendekatan politik kepada AS atau negara-negara Barat lainnya. Di samping itu, tidak bisa pula dipungkiri, dukungan Barat, terutama AS, juga disebabkan oleh wilayah PRRI juga mencakup lokasi perusahaan AS (Caltex), yaitu Riau, serta ideologi PRRI dan Permesta yang anti komunis (Katoppo 2000: 211, 218224; Asnan 2007: 193-196).

Jakarta merespon keberadaan PRRI dengan melancarkan kampanye militer besar-besaran. PRRI yang dirancang tidak untuk berkonfrontasi secara fisik dengan Jakarta bisa ditaklukan dengan cepat (2007: 210-218). Kekalahan PRRI dan juga Permesta menyebabkan Sumitro mesti menyelamatkan diri di luar negeri. Di luar negeri Sumitro bekerja sebagai konsultan ekonomi (perusahaan), menulis buku sejarah ekonomi, dan tetap berhubungan dengan politisi dan pengusaha dunia (Barat) dan pihak-pihak anti-komunis di Indonesia. Jelas, selama tinggal di luar negeri, Sumitro relatif tidak terlibat dalam dunia politik, ekonomi, sosial, dan budaya Indonesia (Katoppo 2000: 242-248).

Tampilnya Suharto yang anti komunis membuka peluang bagi Sumitro untuk pulang, bahkan Suharto meminta Sumitro untuk pulang. Pada saat pembentukan Kabinet Pembangunan I (pada tanggal 10 Juli 1968), Soeharto mengangkat Sumitro menjadi Menteri Perdagangan dan Industri. Lima tahun setelah itu, pada tahun 1973 Soeharto mengangkat Sumitro sebagai Menteri Riset dalam Kabinet Pembangunan II. Tidak hanya sikap anti komunis Sumitro, tetapi kedekatannya dengan dengan Barat juga disebut sebagai alasan Suharto memintanya pulang. Dalam menjalankan roda pemerintahannya, Suharto memang mendukung masuknya modal Barat dan bahkan mengimplementasikan gagasan ekonomi Barat.

Pembangunan Indonesia semasa pemerintahan Soeharto memang banyak didukung oleh Barat dan kebijakan ekonominya juga pro Barat. Tidak diragukan lagi, peran Sumitro sangat besar dalam menentukan kebijakan ekonomi yang pro Barat tersebut. Apalagi sejumlah ekonom yang menduduki sejumlah posisi menteri dalam bidang ekonomi dan keuangan pemerintahan Soeharto adalah mahasiswanya yang disekolahkannya ke Barat, terutama AS, dan lazim dikenal dengan sebutan Mafia Berkeley. Sebagai Menteri Riset Sumitro berkontribusi besar dalam pelaksanaan penelitian bidang ekonomi oleh lembaga-lembaga penelitian di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia, terutama UI, Universitas Andalas, dan Universitas Hasanuddin (Katoppo 2000: 269-279; Wie 2002: 178; Ichimura 2016: 442-443).

Sebagai dosen dan peneliti, sejak kembali ke Indonesia dan khususnya sejak tahun 1970-an, Sumitro juga aktif dalam asosiasi ekonom dan tulis-menulis karya ilmiah. Sumitro menjadi ketua pertama East Asian Economic Association (EAEA), penulis pada edisi pertama Asian Economic Journal (AEJ) yang terbit tahun 1985, serta menulis ratusan artikel buku (Ichimura 2016: 443-444).

Sekembali ke Indonesia, Sumitro tidak hanya aktif dalam pemerintahan dan dunia pendidikan, tetapi juga dalam dunia usaha dan masyarakat sipil. Melanjutkan apa yang pernah dilakoninya di Singapura pada awal 1960-an, sepulang ke Indonesia Sumitro juga mendirikan biro konsultan bisnis. Dia juga menjadi Komisaris Utama Bank Pembangunan Asia dan aktif di LP3ES. Sumitro mendukung Astra Grup untuk mendapat lisensi Toyota pada tahun 1968, namun mengeritisi Program Mobil Nasional ‘Timor’ oleh Tommy Soeharto sebagai tindak lanjut Instruksi Presiden mengenai pengembangan indutrusi mobil nasional yang diawali tahun 1996 (Katoppo 2000: 308-316).

Beberapa saat sebelum lengsernya Soeharto dari kursi Presiden RI, dan setelah mengalami depresi rupiah yang tajam, Sumitro mengingatkan adanya ‘penyakit institusional’ pada pemerintah, yakni maraknya korupsi dan kolusi antara pejabat pemerintah dengan pengusaha, monopoli yan dilegalkan pemerintah, ketidakpastian hukum dan lemahnya sistem yudisial (Katoppo 2000: 375; Wie 2002: 180). Sesaat setelah Soeharto lengser, Sumitro menyaksikan perubahan sistem politik yang dratis di negerinya. Satu hal yang membuatnya miris saat itu adalah telah begitu banyak bantuan asing untuk Indonesia, namun Indonesia belum juga tampil menjadi negara yang berdaulat dalam lapangan ekonomi serta warganya terbebas dari kemiskinan.

Sumitro wafat tanggal 9 Maet 2001 dengan meninggalkan empat anak yaitu: si sulung bernama Biantiningsih Miderawati, seorang sarjana pendidikan dari Harvard; kedua Mariani Ekowati, seorang ahli mikrobiologi; ketiga Prabowo Subianto, pernah menjadi Komandan Jenderal Kopassus, dan Menteri Pertahanan RI pada era pemerintahan kedua Presiden Jokowi, dan sibungsu Hashim S. Djojokusumo, seorang  pebisnis grup Arsari. Keempat anak itu adalah hasil perkawinannya dengan Dora Marie Sigar yang dikenalnya semasa sekolah di Belanda.

Penulis: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan
Instansi: Universitas Andalas
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan


Daftar Kepustakaan

Asnan, Gusti (2007), Memikir Ulang Regionalisme: Sumatrera Barat Tahun 1950-an. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Djojohadikusumo, Sumitro (1986), “Recollections of My Career” dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 22 No. 3, hal. 27-39, DOI: 10.1080/00074918612331334874

Djojohadikusumo, Sumitro (1989), ‘Prakata’ dalam dalam Sumitro Djojohadikusumo, Kredit Rakyat di Masa Depresi. Jakarta: LP3ES.

Feith, Herbert (2007), The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing, 2007.

Gunseikanbu (1986), Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa. Yogyakata: Gadjahmada University Press.

Ichimura, Sinichi (2016), “Professor Dr. Sumitro Djojohadikusumo: An Obituary” dalam Asian Economic Journal, Vol. 30, No. 40, hal. 439-444.

Katoppo, Aristedes dkk. (2000, Sumitro Djojohadikusumo, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang. Jakarta: Sinar Harapan.

Nirwandhono, Pradipto (2021), “The Making of Modern Indonesian Intelectuals: The Indonesian Socialist Party and Democratic Socialist Ideas 1930s to Mid 1970s” Ph. D. Thesis, School of Language and Cultural Studies, Fac. of Arts and Social Sciences, The University of Sydney.

Rahardjo, Dawam M., (1989), “Perkreditan Rakyat di Pedesaan dan Koperasi: Sissi Lain Sumitro Djojoadikusumo, Pengantar’, dalam Sumitro Djojohadikusumo, Kredit Rakyat di Masa Depresi. Jakarta: LP3ES.

Wie, Kian Thee (2001), “In Memoriam: Professor Sumitro Djojohadikusumo, 1917–2001” dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol 37, No. 2, hal. 173-181, DOI: 10.1080/00074910152390865

Zon, Fadli (2017), “Tuduhan Korupsi Sumitro Djojohadikusumo Propaganda Golongan Komunis” dalam Republika Online, 22 November 2017.