Untung

From Ensiklopedia

Letnan Kolonel Untung Syamsuri alias Koesman (lahir tanggal 3 Juli 1926 di Kedungbajul, Jawa Tengah), adalah Komandan Batalyon I Cakrabirawa, pemimpin Gerakan 30 September tahun 1965. Ayahnya adalah seorang pekerja di toko batik di Solo. Pendidikan formalnya dimulai dengan sekolah dasar di Ketelan, lalu diteruskan ke sebuah sekolah dagang. Ia tidak menyelesaikan sekolahnya karena Jepang telah menguasai Hindia Belanda. Di bawah pendudukan Jepang, ia bergabung sebagai anggota organisasi militer pribumi bentukan Jepang, Heiho (Pour, 2010: 415).

Pada masa revolusi fisik, ia menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan berdinas pada Batalyon Soedigdo di Wonogiri. Batalyon ini diketahui berada di bawah pengaruh komunis pada saat pemberontakan PKI di Madiun September 1948. Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua pada Desember 1948 sehingga usaha pembersihan yang dilakukan pemerintah terhadap para pemberontak komunis tidak tuntas. Sebagian pemberontak dibersihkan kesalahannya agar dapat membantu pemerintah menghadapi serangan Belanda. Untung sempat melarikan diri ke Madiun saat pemerintah memburu Batalyon Sudigdo. Ia, yang kala itu masih bernama Koesman, kembali ke Jawa Tengah dan bergabung lagi dengan TNI selepas Agresi Militer Kedua Belanda. Saat itulah ia memakai nama baru, Untung.

Pada tahun 1954–1965 ia berdinas di Batalyon 454 Divisi Diponegoro. Pada tahun 1958 ia, dengan jabatannya sebagai Komandan Kompi Banteng Raiders, ambil bagian dalam usaha memadamkan pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. Pada tahun 1963 ia menjabat sebagai komandan dari salah satu detasemen yang diposkan di Irian Barat dalam misi membebaskan wilayah itu dari kekuasaan Belanda. Atas jasanya dalam Operasi Trikora di Irian Barat ia mendapatkan Bintang Sakti. Pangkatnya naik dari mayor menjadi letnan kolonel, dan ia mendapat jabatan baru, yakni sebagai Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa (Matanasi, 2011: 14).

Untung memiliki relasi yang erat dengan PKI dan relasi ini sudah terbangun sejak masa revolusi. Soeharto, yang mengaku kenal Untung sejak lama dan pernah menjadi atasan Untung, menyebut bahwa Untung berhubungan dekat dan rapat dengan PKI, dan bahwa tokoh PKI Alimin adalah sosok yang memberikan pendidikan politik pada Untung (Soeharto, 1989: 119, 123). Untung mengakui bahwa ia berada di bawah pengaruh PKI sejak lama dan bahwa ia mendapatkan banyak indoktrinasi dari partai itu (Mortimer, 2006: 428).

Belakangan, Untung terkoneksi dengan Kepala Biro Khusus PKI, Syam Kamaruzzaman. Posisi Biro Khusus PKI tersebut berada tepat di bawah Ketua Comite Central PKI, D.N. Aidit. Syam, dengan demikian, bertanggung jawab langsung kepada Aidit. Sebagai badan rahasia yang eksistensinya hanya diketahui oleh pimpinan PKI, Biro Khusus PKI memiliki tugas untuk menjadi penghubung antara PKI, khususnya Aidit, dengan perwira ABRI yang dibina oleh Biro Khusus, seperti Brigjen Soepardjo, Kolonel Latief dan Letkol Untung.

Dalam usahanya untuk mengesampingkan peranan Angkatan Darat, PKI membuat dan menyebarkan isu tentang Dewan Jenderal, suatu kelompok jenderal yang dipersepsikan membahayakan keselamatan negara. Kemunculan Dokumen Gilchrist—mengacu pada nama duta besar Inggris untuk Indonesia—yang menyebut-nyebut tentang ‘our local army friend’ (kawan tentara lokal kita) dipercayai sebagai bukti adanya kerja sama antara perwira Angkatan Darat dengan bangsa imperialis. Walau otentisitasnya diragukan, ketua Badan Pusat Intelijen (BPI) Subandrio, meyakini kebenarannya dan meneruskannya pada Sukarno. Sukarno kemudian mengklarifikasi isu ini kepada para jenderal Angkatan Darat, dan mendapat bantahan dari Men/Pangad Letjen A. Yani (Djamhari, 2011: 79-80). Isu Dewan Jenderal itu muncul dan berkembang antara Mei-September 1965.

Aidit memerintahkan Syam untuk menjalankan suatu gerakan, dengan kekuatan militer, guna menyingkirkan Dewan Jenderal dan membuat Dewan Revolusi sebagai suatu lembaga tinggi negara. Tiga pemimpin gerakan ditunjuk, yakni Letkol Untung, Kolonel Latief dan Mayor Udara Suyono. Ada beberapa alasan di balik pengangkatan Untung, seorang tentara dengan pangkat menengah, menjadi komandan gerakan. Pertama, dianggap bahwa hanya kalangan terbatas yang mengetahui namanya. Kedua, sebagai komandan pasukan pengawalan presiden, posisinya dianggap sesuai dengan misi utama gerakan tersebut, termasuk untuk menyelamatkan Presiden Sukarno. Preferensi terhadap Untung juga ditunjukkan dengan penetapan bahwa pangkat tertinggi dalam gerakan itu ialah letkol (Ambarwulan & Kasdi, 2011: 177).

Pada malam hari 30 September 1965 antara pukul 19.00-23.00 Untung, sebagai pengawal presiden, tidak berada di samping Sukarno yang sedang menghadiri acara Musyawarah Teknik di Senayan. Pada pukul 22.00 malam itu ia ada di rumah Syam. Mereka kemudian bergerak menuju pusat pasukannya di Lubang Buaya. Untung menginspeksi pasukan pemberontak di Lubang Buaya pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965. Latar belakang pasukan itu beragam, termasuk dari kalangan militer seperti kompi Brigif I Kodam V/Jaya, kompi Yon 454/Diponegoro, dan Yon 530/Brawijaya serta elemen-elemen PKI seperti Pemuda Rakyat dan Gerwani (Djamhari, 2011: 84).

Tugas untuk menangkap para perwira Dewan Jenderal dipimpin oleh komandan Pasukan Pasopati, Lettu Dul Arief. Pasukannya diperintahkan untuk menangkap, hidup atau mati, para jenderal yang dianggap akan melakukan kup terhadap Presiden Sukarno, yakni Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasution, Menteri/Panglima AD Letjen A. Yani, Deputi II Men/Pangad Mayjen Suprapto, Deputi III Men/Pangad Mayjen Haryono M.T., Asisten I Men/Pangad Mayjen S. Parman, Asisten IV Men/Pangad Brigjen D.I Panjaitan dan Oditur Militer/Inspektur Kehakiman AD Brigjen Sutoyo. Sebagian besar jenderal tersebut akhirnya dibunuh oleh pasukan pemberontak; satu-satunya yang selamat adalah Nasution.

Pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, RRI, yang kantornya telah dikuasai pasukan Gerakan 30 September, menyiarkan pernyataan dari Untung. Di antaranya ialah: 1) Dewan Jenderal merupakan gerakan subversif yang disokong oleh badan intelijen Amerika Serikat (CIA); 2) Dewan Jenderal berencana mengadakan parade kekuatan (machtvertoon) pada Hari Angkatan Bersenjata (5 Oktober); 3) Dewan Jenderal berencana menggunakan kekuatan militer skala besar untuk menjalankan kup kontrarevolusioner; 4) pengambilalihan kekuasaan telah dilakukan oleh Gerakan 30 September yang dikomandani oleh Letkol Untung dari Cakrabirawa; 5) para anggota Dewan Jenderal telah ditangkap; 6) Gerakan 30 September melindungi presiden; dan 7) gerakan itu akan membentuk Dewan Revolusi guna menjunjung prinsip-prinsip revolusi (Lapian, 2011: 101; Robinson, 2018: 55-56).

Atas perintah Sukarno, Panglima Kostrad, Mayjen Soeharto, bergerak cepat memulihkan keamanan. Ia menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang dan melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap para anggota Gerakan 30 September dan anggota PKI. Dua hari setelah Gerakan 30 September meletus, Untung melarikan diri ke Jawa Tengah, namun berhasil ditangkap pada 11 Oktober. Ia diberhentikan dengan tidak hormat dari pangkat dan jabatannya berdasarkan Keputusan Presiden/Pangti ABRI/KOTI/No. 171/KOTI/1965 tanggal 4 Desember 1965.

Pada Desember 1965 pemerintah mengadakan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk mengadili para tokoh Gerakan 30 September, baik dari kalangan sipil maupun militer. Untung dihadapkan ke Mahmilub pada awal tahun 1966. Ia menolak tuduhan bahwa gerakan yang dipimpinnya bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan, tapi ia mengakui bahwa ia bersalah lantaran menggerakan orang lain guna melakukan pembunuhan berencana. Ia juga mengaku bertanggung jawab atas gerakan itu. Pada 6 Maret 1966 Mahmilub memvonisnya dengan hukuman mati, sebuah keputusan yang kemudian disetujui oleh Menteri Panglima Angkatan Darat, Letjen Soeharto. Ia mengajukan grasi, tapi ditolak. Ia dieksekusi mati di Cimahi, Jawa Barat, pada tahun yang sama.

Penulis: Muhammad Yuanda Zara
Instansi: Universitas Negeri Yogyakarta
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi:

Ambarwulan & Aminuddin Kasdi (2011). ‘PKI Di Balik Gerakan 30 September 1965’, dalam Taufik Abdullah, Sukri Abdurrachman dan Restu Gunawan (ed.), Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional: bagian I Rekonstruksi dalam Perdebatan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Djamhari, Saleh As’Ad (2011). ‘Demokrasi Terpimpin 1959-1965’, dalam Taufik Abdullah, Sukri Abdurrachman dan Restu Gunawan (ed.), Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional: bagian I Rekonstruksi dalam Perdebatan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Lapian, A.B. (2011). ‘Antara Konspirasi dan Kudeta: Upaya Penjelasan Teoretik tentang G30S/1965’, dalam Taufik Abdullah, Sukri Abdurrachman dan Restu Gunawan (ed.), Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional: bagian I Rekonstruksi dalam Perdebatan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Matanasi, Petrik (2011). Untung, Cakrabirawa, dan G30S. Yogyakarta: Trompet.

Mortimer, Rex (2006 [pertama kali terbit tahun 1974]). Indonesian Communism Under Sukarno: Ideology and Politics,1959-1965. Singapore: Equinox.

Pour, Julius (2010). Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Robinson, Geoffrey B (2018). The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965-66. Princeton & Oxford: Princeton University Press.

Soeharto (1989). Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya: Otobiografi seperti Dipaparkan kepada G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada.